Home / Romansa / SUAMIKU SAINGANKU / Pesan Tak Terjawab

Share

Pesan Tak Terjawab

Author: Nenghally
last update Last Updated: 2025-03-12 18:07:32

Arga melepaskan ciumannya dan menatapku dengan ekspresi campur aduk. "Bau apa ini?" tanyanya, matanya melotot dengan heran.

Aku langsung mendorongnya, merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Aku tidak sebau itu!" kataku tegas sambil cepat-cepat mencium bau tubuhku.

Mungkin aku memang tidak wangi, tapi tidak seburuk itu, kan?

"Rilla!!"

Teriakan Arga mengalihkan perhatianku. Dia melesat ke dapur, matanya lebar penuh kekhawatiran saat melihat api yang menyala dari kompor.

"Astaga!" teriakku, mengikuti langkahnya. Di dalam dapur, asap mulai memenuhi ruangan, dan panik menjalar di antara kami.

Arga segera berusaha memadamkan api yang semakin membesar, tangannya bergerak cepat. Aku meraih sekop di sudut dan menyiramkan air dari wadah yang ada, berusaha membantu.

"Cepat, Rilla! Di sebelah kiri!" Arga memberi instruksi, suaranya tegas meski terlihat stres.

"Oke, oke!" jawabku, berusaha tetap fokus. Kami bekerja sama, meski ada rasa canggung setelah momen sebelumnya.

Setelah beberapa menit yang penuh ketegangan, akhirnya kami berhasil memadamkan api. Kami terengah-engah, saling menatap dengan ekspresi campur aduk.

"Jadi, siapa yang melakukan ini?" Arga berkata, mencoba memecah suasana tegang.

"Itu... mungkin aku lupa mematikan kompor setelah memasak air tadi," jawabku sambil tertawa malu.

Arga menggelengkan kepalanya, senyum di wajahnya muncul. "Kamu benar-benar membuat hidupku jadi lebih menarik, Rilla."

Aku benar-benar tidak percaya, seorang Arga yang dingin kini bisa tersenyum kepadaku. Senyum itu, meski masih samar, berhasil menghangatkan suasana. Rasanya seperti menemukan celah dalam dinding tebal yang selama ini menghalangi kami berdua.

"Arga, aku..." kataku pelan, berusaha mencari kata-kata yang tepat.

"Jangan bilang apa-apa," dia memotong, namun suara lembutnya membantuku merasa lebih tenang. "Aku juga tidak mau berpikir terlalu jauh."

Kami terdiam sejenak. Tadi, aku sempat khawatir semuanya akan menjadi semakin rumit setelah pertikaian dengan ibunya. Tapi sekarang, aku bisa merasakan bahwa di balik sikap dinginnya, ada sisi lain dari Arga yang ingin ia tunjukkan.

"Mau lanjut masak atau mau pesen makanan?" tanyanya, mengalihkan perhatian ke dapur yang masih berantakan.

"Kayaknya lebih baik pesan aja. Kita sudah cukup membuat kekacauan di sini," balasku sambil tertawa kecil, merasa lega.

Dia mengangguk, matanya masih menatapku dengan intens. "Ayo, kita pesen."

Aku mengambil ponselku dan mulai mencari menu. Dalam hati, aku berharap agar momen ini tidak berakhir terlalu cepat. Rasanya, semakin lama aku bersama Arga, semakin banyak sisi baru yang bisa kulihat darinya.

Setelah beberapa menit memilih makanan, aku menyodorkan ponsel ke arahnya. "Kita bisa pesen ini, bagaimana?"

"Oke, bagus. Tapi kita bagi-bagi bayarnya, ya," katanya, senyumnya masih menghiasi wajahnya.

"Deal." Jawabku, dan kami pun tertawa.

Setelah aku mengganti seragam, makanan sudah tiba. Sayangnya, aku merasa seperti akan makan sendirian di sini. Arga? Tentu saja dia sibuk dengan buku-bukunya yang berserakan di meja. Matanya terpaku pada halaman-halaman itu, seolah seluruh dunia ini tidak ada artinya selain buku-buku di hadapannya.

"Arga, makanan sudah datang," seruku, mencoba menarik perhatiannya.

Dia mengangkat kepalanya, tetapi hanya sekilas, lalu kembali fokus pada bukunya.

Aku menghela napas, sedikit kesal. "Yuk, makan bareng. Nggak seru kalau makan sendirian."

Akhirnya, Arga menutup bukunya dan memandang makanan itu. "Baiklah, kalau kamu insist," ujarnya sambil bangkit dari kursi.

Aku tersenyum puas saat dia duduk di sampingku, meski sempat merasa dia melakukannya hanya untuk menghindari protes lebih lanjut. Aku mengambil piring dan mulai menyajikan makanan untuknya.

"Kamu harus coba ini," kataku, menyuapkan sedikit makanan ke arah mulutnya. Dia terdiam sejenak, kemudian mengambil suapan itu dengan agak canggung.

"Lumayan," katanya, mencoba menyembunyikan senyum. "Tapi jangan harap aku bakal bilang ini enak."

"Menyebalkan," balasku, tertawa. "Setidaknya, aku berusaha."

Makan malam kami terasa lebih hidup setelah sedikit canda tawa. Aku mencoba mengajaknya berbicara tentang hal-hal ringan, tapi Arga tetap terkesan dingin.

"Jadi, apa rencanamu setelah ini? Masih mau belajar?" tanyaku, berharap bisa menarik perhatiannya lebih dalam.

"Mungkin," jawabnya sambil mengambil ponsel dan mulai mengecek sesuatu. 

"Suka-suka kamu, Arga," sahutku, sedikit kesal.

Setelah makan malam selesai, kami berdua akhirnya duduk di meja belajar yang terletak di sudut ruangan. Buku-buku berserakan di sekitar kami, dan suasana di antara kami terasa tegang meskipun kami mencoba untuk fokus belajar.

"Oke, jadi kita mulai dari mana?" tanyaku, membuka buku matematika yang terlihat rumit.

"Kita harus bahas soal ini dulu," Arga menjawab, menunjuk salah satu soal yang aku anggap sulit. "Tapi kamu harus bisa fokus. Jangan lagi melamun seperti tadi."

"Melamun? Aku sedang berpikir!" sahutku, sedikit kesal. "Jangan anggap semua orang itu sepertimu yang selalu bisa konsentrasi."

Dia mengangkat alisnya, menatapku dengan ekspresi skeptis. "Oh, jadi sekarang aku yang salah? Coba saja lihat hasil ujianmu minggu lalu."

"Hasil ujian bukan hanya karena satu faktor, Arga!" aku balas, merasa darahku mulai mendidih. "Kamu juga tidak bisa terus-menerus mengandalkan kepintaranmu sendiri!"

"Ini bukan soal kepintaran, Rila. Ini tentang usaha! Kalau kamu mau, ya berusaha. Kalau tidak, ya terus saja begini."

Sambil mengerutkan dahi, aku berusaha menahan emosiku. "Kamu ini menganggap dirimu lebih baik dari orang lain, ya?"

"Bukan begitu, Rila. Tapi kadang aku merasa kita butuh mendorong satu sama lain. Itu akan lebih baik untuk kita berdua," katanya, suaranya menjadi lebih tenang.

Aku menghela napas, berusaha meredakan ketegangan. "Baiklah, mungkin kamu ada benarnya. Tapi cara kamu mengatakannya kadang terlalu keras."

Dia terdiam sejenak, memandangi buku di depannya. "Oke, aku akan berusaha lebih sabar. Tapi kamu juga harus berusaha lebih keras, ya?"

"Deal." Aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, sedikit tersenyum.

Meskipun persaingan kami tidak akan pernah hilang, aku merasa ada kemajuan di antara kami. Kami mulai belajar dengan lebih fokus, meskipun adu argumen tetap muncul di tengah jalan.

"Nah, sekarang coba kerjakan soal ini," Arga berkata, melemparkan buku ke arahku. "Lihat, gampang kan?"

"Gampang? Hanya karena kamu bisa mengerjakannya, bukan berarti aku bisa!" aku berargumen, tapi tanpa kehilangan senyum.

Kami terus berdebat, namun kali ini terasa lebih ringan. Di tengah setiap adu argumen, ada perasaan saling menghargai yang perlahan tumbuh, dan itu membuatku merasa bahwa meskipun kami adalah saingan, kami juga bisa menjadi rekan yang baik.

Tiba-tiba, ponsel Arga bergetar, menganggu fokusku. Aku menatap ponsel Arga yang tergeletak di meja, getarannya memecah keheningan ruangan. Nama "Viona" terpampang jelas di layar, membuat jantungku berdegup lebih cepat.

"Siapa dia?"

Pikiranku mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung. Namun, rasa takut lebih kuat daripada rasa penasaranku, sehingga aku tak berani menyentuh ponsel itu. Tapi kemudian, sebuah pesan lain muncul, membuatku membeku di tempat.

"Arga, sampai kapan kamu akan menghindar? Kita tidak benar-benar putus, kan?"

Aku menelan ludah, perasaan tak nyaman menjalari tubuhku. Jadi, ada wanita lain? Apa yang sebenarnya terjadi antara Arga dan Viona?

Pikiran liar mulai bermunculan, dan tanpa sadar tanganku mulai gemetar. Aku tahu aku tak seharusnya peduli, tapi pesan itu seolah menjadi sebuah peringatan keras bahwa aku sebenarnya tak sepenuhnya mengenal suamiku.

Arga kembali dari kamar mandi, rambutnya masih basah. "Kamu sudah selesai?" tanyanya sambil berjalan mendekat.

Aku mendongak dengan senyum yang dipaksakan, mencoba mengabaikan apa yang baru saja kulihat.

"Belum, soal ini susah," jawabku pelan, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang kini menguasai diriku.

Ponsel Arga kembali menyala, memancarkan cahaya yang menarik perhatianku. Dengan gerakan cepat, dia meraihnya, membaca pesan yang masuk dengan ekspresi yang langsung berubah dingin.

Tanpa berkata-kata, Arga segera memasukkan ponselnya ke dalam saku, seolah ingin mengakhiri percakapan tanpa penjelasan. Suasana yang tadinya sedikit lebih hangat kini kembali membeku, seperti tembok tinggi yang tak bisa kutembus.

"Kita akhiri saja belajarnya," kata Arga dengan nada datar. Dia berbalik, meninggalkanku begitu saja di ruang belajar.

Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, perasaan sesak memenuhi dadaku. Kata-katanya singkat, tapi rasanya seperti ribuan jarak terentang kembali di antara kami. Hanya satu pesan, satu nama, dan semuanya berubah.

Siapa Viona?

Related chapters

  • SUAMIKU SAINGANKU   Pernikahan yang Tak Diinginkan

    "Saudara Arga, apakah Anda menerima Rila sebagai istri Anda dengan sepenuh hati?" suara penghulu menggema di ruangan.Ruangan ini, yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah terasa seperti penjara bagiku. Suara gemerincing perhiasan dan bisik-bisik tamu hanya jadi latar belakang dari ketegangan yang kualami saat ini.Arga berdiri di depan altar dengan sikap tenang dan tampan. Dia mengenakan jas hitam yang pas, dan tatapannya tetap dingin, seolah pernikahan ini cuma rutinitas yang harus dijalani.Aku tidak bisa menahan rasa kesal saat memandangnya. Rasanya Arga lebih seperti lawan hidupku daripada calon suami."Ya, saya terima," jawab Arga, suaranya tegas dan tanpa emosi.Giliran aku tiba. Tangan penghulunya meraih tangan Arga, dan dia menatapku dengan tatapan dingin seolah pernikahan ini tidak ada artinya. Aku merasa seperti boneka yang dipindahkan dari satu panggung ke panggung lainnya.Penghulu mulai melafalkan ijab qabul. "Saudari Rila, apakah Anda menerima Arga sebagai suami Anda, d

    Last Updated : 2025-02-23
  • SUAMIKU SAINGANKU   Ketua OSIS Dingin

    Hari itu adalah hari pertamaku masuk sekolah sebagai murid baru. Dengan langkah mantap, aku turun dari taksi dan memandang gedung sekolah yang megah di depanku. Sekolah ini tidak asing bagiku, aku sudah melihatnya di foto-foto yang kuterima saat pendaftaran. Tapi rasanya berbeda saat aku benar-benar berdiri di depannya.Aku tak pernah menyangka bisa bersekolah di sini. Sekolah yang hanya bisa di masuki oleh kalangan elite, sekarang menjadi tempatku belajar. Rasa bahagiaku mengalahkan rasa penasaran yang sebelumnya menghantui pikiranku.Kenapa kedua orang tuaku tiba-tiba memindahkan aku ke sini? Padahal mereka hanya pekerja paruh waktu biasa.Aku menarik napas panjang dan melirik jam tangan. "Aduh! Kelasku!" Aku mulai panik.Jam pelajaran pertama hampir dimulai, dan aku belum tahu di mana kelasku. Dengan buru-buru, aku berlari menuju gedung utama, berharap tidak terlambat.Namun, tiba-tiba saja, langkahku terhenti ketika kakiku tersandung. Aku terjatuh dengan keras ke lantai, map beris

    Last Updated : 2025-02-24
  • SUAMIKU SAINGANKU   Terikat Tanpa Cinta

    Saat bel pertama berbunyi, aku baru saja melangkah memasuki gerbang sekolah. Aku segera berlari menuju ruang kelas dan melihat Arga berdiri di depan pintu, dengan ekspresi yang sama cemasnya. Kami saling bertatapan, seolah tidak percaya bahwa kami terlambat untuk pertama kalinya."Kita tidak terlambat, kan?" tanyaku, berusaha mengurangi rasa malu."Menurutmu?" jawab Arga sambil menatap jam tangannya dengan serius. "Sepertinya kita akan kena hukuman.""Ah, aku tidak pernah terlambat seperti ini," keluhku dengan kesal."Ya, semua gara-gara kamu," jawab Arga, nada suaranya penuh ketegangan. "Kalau saja kamu tidak menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi, kita tidak akan terlambat."Aku menatapnya dengan tak percaya. "Aku? Lagipula, kamu juga tidak memberikan penjelasan tentang berapa lama kamu akan berada di kamar mandi."Arga menghela napas, wajahnya menunjukkan frustrasi. "Aku juga tidak tahu kamu akan berganti pakaian sebanyak itu. Ada cara lebih cepat untuk siap pergi, kamu tah

    Last Updated : 2025-02-26
  • SUAMIKU SAINGANKU   Bayangan di Antara Kita

    Aku kembali ke kelas, tapi pikiran dan hatiku masih tertinggal di ruang UKS. Elang. Namanya terus terngiang di kepalaku, membayangi setiap langkahku. Berbicara tentangnya seolah tak pernah ada ujungnya, karena dia adalah satu-satunya orang yang selalu perhatian padaku sejak awal masuk sekolah.Setiap tatapan, senyum, dan caranya memperlakukan aku dengan lembut, selalu membuatku merasa istimewa. Aku teringat saat pertama kali bertemu dengannya, bagaimana dia tanpa ragu menawarkan bantuan ketika aku kebingungan mencari kelas.Sejak saat itu, perhatian-perhatiannya tak pernah surut. Entah itu sekadar menyapaku di koridor atau memastikan aku baik-baik saja di tengah hiruk pikuk sekolah, Elang selalu ada.Dan sekarang, setelah insiden tadi di lapangan, aku semakin tak bisa menghilangkan bayangannya dari pikiranku. Cara dia dengan mudah menyuapiku dan tatapan hangatnya saat aku merasa lemah tadi... apakah dia hanya bersikap baik padaku? Atau memang ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhat

    Last Updated : 2025-02-26
  • SUAMIKU SAINGANKU   Sisi Lain Arga

    Aku segera meletakkan tasku di sofa dan mencoba mengalihkan suasana yang canggung."Ibu, maafkan Arga, dia pasti lelah," kataku, berusaha tersenyum. "Ibu mau minum apa? Aku bisa buatkan teh atau kopi."Ibu Arga menatapku dengan lembut, meski matanya sedikit sayu. "Tidak apa-apa, Rila. Aku mengerti sifat Arga." Dia menghela napas pelan. "Teh saja, ya."Aku mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sambil menyiapkan teh, pikiranku berkecamuk. Rasanya hubungan ini begitu jauh dari apa yang aku bayangkan ketika menikah dengan Arga. Hubungan yang semula kuharapkan membawa kebahagiaan kini malah dipenuhi jarak yang dingin dan pertengkaran yang seolah tiada habisnya.Saat kembali dengan secangkir teh hangat, ibu Arga masih duduk di sana, menatap kosong ke arah tangga tempat Arga tadi menghilang. Aku duduk di sebelahnya, meletakkan cangkir di atas meja."Ibu, aku benar-benar minta maaf soal Arga. Aku tahu ini tidak mudah..."Ibu Arga menoleh padaku, kali ini dengan senyum yang tidak biasa. "Tidak

    Last Updated : 2025-02-26

Latest chapter

  • SUAMIKU SAINGANKU   Pesan Tak Terjawab

    Arga melepaskan ciumannya dan menatapku dengan ekspresi campur aduk. "Bau apa ini?" tanyanya, matanya melotot dengan heran.Aku langsung mendorongnya, merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Aku tidak sebau itu!" kataku tegas sambil cepat-cepat mencium bau tubuhku.Mungkin aku memang tidak wangi, tapi tidak seburuk itu, kan?"Rilla!!"Teriakan Arga mengalihkan perhatianku. Dia melesat ke dapur, matanya lebar penuh kekhawatiran saat melihat api yang menyala dari kompor."Astaga!" teriakku, mengikuti langkahnya. Di dalam dapur, asap mulai memenuhi ruangan, dan panik menjalar di antara kami.Arga segera berusaha memadamkan api yang semakin membesar, tangannya bergerak cepat. Aku meraih sekop di sudut dan menyiramkan air dari wadah yang ada, berusaha membantu."Cepat, Rilla! Di sebelah kiri!" Arga memberi instruksi, suaranya tegas meski terlihat stres."Oke, oke!" jawabku, berusaha tetap fokus. Kami bekerja sama, meski ada rasa canggung setelah momen sebelumnya.Setelah beberapa menit yang pen

  • SUAMIKU SAINGANKU   Sisi Lain Arga

    Aku segera meletakkan tasku di sofa dan mencoba mengalihkan suasana yang canggung."Ibu, maafkan Arga, dia pasti lelah," kataku, berusaha tersenyum. "Ibu mau minum apa? Aku bisa buatkan teh atau kopi."Ibu Arga menatapku dengan lembut, meski matanya sedikit sayu. "Tidak apa-apa, Rila. Aku mengerti sifat Arga." Dia menghela napas pelan. "Teh saja, ya."Aku mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sambil menyiapkan teh, pikiranku berkecamuk. Rasanya hubungan ini begitu jauh dari apa yang aku bayangkan ketika menikah dengan Arga. Hubungan yang semula kuharapkan membawa kebahagiaan kini malah dipenuhi jarak yang dingin dan pertengkaran yang seolah tiada habisnya.Saat kembali dengan secangkir teh hangat, ibu Arga masih duduk di sana, menatap kosong ke arah tangga tempat Arga tadi menghilang. Aku duduk di sebelahnya, meletakkan cangkir di atas meja."Ibu, aku benar-benar minta maaf soal Arga. Aku tahu ini tidak mudah..."Ibu Arga menoleh padaku, kali ini dengan senyum yang tidak biasa. "Tidak

  • SUAMIKU SAINGANKU   Bayangan di Antara Kita

    Aku kembali ke kelas, tapi pikiran dan hatiku masih tertinggal di ruang UKS. Elang. Namanya terus terngiang di kepalaku, membayangi setiap langkahku. Berbicara tentangnya seolah tak pernah ada ujungnya, karena dia adalah satu-satunya orang yang selalu perhatian padaku sejak awal masuk sekolah.Setiap tatapan, senyum, dan caranya memperlakukan aku dengan lembut, selalu membuatku merasa istimewa. Aku teringat saat pertama kali bertemu dengannya, bagaimana dia tanpa ragu menawarkan bantuan ketika aku kebingungan mencari kelas.Sejak saat itu, perhatian-perhatiannya tak pernah surut. Entah itu sekadar menyapaku di koridor atau memastikan aku baik-baik saja di tengah hiruk pikuk sekolah, Elang selalu ada.Dan sekarang, setelah insiden tadi di lapangan, aku semakin tak bisa menghilangkan bayangannya dari pikiranku. Cara dia dengan mudah menyuapiku dan tatapan hangatnya saat aku merasa lemah tadi... apakah dia hanya bersikap baik padaku? Atau memang ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhat

  • SUAMIKU SAINGANKU   Terikat Tanpa Cinta

    Saat bel pertama berbunyi, aku baru saja melangkah memasuki gerbang sekolah. Aku segera berlari menuju ruang kelas dan melihat Arga berdiri di depan pintu, dengan ekspresi yang sama cemasnya. Kami saling bertatapan, seolah tidak percaya bahwa kami terlambat untuk pertama kalinya."Kita tidak terlambat, kan?" tanyaku, berusaha mengurangi rasa malu."Menurutmu?" jawab Arga sambil menatap jam tangannya dengan serius. "Sepertinya kita akan kena hukuman.""Ah, aku tidak pernah terlambat seperti ini," keluhku dengan kesal."Ya, semua gara-gara kamu," jawab Arga, nada suaranya penuh ketegangan. "Kalau saja kamu tidak menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi, kita tidak akan terlambat."Aku menatapnya dengan tak percaya. "Aku? Lagipula, kamu juga tidak memberikan penjelasan tentang berapa lama kamu akan berada di kamar mandi."Arga menghela napas, wajahnya menunjukkan frustrasi. "Aku juga tidak tahu kamu akan berganti pakaian sebanyak itu. Ada cara lebih cepat untuk siap pergi, kamu tah

  • SUAMIKU SAINGANKU   Ketua OSIS Dingin

    Hari itu adalah hari pertamaku masuk sekolah sebagai murid baru. Dengan langkah mantap, aku turun dari taksi dan memandang gedung sekolah yang megah di depanku. Sekolah ini tidak asing bagiku, aku sudah melihatnya di foto-foto yang kuterima saat pendaftaran. Tapi rasanya berbeda saat aku benar-benar berdiri di depannya.Aku tak pernah menyangka bisa bersekolah di sini. Sekolah yang hanya bisa di masuki oleh kalangan elite, sekarang menjadi tempatku belajar. Rasa bahagiaku mengalahkan rasa penasaran yang sebelumnya menghantui pikiranku.Kenapa kedua orang tuaku tiba-tiba memindahkan aku ke sini? Padahal mereka hanya pekerja paruh waktu biasa.Aku menarik napas panjang dan melirik jam tangan. "Aduh! Kelasku!" Aku mulai panik.Jam pelajaran pertama hampir dimulai, dan aku belum tahu di mana kelasku. Dengan buru-buru, aku berlari menuju gedung utama, berharap tidak terlambat.Namun, tiba-tiba saja, langkahku terhenti ketika kakiku tersandung. Aku terjatuh dengan keras ke lantai, map beris

  • SUAMIKU SAINGANKU   Pernikahan yang Tak Diinginkan

    "Saudara Arga, apakah Anda menerima Rila sebagai istri Anda dengan sepenuh hati?" suara penghulu menggema di ruangan.Ruangan ini, yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah terasa seperti penjara bagiku. Suara gemerincing perhiasan dan bisik-bisik tamu hanya jadi latar belakang dari ketegangan yang kualami saat ini.Arga berdiri di depan altar dengan sikap tenang dan tampan. Dia mengenakan jas hitam yang pas, dan tatapannya tetap dingin, seolah pernikahan ini cuma rutinitas yang harus dijalani.Aku tidak bisa menahan rasa kesal saat memandangnya. Rasanya Arga lebih seperti lawan hidupku daripada calon suami."Ya, saya terima," jawab Arga, suaranya tegas dan tanpa emosi.Giliran aku tiba. Tangan penghulunya meraih tangan Arga, dan dia menatapku dengan tatapan dingin seolah pernikahan ini tidak ada artinya. Aku merasa seperti boneka yang dipindahkan dari satu panggung ke panggung lainnya.Penghulu mulai melafalkan ijab qabul. "Saudari Rila, apakah Anda menerima Arga sebagai suami Anda, d

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status