Arga melepaskan ciumannya dan menatapku dengan ekspresi campur aduk. "Bau apa ini?" tanyanya, matanya melotot dengan heran.
Aku langsung mendorongnya, merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Aku tidak sebau itu!" kataku tegas sambil cepat-cepat mencium bau tubuhku. Mungkin aku memang tidak wangi, tapi tidak seburuk itu, kan? "Rilla!!" Teriakan Arga mengalihkan perhatianku. Dia melesat ke dapur, matanya lebar penuh kekhawatiran saat melihat api yang menyala dari kompor. "Astaga!" teriakku, mengikuti langkahnya. Di dalam dapur, asap mulai memenuhi ruangan, dan panik menjalar di antara kami. Arga segera berusaha memadamkan api yang semakin membesar, tangannya bergerak cepat. Aku meraih sekop di sudut dan menyiramkan air dari wadah yang ada, berusaha membantu. "Cepat, Rilla! Di sebelah kiri!" Arga memberi instruksi, suaranya tegas meski terlihat stres. "Oke, oke!" jawabku, berusaha tetap fokus. Kami bekerja sama, meski ada rasa canggung setelah momen sebelumnya. Setelah beberapa menit yang penuh ketegangan, akhirnya kami berhasil memadamkan api. Kami terengah-engah, saling menatap dengan ekspresi campur aduk. "Jadi, siapa yang melakukan ini?" Arga berkata, mencoba memecah suasana tegang. "Itu... mungkin aku lupa mematikan kompor setelah memasak air tadi," jawabku sambil tertawa malu. Arga menggelengkan kepalanya, senyum di wajahnya muncul. "Kamu benar-benar membuat hidupku jadi lebih menarik, Rilla." Aku benar-benar tidak percaya, seorang Arga yang dingin kini bisa tersenyum kepadaku. Senyum itu, meski masih samar, berhasil menghangatkan suasana. Rasanya seperti menemukan celah dalam dinding tebal yang selama ini menghalangi kami berdua. "Arga, aku..." kataku pelan, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Jangan bilang apa-apa," dia memotong, namun suara lembutnya membantuku merasa lebih tenang. "Aku juga tidak mau berpikir terlalu jauh." Kami terdiam sejenak. Tadi, aku sempat khawatir semuanya akan menjadi semakin rumit setelah pertikaian dengan ibunya. Tapi sekarang, aku bisa merasakan bahwa di balik sikap dinginnya, ada sisi lain dari Arga yang ingin ia tunjukkan. "Mau lanjut masak atau mau pesen makanan?" tanyanya, mengalihkan perhatian ke dapur yang masih berantakan. "Kayaknya lebih baik pesan aja. Kita sudah cukup membuat kekacauan di sini," balasku sambil tertawa kecil, merasa lega. Dia mengangguk, matanya masih menatapku dengan intens. "Ayo, kita pesen." Aku mengambil ponselku dan mulai mencari menu. Dalam hati, aku berharap agar momen ini tidak berakhir terlalu cepat. Rasanya, semakin lama aku bersama Arga, semakin banyak sisi baru yang bisa kulihat darinya. Setelah beberapa menit memilih makanan, aku menyodorkan ponsel ke arahnya. "Kita bisa pesen ini, bagaimana?" "Oke, bagus. Tapi kita bagi-bagi bayarnya, ya," katanya, senyumnya masih menghiasi wajahnya. "Deal." Jawabku, dan kami pun tertawa. Setelah aku mengganti seragam, makanan sudah tiba. Sayangnya, aku merasa seperti akan makan sendirian di sini. Arga? Tentu saja dia sibuk dengan buku-bukunya yang berserakan di meja. Matanya terpaku pada halaman-halaman itu, seolah seluruh dunia ini tidak ada artinya selain buku-buku di hadapannya. "Arga, makanan sudah datang," seruku, mencoba menarik perhatiannya. Dia mengangkat kepalanya, tetapi hanya sekilas, lalu kembali fokus pada bukunya. Aku menghela napas, sedikit kesal. "Yuk, makan bareng. Nggak seru kalau makan sendirian." Akhirnya, Arga menutup bukunya dan memandang makanan itu. "Baiklah, kalau kamu insist," ujarnya sambil bangkit dari kursi. Aku tersenyum puas saat dia duduk di sampingku, meski sempat merasa dia melakukannya hanya untuk menghindari protes lebih lanjut. Aku mengambil piring dan mulai menyajikan makanan untuknya. "Kamu harus coba ini," kataku, menyuapkan sedikit makanan ke arah mulutnya. Dia terdiam sejenak, kemudian mengambil suapan itu dengan agak canggung. "Lumayan," katanya, mencoba menyembunyikan senyum. "Tapi jangan harap aku bakal bilang ini enak." "Menyebalkan," balasku, tertawa. "Setidaknya, aku berusaha." Makan malam kami terasa lebih hidup setelah sedikit canda tawa. Aku mencoba mengajaknya berbicara tentang hal-hal ringan, tapi Arga tetap terkesan dingin. "Jadi, apa rencanamu setelah ini? Masih mau belajar?" tanyaku, berharap bisa menarik perhatiannya lebih dalam. "Mungkin," jawabnya sambil mengambil ponsel dan mulai mengecek sesuatu. "Suka-suka kamu, Arga," sahutku, sedikit kesal. Setelah makan malam selesai, kami berdua akhirnya duduk di meja belajar yang terletak di sudut ruangan. Buku-buku berserakan di sekitar kami, dan suasana di antara kami terasa tegang meskipun kami mencoba untuk fokus belajar. "Oke, jadi kita mulai dari mana?" tanyaku, membuka buku matematika yang terlihat rumit. "Kita harus bahas soal ini dulu," Arga menjawab, menunjuk salah satu soal yang aku anggap sulit. "Tapi kamu harus bisa fokus. Jangan lagi melamun seperti tadi." "Melamun? Aku sedang berpikir!" sahutku, sedikit kesal. "Jangan anggap semua orang itu sepertimu yang selalu bisa konsentrasi." Dia mengangkat alisnya, menatapku dengan ekspresi skeptis. "Oh, jadi sekarang aku yang salah? Coba saja lihat hasil ujianmu minggu lalu." "Hasil ujian bukan hanya karena satu faktor, Arga!" aku balas, merasa darahku mulai mendidih. "Kamu juga tidak bisa terus-menerus mengandalkan kepintaranmu sendiri!" "Ini bukan soal kepintaran, Rila. Ini tentang usaha! Kalau kamu mau, ya berusaha. Kalau tidak, ya terus saja begini." Sambil mengerutkan dahi, aku berusaha menahan emosiku. "Kamu ini menganggap dirimu lebih baik dari orang lain, ya?" "Bukan begitu, Rila. Tapi kadang aku merasa kita butuh mendorong satu sama lain. Itu akan lebih baik untuk kita berdua," katanya, suaranya menjadi lebih tenang. Aku menghela napas, berusaha meredakan ketegangan. "Baiklah, mungkin kamu ada benarnya. Tapi cara kamu mengatakannya kadang terlalu keras." Dia terdiam sejenak, memandangi buku di depannya. "Oke, aku akan berusaha lebih sabar. Tapi kamu juga harus berusaha lebih keras, ya?" "Deal." Aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, sedikit tersenyum. Meskipun persaingan kami tidak akan pernah hilang, aku merasa ada kemajuan di antara kami. Kami mulai belajar dengan lebih fokus, meskipun adu argumen tetap muncul di tengah jalan. "Nah, sekarang coba kerjakan soal ini," Arga berkata, melemparkan buku ke arahku. "Lihat, gampang kan?" "Gampang? Hanya karena kamu bisa mengerjakannya, bukan berarti aku bisa!" aku berargumen, tapi tanpa kehilangan senyum. Kami terus berdebat, namun kali ini terasa lebih ringan. Di tengah setiap adu argumen, ada perasaan saling menghargai yang perlahan tumbuh, dan itu membuatku merasa bahwa meskipun kami adalah saingan, kami juga bisa menjadi rekan yang baik. Tiba-tiba, ponsel Arga bergetar, menganggu fokusku. Aku menatap ponsel Arga yang tergeletak di meja, getarannya memecah keheningan ruangan. Nama "Viona" terpampang jelas di layar, membuat jantungku berdegup lebih cepat. "Siapa dia?" Pikiranku mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung. Namun, rasa takut lebih kuat daripada rasa penasaranku, sehingga aku tak berani menyentuh ponsel itu. Tapi kemudian, sebuah pesan lain muncul, membuatku membeku di tempat. "Arga, sampai kapan kamu akan menghindar? Kita tidak benar-benar putus, kan?" Aku menelan ludah, perasaan tak nyaman menjalari tubuhku. Jadi, ada wanita lain? Apa yang sebenarnya terjadi antara Arga dan Viona? Pikiran liar mulai bermunculan, dan tanpa sadar tanganku mulai gemetar. Aku tahu aku tak seharusnya peduli, tapi pesan itu seolah menjadi sebuah peringatan keras bahwa aku sebenarnya tak sepenuhnya mengenal suamiku. Arga kembali dari kamar mandi, rambutnya masih basah. "Kamu sudah selesai?" tanyanya sambil berjalan mendekat. Aku mendongak dengan senyum yang dipaksakan, mencoba mengabaikan apa yang baru saja kulihat. "Belum, soal ini susah," jawabku pelan, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang kini menguasai diriku. Ponsel Arga kembali menyala, memancarkan cahaya yang menarik perhatianku. Dengan gerakan cepat, dia meraihnya, membaca pesan yang masuk dengan ekspresi yang langsung berubah dingin. Tanpa berkata-kata, Arga segera memasukkan ponselnya ke dalam saku, seolah ingin mengakhiri percakapan tanpa penjelasan. Suasana yang tadinya sedikit lebih hangat kini kembali membeku, seperti tembok tinggi yang tak bisa kutembus. "Kita akhiri saja belajarnya," kata Arga dengan nada datar. Dia berbalik, meninggalkanku begitu saja di ruang belajar. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, perasaan sesak memenuhi dadaku. Kata-katanya singkat, tapi rasanya seperti ribuan jarak terentang kembali di antara kami. Hanya satu pesan, satu nama, dan semuanya berubah. Siapa Viona?Keesokan harinya, ketika aku terbangun, kamar terasa sunyi dan kosong. Arga sudah tidak ada di sana. Aku melirik jam di meja samping tempat tidur, masih menunjukkan jam 6 pagi.Biasanya, Arga masih ada di rumah atau setidaknya di kamar pada waktu seperti ini. Tapi kali ini, tidak ada jejaknya sama sekali. Selimutnya sudah dilipat rapi di sisi ranjang, dan meja belajarnya kosong, seolah dia sudah berangkat lebih awal.Aku bangkit dari tempat tidur, mencoba mengusir rasa penasaran itu, tapi semakin kuabaikan, semakin kuat pertanyaan itu menghantui pikiranku. Aku membuka mataku lebih lebar dan melihat secarik kertas tergeletak di atas meja. Tulisan tangan Arga yang rapi terpampang di sana."Aku berangkat lebih dulu, pastikan kamu tidak terlambat lagi."Aku menghela napas. Begitulah Arga, selalu dingin dan teratur, seolah tidak ada hal lain yang lebih penting selain ketepatan waktu dan kesempurnaan. Meski begitu, ada sesuatu yang aneh dari caranya per
Aku masih ingat dengan jelas hari pertama aku bertemu Elang. Saat itu, aku baru saja dipindahkan ke sekolah ini, dan semuanya terasa asing bagiku. Saat wali kelas memperkenalkanku kepada seluruh siswa, aku merasa gugup, tidak tahu harus bersikap bagaimana.Tapi ketika jam istirahat tiba dan wali kelasku memperkenalkan Elang sebagai ketua OSIS, rasa gugup itu berubah menjadi sesuatu yang berbeda."Hai, Rilla. Aku Elang," ucapnya sambil tersenyum hangat.Sejenak, aku terpaku. Elang, dengan postur tegap dan senyum ramahnya, terlihat begitu sempurna di mataku. Rambutnya yang rapi, sorot matanya yang lembut namun penuh percaya diri, semuanya membuatku terpesona dalam sekejap. Aku ingin mengatakan sesuatu, mungkin sekadar balasan untuk menyapanya, tapi rasanya seperti kata-kata tersangkut di tenggorokanku."Kamu murid baru, ya? Nggak perlu canggung. Sekolah ini asik kok," lanjutnya dengan santai, suaranya terdengar tenang dan bersahabat.Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kikuk. Kam
"Ril, tapi kamu beneran nggak tahu kalau Elang pacar Ericka?" tanya Silvia, suaranya terdengar prihatin sambil merangkul pundakku dan mengajakku berjalan menuju kelas.Aku hanya bisa menggeleng pelan, masih merasa bingung dengan semua yang baru saja terjadi. "Nggak tahu, Vi. Aku beneran nggak tahu. Elang nggak pernah ngomong apa-apa soal itu."Silvia mendesah, "Ya ampun, Ril. Kamu harus lebih hati-hati. Ericka itu tipe orang yang nggak main-main kalau soal cowoknya."Aku menelan ludah, memikirkan kemungkinan kalau Elang selama ini menyembunyikan hubungan mereka dariku. "Tapi, Elang nggak pernah kasih tanda apa-apa. Aku juga nggak pernah ngelihat mereka berdua deket."Silvia menghela napas panjang, "Itu masalahnya, Ril. Ericka nggak bakal diam aja kalau tahu kamu sering bareng Elang. Kamu harus jaga jarak dari dia sebelum masalahnya makin besar."Aku hanya bisa mengangguk, meski dalam hati, masih ada ribuan pertanyaan yang berkecamuk. Apa
Hari itu, aku mulai menjaga jarak dari Elang. Setiap kali dia mencoba mendekat, aku selalu mencari alasan untuk pergi. Aku tidak ingin terlihat mencurigakan di mata Ericka atau orang lain. Tapi meskipun aku berusaha keras, rasa bersalah terus menghantui. Elang pasti merasa aneh dengan sikapku yang tiba-tiba berubah.Beberapa hari kemudian, aku melihat Elang berdiri di depan kelas, menungguku. Aku berusaha menghindar, tapi dia memanggilku dengan suara keras."Ril, tunggu!" katanya sambil menghampiriku.Aku memaksakan senyum, meskipun hatiku berdebar kencang. "Ada apa, Elang?"Elang menatapku dengan raut bingung. "Kenapa kamu kayak ngehindar dari aku belakangan ini? Aku salah apa?"Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana aku bisa menjelaskan semuanya tanpa membuat situasi semakin buruk?"Enggak kok, aku cuma sibuk aja," jawabku akhirnya, berusaha terdengar santai.Tapi Elang tidak terlihat puas. "Ril, aku tahu ada sesuatu. Kalau ada masalah, k
Aku sedang asyik membaca buku di bangkuku, mencoba mengabaikan dunia luar yang terus-menerus mengacaukan pikiranku. Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Aku mendongak, dan di sana berdiri Arga, dengan ekspresi yang sulit kuartikan."Rilla," panggilnya, suaranya terdengar serius.Aku mengerutkan kening. "Apa?" tanyaku tanpa minat, berpikir dia akan melontarkan komentar sarkastik seperti biasanya.Tapi yang terjadi berikutnya membuatku hampir menjatuhkan bukuku."Kamu mau jadi pacarku?" ucapnya lantang, begitu jelas hingga semua orang di kelas yang tadinya sibuk langsung terdiam.Aku terpaku. Kelas hening. Bahkan aku bisa merasakan tatapan tajam dari semua teman sekelas yang menatap kami dengan wajah tak percaya. Mereka tahu betul hubungan kami, aku dan Arga bukan sekadar tidak akur, kami musuh bebuyutan."Kamu... ngomong apa barusan?" Aku mencoba memastikan aku tidak salah dengar."Jadi pacarku!" ulangnya, kali ini dengan nada lebih tenang. Matanya menatapku tanpa ragu, seolah dia b
Setiba di rumah, aku langsung mengomel pada Arga, merasa frustasi dengan kejadian tadi di sekolah dan sikapnya yang acuh. Tanpa bisa menahan diri, aku melemparkan tas ke sofa dengan kasar. "Arga... Kamu pikir ini lucu?" kataku, suaraku mulai meninggi, mencerminkan amarah yang sudah lama terkumpul. Arga tidak langsung menanggapi. Dia tetap diam, seolah-olah aku tidak sedang berdiri di depannya, kesal dan bingung. Tanpa sepatah kata pun, dia melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja, lalu duduk dengan tenang, menatap layar ponselnya. Sikap acuhnya semakin membuatku merasa tidak dihargai. "Kamu sudah baca grup chat keluarga kan? Kita akan makan malam bersama," katanya akhirnya, seolah-olah mengalihkan perhatian dari percakapan yang baru saja kami mulai. Aku terdiam sejenak. Apa dia tidak paham betapa kesalnya aku dengan apa yang terjadi? Aku mencoba menahan diri, namun tak bisa menahan perasaan frustrasi yang semakin menumpuk. Aku merasa seperti diabaikan. "Kamu... tidak menjaw
Makan malam keluarga pun tiba, rumah yang biasanya sepi karena hanya ada aku dan Arga yang berjauhan, kini lebih ramai. Keluarga besar kami berkumpul, meski hanya orang tuaku yang duduk di meja makan, suasananya tetap terasa lebih hidup. Suasana canggung ini terasa semakin nyata saat Ibu mulai membuka percakapan. "Rilla, bagaimana persiapan ujianmu? Sudah belajar cukup?" tanyanya sambil menyodorkan sepiring sayur ke arahku dengan senyuman lembut.Aku tahu bahwa meskipun pertanyaan itu terkesan ringan, Ibu selalu khawatir dengan segala hal yang kujalani.Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Bu. Hanya masih ada beberapa materi yang perlu aku pelajari lagi."Arga yang duduk di seberang meja, sepertinya tidak ingin ketinggalan, ikut menimpali. "Tenang saja, Rilla. Semua pasti akan baik-baik saja kalau kamu fokus," ujarnya dengan santai, mencoba memberikan semangat.Ibu tersenyum dan menatap Arga. "Arga, kamu juga sudah siap ujian? Kelihatannya akhir-akhir ini kamu lebih sering sibuk," tan
Kami terbangun di pagi hari dengan suasana yang lebih ceria dan hangat dari biasanya. Aku merasa seakan semua yang terjadi kemarin malam menghapus kebekuan yang selama ini ada di antara kami.Arga bangun lebih dulu, tampak sedikit bingung sejenak, sebelum akhirnya matanya bertemu denganku. Ada senyum tipis di wajahnya, yang meskipun sederhana, aku bisa merasakan kehangatan yang berbeda.Kami tidak mengucapkan kata-kata berlebihan, hanya saling memberikan tatapan yang penuh arti, seolah mengatakan bahwa segala sesuatu bisa dimulai dengan cara yang lebih baik.Aku duduk di meja makan, menikmati sarapan yang sederhana. Suasana pagi itu tidak seperti biasanya. Lebih hidup, lebih ceria, seolah ada sebuah awal baru yang menanti. Percakapan ringan tentang kegiatan sekolah dan ujian, ditambah dengan tawa-tawa kecil, membuat suasana semakin terasa hangat.Arga yang biasanya pendiam, kali ini terlihat lebih santai, seakan ada sisi lain dari dirinya yang mulai terbuka."Arga, kamu siap untuk uji
Aku duduk di meja makan, berusaha menenangkan pikiranku yang masih kacau. Suasana ruang makan terasa begitu normal, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya di kamar. Ibuku sibuk menyendokkan nasi ke piring, sementara ayah hanya fokus pada makanannya. Arga duduk di seberangku, sesekali menatapku tanpa berkata apa-apa.Aku berusaha untuk tetap tenang, tapi bayangan kejadian tadi terus menghantui pikiranku. Sentuhan tangannya, tatapan matanya, dan kata-kata yang ia ucapkan sebelum kami turun membuat dadaku terasa sesak. Apa maksudnya dengan ‘nanti kita selesaikan’? Apa yang ingin dia katakan sebenarnya?“Kamu kenapa, Rilla?” tanya ibu tiba-tiba, membuatku tersentak. “Dari tadi diam saja, nggak biasanya.”Aku buru-buru menggeleng dan tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma capek saja.”Ibuku mengangguk, tampaknya menerima jawabanku begitu saja. Aku melirik ke arah Arga, berharap dia tidak akan mengatakan apa pun yang bisa memperumit situasi. Namun, dia hanya tetap diam, menyendok makan
Aku duduk di samping Arga, menyandarkan punggungku ke sandaran tempat tidur, sementara dia tetap diam menatap lantai. Ada ketegangan di antara kami, namun aku tahu malam ini adalah saat yang tepat untuk berbicara."Arga," panggilku pelan, menoleh ke arahnya. "Kamu mau dengar ceritaku?"Dia menoleh padaku, matanya tetap tenang namun penuh rasa ingin tahu. Tidak ada anggukan, tidak ada kata setuju, tapi aku tahu dia bersedia mendengar. Jadi, aku mulai bercerita."Ibuku hanyalah seorang asisten rumah tangga. Ayahku? Dia karyawan kantor biasa. Gaji mereka tidak pernah cukup untuk kami bertiga. Aku tumbuh dengan melihat ibu bekerja keras di rumah orang lain, mencuci, menyetrika, dan membersihkan rumah. Ayahku juga selalu pulang dengan wajah lelah, tapi kami selalu mencoba untuk tetap bahagia."Aku berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. Arga masih diam, namun aku bisa merasakan fokusnya hanya padaku."Tiba-tiba saja, aku bisa sekolah di tempat yan
Arga duduk di sofa kecil kamarku, pandangannya kosong menatap lantai. Aku jarang melihatnya seperti ini, terlihat lemah dan rapuh, seperti membawa beban yang terlalu berat untuk dipikul sendiri.Untuk pertama kalinya, aku melihatnya benar-benar manusiawi, bukan sosok keras dan dingin yang biasa aku temui."Aku nggak pernah cerita ini ke siapa pun," katanya akhirnya, suaranya rendah, hampir berbisik. "Tapi kalau aku nggak cerita sekarang, aku takut kamu salah paham terus tentang semuanya."Aku mengangguk pelan, menunggu dia melanjutkan."Ibuku..." Arga berhenti sejenak, menarik napas panjang. "Dia ninggalin aku waktu aku masih kecil. Hidup kami susah, Rilla. Aku sama ayahku waktu itu cuma punya cukup uang buat makan sehari-hari. Ibuku pergi karena dia nggak tahan hidup seperti itu. Dia ingin lebih. Dia ingin sesuatu yang nggak bisa diberikan ayahku saat itu."Aku tertegun, tidak menyangka. "Dia meninggalkan kamu? Padahal waktu itu kamu masih kecil?" tanyaku pelan, nyaris tidak percaya.
Aku dan Arga duduk bersebelahan di ujung tempat tidur, suasana kamar yang hening hanya diiringi suara detak jam dinding. Setelah mengganti pakaian basah kami, tak ada satu pun dari kami yang bicara.Aku masih mencerna fakta bahwa Arga benar-benar mengajakku menginap di rumah orang tuaku malam ini. Rumah sederhana yang penuh kenangan, jauh dari kemewahan rumah besar yang diberikan oleh orang tuanya."Aku nggak nyangka kamu bakal nyaman di sini," akhirnya aku membuka percakapan, mencoba memecah kebisuan.Arga menatap ke arahku, senyumnya samar, tetapi ada kehangatan di sana. "Kenapa nggak nyaman? Rumah ini jauh lebih hidup daripada rumah besar itu. Kamu tahu, kadang aku merasa kosong tinggal di sana."Aku menatap wajahnya yang serius. "Tapi... kamu kan terbiasa dengan semua hal besar dan mewah. Tidur di kasur kecil begini mungkin nggak biasa buatmu."Dia tertawa kecil, tapi matanya tetap serius. "Rilla, bukan soal besar atau kecil. Kadang aku lebih pengen rumah yang terasa seperti ini-r
Elang mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah kotak kecil berwarna biru muda. Dengan hati-hati, dia membukanya dan menghadapkannya padaku. Aku terkejut saat melihat isinya. Es krim dengan beberapa topping buah segar di atasnya."Aku tadi abis mampir ke supermarket, dan lihat ini... Mungkin bisa bikin suasana hatimu sedikit lebih baik," katanya dengan senyum ringan, meskipun aku bisa melihat kegelisahan di balik mata cokelatnya.Aku menatap es krim itu, lalu beralih menatap Elang. Caranya bicara, dan suaranya yang lebih lembut dari biasanya. Biasanya dia selalu santai dan terkesan main-main, tapi kali ini dia berbeda.Aku terdiam sejenak, lalu mengambil es krim itu dari tangannya. "Terima kasih, Elang," jawabku pelan, sedikit tersenyum. "Tapi kamu yakin ini bisa membuatku merasa lebih baik?"Elang mengangguk, tatapannya lembut. "Terkadang, hal-hal kecil seperti ini bisa membantu, Rilla. Aku nggak tahu apa yang sedang kamu hadapi, tapi mungkin sedikit waktu untuk menikmati sesuatu yang
Aku menatap Arga dengan tatapan penuh tanya, menunggu dia menyangkal ucapan perempuan itu. Tapi dia tetap diam, wajahnya kaku, dan sorot matanya menghindari milikku.Viona. Nama itu terasa asing, tapi caranya menyebut nama itu... seolah ada cerita panjang di baliknya. Perempuan bernama Viona itu menatap Arga dengan mata yang masih berkaca-kaca, sementara aku hanya berdiri di ambang pintu, bingung dengan situasi yang baru saja terjadi."Aku mencarimu, Arga," katanya pelan. "Aku tahu aku salah, tapi... aku tidak punya tempat lain untuk pergi."Aku berdeham, mencoba menghilangkan rasa sesak di dadaku. "Maaf, bisa jelaskan siapa kamu sebenarnya?" tanyaku, mencoba menjaga nada suaraku tetap sopan meskipun jantungku berdebar keras.Viona menoleh ke arahku, seolah baru menyadari keberadaanku. "Aku..." dia terdiam sejenak, tampak ragu. "Aku adalah orang yang seharusnya ada di sisi Arga."Perkataannya membuat darahku mendidih, tapi aku menahan diri. "Maksudmu?""Rilla, masuk ke dalam. Ini buka
Berita tentang aku dan Arga yang menjalin hubungan menjadi topik hangat di sekolah. Setiap lorong yang kulewati, bisik-bisik itu tak pernah berhenti. Ada yang tertawa geli, ada yang penasaran, dan ada pula yang terlihat iri.Aku mencoba mengabaikannya, meski rasanya sulit untuk tidak memikirkan bagaimana reaksi semua orang, terutama Ericka. Aku tahu, dia tidak akan tinggal diam.Benar saja, berita itu akhirnya sampai juga ke telinganya. Tatapan Ericka padaku di kantin berubah menjadi lebih tajam, seperti pisau yang siap menusuk kapan saja. Dia tidak langsung bicara atau menyerangku seperti biasanya, tapi aku tahu dia sedang merencanakan sesuatu.Hari itu, setelah jam pelajaran selesai, aku pergi ke gudang sekolah untuk mencari beberapa alat peraga yang diminta oleh guru. Gudang itu sunyi, sedikit berdebu, dan penerangannya redup. Aku sibuk mencari barang-barang di rak, tidak memperhatikan keadaan sekitar. Tiba-tiba, suara pintu yang ditutup keras mengagetkanku."Brak!"Aku berbalik, t
Kami terbangun di pagi hari dengan suasana yang lebih ceria dan hangat dari biasanya. Aku merasa seakan semua yang terjadi kemarin malam menghapus kebekuan yang selama ini ada di antara kami.Arga bangun lebih dulu, tampak sedikit bingung sejenak, sebelum akhirnya matanya bertemu denganku. Ada senyum tipis di wajahnya, yang meskipun sederhana, aku bisa merasakan kehangatan yang berbeda.Kami tidak mengucapkan kata-kata berlebihan, hanya saling memberikan tatapan yang penuh arti, seolah mengatakan bahwa segala sesuatu bisa dimulai dengan cara yang lebih baik.Aku duduk di meja makan, menikmati sarapan yang sederhana. Suasana pagi itu tidak seperti biasanya. Lebih hidup, lebih ceria, seolah ada sebuah awal baru yang menanti. Percakapan ringan tentang kegiatan sekolah dan ujian, ditambah dengan tawa-tawa kecil, membuat suasana semakin terasa hangat.Arga yang biasanya pendiam, kali ini terlihat lebih santai, seakan ada sisi lain dari dirinya yang mulai terbuka."Arga, kamu siap untuk uji
Makan malam keluarga pun tiba, rumah yang biasanya sepi karena hanya ada aku dan Arga yang berjauhan, kini lebih ramai. Keluarga besar kami berkumpul, meski hanya orang tuaku yang duduk di meja makan, suasananya tetap terasa lebih hidup. Suasana canggung ini terasa semakin nyata saat Ibu mulai membuka percakapan. "Rilla, bagaimana persiapan ujianmu? Sudah belajar cukup?" tanyanya sambil menyodorkan sepiring sayur ke arahku dengan senyuman lembut.Aku tahu bahwa meskipun pertanyaan itu terkesan ringan, Ibu selalu khawatir dengan segala hal yang kujalani.Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Bu. Hanya masih ada beberapa materi yang perlu aku pelajari lagi."Arga yang duduk di seberang meja, sepertinya tidak ingin ketinggalan, ikut menimpali. "Tenang saja, Rilla. Semua pasti akan baik-baik saja kalau kamu fokus," ujarnya dengan santai, mencoba memberikan semangat.Ibu tersenyum dan menatap Arga. "Arga, kamu juga sudah siap ujian? Kelihatannya akhir-akhir ini kamu lebih sering sibuk," tan