Aku segera meletakkan tasku di sofa dan mencoba mengalihkan suasana yang canggung.
"Ibu, maafkan Arga, dia pasti lelah," kataku, berusaha tersenyum. "Ibu mau minum apa? Aku bisa buatkan teh atau kopi." Ibu Arga menatapku dengan lembut, meski matanya sedikit sayu. "Tidak apa-apa, Rila. Aku mengerti sifat Arga." Dia menghela napas pelan. "Teh saja, ya." Aku mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sambil menyiapkan teh, pikiranku berkecamuk. Rasanya hubungan ini begitu jauh dari apa yang aku bayangkan ketika menikah dengan Arga. Hubungan yang semula kuharapkan membawa kebahagiaan kini malah dipenuhi jarak yang dingin dan pertengkaran yang seolah tiada habisnya. Saat kembali dengan secangkir teh hangat, ibu Arga masih duduk di sana, menatap kosong ke arah tangga tempat Arga tadi menghilang. Aku duduk di sebelahnya, meletakkan cangkir di atas meja. "Ibu, aku benar-benar minta maaf soal Arga. Aku tahu ini tidak mudah..." Ibu Arga menoleh padaku, kali ini dengan senyum yang tidak biasa. "Tidak apa, Rila. Aku tahu Arga anak yang sulit. Tapi ibu percaya, dengan waktu, semuanya bisa berubah." Dia menatapku dalam, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Aku mengangguk, meskipun dalam hati masih penuh keraguan. Mampukah hubungan kami benar-benar berubah? Tiba-tiba, ibu Arga melontarkan pertanyaan yang begitu menikam, membuat suasana mendadak terasa sesak. "Bagaimana rasanya menikah dengan pria kaya? Hidupmu begitu terjamin ya, Rila, sampai tidak perlu membayar biaya sekolah." Aku tersentak, merasa darahku berhenti mengalir sesaat. Kata-katanya menusuk lebih tajam dari yang bisa kubayangkan. "Aku..." Dia memotong dengan nada dingin. "Kamu tidak tahu, ya, atau berpura-pura? Orang tuamu itu punya banyak hutang! Arga yang menanggung semuanya. Pikirkan itu, Rila. Apa kamu benar-benar pantas untuk anakku?" Aku menelan ludah, mencoba menahan gemuruh dalam dada. "Ibu... aku tidak tahu soal hutang orang tuaku. Dan aku juga tidak pernah meminta Arga untuk menanggung apa pun. Pernikahan ini, semua yang terjadi... bukan sepenuhnya keinginanku." Tatapannya tetap tajam, tidak melunak sedikit pun. "Kamu harus sadar diri, Rila. Hidup bersama Arga bukan hanya tentang cinta, kamu pasti mengincar uangnya, kan?" Aku menunduk, merasakan beratnya kata-kata itu. Pernikahan kami memang jauh dari kesempurnaan, bahkan hubungan ini terasa seperti beban yang terus menekan dadaku. Namun, tuduhan ibu Arga menambah luka yang lebih dalam. Dengan gemetar, aku mencoba mempertahankan ketenangan. "Aku tidak seperti itu, Bu. Aku tidak pernah ingin jadi beban bagi Arga atau siapa pun." Ibu Arga mendesah, matanya tidak lagi setajam tadi, meski tetap tidak sepenuhnya lembut. "Waktu yang akan menunjukkan apakah kamu mampu bertahan di dunia yang tidak seindah yang kamu bayangkan." Kata-katanya menggantung di udara, meninggalkan aku dengan rasa cemas yang semakin dalam. Saat ibu Arga melontarkan kata-kata yang lebih menusuk, tiba-tiba suara keras menggema dari arah tangga. "Cukup!" Aku dan ibu Arga sontak menoleh. Di sana, Arga berdiri di ujung anak tangga, wajahnya penuh dengan ketegasan. Ia menuruni tangga dengan langkah cepat, sorot matanya tajam tertuju pada ibunya. Tanpa basa-basi, Arga melemparkan sebuah amplop di hadapan ibunya. "Kau bisa pergi," ucapnya dingin, seolah tanpa beban. Ibu Arga tertegun, matanya bergerak dari amplop itu ke wajah Arga. "Apa maksudmu, Arga?" nada suaranya mulai melemah, kehilangan ketajaman yang sebelumnya menusukku. "Ini," Arga menunjuk amplop itu, "Mulai sekarang, kau tak perlu menghina dia lagi soal itu. Urusan kita sudah selesai." Ibu Arga terdiam, tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Matanya seakan memancarkan kekecewaan, tapi dia tidak membantah. "Arga, aku hanya ingin kamu sadar siapa yang sedang kamu... " "Aku sadar, dan aku tidak peduli. Ini hidupku, bukan milikmu," potong Arga tajam, matanya tak sekalipun melunak. Suasana tegang memenuhi ruang tamu. Aku hanya bisa diam, terkejut dengan pembelaan Arga yang tak terduga. Sebelumnya, aku selalu berpikir dia tak peduli, bahkan mungkin merasa terbebani dengan pernikahan ini. Tapi kali ini, dia membela aku. Ibu Arga meraih amplop itu dengan gerakan angkuh, matanya menyipit menatap Arga, lalu beralih padaku dengan pandangan penuh amarah sebelum berbalik meninggalkan rumah tanpa sepatah kata lagi. Ketika pintu tertutup di belakangnya, aku merasa ruangan ini seolah baru saja terbebas dari tekanan besar. Aku memandangi Arga yang masih berdiri di tempat, bahunya tegang. "Arga... kamu nggak harus melakukan itu," kataku pelan, suaraku hampir tak terdengar. Arga menatapku sejenak, kemudian dengan dingin menjawab, "Bukan untukmu. Aku melakukannya untuk menjaga nama baik keluarga." Jawabannya kembali dingin dan tajam, membuatku tersadar bahwa mungkin, pembelaannya tadi bukan tentang perasaan, melainkan tanggung jawab dan harga diri. "Meskipun begitu, kamu tidak seharusnya kasar pada ibumu," kataku, mencoba menenangkan situasi. Arga tiba-tiba menoleh, matanya memancarkan kemarahan yang lebih dalam. Dia mendekat dengan langkah cepat, membuatku mundur hingga tubuhku terhempas ke sofa. "Ibu?" katanya, suaranya rendah namun menusuk. "Ibu mana yang tega membuang anaknya sendiri?" Aku terdiam, tak mampu berkata-kata. Napas Arga memburu, kemarahannya begitu nyata di hadapanku. "Jangan bicara soal ibu kalau kamu nggak tahu apa-apa," lanjutnya, suaranya penuh kepedihan yang selama ini terselubung di balik sikap dinginnya. Aku menelan ludah, ingin membalas tapi lidahku kelu. Kata-katanya seakan membawa beban luka yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Sikap dinginnya selama ini ternyata lebih dari sekadar jarak. Ada sesuatu yang lebih dalam dan lebih gelap yang menghantuinya. "Aku... Maafkan aku..." ujarku pelan, berusaha menahan getaran suaraku. Arga terhenti sejenak, matanya yang tajam menatapku penuh pertanyaan. Sepertinya dia tidak mengharapkan permintaan maaf itu. "Maafkan kamu?" katanya, nada suaranya mulai melunak meski kemarahan itu masih tersisa. "Kamu bahkan tidak tahu apa yang sudah aku lalui. Kenapa meminta maaf?" Aku merasakan hati ini bergetar. "Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Aku hanya..." "Hanya apa?" tanyanya, terdengar lebih tegas. "Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada di sini meskipun situasinya mungkin sulit," kataku dengan tulus. "Aku tidak akan pergi. Aku ingin... bisa mendukungmu." Senyum kecil muncul di wajahnya, meski ada kesedihan yang tak dapat ditutupi. "Mendukung? Dalam hal apa? Aku sudah terbiasa berdiri sendiri." "Tapi kamu tidak perlu sendiri sekarang. Kita bisa menjalani ini bersama-sama. Kita sudah menikah, kan?" Kedua mata Arga terfokus padaku, dan seolah ada dinding yang mulai retak di antara kami. "Kamu... benar," katanya pelan, menyentuh bahuku dengan lembut. "Tapi bagaimana caranya?" "Biar aku bantu," ujarku, harapanku membara. Aku meraih leher Arga dengan lembut, menatap matanya yang penuh keraguan. Dalam detik-detik yang terasa panjang itu, keberanian mengalir dalam diriku. "Kita sudah menikah," pikirku, seolah itu menjadi mantra yang menguatkanku. Dengan sedikit mengatur napas, aku memberanikan diri untuk mendekat. Bibirku menyentuh bibirnya, lembut dan penuh harapan. Awalnya, dia terkejut, namun perlahan dia merespons, menyambut kehangatanku. Rasa takutku mulai memudar, tergantikan oleh perasaan nyaman dan hangat yang mengalir di antara kami. "Ini bukan hanya tentang pernikahan, ini tentang kita," pikirku. Arga menarikku lebih dekat, pelukannya mengelilingiku, menciptakan perlindungan di antara kami. Dia mengecupku kembali, kali ini lebih dalam, seolah ingin menyampaikan semua perasaannya yang selama ini terpendam. Semua keraguan dan ketegangan seolah menghilang. Aku tersenyum dalam hati, menyadari bahwa mungkin, dengan langkah ini, kami bisa menemukan jalan baru dalam pernikahan yang tak terduga ini. "Kita bisa menghadapi semua ini bersama," batinku.Arga melepaskan ciumannya dan menatapku dengan ekspresi campur aduk. "Bau apa ini?" tanyanya, matanya melotot dengan heran.Aku langsung mendorongnya, merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Aku tidak sebau itu!" kataku tegas sambil cepat-cepat mencium bau tubuhku.Mungkin aku memang tidak wangi, tapi tidak seburuk itu, kan?"Rilla!!"Teriakan Arga mengalihkan perhatianku. Dia melesat ke dapur, matanya lebar penuh kekhawatiran saat melihat api yang menyala dari kompor."Astaga!" teriakku, mengikuti langkahnya. Di dalam dapur, asap mulai memenuhi ruangan, dan panik menjalar di antara kami.Arga segera berusaha memadamkan api yang semakin membesar, tangannya bergerak cepat. Aku meraih sekop di sudut dan menyiramkan air dari wadah yang ada, berusaha membantu."Cepat, Rilla! Di sebelah kiri!" Arga memberi instruksi, suaranya tegas meski terlihat stres."Oke, oke!" jawabku, berusaha tetap fokus. Kami bekerja sama, meski ada rasa canggung setelah momen sebelumnya.Setelah beberapa menit yang pen
Keesokan harinya, ketika aku terbangun, kamar terasa sunyi dan kosong. Arga sudah tidak ada di sana. Aku melirik jam di meja samping tempat tidur, masih menunjukkan jam 6 pagi.Biasanya, Arga masih ada di rumah atau setidaknya di kamar pada waktu seperti ini. Tapi kali ini, tidak ada jejaknya sama sekali. Selimutnya sudah dilipat rapi di sisi ranjang, dan meja belajarnya kosong, seolah dia sudah berangkat lebih awal.Aku bangkit dari tempat tidur, mencoba mengusir rasa penasaran itu, tapi semakin kuabaikan, semakin kuat pertanyaan itu menghantui pikiranku. Aku membuka mataku lebih lebar dan melihat secarik kertas tergeletak di atas meja. Tulisan tangan Arga yang rapi terpampang di sana."Aku berangkat lebih dulu, pastikan kamu tidak terlambat lagi."Aku menghela napas. Begitulah Arga, selalu dingin dan teratur, seolah tidak ada hal lain yang lebih penting selain ketepatan waktu dan kesempurnaan. Meski begitu, ada sesuatu yang aneh dari caranya per
Aku masih ingat dengan jelas hari pertama aku bertemu Elang. Saat itu, aku baru saja dipindahkan ke sekolah ini, dan semuanya terasa asing bagiku. Saat wali kelas memperkenalkanku kepada seluruh siswa, aku merasa gugup, tidak tahu harus bersikap bagaimana.Tapi ketika jam istirahat tiba dan wali kelasku memperkenalkan Elang sebagai ketua OSIS, rasa gugup itu berubah menjadi sesuatu yang berbeda."Hai, Rilla. Aku Elang," ucapnya sambil tersenyum hangat.Sejenak, aku terpaku. Elang, dengan postur tegap dan senyum ramahnya, terlihat begitu sempurna di mataku. Rambutnya yang rapi, sorot matanya yang lembut namun penuh percaya diri, semuanya membuatku terpesona dalam sekejap. Aku ingin mengatakan sesuatu, mungkin sekadar balasan untuk menyapanya, tapi rasanya seperti kata-kata tersangkut di tenggorokanku."Kamu murid baru, ya? Nggak perlu canggung. Sekolah ini asik kok," lanjutnya dengan santai, suaranya terdengar tenang dan bersahabat.Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kikuk. Kam
"Ril, tapi kamu beneran nggak tahu kalau Elang pacar Ericka?" tanya Silvia, suaranya terdengar prihatin sambil merangkul pundakku dan mengajakku berjalan menuju kelas.Aku hanya bisa menggeleng pelan, masih merasa bingung dengan semua yang baru saja terjadi. "Nggak tahu, Vi. Aku beneran nggak tahu. Elang nggak pernah ngomong apa-apa soal itu."Silvia mendesah, "Ya ampun, Ril. Kamu harus lebih hati-hati. Ericka itu tipe orang yang nggak main-main kalau soal cowoknya."Aku menelan ludah, memikirkan kemungkinan kalau Elang selama ini menyembunyikan hubungan mereka dariku. "Tapi, Elang nggak pernah kasih tanda apa-apa. Aku juga nggak pernah ngelihat mereka berdua deket."Silvia menghela napas panjang, "Itu masalahnya, Ril. Ericka nggak bakal diam aja kalau tahu kamu sering bareng Elang. Kamu harus jaga jarak dari dia sebelum masalahnya makin besar."Aku hanya bisa mengangguk, meski dalam hati, masih ada ribuan pertanyaan yang berkecamuk. Apa
Hari itu, aku mulai menjaga jarak dari Elang. Setiap kali dia mencoba mendekat, aku selalu mencari alasan untuk pergi. Aku tidak ingin terlihat mencurigakan di mata Ericka atau orang lain. Tapi meskipun aku berusaha keras, rasa bersalah terus menghantui. Elang pasti merasa aneh dengan sikapku yang tiba-tiba berubah.Beberapa hari kemudian, aku melihat Elang berdiri di depan kelas, menungguku. Aku berusaha menghindar, tapi dia memanggilku dengan suara keras."Ril, tunggu!" katanya sambil menghampiriku.Aku memaksakan senyum, meskipun hatiku berdebar kencang. "Ada apa, Elang?"Elang menatapku dengan raut bingung. "Kenapa kamu kayak ngehindar dari aku belakangan ini? Aku salah apa?"Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana aku bisa menjelaskan semuanya tanpa membuat situasi semakin buruk?"Enggak kok, aku cuma sibuk aja," jawabku akhirnya, berusaha terdengar santai.Tapi Elang tidak terlihat puas. "Ril, aku tahu ada sesuatu. Kalau ada masalah, k
Aku sedang asyik membaca buku di bangkuku, mencoba mengabaikan dunia luar yang terus-menerus mengacaukan pikiranku. Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Aku mendongak, dan di sana berdiri Arga, dengan ekspresi yang sulit kuartikan."Rilla," panggilnya, suaranya terdengar serius.Aku mengerutkan kening. "Apa?" tanyaku tanpa minat, berpikir dia akan melontarkan komentar sarkastik seperti biasanya.Tapi yang terjadi berikutnya membuatku hampir menjatuhkan bukuku."Kamu mau jadi pacarku?" ucapnya lantang, begitu jelas hingga semua orang di kelas yang tadinya sibuk langsung terdiam.Aku terpaku. Kelas hening. Bahkan aku bisa merasakan tatapan tajam dari semua teman sekelas yang menatap kami dengan wajah tak percaya. Mereka tahu betul hubungan kami, aku dan Arga bukan sekadar tidak akur, kami musuh bebuyutan."Kamu... ngomong apa barusan?" Aku mencoba memastikan aku tidak salah dengar."Jadi pacarku!" ulangnya, kali ini dengan nada lebih tenang. Matanya menatapku tanpa ragu, seolah dia b
Setiba di rumah, aku langsung mengomel pada Arga, merasa frustasi dengan kejadian tadi di sekolah dan sikapnya yang acuh. Tanpa bisa menahan diri, aku melemparkan tas ke sofa dengan kasar. "Arga... Kamu pikir ini lucu?" kataku, suaraku mulai meninggi, mencerminkan amarah yang sudah lama terkumpul. Arga tidak langsung menanggapi. Dia tetap diam, seolah-olah aku tidak sedang berdiri di depannya, kesal dan bingung. Tanpa sepatah kata pun, dia melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja, lalu duduk dengan tenang, menatap layar ponselnya. Sikap acuhnya semakin membuatku merasa tidak dihargai. "Kamu sudah baca grup chat keluarga kan? Kita akan makan malam bersama," katanya akhirnya, seolah-olah mengalihkan perhatian dari percakapan yang baru saja kami mulai. Aku terdiam sejenak. Apa dia tidak paham betapa kesalnya aku dengan apa yang terjadi? Aku mencoba menahan diri, namun tak bisa menahan perasaan frustrasi yang semakin menumpuk. Aku merasa seperti diabaikan. "Kamu... tidak menjaw
Makan malam keluarga pun tiba, rumah yang biasanya sepi karena hanya ada aku dan Arga yang berjauhan, kini lebih ramai. Keluarga besar kami berkumpul, meski hanya orang tuaku yang duduk di meja makan, suasananya tetap terasa lebih hidup. Suasana canggung ini terasa semakin nyata saat Ibu mulai membuka percakapan. "Rilla, bagaimana persiapan ujianmu? Sudah belajar cukup?" tanyanya sambil menyodorkan sepiring sayur ke arahku dengan senyuman lembut.Aku tahu bahwa meskipun pertanyaan itu terkesan ringan, Ibu selalu khawatir dengan segala hal yang kujalani.Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Bu. Hanya masih ada beberapa materi yang perlu aku pelajari lagi."Arga yang duduk di seberang meja, sepertinya tidak ingin ketinggalan, ikut menimpali. "Tenang saja, Rilla. Semua pasti akan baik-baik saja kalau kamu fokus," ujarnya dengan santai, mencoba memberikan semangat.Ibu tersenyum dan menatap Arga. "Arga, kamu juga sudah siap ujian? Kelihatannya akhir-akhir ini kamu lebih sering sibuk," tan
Aku duduk di meja makan, berusaha menenangkan pikiranku yang masih kacau. Suasana ruang makan terasa begitu normal, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya di kamar. Ibuku sibuk menyendokkan nasi ke piring, sementara ayah hanya fokus pada makanannya. Arga duduk di seberangku, sesekali menatapku tanpa berkata apa-apa.Aku berusaha untuk tetap tenang, tapi bayangan kejadian tadi terus menghantui pikiranku. Sentuhan tangannya, tatapan matanya, dan kata-kata yang ia ucapkan sebelum kami turun membuat dadaku terasa sesak. Apa maksudnya dengan ‘nanti kita selesaikan’? Apa yang ingin dia katakan sebenarnya?“Kamu kenapa, Rilla?” tanya ibu tiba-tiba, membuatku tersentak. “Dari tadi diam saja, nggak biasanya.”Aku buru-buru menggeleng dan tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma capek saja.”Ibuku mengangguk, tampaknya menerima jawabanku begitu saja. Aku melirik ke arah Arga, berharap dia tidak akan mengatakan apa pun yang bisa memperumit situasi. Namun, dia hanya tetap diam, menyendok makan
Aku duduk di samping Arga, menyandarkan punggungku ke sandaran tempat tidur, sementara dia tetap diam menatap lantai. Ada ketegangan di antara kami, namun aku tahu malam ini adalah saat yang tepat untuk berbicara."Arga," panggilku pelan, menoleh ke arahnya. "Kamu mau dengar ceritaku?"Dia menoleh padaku, matanya tetap tenang namun penuh rasa ingin tahu. Tidak ada anggukan, tidak ada kata setuju, tapi aku tahu dia bersedia mendengar. Jadi, aku mulai bercerita."Ibuku hanyalah seorang asisten rumah tangga. Ayahku? Dia karyawan kantor biasa. Gaji mereka tidak pernah cukup untuk kami bertiga. Aku tumbuh dengan melihat ibu bekerja keras di rumah orang lain, mencuci, menyetrika, dan membersihkan rumah. Ayahku juga selalu pulang dengan wajah lelah, tapi kami selalu mencoba untuk tetap bahagia."Aku berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. Arga masih diam, namun aku bisa merasakan fokusnya hanya padaku."Tiba-tiba saja, aku bisa sekolah di tempat yan
Arga duduk di sofa kecil kamarku, pandangannya kosong menatap lantai. Aku jarang melihatnya seperti ini, terlihat lemah dan rapuh, seperti membawa beban yang terlalu berat untuk dipikul sendiri.Untuk pertama kalinya, aku melihatnya benar-benar manusiawi, bukan sosok keras dan dingin yang biasa aku temui."Aku nggak pernah cerita ini ke siapa pun," katanya akhirnya, suaranya rendah, hampir berbisik. "Tapi kalau aku nggak cerita sekarang, aku takut kamu salah paham terus tentang semuanya."Aku mengangguk pelan, menunggu dia melanjutkan."Ibuku..." Arga berhenti sejenak, menarik napas panjang. "Dia ninggalin aku waktu aku masih kecil. Hidup kami susah, Rilla. Aku sama ayahku waktu itu cuma punya cukup uang buat makan sehari-hari. Ibuku pergi karena dia nggak tahan hidup seperti itu. Dia ingin lebih. Dia ingin sesuatu yang nggak bisa diberikan ayahku saat itu."Aku tertegun, tidak menyangka. "Dia meninggalkan kamu? Padahal waktu itu kamu masih kecil?" tanyaku pelan, nyaris tidak percaya.
Aku dan Arga duduk bersebelahan di ujung tempat tidur, suasana kamar yang hening hanya diiringi suara detak jam dinding. Setelah mengganti pakaian basah kami, tak ada satu pun dari kami yang bicara.Aku masih mencerna fakta bahwa Arga benar-benar mengajakku menginap di rumah orang tuaku malam ini. Rumah sederhana yang penuh kenangan, jauh dari kemewahan rumah besar yang diberikan oleh orang tuanya."Aku nggak nyangka kamu bakal nyaman di sini," akhirnya aku membuka percakapan, mencoba memecah kebisuan.Arga menatap ke arahku, senyumnya samar, tetapi ada kehangatan di sana. "Kenapa nggak nyaman? Rumah ini jauh lebih hidup daripada rumah besar itu. Kamu tahu, kadang aku merasa kosong tinggal di sana."Aku menatap wajahnya yang serius. "Tapi... kamu kan terbiasa dengan semua hal besar dan mewah. Tidur di kasur kecil begini mungkin nggak biasa buatmu."Dia tertawa kecil, tapi matanya tetap serius. "Rilla, bukan soal besar atau kecil. Kadang aku lebih pengen rumah yang terasa seperti ini-r
Elang mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah kotak kecil berwarna biru muda. Dengan hati-hati, dia membukanya dan menghadapkannya padaku. Aku terkejut saat melihat isinya. Es krim dengan beberapa topping buah segar di atasnya."Aku tadi abis mampir ke supermarket, dan lihat ini... Mungkin bisa bikin suasana hatimu sedikit lebih baik," katanya dengan senyum ringan, meskipun aku bisa melihat kegelisahan di balik mata cokelatnya.Aku menatap es krim itu, lalu beralih menatap Elang. Caranya bicara, dan suaranya yang lebih lembut dari biasanya. Biasanya dia selalu santai dan terkesan main-main, tapi kali ini dia berbeda.Aku terdiam sejenak, lalu mengambil es krim itu dari tangannya. "Terima kasih, Elang," jawabku pelan, sedikit tersenyum. "Tapi kamu yakin ini bisa membuatku merasa lebih baik?"Elang mengangguk, tatapannya lembut. "Terkadang, hal-hal kecil seperti ini bisa membantu, Rilla. Aku nggak tahu apa yang sedang kamu hadapi, tapi mungkin sedikit waktu untuk menikmati sesuatu yang
Aku menatap Arga dengan tatapan penuh tanya, menunggu dia menyangkal ucapan perempuan itu. Tapi dia tetap diam, wajahnya kaku, dan sorot matanya menghindari milikku.Viona. Nama itu terasa asing, tapi caranya menyebut nama itu... seolah ada cerita panjang di baliknya. Perempuan bernama Viona itu menatap Arga dengan mata yang masih berkaca-kaca, sementara aku hanya berdiri di ambang pintu, bingung dengan situasi yang baru saja terjadi."Aku mencarimu, Arga," katanya pelan. "Aku tahu aku salah, tapi... aku tidak punya tempat lain untuk pergi."Aku berdeham, mencoba menghilangkan rasa sesak di dadaku. "Maaf, bisa jelaskan siapa kamu sebenarnya?" tanyaku, mencoba menjaga nada suaraku tetap sopan meskipun jantungku berdebar keras.Viona menoleh ke arahku, seolah baru menyadari keberadaanku. "Aku..." dia terdiam sejenak, tampak ragu. "Aku adalah orang yang seharusnya ada di sisi Arga."Perkataannya membuat darahku mendidih, tapi aku menahan diri. "Maksudmu?""Rilla, masuk ke dalam. Ini buka
Berita tentang aku dan Arga yang menjalin hubungan menjadi topik hangat di sekolah. Setiap lorong yang kulewati, bisik-bisik itu tak pernah berhenti. Ada yang tertawa geli, ada yang penasaran, dan ada pula yang terlihat iri.Aku mencoba mengabaikannya, meski rasanya sulit untuk tidak memikirkan bagaimana reaksi semua orang, terutama Ericka. Aku tahu, dia tidak akan tinggal diam.Benar saja, berita itu akhirnya sampai juga ke telinganya. Tatapan Ericka padaku di kantin berubah menjadi lebih tajam, seperti pisau yang siap menusuk kapan saja. Dia tidak langsung bicara atau menyerangku seperti biasanya, tapi aku tahu dia sedang merencanakan sesuatu.Hari itu, setelah jam pelajaran selesai, aku pergi ke gudang sekolah untuk mencari beberapa alat peraga yang diminta oleh guru. Gudang itu sunyi, sedikit berdebu, dan penerangannya redup. Aku sibuk mencari barang-barang di rak, tidak memperhatikan keadaan sekitar. Tiba-tiba, suara pintu yang ditutup keras mengagetkanku."Brak!"Aku berbalik, t
Kami terbangun di pagi hari dengan suasana yang lebih ceria dan hangat dari biasanya. Aku merasa seakan semua yang terjadi kemarin malam menghapus kebekuan yang selama ini ada di antara kami.Arga bangun lebih dulu, tampak sedikit bingung sejenak, sebelum akhirnya matanya bertemu denganku. Ada senyum tipis di wajahnya, yang meskipun sederhana, aku bisa merasakan kehangatan yang berbeda.Kami tidak mengucapkan kata-kata berlebihan, hanya saling memberikan tatapan yang penuh arti, seolah mengatakan bahwa segala sesuatu bisa dimulai dengan cara yang lebih baik.Aku duduk di meja makan, menikmati sarapan yang sederhana. Suasana pagi itu tidak seperti biasanya. Lebih hidup, lebih ceria, seolah ada sebuah awal baru yang menanti. Percakapan ringan tentang kegiatan sekolah dan ujian, ditambah dengan tawa-tawa kecil, membuat suasana semakin terasa hangat.Arga yang biasanya pendiam, kali ini terlihat lebih santai, seakan ada sisi lain dari dirinya yang mulai terbuka."Arga, kamu siap untuk uji
Makan malam keluarga pun tiba, rumah yang biasanya sepi karena hanya ada aku dan Arga yang berjauhan, kini lebih ramai. Keluarga besar kami berkumpul, meski hanya orang tuaku yang duduk di meja makan, suasananya tetap terasa lebih hidup. Suasana canggung ini terasa semakin nyata saat Ibu mulai membuka percakapan. "Rilla, bagaimana persiapan ujianmu? Sudah belajar cukup?" tanyanya sambil menyodorkan sepiring sayur ke arahku dengan senyuman lembut.Aku tahu bahwa meskipun pertanyaan itu terkesan ringan, Ibu selalu khawatir dengan segala hal yang kujalani.Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Bu. Hanya masih ada beberapa materi yang perlu aku pelajari lagi."Arga yang duduk di seberang meja, sepertinya tidak ingin ketinggalan, ikut menimpali. "Tenang saja, Rilla. Semua pasti akan baik-baik saja kalau kamu fokus," ujarnya dengan santai, mencoba memberikan semangat.Ibu tersenyum dan menatap Arga. "Arga, kamu juga sudah siap ujian? Kelihatannya akhir-akhir ini kamu lebih sering sibuk," tan