Beranda / Romansa / SUAMIKU SAINGANKU / Bayangan di Antara Kita

Share

Bayangan di Antara Kita

Penulis: Nenghally
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-26 19:29:24

Aku kembali ke kelas, tapi pikiran dan hatiku masih tertinggal di ruang UKS. Elang. Namanya terus terngiang di kepalaku, membayangi setiap langkahku. Berbicara tentangnya seolah tak pernah ada ujungnya, karena dia adalah satu-satunya orang yang selalu perhatian padaku sejak awal masuk sekolah.

Setiap tatapan, senyum, dan caranya memperlakukan aku dengan lembut, selalu membuatku merasa istimewa. Aku teringat saat pertama kali bertemu dengannya, bagaimana dia tanpa ragu menawarkan bantuan ketika aku kebingungan mencari kelas.

Sejak saat itu, perhatian-perhatiannya tak pernah surut. Entah itu sekadar menyapaku di koridor atau memastikan aku baik-baik saja di tengah hiruk pikuk sekolah, Elang selalu ada.

Dan sekarang, setelah insiden tadi di lapangan, aku semakin tak bisa menghilangkan bayangannya dari pikiranku. Cara dia dengan mudah menyuapiku dan tatapan hangatnya saat aku merasa lemah tadi... apakah dia hanya bersikap baik padaku? Atau memang ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian biasa?

"Ah, sial!" Aku mengomel pada diriku sendiri, suara keluhanku teredam di antara riuh rendah suara kelas.

Punggung Arga yang membelakangiku terlihat kokoh, dan entah kenapa, setiap kali melihatnya, ada rasa yang sulit aku pahami. Tapi aku tersentak, diingatkan oleh kenyataan pahit yang tak bisa aku abaikan. Aku bukan lagi gadis lajang seperti dulu. Sejak pernikahan rahasia itu, hidupku berubah.

Semua tampak tak ada yang berubah dari luar, tapi di dalam hatiku, semuanya terasa berantakan. Bagaimana aku bisa tetap bersikap biasa di sekolah, menjalani hari-hariku seperti tak ada yang terjadi? Sementara di balik layar, aku terjebak dalam pernikahan yang tak pernah kuinginkan.

Setiap kali melihatnya, aku merasa semakin jauh dari diriku sendiri. Di sekolah, kami tampak seperti musuh. Di rumah, kami tampak seperti dua orang asing yang tinggal seatap.

"Ril, ngapain bengong?" tanya Silvia, teman sebangkuku.

"Gakpapa," jawabku sambil tersenyum, meski tidak benar-benar ingin tersenyum.

Aku segera duduk, mencoba mengabaikan perasaan campur aduk di kepalaku. Hari ini adalah pelajaran Matematika, dan aku tahu pasti ini akan menjadi ajang persaingan antara aku dan Arga.

"Baik, anak-anak, siapa yang bisa menyelesaikan soal di papan tulis ini?" Pak Arya, guru Matematika, melontarkan tantangannya.

Aku langsung menatap soal di papan tulis, rumit, seperti biasa. Tanpa ragu, aku mengangkat tangan bersamaan dengan Arga. Aku tahu dia juga melihat ini sebagai kesempatan untuk membuktikan bahwa dia masih yang terbaik.

"Rila, Arga, maju ke depan. Kita lihat siapa yang bisa menyelesaikan soal ini lebih cepat."

Aku bangkit dari kursi, dengan langkah percaya diri menuju papan tulis. Arga sudah ada di sebelahku, tatapan dinginnya tidak pernah meninggalkan soal. Dia selalu begitu, tenang, dingin, dan fokus. Kami berdua mulai menulis solusi masing-masing di papan, tangan kami bergerak cepat.

Aku bisa merasakan semua mata tertuju pada kami, seolah ini adalah pertandingan final yang ditunggu-tunggu. Suasana kelas mendadak sunyi. Hanya ada suara samar gesekan kapur di papan dan detak jantungku yang semakin cepat.

"Jangan terburu-buru," gumamku pada diri sendiri, berusaha menjaga fokus.

Namun, sudut mataku menangkap Arga yang sudah hampir menyelesaikan langkah terakhirnya. "Tidak mungkin!" aku mendesah dalam hati, mempercepat ritmeku.

"Tepat waktu," katanya sambil meletakkan kapur, menoleh ke arahku dengan senyum tipis yang nyaris provokatif.

Aku menyelesaikan soal hanya beberapa detik setelahnya, tapi rasanya sudah terlambat.

"Kita lihat hasilnya," Pak Arya mendekat, memeriksa papan, sebelum akhirnya beliau angkat bicara. "Keduanya benar. Tapi Arga menyelesaikan lebih cepat."

Aku menelan kekalahan kecil ini. "Ya, kali ini kamu menang, Arga," aku membatin. Tapi aku tahu, persaingan ini belum selesai.

Aku memperhatikan papan tulis sambil duduk kembali di kursiku. Meski Pak Arya mengatakan Arga benar, aku tahu tidak ada yang sempurna. Mata ini sudah terlatih untuk mencari celah, dan di sanalah kesalahan kecil Arga terlihat. Aku tersenyum tipis, merasa sedikit puas.

"Sayang sekali, kamu kurang fokus," kataku sambil berjalan ke papan tulis dan mencoret satu angka kecil di pojok hitungannya yang hampir tak terlihat.

Arga mendongak, menatapku dengan alis terangkat. Tatapannya masih dingin, tetapi aku bisa merasakan dia sedikit terganggu.

"Apa maksudmu?" katanya dengan nada datar.

Aku menahan senyum lebih lebar. "Ini, lihat." Aku menunjuk coretanku. "Angkamu salah di sini. Seharusnya 0,8, bukan 0,9. Kecil memang, tapi cukup untuk membuatmu kehilangan satu poin."

Dia melihat papan tulis lagi, matanya menyipit sesaat sebelum akhirnya dia mengangguk pelan, mengakui kesalahannya.

"Kamu memang suka cari masalah," gumamnya tanpa menatapku lagi, sibuk dengan bukunya.

Aku menyilangkan tangan di depan dada, merasa menang sedikit. "Bukannya cari masalah, aku hanya... membantumu, Arga. Supaya lain kali kamu benar-benar sempurna."

"Tak perlu," jawabnya cepat, tanpa memberi ruang untuk perdebatan. "Aku sudah cukup baik."

Aku mendekatkan wajahku ke arahnya sedikit, merasa lebih berani dari biasanya. "Yakin?"

Dia menatapku sekilas, lalu kembali fokus pada bukunya. "Terlalu yakin."

Aku menghela napas, merasa percakapan ini akan selalu berakhir begitu. Arga dan aku saling mengganggu, bersaing, tapi tak pernah benar-benar selesai. Aku kembali ke tempat dudukku, masih dengan senyum kecil di wajahku. Persaingan kami memang tiada akhir, tapi itu yang membuat semuanya menarik.

Sepulang sekolah, suasana di dalam mobil terasa begitu hening. Mungkin seharusnya aku bicara, memulai percakapan, tapi apa yang bisa kukatakan?

Sesampainya di rumah, keheningan tetap berlanjut. Kami turun dari mobil tanpa kata-kata, berjalan menuju pintu depan dengan langkah yang sama, tapi dengan jarak yang terasa begitu jauh. Bahkan ketika berada di bawah satu atap, rasanya seolah-olah tidak ada ikatan di antara kami.

Begitu kami masuk ke dalam rumah, kejutan tak terduga langsung menyambut. Di ruang tamu, ibu Arga sudah duduk dengan tenang, mertuaku yang jarang sekali berkunjung. Pandangannya langsung tertuju pada kami, dan seolah suasana yang sudah dingin berubah menjadi lebih tegang.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Arga langsung bertanya, suaranya dingin seperti biasanya.

Aku menahan napas, sedikit canggung melihat situasi ini. Arga dan ibunya memang tak pernah memiliki hubungan yang hangat, dan kehadirannya di sini jelas membuat Arga tidak nyaman.

"Ibu rasa rumah ini terlalu besar untuk kalian tinggali berdua, jadi..." ibunya mulai berbicara dengan nada lembut, tapi belum selesai dia menjelaskan, Arga sudah memotongnya.

"Jangan sok peduli," ucap Arga tajam sambil menaiki tangga, tak sedikit pun menoleh, "aku bisa mengurus diriku sendiri."

Aku hanya bisa berdiri terpaku, antara bingung dan tak tahu harus berkata apa. Ibu Arga menatap ke arahku dengan senyum tipis, seolah meminta pengertian, tapi suasana sudah telanjur kacau.

"Rila, kamu baik-baik saja?" tanyanya, mencoba mencairkan suasana.

Aku mengangguk pelan, meskipun sebenarnya hati ini terasa terhimpit oleh suasana tegang yang ditinggalkan oleh Arga.

Sungguh, hidup dengan seorang suami yang dingin dan hubungan keluarga yang rumit bukanlah hal yang mudah.

Bab terkait

  • SUAMIKU SAINGANKU   Sisi Lain Arga

    Aku segera meletakkan tasku di sofa dan mencoba mengalihkan suasana yang canggung."Ibu, maafkan Arga, dia pasti lelah," kataku, berusaha tersenyum. "Ibu mau minum apa? Aku bisa buatkan teh atau kopi."Ibu Arga menatapku dengan lembut, meski matanya sedikit sayu. "Tidak apa-apa, Rila. Aku mengerti sifat Arga." Dia menghela napas pelan. "Teh saja, ya."Aku mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sambil menyiapkan teh, pikiranku berkecamuk. Rasanya hubungan ini begitu jauh dari apa yang aku bayangkan ketika menikah dengan Arga. Hubungan yang semula kuharapkan membawa kebahagiaan kini malah dipenuhi jarak yang dingin dan pertengkaran yang seolah tiada habisnya.Saat kembali dengan secangkir teh hangat, ibu Arga masih duduk di sana, menatap kosong ke arah tangga tempat Arga tadi menghilang. Aku duduk di sebelahnya, meletakkan cangkir di atas meja."Ibu, aku benar-benar minta maaf soal Arga. Aku tahu ini tidak mudah..."Ibu Arga menoleh padaku, kali ini dengan senyum yang tidak biasa. "Tidak

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • SUAMIKU SAINGANKU   Pesan Tak Terjawab

    Arga melepaskan ciumannya dan menatapku dengan ekspresi campur aduk. "Bau apa ini?" tanyanya, matanya melotot dengan heran.Aku langsung mendorongnya, merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Aku tidak sebau itu!" kataku tegas sambil cepat-cepat mencium bau tubuhku.Mungkin aku memang tidak wangi, tapi tidak seburuk itu, kan?"Rilla!!"Teriakan Arga mengalihkan perhatianku. Dia melesat ke dapur, matanya lebar penuh kekhawatiran saat melihat api yang menyala dari kompor."Astaga!" teriakku, mengikuti langkahnya. Di dalam dapur, asap mulai memenuhi ruangan, dan panik menjalar di antara kami.Arga segera berusaha memadamkan api yang semakin membesar, tangannya bergerak cepat. Aku meraih sekop di sudut dan menyiramkan air dari wadah yang ada, berusaha membantu."Cepat, Rilla! Di sebelah kiri!" Arga memberi instruksi, suaranya tegas meski terlihat stres."Oke, oke!" jawabku, berusaha tetap fokus. Kami bekerja sama, meski ada rasa canggung setelah momen sebelumnya.Setelah beberapa menit yang pen

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12
  • SUAMIKU SAINGANKU   Pernikahan yang Tak Diinginkan

    "Saudara Arga, apakah Anda menerima Rila sebagai istri Anda dengan sepenuh hati?" suara penghulu menggema di ruangan.Ruangan ini, yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah terasa seperti penjara bagiku. Suara gemerincing perhiasan dan bisik-bisik tamu hanya jadi latar belakang dari ketegangan yang kualami saat ini.Arga berdiri di depan altar dengan sikap tenang dan tampan. Dia mengenakan jas hitam yang pas, dan tatapannya tetap dingin, seolah pernikahan ini cuma rutinitas yang harus dijalani.Aku tidak bisa menahan rasa kesal saat memandangnya. Rasanya Arga lebih seperti lawan hidupku daripada calon suami."Ya, saya terima," jawab Arga, suaranya tegas dan tanpa emosi.Giliran aku tiba. Tangan penghulunya meraih tangan Arga, dan dia menatapku dengan tatapan dingin seolah pernikahan ini tidak ada artinya. Aku merasa seperti boneka yang dipindahkan dari satu panggung ke panggung lainnya.Penghulu mulai melafalkan ijab qabul. "Saudari Rila, apakah Anda menerima Arga sebagai suami Anda, d

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23
  • SUAMIKU SAINGANKU   Ketua OSIS Dingin

    Hari itu adalah hari pertamaku masuk sekolah sebagai murid baru. Dengan langkah mantap, aku turun dari taksi dan memandang gedung sekolah yang megah di depanku. Sekolah ini tidak asing bagiku, aku sudah melihatnya di foto-foto yang kuterima saat pendaftaran. Tapi rasanya berbeda saat aku benar-benar berdiri di depannya.Aku tak pernah menyangka bisa bersekolah di sini. Sekolah yang hanya bisa di masuki oleh kalangan elite, sekarang menjadi tempatku belajar. Rasa bahagiaku mengalahkan rasa penasaran yang sebelumnya menghantui pikiranku.Kenapa kedua orang tuaku tiba-tiba memindahkan aku ke sini? Padahal mereka hanya pekerja paruh waktu biasa.Aku menarik napas panjang dan melirik jam tangan. "Aduh! Kelasku!" Aku mulai panik.Jam pelajaran pertama hampir dimulai, dan aku belum tahu di mana kelasku. Dengan buru-buru, aku berlari menuju gedung utama, berharap tidak terlambat.Namun, tiba-tiba saja, langkahku terhenti ketika kakiku tersandung. Aku terjatuh dengan keras ke lantai, map beris

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-24
  • SUAMIKU SAINGANKU   Terikat Tanpa Cinta

    Saat bel pertama berbunyi, aku baru saja melangkah memasuki gerbang sekolah. Aku segera berlari menuju ruang kelas dan melihat Arga berdiri di depan pintu, dengan ekspresi yang sama cemasnya. Kami saling bertatapan, seolah tidak percaya bahwa kami terlambat untuk pertama kalinya."Kita tidak terlambat, kan?" tanyaku, berusaha mengurangi rasa malu."Menurutmu?" jawab Arga sambil menatap jam tangannya dengan serius. "Sepertinya kita akan kena hukuman.""Ah, aku tidak pernah terlambat seperti ini," keluhku dengan kesal."Ya, semua gara-gara kamu," jawab Arga, nada suaranya penuh ketegangan. "Kalau saja kamu tidak menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi, kita tidak akan terlambat."Aku menatapnya dengan tak percaya. "Aku? Lagipula, kamu juga tidak memberikan penjelasan tentang berapa lama kamu akan berada di kamar mandi."Arga menghela napas, wajahnya menunjukkan frustrasi. "Aku juga tidak tahu kamu akan berganti pakaian sebanyak itu. Ada cara lebih cepat untuk siap pergi, kamu tah

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26

Bab terbaru

  • SUAMIKU SAINGANKU   Pesan Tak Terjawab

    Arga melepaskan ciumannya dan menatapku dengan ekspresi campur aduk. "Bau apa ini?" tanyanya, matanya melotot dengan heran.Aku langsung mendorongnya, merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Aku tidak sebau itu!" kataku tegas sambil cepat-cepat mencium bau tubuhku.Mungkin aku memang tidak wangi, tapi tidak seburuk itu, kan?"Rilla!!"Teriakan Arga mengalihkan perhatianku. Dia melesat ke dapur, matanya lebar penuh kekhawatiran saat melihat api yang menyala dari kompor."Astaga!" teriakku, mengikuti langkahnya. Di dalam dapur, asap mulai memenuhi ruangan, dan panik menjalar di antara kami.Arga segera berusaha memadamkan api yang semakin membesar, tangannya bergerak cepat. Aku meraih sekop di sudut dan menyiramkan air dari wadah yang ada, berusaha membantu."Cepat, Rilla! Di sebelah kiri!" Arga memberi instruksi, suaranya tegas meski terlihat stres."Oke, oke!" jawabku, berusaha tetap fokus. Kami bekerja sama, meski ada rasa canggung setelah momen sebelumnya.Setelah beberapa menit yang pen

  • SUAMIKU SAINGANKU   Sisi Lain Arga

    Aku segera meletakkan tasku di sofa dan mencoba mengalihkan suasana yang canggung."Ibu, maafkan Arga, dia pasti lelah," kataku, berusaha tersenyum. "Ibu mau minum apa? Aku bisa buatkan teh atau kopi."Ibu Arga menatapku dengan lembut, meski matanya sedikit sayu. "Tidak apa-apa, Rila. Aku mengerti sifat Arga." Dia menghela napas pelan. "Teh saja, ya."Aku mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sambil menyiapkan teh, pikiranku berkecamuk. Rasanya hubungan ini begitu jauh dari apa yang aku bayangkan ketika menikah dengan Arga. Hubungan yang semula kuharapkan membawa kebahagiaan kini malah dipenuhi jarak yang dingin dan pertengkaran yang seolah tiada habisnya.Saat kembali dengan secangkir teh hangat, ibu Arga masih duduk di sana, menatap kosong ke arah tangga tempat Arga tadi menghilang. Aku duduk di sebelahnya, meletakkan cangkir di atas meja."Ibu, aku benar-benar minta maaf soal Arga. Aku tahu ini tidak mudah..."Ibu Arga menoleh padaku, kali ini dengan senyum yang tidak biasa. "Tidak

  • SUAMIKU SAINGANKU   Bayangan di Antara Kita

    Aku kembali ke kelas, tapi pikiran dan hatiku masih tertinggal di ruang UKS. Elang. Namanya terus terngiang di kepalaku, membayangi setiap langkahku. Berbicara tentangnya seolah tak pernah ada ujungnya, karena dia adalah satu-satunya orang yang selalu perhatian padaku sejak awal masuk sekolah.Setiap tatapan, senyum, dan caranya memperlakukan aku dengan lembut, selalu membuatku merasa istimewa. Aku teringat saat pertama kali bertemu dengannya, bagaimana dia tanpa ragu menawarkan bantuan ketika aku kebingungan mencari kelas.Sejak saat itu, perhatian-perhatiannya tak pernah surut. Entah itu sekadar menyapaku di koridor atau memastikan aku baik-baik saja di tengah hiruk pikuk sekolah, Elang selalu ada.Dan sekarang, setelah insiden tadi di lapangan, aku semakin tak bisa menghilangkan bayangannya dari pikiranku. Cara dia dengan mudah menyuapiku dan tatapan hangatnya saat aku merasa lemah tadi... apakah dia hanya bersikap baik padaku? Atau memang ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhat

  • SUAMIKU SAINGANKU   Terikat Tanpa Cinta

    Saat bel pertama berbunyi, aku baru saja melangkah memasuki gerbang sekolah. Aku segera berlari menuju ruang kelas dan melihat Arga berdiri di depan pintu, dengan ekspresi yang sama cemasnya. Kami saling bertatapan, seolah tidak percaya bahwa kami terlambat untuk pertama kalinya."Kita tidak terlambat, kan?" tanyaku, berusaha mengurangi rasa malu."Menurutmu?" jawab Arga sambil menatap jam tangannya dengan serius. "Sepertinya kita akan kena hukuman.""Ah, aku tidak pernah terlambat seperti ini," keluhku dengan kesal."Ya, semua gara-gara kamu," jawab Arga, nada suaranya penuh ketegangan. "Kalau saja kamu tidak menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi, kita tidak akan terlambat."Aku menatapnya dengan tak percaya. "Aku? Lagipula, kamu juga tidak memberikan penjelasan tentang berapa lama kamu akan berada di kamar mandi."Arga menghela napas, wajahnya menunjukkan frustrasi. "Aku juga tidak tahu kamu akan berganti pakaian sebanyak itu. Ada cara lebih cepat untuk siap pergi, kamu tah

  • SUAMIKU SAINGANKU   Ketua OSIS Dingin

    Hari itu adalah hari pertamaku masuk sekolah sebagai murid baru. Dengan langkah mantap, aku turun dari taksi dan memandang gedung sekolah yang megah di depanku. Sekolah ini tidak asing bagiku, aku sudah melihatnya di foto-foto yang kuterima saat pendaftaran. Tapi rasanya berbeda saat aku benar-benar berdiri di depannya.Aku tak pernah menyangka bisa bersekolah di sini. Sekolah yang hanya bisa di masuki oleh kalangan elite, sekarang menjadi tempatku belajar. Rasa bahagiaku mengalahkan rasa penasaran yang sebelumnya menghantui pikiranku.Kenapa kedua orang tuaku tiba-tiba memindahkan aku ke sini? Padahal mereka hanya pekerja paruh waktu biasa.Aku menarik napas panjang dan melirik jam tangan. "Aduh! Kelasku!" Aku mulai panik.Jam pelajaran pertama hampir dimulai, dan aku belum tahu di mana kelasku. Dengan buru-buru, aku berlari menuju gedung utama, berharap tidak terlambat.Namun, tiba-tiba saja, langkahku terhenti ketika kakiku tersandung. Aku terjatuh dengan keras ke lantai, map beris

  • SUAMIKU SAINGANKU   Pernikahan yang Tak Diinginkan

    "Saudara Arga, apakah Anda menerima Rila sebagai istri Anda dengan sepenuh hati?" suara penghulu menggema di ruangan.Ruangan ini, yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah terasa seperti penjara bagiku. Suara gemerincing perhiasan dan bisik-bisik tamu hanya jadi latar belakang dari ketegangan yang kualami saat ini.Arga berdiri di depan altar dengan sikap tenang dan tampan. Dia mengenakan jas hitam yang pas, dan tatapannya tetap dingin, seolah pernikahan ini cuma rutinitas yang harus dijalani.Aku tidak bisa menahan rasa kesal saat memandangnya. Rasanya Arga lebih seperti lawan hidupku daripada calon suami."Ya, saya terima," jawab Arga, suaranya tegas dan tanpa emosi.Giliran aku tiba. Tangan penghulunya meraih tangan Arga, dan dia menatapku dengan tatapan dingin seolah pernikahan ini tidak ada artinya. Aku merasa seperti boneka yang dipindahkan dari satu panggung ke panggung lainnya.Penghulu mulai melafalkan ijab qabul. "Saudari Rila, apakah Anda menerima Arga sebagai suami Anda, d

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status