Keesokan harinya, ketika aku terbangun, kamar terasa sunyi dan kosong. Arga sudah tidak ada di sana. Aku melirik jam di meja samping tempat tidur, masih menunjukkan jam 6 pagi.
Biasanya, Arga masih ada di rumah atau setidaknya di kamar pada waktu seperti ini. Tapi kali ini, tidak ada jejaknya sama sekali. Selimutnya sudah dilipat rapi di sisi ranjang, dan meja belajarnya kosong, seolah dia sudah berangkat lebih awal. Aku bangkit dari tempat tidur, mencoba mengusir rasa penasaran itu, tapi semakin kuabaikan, semakin kuat pertanyaan itu menghantui pikiranku. Aku membuka mataku lebih lebar dan melihat secarik kertas tergeletak di atas meja. Tulisan tangan Arga yang rapi terpampang di sana. "Aku berangkat lebih dulu, pastikan kamu tidak terlambat lagi." Aku menghela napas. Begitulah Arga, selalu dingin dan teratur, seolah tidak ada hal lain yang lebih penting selain ketepatan waktu dan kesempurnaan. Meski begitu, ada sesuatu yang aneh dari caranya pergi pagi ini. Sambil merapikan diriku, pikiranku terus berputar. Apa yang membuatnya terburu-buru? Setelah selesai mandi, aku turun ke meja makan. Di sana, sudah ada sepiring roti panggang dan segelas susu yang tersusun rapi di meja, seolah disiapkan dengan sangat hati-hati. Aku berhenti sejenak, menatap sarapan yang tak terduga ini. Arga? Rasanya tidak mungkin. Dia bukan tipe orang yang peduli pada hal-hal kecil seperti ini, kan? Aku duduk, mengambil segelas susu dan menghirupnya perlahan. Meski dingin dan kaku, ada sisi lain dari Arga yang selalu membuatku penasaran. Arga selalu sibuk dengan dunianya sendiri, tapi pagi ini dia meninggalkan sarapan untukku. "Apakah ini caranya meminta maaf?" gumamku sendiri, sambil menatap kosong ke luar jendela. Tidak ada yang berubah secara signifikan, tapi perhatian kecil seperti ini membuatku merasa sedikit lebih hangat di tengah hubungan kami yang dingin. Aku tiba tepat waktu di sekolah, merasa lega karena kali ini tidak terlambat. Namun, begitu melangkah melewati gerbang, suara deru motor mendadak terdengar kencang dari belakang. "Awas!" seseorang berteriak. Aku tak sempat menghindar. Sebuah motor melesat cepat ke arahku. Tubuhku menegang, dan dalam sekejap, seseorang menarik lenganku, membuatku terhuyung ke samping. "Nggak bisa lihat, ya?" kata sebuah suara yang tak asing. Aku menoleh dan mendapati Arga berdiri di sampingku dengan tegang. "Arga?" Arga melepaskan genggaman tangannya dengan cepat, seolah merasa terganggu. Tatapan matanya kembali dingin, seperti biasa, meski aku sempat melihat sekilas kekhawatiran di wajahnya. Namun, seperti yang sudah ku duga, di sekolah, kami hanyalah dua orang asing yang bersaing. "Lain kali hati-hati," katanya tanpa emosi, lalu berbalik meninggalkanku begitu saja. Aku menatap punggungnya yang menjauh, rasa aneh menyeruak di dadaku. Benar, di sekolah kami bukan siapa-siapa. Tidak ada yang tahu bahwa di balik sikap dinginnya, kami terikat dalam pernikahan yang tak seorang pun tahu. Aku menatap pengendara motor itu dengan kaget. Saat dia melepaskan helmnya, wajahnya langsung terlihat, dan tanpa ragu, dia berlari ke arahku. "Rila, kamu gak apa-apa?" Suara Elang penuh kekhawatiran, sorot matanya cemas saat melihatku. Aku tertegun, tidak menyangka bertemu Elang dalam situasi seperti ini. "Aku baik-baik aja, cuma kaget." Elang berhenti tepat di depanku, napasnya sedikit terengah setelah berlari. Wajahnya masih menampilkan kekhawatiran yang sama. Tatapan matanya seperti memindai seluruh tubuhku, memastikan tidak ada luka atau hal lain yang membuatnya semakin cemas. "Serius gak apa-apa? Perlu ke UKS gak? Atau rumah sakit?" tanyanya lagi, kali ini suaranya sedikit lebih lembut, tapi tetap tegas. Dia memang selalu begitu, perhatian dan protektif, terutama ketika aku ada di dekatnya. Aku menggeleng cepat, mencoba menyembunyikan rasa canggung yang tiba-tiba muncul. "Gakpapa, Kak. I'm okay!" Aku tersenyum lemah, sambil perlahan melangkah mundur. Berusaha menjaga jarak, karena entah kenapa setiap kali dia terlalu dekat, aku merasa jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Elang masih menatapku, terlihat sedikit ragu. "Kamu yakin? Aku bisa anter kamu ke UKS atau minta izin guru biar kamu istirahat." "Nggak usah, beneran! Aku baik-baik aja," jawabku dengan sedikit gelisah. Aku melirik Arga yang masih berdiri tak jauh dari intu gerbang, diam mengawasi tanpa sedikit pun menunjukkan reaksi. Wajahnya datar seperti biasanya, tapi entah kenapa aku merasa tatapannya lebih dingin dari sebelumnya. Aku mencoba mengalihkan perhatianku dari Arga dan kembali menatap Elang yang masih berdiri di depanku. Aku tidak ingin membuat suasana jadi semakin aneh, apalagi di depan banyak siswa yang mulai memperhatikan kami. Sekilas, aku bisa mendengar bisikan-bisikan kecil dari teman-teman yang kebetulan lewat. "Kalau kamu ngerasa gak enak badan nanti, jangan sungkan buat bilang ya," ucap Elang akhirnya, menyerah setelah melihatku ngotot untuk tetap berdiri. Dia menatapku sejenak, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Ya udah, kamu hati-hati ya. Aku harus buru-buru ke lapangan." Aku mengangguk pelan, mencoba tersenyum lebih meyakinkan. "Makasih ya, Kak." Setelah itu, Elang pergi, tapi aku bisa merasakan banyak mata yang masih memperhatikan kami. Aku melirik sekali lagi ke arah Arga. Dia sudah berbalik, berjalan menjauh dengan langkah panjangnya yang tenang tapi penuh ketegasan. Aku menghela napas panjang. Apa yang sebenarnya terjadi barusan? Kenapa ada perasaan aneh yang mengganggu di antara Elang, Arga, dan aku?Aku masih ingat dengan jelas hari pertama aku bertemu Elang. Saat itu, aku baru saja dipindahkan ke sekolah ini, dan semuanya terasa asing bagiku. Saat wali kelas memperkenalkanku kepada seluruh siswa, aku merasa gugup, tidak tahu harus bersikap bagaimana.Tapi ketika jam istirahat tiba dan wali kelasku memperkenalkan Elang sebagai ketua OSIS, rasa gugup itu berubah menjadi sesuatu yang berbeda."Hai, Rilla. Aku Elang," ucapnya sambil tersenyum hangat.Sejenak, aku terpaku. Elang, dengan postur tegap dan senyum ramahnya, terlihat begitu sempurna di mataku. Rambutnya yang rapi, sorot matanya yang lembut namun penuh percaya diri, semuanya membuatku terpesona dalam sekejap. Aku ingin mengatakan sesuatu, mungkin sekadar balasan untuk menyapanya, tapi rasanya seperti kata-kata tersangkut di tenggorokanku."Kamu murid baru, ya? Nggak perlu canggung. Sekolah ini asik kok," lanjutnya dengan santai, suaranya terdengar tenang dan bersahabat.Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kikuk. Kam
"Ril, tapi kamu beneran nggak tahu kalau Elang pacar Ericka?" tanya Silvia, suaranya terdengar prihatin sambil merangkul pundakku dan mengajakku berjalan menuju kelas.Aku hanya bisa menggeleng pelan, masih merasa bingung dengan semua yang baru saja terjadi. "Nggak tahu, Vi. Aku beneran nggak tahu. Elang nggak pernah ngomong apa-apa soal itu."Silvia mendesah, "Ya ampun, Ril. Kamu harus lebih hati-hati. Ericka itu tipe orang yang nggak main-main kalau soal cowoknya."Aku menelan ludah, memikirkan kemungkinan kalau Elang selama ini menyembunyikan hubungan mereka dariku. "Tapi, Elang nggak pernah kasih tanda apa-apa. Aku juga nggak pernah ngelihat mereka berdua deket."Silvia menghela napas panjang, "Itu masalahnya, Ril. Ericka nggak bakal diam aja kalau tahu kamu sering bareng Elang. Kamu harus jaga jarak dari dia sebelum masalahnya makin besar."Aku hanya bisa mengangguk, meski dalam hati, masih ada ribuan pertanyaan yang berkecamuk. Apa
Hari itu, aku mulai menjaga jarak dari Elang. Setiap kali dia mencoba mendekat, aku selalu mencari alasan untuk pergi. Aku tidak ingin terlihat mencurigakan di mata Ericka atau orang lain. Tapi meskipun aku berusaha keras, rasa bersalah terus menghantui. Elang pasti merasa aneh dengan sikapku yang tiba-tiba berubah.Beberapa hari kemudian, aku melihat Elang berdiri di depan kelas, menungguku. Aku berusaha menghindar, tapi dia memanggilku dengan suara keras."Ril, tunggu!" katanya sambil menghampiriku.Aku memaksakan senyum, meskipun hatiku berdebar kencang. "Ada apa, Elang?"Elang menatapku dengan raut bingung. "Kenapa kamu kayak ngehindar dari aku belakangan ini? Aku salah apa?"Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana aku bisa menjelaskan semuanya tanpa membuat situasi semakin buruk?"Enggak kok, aku cuma sibuk aja," jawabku akhirnya, berusaha terdengar santai.Tapi Elang tidak terlihat puas. "Ril, aku tahu ada sesuatu. Kalau ada masalah, k
Aku sedang asyik membaca buku di bangkuku, mencoba mengabaikan dunia luar yang terus-menerus mengacaukan pikiranku. Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Aku mendongak, dan di sana berdiri Arga, dengan ekspresi yang sulit kuartikan."Rilla," panggilnya, suaranya terdengar serius.Aku mengerutkan kening. "Apa?" tanyaku tanpa minat, berpikir dia akan melontarkan komentar sarkastik seperti biasanya.Tapi yang terjadi berikutnya membuatku hampir menjatuhkan bukuku."Kamu mau jadi pacarku?" ucapnya lantang, begitu jelas hingga semua orang di kelas yang tadinya sibuk langsung terdiam.Aku terpaku. Kelas hening. Bahkan aku bisa merasakan tatapan tajam dari semua teman sekelas yang menatap kami dengan wajah tak percaya. Mereka tahu betul hubungan kami, aku dan Arga bukan sekadar tidak akur, kami musuh bebuyutan."Kamu... ngomong apa barusan?" Aku mencoba memastikan aku tidak salah dengar."Jadi pacarku!" ulangnya, kali ini dengan nada lebih tenang. Matanya menatapku tanpa ragu, seolah dia b
Setiba di rumah, aku langsung mengomel pada Arga, merasa frustasi dengan kejadian tadi di sekolah dan sikapnya yang acuh. Tanpa bisa menahan diri, aku melemparkan tas ke sofa dengan kasar. "Arga... Kamu pikir ini lucu?" kataku, suaraku mulai meninggi, mencerminkan amarah yang sudah lama terkumpul. Arga tidak langsung menanggapi. Dia tetap diam, seolah-olah aku tidak sedang berdiri di depannya, kesal dan bingung. Tanpa sepatah kata pun, dia melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja, lalu duduk dengan tenang, menatap layar ponselnya. Sikap acuhnya semakin membuatku merasa tidak dihargai. "Kamu sudah baca grup chat keluarga kan? Kita akan makan malam bersama," katanya akhirnya, seolah-olah mengalihkan perhatian dari percakapan yang baru saja kami mulai. Aku terdiam sejenak. Apa dia tidak paham betapa kesalnya aku dengan apa yang terjadi? Aku mencoba menahan diri, namun tak bisa menahan perasaan frustrasi yang semakin menumpuk. Aku merasa seperti diabaikan. "Kamu... tidak menjaw
Makan malam keluarga pun tiba, rumah yang biasanya sepi karena hanya ada aku dan Arga yang berjauhan, kini lebih ramai. Keluarga besar kami berkumpul, meski hanya orang tuaku yang duduk di meja makan, suasananya tetap terasa lebih hidup. Suasana canggung ini terasa semakin nyata saat Ibu mulai membuka percakapan. "Rilla, bagaimana persiapan ujianmu? Sudah belajar cukup?" tanyanya sambil menyodorkan sepiring sayur ke arahku dengan senyuman lembut.Aku tahu bahwa meskipun pertanyaan itu terkesan ringan, Ibu selalu khawatir dengan segala hal yang kujalani.Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Bu. Hanya masih ada beberapa materi yang perlu aku pelajari lagi."Arga yang duduk di seberang meja, sepertinya tidak ingin ketinggalan, ikut menimpali. "Tenang saja, Rilla. Semua pasti akan baik-baik saja kalau kamu fokus," ujarnya dengan santai, mencoba memberikan semangat.Ibu tersenyum dan menatap Arga. "Arga, kamu juga sudah siap ujian? Kelihatannya akhir-akhir ini kamu lebih sering sibuk," tan
Kami terbangun di pagi hari dengan suasana yang lebih ceria dan hangat dari biasanya. Aku merasa seakan semua yang terjadi kemarin malam menghapus kebekuan yang selama ini ada di antara kami.Arga bangun lebih dulu, tampak sedikit bingung sejenak, sebelum akhirnya matanya bertemu denganku. Ada senyum tipis di wajahnya, yang meskipun sederhana, aku bisa merasakan kehangatan yang berbeda.Kami tidak mengucapkan kata-kata berlebihan, hanya saling memberikan tatapan yang penuh arti, seolah mengatakan bahwa segala sesuatu bisa dimulai dengan cara yang lebih baik.Aku duduk di meja makan, menikmati sarapan yang sederhana. Suasana pagi itu tidak seperti biasanya. Lebih hidup, lebih ceria, seolah ada sebuah awal baru yang menanti. Percakapan ringan tentang kegiatan sekolah dan ujian, ditambah dengan tawa-tawa kecil, membuat suasana semakin terasa hangat.Arga yang biasanya pendiam, kali ini terlihat lebih santai, seakan ada sisi lain dari dirinya yang mulai terbuka."Arga, kamu siap untuk uji
Berita tentang aku dan Arga yang menjalin hubungan menjadi topik hangat di sekolah. Setiap lorong yang kulewati, bisik-bisik itu tak pernah berhenti. Ada yang tertawa geli, ada yang penasaran, dan ada pula yang terlihat iri.Aku mencoba mengabaikannya, meski rasanya sulit untuk tidak memikirkan bagaimana reaksi semua orang, terutama Ericka. Aku tahu, dia tidak akan tinggal diam.Benar saja, berita itu akhirnya sampai juga ke telinganya. Tatapan Ericka padaku di kantin berubah menjadi lebih tajam, seperti pisau yang siap menusuk kapan saja. Dia tidak langsung bicara atau menyerangku seperti biasanya, tapi aku tahu dia sedang merencanakan sesuatu.Hari itu, setelah jam pelajaran selesai, aku pergi ke gudang sekolah untuk mencari beberapa alat peraga yang diminta oleh guru. Gudang itu sunyi, sedikit berdebu, dan penerangannya redup. Aku sibuk mencari barang-barang di rak, tidak memperhatikan keadaan sekitar. Tiba-tiba, suara pintu yang ditutup keras mengagetkanku."Brak!"Aku berbalik, t
Aku duduk di meja makan, berusaha menenangkan pikiranku yang masih kacau. Suasana ruang makan terasa begitu normal, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya di kamar. Ibuku sibuk menyendokkan nasi ke piring, sementara ayah hanya fokus pada makanannya. Arga duduk di seberangku, sesekali menatapku tanpa berkata apa-apa.Aku berusaha untuk tetap tenang, tapi bayangan kejadian tadi terus menghantui pikiranku. Sentuhan tangannya, tatapan matanya, dan kata-kata yang ia ucapkan sebelum kami turun membuat dadaku terasa sesak. Apa maksudnya dengan ‘nanti kita selesaikan’? Apa yang ingin dia katakan sebenarnya?“Kamu kenapa, Rilla?” tanya ibu tiba-tiba, membuatku tersentak. “Dari tadi diam saja, nggak biasanya.”Aku buru-buru menggeleng dan tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma capek saja.”Ibuku mengangguk, tampaknya menerima jawabanku begitu saja. Aku melirik ke arah Arga, berharap dia tidak akan mengatakan apa pun yang bisa memperumit situasi. Namun, dia hanya tetap diam, menyendok makan
Aku duduk di samping Arga, menyandarkan punggungku ke sandaran tempat tidur, sementara dia tetap diam menatap lantai. Ada ketegangan di antara kami, namun aku tahu malam ini adalah saat yang tepat untuk berbicara."Arga," panggilku pelan, menoleh ke arahnya. "Kamu mau dengar ceritaku?"Dia menoleh padaku, matanya tetap tenang namun penuh rasa ingin tahu. Tidak ada anggukan, tidak ada kata setuju, tapi aku tahu dia bersedia mendengar. Jadi, aku mulai bercerita."Ibuku hanyalah seorang asisten rumah tangga. Ayahku? Dia karyawan kantor biasa. Gaji mereka tidak pernah cukup untuk kami bertiga. Aku tumbuh dengan melihat ibu bekerja keras di rumah orang lain, mencuci, menyetrika, dan membersihkan rumah. Ayahku juga selalu pulang dengan wajah lelah, tapi kami selalu mencoba untuk tetap bahagia."Aku berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. Arga masih diam, namun aku bisa merasakan fokusnya hanya padaku."Tiba-tiba saja, aku bisa sekolah di tempat yan
Arga duduk di sofa kecil kamarku, pandangannya kosong menatap lantai. Aku jarang melihatnya seperti ini, terlihat lemah dan rapuh, seperti membawa beban yang terlalu berat untuk dipikul sendiri.Untuk pertama kalinya, aku melihatnya benar-benar manusiawi, bukan sosok keras dan dingin yang biasa aku temui."Aku nggak pernah cerita ini ke siapa pun," katanya akhirnya, suaranya rendah, hampir berbisik. "Tapi kalau aku nggak cerita sekarang, aku takut kamu salah paham terus tentang semuanya."Aku mengangguk pelan, menunggu dia melanjutkan."Ibuku..." Arga berhenti sejenak, menarik napas panjang. "Dia ninggalin aku waktu aku masih kecil. Hidup kami susah, Rilla. Aku sama ayahku waktu itu cuma punya cukup uang buat makan sehari-hari. Ibuku pergi karena dia nggak tahan hidup seperti itu. Dia ingin lebih. Dia ingin sesuatu yang nggak bisa diberikan ayahku saat itu."Aku tertegun, tidak menyangka. "Dia meninggalkan kamu? Padahal waktu itu kamu masih kecil?" tanyaku pelan, nyaris tidak percaya.
Aku dan Arga duduk bersebelahan di ujung tempat tidur, suasana kamar yang hening hanya diiringi suara detak jam dinding. Setelah mengganti pakaian basah kami, tak ada satu pun dari kami yang bicara.Aku masih mencerna fakta bahwa Arga benar-benar mengajakku menginap di rumah orang tuaku malam ini. Rumah sederhana yang penuh kenangan, jauh dari kemewahan rumah besar yang diberikan oleh orang tuanya."Aku nggak nyangka kamu bakal nyaman di sini," akhirnya aku membuka percakapan, mencoba memecah kebisuan.Arga menatap ke arahku, senyumnya samar, tetapi ada kehangatan di sana. "Kenapa nggak nyaman? Rumah ini jauh lebih hidup daripada rumah besar itu. Kamu tahu, kadang aku merasa kosong tinggal di sana."Aku menatap wajahnya yang serius. "Tapi... kamu kan terbiasa dengan semua hal besar dan mewah. Tidur di kasur kecil begini mungkin nggak biasa buatmu."Dia tertawa kecil, tapi matanya tetap serius. "Rilla, bukan soal besar atau kecil. Kadang aku lebih pengen rumah yang terasa seperti ini-r
Elang mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah kotak kecil berwarna biru muda. Dengan hati-hati, dia membukanya dan menghadapkannya padaku. Aku terkejut saat melihat isinya. Es krim dengan beberapa topping buah segar di atasnya."Aku tadi abis mampir ke supermarket, dan lihat ini... Mungkin bisa bikin suasana hatimu sedikit lebih baik," katanya dengan senyum ringan, meskipun aku bisa melihat kegelisahan di balik mata cokelatnya.Aku menatap es krim itu, lalu beralih menatap Elang. Caranya bicara, dan suaranya yang lebih lembut dari biasanya. Biasanya dia selalu santai dan terkesan main-main, tapi kali ini dia berbeda.Aku terdiam sejenak, lalu mengambil es krim itu dari tangannya. "Terima kasih, Elang," jawabku pelan, sedikit tersenyum. "Tapi kamu yakin ini bisa membuatku merasa lebih baik?"Elang mengangguk, tatapannya lembut. "Terkadang, hal-hal kecil seperti ini bisa membantu, Rilla. Aku nggak tahu apa yang sedang kamu hadapi, tapi mungkin sedikit waktu untuk menikmati sesuatu yang
Aku menatap Arga dengan tatapan penuh tanya, menunggu dia menyangkal ucapan perempuan itu. Tapi dia tetap diam, wajahnya kaku, dan sorot matanya menghindari milikku.Viona. Nama itu terasa asing, tapi caranya menyebut nama itu... seolah ada cerita panjang di baliknya. Perempuan bernama Viona itu menatap Arga dengan mata yang masih berkaca-kaca, sementara aku hanya berdiri di ambang pintu, bingung dengan situasi yang baru saja terjadi."Aku mencarimu, Arga," katanya pelan. "Aku tahu aku salah, tapi... aku tidak punya tempat lain untuk pergi."Aku berdeham, mencoba menghilangkan rasa sesak di dadaku. "Maaf, bisa jelaskan siapa kamu sebenarnya?" tanyaku, mencoba menjaga nada suaraku tetap sopan meskipun jantungku berdebar keras.Viona menoleh ke arahku, seolah baru menyadari keberadaanku. "Aku..." dia terdiam sejenak, tampak ragu. "Aku adalah orang yang seharusnya ada di sisi Arga."Perkataannya membuat darahku mendidih, tapi aku menahan diri. "Maksudmu?""Rilla, masuk ke dalam. Ini buka
Berita tentang aku dan Arga yang menjalin hubungan menjadi topik hangat di sekolah. Setiap lorong yang kulewati, bisik-bisik itu tak pernah berhenti. Ada yang tertawa geli, ada yang penasaran, dan ada pula yang terlihat iri.Aku mencoba mengabaikannya, meski rasanya sulit untuk tidak memikirkan bagaimana reaksi semua orang, terutama Ericka. Aku tahu, dia tidak akan tinggal diam.Benar saja, berita itu akhirnya sampai juga ke telinganya. Tatapan Ericka padaku di kantin berubah menjadi lebih tajam, seperti pisau yang siap menusuk kapan saja. Dia tidak langsung bicara atau menyerangku seperti biasanya, tapi aku tahu dia sedang merencanakan sesuatu.Hari itu, setelah jam pelajaran selesai, aku pergi ke gudang sekolah untuk mencari beberapa alat peraga yang diminta oleh guru. Gudang itu sunyi, sedikit berdebu, dan penerangannya redup. Aku sibuk mencari barang-barang di rak, tidak memperhatikan keadaan sekitar. Tiba-tiba, suara pintu yang ditutup keras mengagetkanku."Brak!"Aku berbalik, t
Kami terbangun di pagi hari dengan suasana yang lebih ceria dan hangat dari biasanya. Aku merasa seakan semua yang terjadi kemarin malam menghapus kebekuan yang selama ini ada di antara kami.Arga bangun lebih dulu, tampak sedikit bingung sejenak, sebelum akhirnya matanya bertemu denganku. Ada senyum tipis di wajahnya, yang meskipun sederhana, aku bisa merasakan kehangatan yang berbeda.Kami tidak mengucapkan kata-kata berlebihan, hanya saling memberikan tatapan yang penuh arti, seolah mengatakan bahwa segala sesuatu bisa dimulai dengan cara yang lebih baik.Aku duduk di meja makan, menikmati sarapan yang sederhana. Suasana pagi itu tidak seperti biasanya. Lebih hidup, lebih ceria, seolah ada sebuah awal baru yang menanti. Percakapan ringan tentang kegiatan sekolah dan ujian, ditambah dengan tawa-tawa kecil, membuat suasana semakin terasa hangat.Arga yang biasanya pendiam, kali ini terlihat lebih santai, seakan ada sisi lain dari dirinya yang mulai terbuka."Arga, kamu siap untuk uji
Makan malam keluarga pun tiba, rumah yang biasanya sepi karena hanya ada aku dan Arga yang berjauhan, kini lebih ramai. Keluarga besar kami berkumpul, meski hanya orang tuaku yang duduk di meja makan, suasananya tetap terasa lebih hidup. Suasana canggung ini terasa semakin nyata saat Ibu mulai membuka percakapan. "Rilla, bagaimana persiapan ujianmu? Sudah belajar cukup?" tanyanya sambil menyodorkan sepiring sayur ke arahku dengan senyuman lembut.Aku tahu bahwa meskipun pertanyaan itu terkesan ringan, Ibu selalu khawatir dengan segala hal yang kujalani.Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Bu. Hanya masih ada beberapa materi yang perlu aku pelajari lagi."Arga yang duduk di seberang meja, sepertinya tidak ingin ketinggalan, ikut menimpali. "Tenang saja, Rilla. Semua pasti akan baik-baik saja kalau kamu fokus," ujarnya dengan santai, mencoba memberikan semangat.Ibu tersenyum dan menatap Arga. "Arga, kamu juga sudah siap ujian? Kelihatannya akhir-akhir ini kamu lebih sering sibuk," tan