Beranda / Romansa / SUAMIKU SAINGANKU / Terikat Tanpa Cinta

Share

Terikat Tanpa Cinta

Penulis: Nenghally
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-26 10:15:12

Saat bel pertama berbunyi, aku baru saja melangkah memasuki gerbang sekolah. Aku segera berlari menuju ruang kelas dan melihat Arga berdiri di depan pintu, dengan ekspresi yang sama cemasnya. Kami saling bertatapan, seolah tidak percaya bahwa kami terlambat untuk pertama kalinya.

"Kita tidak terlambat, kan?" tanyaku, berusaha mengurangi rasa malu.

"Menurutmu?" jawab Arga sambil menatap jam tangannya dengan serius. "Sepertinya kita akan kena hukuman."

"Ah, aku tidak pernah terlambat seperti ini," keluhku dengan kesal.

"Ya, semua gara-gara kamu," jawab Arga, nada suaranya penuh ketegangan. "Kalau saja kamu tidak menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi, kita tidak akan terlambat."

Aku menatapnya dengan tak percaya. "Aku? Lagipula, kamu juga tidak memberikan penjelasan tentang berapa lama kamu akan berada di kamar mandi."

Arga menghela napas, wajahnya menunjukkan frustrasi. "Aku juga tidak tahu kamu akan berganti pakaian sebanyak itu. Ada cara lebih cepat untuk siap pergi, kamu tahu."

Pintu kelas tertutup rapat, dan saat kami berdiri di luar, kami berdua merasa canggung. Kami berdua berdiri di sana, saling menatap dengan marah. Tidak ada yang mau mengalah. Sampai akhirnya Pak Arif, guru kami, keluar dari kelas dan melihat kami dengan tatapan tegas.

"Kalian berdua, ikuti saya ke lapangan. Keterlambatan kalian akan dihukum dengan latihan fisik."

Kami berdua terdiam sejenak, melihat Pak Arif meninggalkan kelas menuju lapangan. "Bagus sekali, kita berdua dapat hukuman," ucapku dengan nada sinis.

"Yah, setidaknya kita mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan masalah kita," jawab Arga, suara dan wajahnya menunjukkan keteguhan.

Di lapangan, kami berdua melakukan latihan fisik di bawah pengawasan Pak Arif. Saat berlari dan melakukan berbagai gerakan, ketegangan di antara kami mulai mereda. Arga, meski dengan sikap dingin, tidak bisa menghindari untuk membantu ketika aku terlihat lelah.

"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita hanya perlu bertahan sedikit lagi," katanya dengan nada yang lebih lembut.

Aku meliriknya, merasakan campuran antara kemarahan dan rasa terima kasih. "Kamu juga tidak perlu terus-menerus menyalahkanku. Kita semua berperan dalam keterlambatan ini."

Saat kami berlari di lapangan, aku mulai merasa pusing dan tubuhku semakin lemas. Latihan fisik pagi ini sangat melelahkan, dan aku berusaha keras untuk tetap berdiri. Tiba-tiba, sebuah bola basket meluncur ke arahku dengan cepat.

"Rila, hati-hati!" teriak Arga, tetapi semuanya terasa lambat seakan waktu berjalan sangat pelan.

Aku berusaha menghindari bola, tetapi rasa pusing yang semakin parah membuatku tidak bisa bergerak dengan cepat. Bola itu mengenai tubuhku, dan tanpa bisa menahan tubuh yang sudah lemah, aku akhirnya tumbang ke tanah.

"Rila!" teriak Arga, melompat ke arahku dengan panik. Dia segera membantuku berdiri sambil mencari bantuan.

Karena tubuhku sudah begitu lemah, aku tak bisa lagi menahan keseimbanganku. Dunia terasa berputar, dan pandanganku semakin kabur sampai akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri.

Saat aku membuka mata, langit-langit ruang UKS yang kusam menjadi pemandangan pertama yang kulihat. Kepalaku terasa sedikit berat, tapi yang lebih mengejutkan adalah sosok pria berseragam basket yang duduk di sebelahku. Dia terlihat lelah, bahkan tertidur dengan kepala bersandar di tepi tempat tidur. 

"Eh, kamu udah sadar?" Dia langsung duduk tegak, suaranya agak serak. "Sorry ya, tadi aku nggak sengaja kenain bola ke kepala kamu. Kamu baik-baik aja kan?"

Aku berusaha duduk, meski sedikit oleng. "Aku nggak apa-apa," jawabku pelan.

Dia menatapku lebih dekat, terlihat jelas kekhawatiran di matanya. "Kamu tadi katanya lemah karena belum sarapan, ya? Aku beliin makanan buat kamu, sekalian tanda minta maaf. Kamu makan ya?" Dia mengeluarkan bungkusan makanan dari dalam tasnya.

"Duh, kok jadi ngerepotin kamu, Kak." Aku menunduk, merasa malu dan canggung.

Tapi dia malah mengangkat daguku dengan lembut, membuat mataku bertemu dengan tatapannya. "Santai aja. Ini semua salahku kok," katanya sambil tersenyum. "Ayo, makan!"

Dia menyodorkan sendok, ingin menyuapiku. Namun bukannya segera makan, aku malah terpaku, menatap wajahnya lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu di balik perhatian yang dia tunjukkan, sesuatu yang membuat jantungku berdebar kencang.

Elang ... kenapa dia begitu perhatian padaku? Apa dia melakukan hal ini ke semua perempuan? Atau cuma aku?

"Hey, ayo makan!" tegurnya, mengembalikan pikiranku ke realita.

"Ah, iya." Aku langsung berusaha mengalihkan pandangan, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul.

Tiba-tiba bel sekolah berbunyi, memecah keheningan di antara kami dan menghapus sisa-sisa momen yang terasa hampir sempurna. Padahal, di dalam hatiku, aku masih ingin menikmati kebersamaan ini lebih lama.

"Kak, udah bel. Kamu enggak masuk kelas?" tanyaku, menghentikan sendokan makanan yang baru saja dia siapkan untukku.

Dia ragu sejenak. "Kamu beneran nggak apa-apa aku tinggal sendirian?"

Aku mengangguk pelan. "Aku udah baik-baik aja kok."

"Tapi kamu lanjut makan ya. Aku harus masuk kelas sekarang." Dia berdiri, merapikan seragamnya.

Sebelum dia pergi, tanpa sadar aku meraih tangannya. "Kak ... terima kasih, ya. Udah nolongin aku lagi," ucapku tulus, sedikit menahan rasa canggung di balik kata-kata itu.

Elang tersenyum kecil, lalu mengusap kepalaku lembut. "Aku pergi dulu, ya. Jaga diri baik-baik." Dia berlalu, meninggalkan jejak perhatian yang entah kenapa terasa lebih mendalam dari sekadar permintaan maaf.

Aku hanya bisa menatapnya pergi, perasaan campur aduk bergejolak di dalam hatiku. Antara rasa syukur, bingung, dan sesuatu yang lain, yang perlahan mulai tumbuh.

"Mau diliatin sampai kapan?" suara Arga yang datar tiba-tiba terdengar, membuatku terkejut.

Dia menyingkap tirai di samping tempat tidur UKS, muncul begitu saja tanpa ekspresi. Tatapannya dingin seperti biasa, tapi kali ini ada sesuatu yang sulit kujelaskan. Entah perhatian atau sekadar rasa penasaran.

"Arga?" tanyaku pelan, masih bingung. "Ngapain di sini?"

Dia hanya berdiri bersandar di dinding, menatapku dengan pandangan tajam tapi tenang. "Liatin aja, ternyata yang katanya nggak pernah kalah malah pingsan di lapangan."

Aku menahan diri untuk tidak memutar mata. "Aku cuma pusing, bukan lemah."

"Terlihat beda," jawabnya singkat, tanpa sedikitpun menunjukkan kekhawatiran yang mungkin tersirat. Dia seperti biasa, tidak terlalu peduli dengan apapun kecuali dirinya sendiri.

Aku mencoba duduk tegak, tapi rasa pusing masih sedikit tersisa. "Ngapain sih? Nggak ada kerjaan lain selain ngurusin hidup orang?"

Dia diam sebentar, lalu berjalan mendekat. "Gue cuma pengen tahu, udah nggak ada masalah lagi, kan?" tanyanya dingin, seolah itu cuma formalitas.

"Iya, gue baik-baik aja," balasku, menunduk sedikit, merasa kesal karena nada suaranya yang seolah tidak peduli.

Arga berdiri di sana, masih dengan wajah datar. Dia tidak bicara apa-apa lagi, hanya menatapku sejenak, lalu berbalik hendak pergi.

"Arga," panggilku, membuatnya berhenti. "Makasih."

Dia tidak menoleh, hanya memberikan anggukan kecil sebelum meninggalkan ruangan, membiarkan keheningan kembali menyelimuti.

Itulah Arga, pria yang selalu menjaga jarak, meski pada saat-saat seperti ini. Aku bisa merasakan, mungkin, hanya mungkin, dia sedikit peduli kali ini.

Bab terkait

  • SUAMIKU SAINGANKU   Bayangan di Antara Kita

    Aku kembali ke kelas, tapi pikiran dan hatiku masih tertinggal di ruang UKS. Elang. Namanya terus terngiang di kepalaku, membayangi setiap langkahku. Berbicara tentangnya seolah tak pernah ada ujungnya, karena dia adalah satu-satunya orang yang selalu perhatian padaku sejak awal masuk sekolah.Setiap tatapan, senyum, dan caranya memperlakukan aku dengan lembut, selalu membuatku merasa istimewa. Aku teringat saat pertama kali bertemu dengannya, bagaimana dia tanpa ragu menawarkan bantuan ketika aku kebingungan mencari kelas.Sejak saat itu, perhatian-perhatiannya tak pernah surut. Entah itu sekadar menyapaku di koridor atau memastikan aku baik-baik saja di tengah hiruk pikuk sekolah, Elang selalu ada.Dan sekarang, setelah insiden tadi di lapangan, aku semakin tak bisa menghilangkan bayangannya dari pikiranku. Cara dia dengan mudah menyuapiku dan tatapan hangatnya saat aku merasa lemah tadi... apakah dia hanya bersikap baik padaku? Atau memang ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhat

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • SUAMIKU SAINGANKU   Sisi Lain Arga

    Aku segera meletakkan tasku di sofa dan mencoba mengalihkan suasana yang canggung."Ibu, maafkan Arga, dia pasti lelah," kataku, berusaha tersenyum. "Ibu mau minum apa? Aku bisa buatkan teh atau kopi."Ibu Arga menatapku dengan lembut, meski matanya sedikit sayu. "Tidak apa-apa, Rila. Aku mengerti sifat Arga." Dia menghela napas pelan. "Teh saja, ya."Aku mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sambil menyiapkan teh, pikiranku berkecamuk. Rasanya hubungan ini begitu jauh dari apa yang aku bayangkan ketika menikah dengan Arga. Hubungan yang semula kuharapkan membawa kebahagiaan kini malah dipenuhi jarak yang dingin dan pertengkaran yang seolah tiada habisnya.Saat kembali dengan secangkir teh hangat, ibu Arga masih duduk di sana, menatap kosong ke arah tangga tempat Arga tadi menghilang. Aku duduk di sebelahnya, meletakkan cangkir di atas meja."Ibu, aku benar-benar minta maaf soal Arga. Aku tahu ini tidak mudah..."Ibu Arga menoleh padaku, kali ini dengan senyum yang tidak biasa. "Tidak

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • SUAMIKU SAINGANKU   Pesan Tak Terjawab

    Arga melepaskan ciumannya dan menatapku dengan ekspresi campur aduk. "Bau apa ini?" tanyanya, matanya melotot dengan heran.Aku langsung mendorongnya, merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Aku tidak sebau itu!" kataku tegas sambil cepat-cepat mencium bau tubuhku.Mungkin aku memang tidak wangi, tapi tidak seburuk itu, kan?"Rilla!!"Teriakan Arga mengalihkan perhatianku. Dia melesat ke dapur, matanya lebar penuh kekhawatiran saat melihat api yang menyala dari kompor."Astaga!" teriakku, mengikuti langkahnya. Di dalam dapur, asap mulai memenuhi ruangan, dan panik menjalar di antara kami.Arga segera berusaha memadamkan api yang semakin membesar, tangannya bergerak cepat. Aku meraih sekop di sudut dan menyiramkan air dari wadah yang ada, berusaha membantu."Cepat, Rilla! Di sebelah kiri!" Arga memberi instruksi, suaranya tegas meski terlihat stres."Oke, oke!" jawabku, berusaha tetap fokus. Kami bekerja sama, meski ada rasa canggung setelah momen sebelumnya.Setelah beberapa menit yang pen

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12
  • SUAMIKU SAINGANKU   Pernikahan yang Tak Diinginkan

    "Saudara Arga, apakah Anda menerima Rila sebagai istri Anda dengan sepenuh hati?" suara penghulu menggema di ruangan.Ruangan ini, yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah terasa seperti penjara bagiku. Suara gemerincing perhiasan dan bisik-bisik tamu hanya jadi latar belakang dari ketegangan yang kualami saat ini.Arga berdiri di depan altar dengan sikap tenang dan tampan. Dia mengenakan jas hitam yang pas, dan tatapannya tetap dingin, seolah pernikahan ini cuma rutinitas yang harus dijalani.Aku tidak bisa menahan rasa kesal saat memandangnya. Rasanya Arga lebih seperti lawan hidupku daripada calon suami."Ya, saya terima," jawab Arga, suaranya tegas dan tanpa emosi.Giliran aku tiba. Tangan penghulunya meraih tangan Arga, dan dia menatapku dengan tatapan dingin seolah pernikahan ini tidak ada artinya. Aku merasa seperti boneka yang dipindahkan dari satu panggung ke panggung lainnya.Penghulu mulai melafalkan ijab qabul. "Saudari Rila, apakah Anda menerima Arga sebagai suami Anda, d

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23
  • SUAMIKU SAINGANKU   Ketua OSIS Dingin

    Hari itu adalah hari pertamaku masuk sekolah sebagai murid baru. Dengan langkah mantap, aku turun dari taksi dan memandang gedung sekolah yang megah di depanku. Sekolah ini tidak asing bagiku, aku sudah melihatnya di foto-foto yang kuterima saat pendaftaran. Tapi rasanya berbeda saat aku benar-benar berdiri di depannya.Aku tak pernah menyangka bisa bersekolah di sini. Sekolah yang hanya bisa di masuki oleh kalangan elite, sekarang menjadi tempatku belajar. Rasa bahagiaku mengalahkan rasa penasaran yang sebelumnya menghantui pikiranku.Kenapa kedua orang tuaku tiba-tiba memindahkan aku ke sini? Padahal mereka hanya pekerja paruh waktu biasa.Aku menarik napas panjang dan melirik jam tangan. "Aduh! Kelasku!" Aku mulai panik.Jam pelajaran pertama hampir dimulai, dan aku belum tahu di mana kelasku. Dengan buru-buru, aku berlari menuju gedung utama, berharap tidak terlambat.Namun, tiba-tiba saja, langkahku terhenti ketika kakiku tersandung. Aku terjatuh dengan keras ke lantai, map beris

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-24

Bab terbaru

  • SUAMIKU SAINGANKU   Pesan Tak Terjawab

    Arga melepaskan ciumannya dan menatapku dengan ekspresi campur aduk. "Bau apa ini?" tanyanya, matanya melotot dengan heran.Aku langsung mendorongnya, merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Aku tidak sebau itu!" kataku tegas sambil cepat-cepat mencium bau tubuhku.Mungkin aku memang tidak wangi, tapi tidak seburuk itu, kan?"Rilla!!"Teriakan Arga mengalihkan perhatianku. Dia melesat ke dapur, matanya lebar penuh kekhawatiran saat melihat api yang menyala dari kompor."Astaga!" teriakku, mengikuti langkahnya. Di dalam dapur, asap mulai memenuhi ruangan, dan panik menjalar di antara kami.Arga segera berusaha memadamkan api yang semakin membesar, tangannya bergerak cepat. Aku meraih sekop di sudut dan menyiramkan air dari wadah yang ada, berusaha membantu."Cepat, Rilla! Di sebelah kiri!" Arga memberi instruksi, suaranya tegas meski terlihat stres."Oke, oke!" jawabku, berusaha tetap fokus. Kami bekerja sama, meski ada rasa canggung setelah momen sebelumnya.Setelah beberapa menit yang pen

  • SUAMIKU SAINGANKU   Sisi Lain Arga

    Aku segera meletakkan tasku di sofa dan mencoba mengalihkan suasana yang canggung."Ibu, maafkan Arga, dia pasti lelah," kataku, berusaha tersenyum. "Ibu mau minum apa? Aku bisa buatkan teh atau kopi."Ibu Arga menatapku dengan lembut, meski matanya sedikit sayu. "Tidak apa-apa, Rila. Aku mengerti sifat Arga." Dia menghela napas pelan. "Teh saja, ya."Aku mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sambil menyiapkan teh, pikiranku berkecamuk. Rasanya hubungan ini begitu jauh dari apa yang aku bayangkan ketika menikah dengan Arga. Hubungan yang semula kuharapkan membawa kebahagiaan kini malah dipenuhi jarak yang dingin dan pertengkaran yang seolah tiada habisnya.Saat kembali dengan secangkir teh hangat, ibu Arga masih duduk di sana, menatap kosong ke arah tangga tempat Arga tadi menghilang. Aku duduk di sebelahnya, meletakkan cangkir di atas meja."Ibu, aku benar-benar minta maaf soal Arga. Aku tahu ini tidak mudah..."Ibu Arga menoleh padaku, kali ini dengan senyum yang tidak biasa. "Tidak

  • SUAMIKU SAINGANKU   Bayangan di Antara Kita

    Aku kembali ke kelas, tapi pikiran dan hatiku masih tertinggal di ruang UKS. Elang. Namanya terus terngiang di kepalaku, membayangi setiap langkahku. Berbicara tentangnya seolah tak pernah ada ujungnya, karena dia adalah satu-satunya orang yang selalu perhatian padaku sejak awal masuk sekolah.Setiap tatapan, senyum, dan caranya memperlakukan aku dengan lembut, selalu membuatku merasa istimewa. Aku teringat saat pertama kali bertemu dengannya, bagaimana dia tanpa ragu menawarkan bantuan ketika aku kebingungan mencari kelas.Sejak saat itu, perhatian-perhatiannya tak pernah surut. Entah itu sekadar menyapaku di koridor atau memastikan aku baik-baik saja di tengah hiruk pikuk sekolah, Elang selalu ada.Dan sekarang, setelah insiden tadi di lapangan, aku semakin tak bisa menghilangkan bayangannya dari pikiranku. Cara dia dengan mudah menyuapiku dan tatapan hangatnya saat aku merasa lemah tadi... apakah dia hanya bersikap baik padaku? Atau memang ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhat

  • SUAMIKU SAINGANKU   Terikat Tanpa Cinta

    Saat bel pertama berbunyi, aku baru saja melangkah memasuki gerbang sekolah. Aku segera berlari menuju ruang kelas dan melihat Arga berdiri di depan pintu, dengan ekspresi yang sama cemasnya. Kami saling bertatapan, seolah tidak percaya bahwa kami terlambat untuk pertama kalinya."Kita tidak terlambat, kan?" tanyaku, berusaha mengurangi rasa malu."Menurutmu?" jawab Arga sambil menatap jam tangannya dengan serius. "Sepertinya kita akan kena hukuman.""Ah, aku tidak pernah terlambat seperti ini," keluhku dengan kesal."Ya, semua gara-gara kamu," jawab Arga, nada suaranya penuh ketegangan. "Kalau saja kamu tidak menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi, kita tidak akan terlambat."Aku menatapnya dengan tak percaya. "Aku? Lagipula, kamu juga tidak memberikan penjelasan tentang berapa lama kamu akan berada di kamar mandi."Arga menghela napas, wajahnya menunjukkan frustrasi. "Aku juga tidak tahu kamu akan berganti pakaian sebanyak itu. Ada cara lebih cepat untuk siap pergi, kamu tah

  • SUAMIKU SAINGANKU   Ketua OSIS Dingin

    Hari itu adalah hari pertamaku masuk sekolah sebagai murid baru. Dengan langkah mantap, aku turun dari taksi dan memandang gedung sekolah yang megah di depanku. Sekolah ini tidak asing bagiku, aku sudah melihatnya di foto-foto yang kuterima saat pendaftaran. Tapi rasanya berbeda saat aku benar-benar berdiri di depannya.Aku tak pernah menyangka bisa bersekolah di sini. Sekolah yang hanya bisa di masuki oleh kalangan elite, sekarang menjadi tempatku belajar. Rasa bahagiaku mengalahkan rasa penasaran yang sebelumnya menghantui pikiranku.Kenapa kedua orang tuaku tiba-tiba memindahkan aku ke sini? Padahal mereka hanya pekerja paruh waktu biasa.Aku menarik napas panjang dan melirik jam tangan. "Aduh! Kelasku!" Aku mulai panik.Jam pelajaran pertama hampir dimulai, dan aku belum tahu di mana kelasku. Dengan buru-buru, aku berlari menuju gedung utama, berharap tidak terlambat.Namun, tiba-tiba saja, langkahku terhenti ketika kakiku tersandung. Aku terjatuh dengan keras ke lantai, map beris

  • SUAMIKU SAINGANKU   Pernikahan yang Tak Diinginkan

    "Saudara Arga, apakah Anda menerima Rila sebagai istri Anda dengan sepenuh hati?" suara penghulu menggema di ruangan.Ruangan ini, yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah terasa seperti penjara bagiku. Suara gemerincing perhiasan dan bisik-bisik tamu hanya jadi latar belakang dari ketegangan yang kualami saat ini.Arga berdiri di depan altar dengan sikap tenang dan tampan. Dia mengenakan jas hitam yang pas, dan tatapannya tetap dingin, seolah pernikahan ini cuma rutinitas yang harus dijalani.Aku tidak bisa menahan rasa kesal saat memandangnya. Rasanya Arga lebih seperti lawan hidupku daripada calon suami."Ya, saya terima," jawab Arga, suaranya tegas dan tanpa emosi.Giliran aku tiba. Tangan penghulunya meraih tangan Arga, dan dia menatapku dengan tatapan dingin seolah pernikahan ini tidak ada artinya. Aku merasa seperti boneka yang dipindahkan dari satu panggung ke panggung lainnya.Penghulu mulai melafalkan ijab qabul. "Saudari Rila, apakah Anda menerima Arga sebagai suami Anda, d

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status