Hari itu adalah hari pertamaku masuk sekolah sebagai murid baru. Dengan langkah mantap, aku turun dari taksi dan memandang gedung sekolah yang megah di depanku. Sekolah ini tidak asing bagiku, aku sudah melihatnya di foto-foto yang kuterima saat pendaftaran. Tapi rasanya berbeda saat aku benar-benar berdiri di depannya.
Aku tak pernah menyangka bisa bersekolah di sini. Sekolah yang hanya bisa di masuki oleh kalangan elite, sekarang menjadi tempatku belajar. Rasa bahagiaku mengalahkan rasa penasaran yang sebelumnya menghantui pikiranku. Kenapa kedua orang tuaku tiba-tiba memindahkan aku ke sini? Padahal mereka hanya pekerja paruh waktu biasa. Aku menarik napas panjang dan melirik jam tangan. "Aduh! Kelasku!" Aku mulai panik. Jam pelajaran pertama hampir dimulai, dan aku belum tahu di mana kelasku. Dengan buru-buru, aku berlari menuju gedung utama, berharap tidak terlambat. Namun, tiba-tiba saja, langkahku terhenti ketika kakiku tersandung. Aku terjatuh dengan keras ke lantai, map berisi surat-suratku berhamburan. Ketika aku mencoba bangkit, terdengar suara tawa mengejek di belakangku. "Ups, nggak sengaja," suara seorang perempuan yang jelas-jelas tidak tulus meminta maaf. Aku mendongak, dan mendapati seorang gadis dengan senyum penuh kepuasan di wajahnya, bersama dua temannya yang ikut tertawa. Salah satu dari mereka, yang berdiri paling dekat denganku, menambahkan... "Makanya kalau jalan, pakai mata! Jangan pakai dengkul!" Aku langsung tahu siapa mereka, anak-anak populer di sekolah ini, geng berkuasa yang sudah kudengar dari Yuni, tetanggaku. Katanya, pembullyan masih marak di sini dan kini aku paham maksudnya. Gadis yang baru saja menjatuhkanku adalah Ericka, sang ratu sekolah yang terkenal di kelas 12. Selain wajah cantiknya yang selalu menjadi pusat perhatian, ia juga dikenal karena sifatnya yang kejam. Di sampingnya berdiri Siska, tangan kanannya yang selalu menurut tanpa banyak bicara, dan Dinda, si pendiam yang tatapannya seperti ingin membunuh. Aku mulai mengumpulkan surat-surat yang berceceran, berniat cepat-cepat pergi. Namun saat aku hendak bangkit, Siska mendorongku ke tembok dengan keras. "Berani banget lo nyuekin kita!" bentaknya, matanya melotot. "Maaf, saya buru-buru," gumamku, mencoba menghindari konflik. "Oh, songong banget ya lo! Lo nggak tahu siapa gue?" Ericka mendekat, menarik daguku kasar agar mataku menatap langsung ke arahnya. "Manusia," jawabku, mencoba tetap tenang, "tapi berhati setan!" lanjutku tanpa pikir panjang. "Sialan!" Ericka langsung mengangkat tangannya, siap menamparku. "Dasar anak pindahan gak tahu diri!" Aku merasakan detak jantungku semakin cepat. Mataku tertutup rapat, sudah siap menerima tamparan itu, tapi... hening. Tidak ada apa-apa. Tanganku, yang tadi dicekal oleh Siska dan Dinda, kini terasa bebas. Perlahan, aku membuka mata, penasaran dengan apa yang terjadi. Seorang pria berdiri di depanku, tubuhnya tinggi dan berotot, meski tidak terlalu besar. Tangannya menahan tangan Ericka yang hampir mengenai wajahku. Ia menepis tangannya dengan tenang, lalu menatap gadis itu dingin. "Berhenti," katanya singkat, tapi penuh wibawa. Ericka, yang biasanya mendominasi, tampak kehilangan keberaniannya seketika. Dengan enggan, dia menarik tangannya dan mengajak kedua temannya pergi tanpa sepatah kata lagi. Aku berdiri diam, tidak percaya apa yang baru saja terjadi. "Terima kasih," ucapku pelan, merasa lega. Pria itu hanya menatapku sekilas, senyumnya tipis dan dingin. Tanpa membalas ucapanku, dia berbalik dan pergi begitu saja, seakan aku tidak penting. Aku terdiam di tempat, merasa aneh. Campuran antara perasaan berterima kasih dan... dicampakkan? Aku menggeleng, berusaha mengusir pikiran aneh itu, dan melanjutkan langkahku menuju ruang kelas. Namun, sosok pria itu terus berputar di kepalaku. Begitulah pertemuan pertamaku dengan Arga, si Ketua OSIS jenius dan dingin. Siapa sangka, dia akan menjadi sainganku di sekolah ini, dan entah bagaimana, dia adalah suamiku sekarang. .. .. "Sial, jam berapa ini..." suara terkejut Agra membangunkanku dari mimpi buruk. Ya, aku berharap pernikahan kami ini hanyalah mimpi buruk dalam tidurku. Namun kenyataannya, ini adalah mimpi buruk yang harus kujalani sepanjang hidup. Kehidupan baru sebagai pasangan suami istri dimulai dengan semangat pagi yang lebih seperti kekacauan. Alarm pagi membangunkan kami dari tidur yang nyenyak, dan aku langsung merasakan ketegangan. Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh, dan panik menyergapku. Aku melompat dari tempat tidur dan menuju kamar mandi dengan cepat, hanya untuk menemukan Arga yang sudah berada di sana. Kami saling bertatap muka melalui kaca pintu kamar mandi yang tertutup, dan tanpa perlu berkata banyak, kami tahu bahwa kami berada dalam situasi yang sama sekali tidak nyaman. "Aku belum siap!" teriakku panik dari luar kamar mandi, suaraku bergema di lorong rumah. Arga hanya mendesah, suaranya berat namun terkontrol, lalu memutar kunci kamar mandi. Ia keluar dengan rambut basah yang masih menetes, mengenakan handuk yang disampirkan di bahu, dan memandangku dengan ekspresi datar. "Cepat, kita sudah telat," katanya, nadanya terdengar sedikit tajam, tapi penuh kepastian. Aku langsung menyelinap masuk ke kamar mandi, menyambar peralatan mandi dan melakukan semuanya dengan kecepatan kilat. Di luar, terdengar langkah-langkah kaki Arga yang mondar-mandir di kamar. Setiap detik seolah berlomba melawan waktu, dan aku hampir bisa merasakan ketegangan menebal di udara. "Cepatlah, kita tidak punya waktu untuk drama pagi ini," suara Arga dari balik pintu terdengar datar, namun menambah tekanan. Selesai dengan mandi, aku segera berpakaian secepat mungkin. Aku berlari menuju dapur, berharap bisa mendapatkan sarapan meskipun hanya seteguk susu putih. Arga sudah ada di sana, berdiri sambil mengunyah roti bakar dengan ekspresi serius di wajahnya. Tangannya yang kuat menyandarkan tubuhnya pada meja dapur, dan matanya melirik jam dinding dengan penuh kecemasan. "Kita benar-benar harus cepat," ulangnya, kali ini suaranya lebih tenang, tapi jelas-jelas menyimpan kekesalan tersembunyi. Tanpa menanggapi, aku hanya mengangguk sambil meraih roti yang tergeletak di meja dan menyesap sedikit susu dingin. Kami makan dalam diam, dan suasana terasa tegang, seperti ada banyak hal yang belum terucap namun dipendam. Pikiranku berlari, mencoba mengejar waktu sambil menenangkan perasaan tak nyaman di dada. Setelah beberapa menit, kami akhirnya melesat keluar pintu dan berlari ke mobil. Suara langkah kami di trotoar bergema dalam keheningan pagi, menciptakan suasana yang makin canggung di antara kami. Sebelum masuk ke mobil, Arga berbisik pelan. "Ingat, kita akan berpisah sebelum sampai di gerbang sekolah. Jangan sampai ada yang tahu kita datang bersama. Mereka akan curiga." "Suami macam apa kamu..." Arga mengangkat tangannya, meletakkan jari telunjuknya di bibirku. "Bukan waktunya untuk berdebat, Ny. Arga!"Saat bel pertama berbunyi, aku baru saja melangkah memasuki gerbang sekolah. Aku segera berlari menuju ruang kelas dan melihat Arga berdiri di depan pintu, dengan ekspresi yang sama cemasnya. Kami saling bertatapan, seolah tidak percaya bahwa kami terlambat untuk pertama kalinya."Kita tidak terlambat, kan?" tanyaku, berusaha mengurangi rasa malu."Menurutmu?" jawab Arga sambil menatap jam tangannya dengan serius. "Sepertinya kita akan kena hukuman.""Ah, aku tidak pernah terlambat seperti ini," keluhku dengan kesal."Ya, semua gara-gara kamu," jawab Arga, nada suaranya penuh ketegangan. "Kalau saja kamu tidak menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi, kita tidak akan terlambat."Aku menatapnya dengan tak percaya. "Aku? Lagipula, kamu juga tidak memberikan penjelasan tentang berapa lama kamu akan berada di kamar mandi."Arga menghela napas, wajahnya menunjukkan frustrasi. "Aku juga tidak tahu kamu akan berganti pakaian sebanyak itu. Ada cara lebih cepat untuk siap pergi, kamu tah
Aku kembali ke kelas, tapi pikiran dan hatiku masih tertinggal di ruang UKS. Elang. Namanya terus terngiang di kepalaku, membayangi setiap langkahku. Berbicara tentangnya seolah tak pernah ada ujungnya, karena dia adalah satu-satunya orang yang selalu perhatian padaku sejak awal masuk sekolah.Setiap tatapan, senyum, dan caranya memperlakukan aku dengan lembut, selalu membuatku merasa istimewa. Aku teringat saat pertama kali bertemu dengannya, bagaimana dia tanpa ragu menawarkan bantuan ketika aku kebingungan mencari kelas.Sejak saat itu, perhatian-perhatiannya tak pernah surut. Entah itu sekadar menyapaku di koridor atau memastikan aku baik-baik saja di tengah hiruk pikuk sekolah, Elang selalu ada.Dan sekarang, setelah insiden tadi di lapangan, aku semakin tak bisa menghilangkan bayangannya dari pikiranku. Cara dia dengan mudah menyuapiku dan tatapan hangatnya saat aku merasa lemah tadi... apakah dia hanya bersikap baik padaku? Atau memang ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhat
Aku segera meletakkan tasku di sofa dan mencoba mengalihkan suasana yang canggung."Ibu, maafkan Arga, dia pasti lelah," kataku, berusaha tersenyum. "Ibu mau minum apa? Aku bisa buatkan teh atau kopi."Ibu Arga menatapku dengan lembut, meski matanya sedikit sayu. "Tidak apa-apa, Rila. Aku mengerti sifat Arga." Dia menghela napas pelan. "Teh saja, ya."Aku mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sambil menyiapkan teh, pikiranku berkecamuk. Rasanya hubungan ini begitu jauh dari apa yang aku bayangkan ketika menikah dengan Arga. Hubungan yang semula kuharapkan membawa kebahagiaan kini malah dipenuhi jarak yang dingin dan pertengkaran yang seolah tiada habisnya.Saat kembali dengan secangkir teh hangat, ibu Arga masih duduk di sana, menatap kosong ke arah tangga tempat Arga tadi menghilang. Aku duduk di sebelahnya, meletakkan cangkir di atas meja."Ibu, aku benar-benar minta maaf soal Arga. Aku tahu ini tidak mudah..."Ibu Arga menoleh padaku, kali ini dengan senyum yang tidak biasa. "Tidak
Arga melepaskan ciumannya dan menatapku dengan ekspresi campur aduk. "Bau apa ini?" tanyanya, matanya melotot dengan heran.Aku langsung mendorongnya, merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Aku tidak sebau itu!" kataku tegas sambil cepat-cepat mencium bau tubuhku.Mungkin aku memang tidak wangi, tapi tidak seburuk itu, kan?"Rilla!!"Teriakan Arga mengalihkan perhatianku. Dia melesat ke dapur, matanya lebar penuh kekhawatiran saat melihat api yang menyala dari kompor."Astaga!" teriakku, mengikuti langkahnya. Di dalam dapur, asap mulai memenuhi ruangan, dan panik menjalar di antara kami.Arga segera berusaha memadamkan api yang semakin membesar, tangannya bergerak cepat. Aku meraih sekop di sudut dan menyiramkan air dari wadah yang ada, berusaha membantu."Cepat, Rilla! Di sebelah kiri!" Arga memberi instruksi, suaranya tegas meski terlihat stres."Oke, oke!" jawabku, berusaha tetap fokus. Kami bekerja sama, meski ada rasa canggung setelah momen sebelumnya.Setelah beberapa menit yang pen
Keesokan harinya, ketika aku terbangun, kamar terasa sunyi dan kosong. Arga sudah tidak ada di sana. Aku melirik jam di meja samping tempat tidur, masih menunjukkan jam 6 pagi.Biasanya, Arga masih ada di rumah atau setidaknya di kamar pada waktu seperti ini. Tapi kali ini, tidak ada jejaknya sama sekali. Selimutnya sudah dilipat rapi di sisi ranjang, dan meja belajarnya kosong, seolah dia sudah berangkat lebih awal.Aku bangkit dari tempat tidur, mencoba mengusir rasa penasaran itu, tapi semakin kuabaikan, semakin kuat pertanyaan itu menghantui pikiranku. Aku membuka mataku lebih lebar dan melihat secarik kertas tergeletak di atas meja. Tulisan tangan Arga yang rapi terpampang di sana."Aku berangkat lebih dulu, pastikan kamu tidak terlambat lagi."Aku menghela napas. Begitulah Arga, selalu dingin dan teratur, seolah tidak ada hal lain yang lebih penting selain ketepatan waktu dan kesempurnaan. Meski begitu, ada sesuatu yang aneh dari caranya per
Aku masih ingat dengan jelas hari pertama aku bertemu Elang. Saat itu, aku baru saja dipindahkan ke sekolah ini, dan semuanya terasa asing bagiku. Saat wali kelas memperkenalkanku kepada seluruh siswa, aku merasa gugup, tidak tahu harus bersikap bagaimana.Tapi ketika jam istirahat tiba dan wali kelasku memperkenalkan Elang sebagai ketua OSIS, rasa gugup itu berubah menjadi sesuatu yang berbeda."Hai, Rilla. Aku Elang," ucapnya sambil tersenyum hangat.Sejenak, aku terpaku. Elang, dengan postur tegap dan senyum ramahnya, terlihat begitu sempurna di mataku. Rambutnya yang rapi, sorot matanya yang lembut namun penuh percaya diri, semuanya membuatku terpesona dalam sekejap. Aku ingin mengatakan sesuatu, mungkin sekadar balasan untuk menyapanya, tapi rasanya seperti kata-kata tersangkut di tenggorokanku."Kamu murid baru, ya? Nggak perlu canggung. Sekolah ini asik kok," lanjutnya dengan santai, suaranya terdengar tenang dan bersahabat.Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kikuk. Kam
"Ril, tapi kamu beneran nggak tahu kalau Elang pacar Ericka?" tanya Silvia, suaranya terdengar prihatin sambil merangkul pundakku dan mengajakku berjalan menuju kelas.Aku hanya bisa menggeleng pelan, masih merasa bingung dengan semua yang baru saja terjadi. "Nggak tahu, Vi. Aku beneran nggak tahu. Elang nggak pernah ngomong apa-apa soal itu."Silvia mendesah, "Ya ampun, Ril. Kamu harus lebih hati-hati. Ericka itu tipe orang yang nggak main-main kalau soal cowoknya."Aku menelan ludah, memikirkan kemungkinan kalau Elang selama ini menyembunyikan hubungan mereka dariku. "Tapi, Elang nggak pernah kasih tanda apa-apa. Aku juga nggak pernah ngelihat mereka berdua deket."Silvia menghela napas panjang, "Itu masalahnya, Ril. Ericka nggak bakal diam aja kalau tahu kamu sering bareng Elang. Kamu harus jaga jarak dari dia sebelum masalahnya makin besar."Aku hanya bisa mengangguk, meski dalam hati, masih ada ribuan pertanyaan yang berkecamuk. Apa
Hari itu, aku mulai menjaga jarak dari Elang. Setiap kali dia mencoba mendekat, aku selalu mencari alasan untuk pergi. Aku tidak ingin terlihat mencurigakan di mata Ericka atau orang lain. Tapi meskipun aku berusaha keras, rasa bersalah terus menghantui. Elang pasti merasa aneh dengan sikapku yang tiba-tiba berubah.Beberapa hari kemudian, aku melihat Elang berdiri di depan kelas, menungguku. Aku berusaha menghindar, tapi dia memanggilku dengan suara keras."Ril, tunggu!" katanya sambil menghampiriku.Aku memaksakan senyum, meskipun hatiku berdebar kencang. "Ada apa, Elang?"Elang menatapku dengan raut bingung. "Kenapa kamu kayak ngehindar dari aku belakangan ini? Aku salah apa?"Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana aku bisa menjelaskan semuanya tanpa membuat situasi semakin buruk?"Enggak kok, aku cuma sibuk aja," jawabku akhirnya, berusaha terdengar santai.Tapi Elang tidak terlihat puas. "Ril, aku tahu ada sesuatu. Kalau ada masalah, k
Aku duduk di meja makan, berusaha menenangkan pikiranku yang masih kacau. Suasana ruang makan terasa begitu normal, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya di kamar. Ibuku sibuk menyendokkan nasi ke piring, sementara ayah hanya fokus pada makanannya. Arga duduk di seberangku, sesekali menatapku tanpa berkata apa-apa.Aku berusaha untuk tetap tenang, tapi bayangan kejadian tadi terus menghantui pikiranku. Sentuhan tangannya, tatapan matanya, dan kata-kata yang ia ucapkan sebelum kami turun membuat dadaku terasa sesak. Apa maksudnya dengan ‘nanti kita selesaikan’? Apa yang ingin dia katakan sebenarnya?“Kamu kenapa, Rilla?” tanya ibu tiba-tiba, membuatku tersentak. “Dari tadi diam saja, nggak biasanya.”Aku buru-buru menggeleng dan tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma capek saja.”Ibuku mengangguk, tampaknya menerima jawabanku begitu saja. Aku melirik ke arah Arga, berharap dia tidak akan mengatakan apa pun yang bisa memperumit situasi. Namun, dia hanya tetap diam, menyendok makan
Aku duduk di samping Arga, menyandarkan punggungku ke sandaran tempat tidur, sementara dia tetap diam menatap lantai. Ada ketegangan di antara kami, namun aku tahu malam ini adalah saat yang tepat untuk berbicara."Arga," panggilku pelan, menoleh ke arahnya. "Kamu mau dengar ceritaku?"Dia menoleh padaku, matanya tetap tenang namun penuh rasa ingin tahu. Tidak ada anggukan, tidak ada kata setuju, tapi aku tahu dia bersedia mendengar. Jadi, aku mulai bercerita."Ibuku hanyalah seorang asisten rumah tangga. Ayahku? Dia karyawan kantor biasa. Gaji mereka tidak pernah cukup untuk kami bertiga. Aku tumbuh dengan melihat ibu bekerja keras di rumah orang lain, mencuci, menyetrika, dan membersihkan rumah. Ayahku juga selalu pulang dengan wajah lelah, tapi kami selalu mencoba untuk tetap bahagia."Aku berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. Arga masih diam, namun aku bisa merasakan fokusnya hanya padaku."Tiba-tiba saja, aku bisa sekolah di tempat yan
Arga duduk di sofa kecil kamarku, pandangannya kosong menatap lantai. Aku jarang melihatnya seperti ini, terlihat lemah dan rapuh, seperti membawa beban yang terlalu berat untuk dipikul sendiri.Untuk pertama kalinya, aku melihatnya benar-benar manusiawi, bukan sosok keras dan dingin yang biasa aku temui."Aku nggak pernah cerita ini ke siapa pun," katanya akhirnya, suaranya rendah, hampir berbisik. "Tapi kalau aku nggak cerita sekarang, aku takut kamu salah paham terus tentang semuanya."Aku mengangguk pelan, menunggu dia melanjutkan."Ibuku..." Arga berhenti sejenak, menarik napas panjang. "Dia ninggalin aku waktu aku masih kecil. Hidup kami susah, Rilla. Aku sama ayahku waktu itu cuma punya cukup uang buat makan sehari-hari. Ibuku pergi karena dia nggak tahan hidup seperti itu. Dia ingin lebih. Dia ingin sesuatu yang nggak bisa diberikan ayahku saat itu."Aku tertegun, tidak menyangka. "Dia meninggalkan kamu? Padahal waktu itu kamu masih kecil?" tanyaku pelan, nyaris tidak percaya.
Aku dan Arga duduk bersebelahan di ujung tempat tidur, suasana kamar yang hening hanya diiringi suara detak jam dinding. Setelah mengganti pakaian basah kami, tak ada satu pun dari kami yang bicara.Aku masih mencerna fakta bahwa Arga benar-benar mengajakku menginap di rumah orang tuaku malam ini. Rumah sederhana yang penuh kenangan, jauh dari kemewahan rumah besar yang diberikan oleh orang tuanya."Aku nggak nyangka kamu bakal nyaman di sini," akhirnya aku membuka percakapan, mencoba memecah kebisuan.Arga menatap ke arahku, senyumnya samar, tetapi ada kehangatan di sana. "Kenapa nggak nyaman? Rumah ini jauh lebih hidup daripada rumah besar itu. Kamu tahu, kadang aku merasa kosong tinggal di sana."Aku menatap wajahnya yang serius. "Tapi... kamu kan terbiasa dengan semua hal besar dan mewah. Tidur di kasur kecil begini mungkin nggak biasa buatmu."Dia tertawa kecil, tapi matanya tetap serius. "Rilla, bukan soal besar atau kecil. Kadang aku lebih pengen rumah yang terasa seperti ini-r
Elang mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah kotak kecil berwarna biru muda. Dengan hati-hati, dia membukanya dan menghadapkannya padaku. Aku terkejut saat melihat isinya. Es krim dengan beberapa topping buah segar di atasnya."Aku tadi abis mampir ke supermarket, dan lihat ini... Mungkin bisa bikin suasana hatimu sedikit lebih baik," katanya dengan senyum ringan, meskipun aku bisa melihat kegelisahan di balik mata cokelatnya.Aku menatap es krim itu, lalu beralih menatap Elang. Caranya bicara, dan suaranya yang lebih lembut dari biasanya. Biasanya dia selalu santai dan terkesan main-main, tapi kali ini dia berbeda.Aku terdiam sejenak, lalu mengambil es krim itu dari tangannya. "Terima kasih, Elang," jawabku pelan, sedikit tersenyum. "Tapi kamu yakin ini bisa membuatku merasa lebih baik?"Elang mengangguk, tatapannya lembut. "Terkadang, hal-hal kecil seperti ini bisa membantu, Rilla. Aku nggak tahu apa yang sedang kamu hadapi, tapi mungkin sedikit waktu untuk menikmati sesuatu yang
Aku menatap Arga dengan tatapan penuh tanya, menunggu dia menyangkal ucapan perempuan itu. Tapi dia tetap diam, wajahnya kaku, dan sorot matanya menghindari milikku.Viona. Nama itu terasa asing, tapi caranya menyebut nama itu... seolah ada cerita panjang di baliknya. Perempuan bernama Viona itu menatap Arga dengan mata yang masih berkaca-kaca, sementara aku hanya berdiri di ambang pintu, bingung dengan situasi yang baru saja terjadi."Aku mencarimu, Arga," katanya pelan. "Aku tahu aku salah, tapi... aku tidak punya tempat lain untuk pergi."Aku berdeham, mencoba menghilangkan rasa sesak di dadaku. "Maaf, bisa jelaskan siapa kamu sebenarnya?" tanyaku, mencoba menjaga nada suaraku tetap sopan meskipun jantungku berdebar keras.Viona menoleh ke arahku, seolah baru menyadari keberadaanku. "Aku..." dia terdiam sejenak, tampak ragu. "Aku adalah orang yang seharusnya ada di sisi Arga."Perkataannya membuat darahku mendidih, tapi aku menahan diri. "Maksudmu?""Rilla, masuk ke dalam. Ini buka
Berita tentang aku dan Arga yang menjalin hubungan menjadi topik hangat di sekolah. Setiap lorong yang kulewati, bisik-bisik itu tak pernah berhenti. Ada yang tertawa geli, ada yang penasaran, dan ada pula yang terlihat iri.Aku mencoba mengabaikannya, meski rasanya sulit untuk tidak memikirkan bagaimana reaksi semua orang, terutama Ericka. Aku tahu, dia tidak akan tinggal diam.Benar saja, berita itu akhirnya sampai juga ke telinganya. Tatapan Ericka padaku di kantin berubah menjadi lebih tajam, seperti pisau yang siap menusuk kapan saja. Dia tidak langsung bicara atau menyerangku seperti biasanya, tapi aku tahu dia sedang merencanakan sesuatu.Hari itu, setelah jam pelajaran selesai, aku pergi ke gudang sekolah untuk mencari beberapa alat peraga yang diminta oleh guru. Gudang itu sunyi, sedikit berdebu, dan penerangannya redup. Aku sibuk mencari barang-barang di rak, tidak memperhatikan keadaan sekitar. Tiba-tiba, suara pintu yang ditutup keras mengagetkanku."Brak!"Aku berbalik, t
Kami terbangun di pagi hari dengan suasana yang lebih ceria dan hangat dari biasanya. Aku merasa seakan semua yang terjadi kemarin malam menghapus kebekuan yang selama ini ada di antara kami.Arga bangun lebih dulu, tampak sedikit bingung sejenak, sebelum akhirnya matanya bertemu denganku. Ada senyum tipis di wajahnya, yang meskipun sederhana, aku bisa merasakan kehangatan yang berbeda.Kami tidak mengucapkan kata-kata berlebihan, hanya saling memberikan tatapan yang penuh arti, seolah mengatakan bahwa segala sesuatu bisa dimulai dengan cara yang lebih baik.Aku duduk di meja makan, menikmati sarapan yang sederhana. Suasana pagi itu tidak seperti biasanya. Lebih hidup, lebih ceria, seolah ada sebuah awal baru yang menanti. Percakapan ringan tentang kegiatan sekolah dan ujian, ditambah dengan tawa-tawa kecil, membuat suasana semakin terasa hangat.Arga yang biasanya pendiam, kali ini terlihat lebih santai, seakan ada sisi lain dari dirinya yang mulai terbuka."Arga, kamu siap untuk uji
Makan malam keluarga pun tiba, rumah yang biasanya sepi karena hanya ada aku dan Arga yang berjauhan, kini lebih ramai. Keluarga besar kami berkumpul, meski hanya orang tuaku yang duduk di meja makan, suasananya tetap terasa lebih hidup. Suasana canggung ini terasa semakin nyata saat Ibu mulai membuka percakapan. "Rilla, bagaimana persiapan ujianmu? Sudah belajar cukup?" tanyanya sambil menyodorkan sepiring sayur ke arahku dengan senyuman lembut.Aku tahu bahwa meskipun pertanyaan itu terkesan ringan, Ibu selalu khawatir dengan segala hal yang kujalani.Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Bu. Hanya masih ada beberapa materi yang perlu aku pelajari lagi."Arga yang duduk di seberang meja, sepertinya tidak ingin ketinggalan, ikut menimpali. "Tenang saja, Rilla. Semua pasti akan baik-baik saja kalau kamu fokus," ujarnya dengan santai, mencoba memberikan semangat.Ibu tersenyum dan menatap Arga. "Arga, kamu juga sudah siap ujian? Kelihatannya akhir-akhir ini kamu lebih sering sibuk," tan