"Rani, Mas disini nggak mau memaksakan diri kamu untuk menerima Aldi secepatnya, hanya saja kami tahu jika keputusan itu berat buat kamu. Namun, apapun yang menjadi akhir dari perjalanan kamu, kami berdua akan selalu mendukung." Mas Bima berujar saat aku sudah duduk bersamanya."Seseorang yang pernah terluka pasti akan sulit untuk memulai suatu hubungan lagi, Mas tahu itu. Untuk mencoba pun rasanya Mas nggak akan mengizinkan karena itu hati bukan mainan. Pernikahan juga bukan hal yang baru buat kamu, tapi kamu yakin jika kamu akan mendapatkan pendamping yang lebih baik dari sebelumnya. Jangan membebani diri kamu dengan perkataan Aldi, jangan merasa tidak enak dengan Kakakmu Lilik, juga Mas. Semua ada pada kamu," imbuhnya.Mas Bima benar, aku nggak boleh merasa nggak tega sama Aldi hanya karena sebuah alasan yang tidak jelas. Ini masa depanku dan aku sendirilah yang akan menjalani semuanya."Masih ada waktu, perbanyak berdoa, nggak perlu tertekan karena hidup ini bukan selamanya untuk
Seminggu telah berlalu, Aldi yang merasa mempunyai sesuatu yang belum selesai pagi ini di waktu yang cerah datang dengan membawa buah tangan. Wajah itu terlihat berseri juga sumringah, seperti seseorang yang mendapat durian runtuh.Jarum jam menunjukkan angka delapan, suasana yang masih begitu sejuk dan asri. Burung yang hinggap dari dahan satu ke dahan yang lain pun meramaikan hari yang berwarna-warni. Dedaunan pun bergoyang seakan senang karena cuacanya yang tidak terlalu panas juga dingin.Semua makhluk di bumi begitu bersyukur dengan caranya masing-masing saat semua ini bisa dinikmati secara langsung. Betapa besar ciptaan Tuhan yang telah di berikan kepada kita."Apa kabarnya?" tanya Aldi memecah keheningan pagi ini."Alhamdulillah.""Sepi, kemana semua orang?""Sudah pergi kerja, pagi-pagi sekali mereka berdua disibukkan dengan rutinitas sehari-hari. Maklum, pekerja keras."Hening.Kami sama-sama membisu, andai bisa didengar mungkin detak jantung inilah yang paling keras suaranya
Kabar gembira ini tentu saja aku berikan kepada yang di kampung. Keluarga disana sangat menyambut baik niat Aldi untuk meminangku. Meskipun pada awalnya Ayah mempertanyakan perihal keluarga besar Aldi.Ayah Aldi telah tiada tiga tahun yang lalu, dia tinggal bersama ibunya sendiri di sebuah rumah yang tidak jauh dari kediaman Mas Bima ini. Jaraknya tidak jauh, paling sekitar tiga puluh menit dan itu berarti aku akan ikut tinggal disini dan menetap bersama mereka."Ayah takut jika mereka nggak setuju karena status kamu," ujar Ayah dengan nada sedih."Berpikir positif saja Ayah, besok keluarga Aldi akan datang kesini, doanya semoga lancar." Aku pun mencoba mengalihkan pembicaraan, padahal jujur dalam hati ini pun ragu dan takut."Aamiin, semoga saja lancar sampai hari bahagia. Nanti Ayah dan semuanya akan kesana, kamu anak Ayah dan sudah sewajarnya orang tua akan bertanggung jawab atas pernikahan putrinya."Air mata ini jatuh deras membasahi pipi. Terharu akan perkataan Ayah yang begitu
Mereka berdua tampak lebih cerah dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang mereka bicarakan, aku mengambil bantal dan memposisikan diri menjadi seorang adik yang siap untuk diberikan pencerahan dari orang yang lebih tua."Rani, tadi aku mendapatkan telepon dari keluarga Aldi. Malam Minggu besok mereka akan kesini, bertamu dan saling mengenal satu sama lain. Siap?" tanya Mas Bima."InsyaAllah, Mas, tadi sudah mengabari Ayah tentang kabar bahagia ini. Sekedar ingin berbagi, sekalian mohon doanya semoga di lancarkan." "Alhamdulillah, akhirnya kamu menikah juga. Semoga langgeng, kami turut bersukacita." Mbak Lilik menarik tubuh ini kedalam pelukannya. Mata indah itu berkaca-kaca, bukan tangis duka, tapi kebahagiaan. Aku pun sama, ikut juga dalam suasana bahagia yang besar ini. Tak terasa butiran bening yang tidak ingin aku keluarkan akhirnya luruh juga."Kenapa malah menangis semua? Ini kebahagiaan bersama bukan kesedihan. Rani, persiapkan diri kamu dan untuk suguhan biar Mbak Lilik saja
Tepat di malam Minggu rumah ini ramai dikunjungi para kerabat Mbak Lilik, maklum aku adalah pendatang baru yang kebanyakan keluarga besar berada di kampung. Sedang Mas Bima, keluarga dari ibu juga sama. Sehingga Kakak lelakiku itu di sini sendiri, tapi setelah mendapatkan istri yang banyak saudara di tempat ini maka kami pun berbaur bersama.Meja penuh dengan kue-kue tradisional dan modern, di tata rapi dan sempurna menyambut tamu yang menurut Aldi kemarin ada sekitar dua puluh orang. Banyak menurutku karena ini hanya acara bertamu dan saling mengenal keluarga besar. Rasa sedih pun sesaat datang menghampiri, karena Ayah dan ibu juga Mita tidak ada diantara kami."Kenapa sedih?" tanya Ibu Tari, ibunya Mbak Lilik saat melihatku terdiam di kursi memandang ke depan."Nggak, Bu." "Kami ada disini semua, jangan bersedih. Anggap saja kita keluarga kamu, ya," hiburnya lagi yang berhasil menahan air mata ini yang hendak keluar mengalir di pipi.Genggaman tangan Bu Tati menguatkan diri ini men
Seminggu berlalu semenjak hari pertunangan itu, ayah dan keluarga yang kampung datang kesini kembali. Namun, ini lebih banyak karena ada sepupu juga ikut datang ke tempat ini. Hati ini sungguh bahagia, meskipun keluarga besar tidak bisa hadir dikarenakan jarak yang membentang terlampau jauh.Akan tetapi, aku mengucap syukur dan terima kasih kepada mereka yang sudi datang kesini, ke rumah Mas Bima. Persiapan menyambut hari pernikahan sedikit berbeda, karena daerah yang berbeda juga dengan tempat tinggal kami di kampung.Semua di pegang oleh Mbak Lilik, aku? Tidak diizinkan untuk ikut campur dalam urusan ini, terima bersih begitu jawaban kakak iparku yang paling baik itu terhadap adiknya ini. Riuh canda para anak-anak yang setiap malam di rumah ini seolah membuat suasana sedikit berbeda.Yang biasanya sepi karena kami bertiga kini ramai oleh sanak-saudara. Para kerabat Mbak Lilik pun turut serta meramaikan malam menjelang pesta pernikahanku. Padahal aku tidak menginginkan acara yang ra
Puncaknya hari ini, aku dirias menjadi pengantin tercantik di jagat raya. Ratu sehari dalam istana kebahagiaan keluarga, duduk di singgasana bersama imamku yang sudah berjanji sehidup semati di depan penghulu dan keluarga besarnya.Air mata haru dan bahagia keluar tanpa henti, pun dengan Ayah dan juga keluarga yang merasakan kebahagiaan ini. Suasana sakral berubah menjadi tangisan yang riuh, manakala ijab qobul terdengar merdu di telinga."Alhamdulillah, akhirnya kalian menjadi pasangan yang sah. Selamat menempuh hidup baru, bahagia, langgeng sampai tua, ya, Nak!" ucap Ayah terdengar pilu.Tangisannya pun pecah, kupeluk tubuh yang sudah tidak kekar itu. Dulu saat masa kecil, mereka ayah dan ibu berpisah. Kami hidup berdua sebelum Bu Fatimah datang di rumah. Makan seadanya, tidur berdua di ranjang bambu.Suaranya yang khas itu membuat kerinduan tersendiri saat usia semakin beranjak remaja. Dimana Ibu Fatimah menjadi ibu sambung yang baik dan lembut. Meskipun ada suara sumbang di luar s
Malam-malam pun berlalu begitu saja dengan indah. Keluarga yang aku rasakan sangat hangat, mereka semua menerima diri ini dengan tangan lebar. Seminggu sudah aku menjadi istri dari Mas Aldi dan untuk sementara ini aku ikut dengan dia, tinggal di rumah orang tuanya."Besok Ayah mengajak kita untuk pulang kampung, bisa?" tanyaku pada Mas Aldi yang sedang menikmati kopinya."InsyaAllah, kamu persiapkan saja barang apa yang perlu dibawa!" ucap Mas Aldi."Hati-hati di perjalanan dan jangan lupa beri kabar jika sudah sampai!" Ibu mertua yang datang dari belakang pun tiba-tiba nimbrung pembicaraan kami."Rani, nanti Ibu bawakan buah durian dan hasil bumi disini, jangan ditolak!" Akhirnya aku hanya mengangguk menanggapi permintaan ibu mertua.Semua barang yang akan di bawa sudah aku pisahkan dan tinggal masukkan dalam tas. Setelah sekian lama aku akan menginjakkan kaki di kampung halaman. Pergi saat ingin mengobati lara ini dan kini sakit itu telah sembuh total.Tidak ada kenangan yang harus
Perjalanan rumah tangga selama hampir satu tahun bersama Mas Aldi terasa indah. Adakalanya menangis, tertawa bercampur dan berganti bagaikan musim yang sedang terjadi di dunia ini.Kerikil-kerikil kecil menghalangi jalan kami, tapi Alhamdulillah masih bisa dilalui dengan baik karena pemikiran yang dewasa dan tenang dari suamiku itu membuat diriku semakin jatuh cinta dan bersyukur betapa memilikinya adalah anugerah paling indah juga beruntung.Bulan ini adalah bulan di mana aku akan melahirkan. Segala keperluan sudah aku penuhi, tinggal menunggu lahiran. Malam ini udara terasa panas, kipas angin yang selalu berputar seolah tidak terasa sama sekali. Bahkan pakaian tidur yang aku kenakan pun sudah berganti yang tipis, tapi masih saja terasa gerah."Mungkin memasuki musim baru, ayo, tidur di dalam saja!" ajak Mas Aldi saat melihatku yang tengah mencari tempat paling nyaman.Di teras, di ruang tamu, di depan televisi juga di ruang makan sudah aku jelajahi. Akan tetapi, masih saja sama tid
Seminggu sudah aku dan Mas Aldi memulai babak baru di rumah ini. Semua sudah lengkap, rumah disulap menjadi tempat ternyaman saat lelah raga melanda. Berbagai macam tanaman pelengkap sayuran berada di taman belakang.Sedang ditaman depan, aku berikan sedikit sentuhan dengan bunga mawar dan tanaman lainnya. Sejuk jika dipandang mata sambil menikmati teh hangat di kala pagi ataupun senja tiba.Begitulah kami menikmati indahnya hidup ini, saling bercengkrama dan bercerita tentang pekerjaan dan juga rumah. Iya, meskipun aku sudah menjadi istri, tapi toko yang ku punya tetap berjalan hingga detik ini.Tidak dilarang untuk bekerja oleh Mas Aldi, karena itulah caranya untukku supaya bisa tetap bahagia. Sebab, dirumah aku kesepian jika dia bekerja. Semuanya lancar, pekerjaan, rumah tangga juga hubungan dengan orang tuanya.Alhamdulillah, itulah yang aku inginkan sejak dulu. Selalu harmonis dan terjaga meskipun terkadang dalam berumah tangga itu ada kerikil kecil yang menghalangi jalannya. Pem
Hampir tiga hari kami baru sampai di rumah lagi. Bermalam di kediaman Mas Bima semalam lalu ke rumah Mas Aldi. Disini aku memulai babak baru menjadi istri sepenuhnya.Rumah mungil minimalis yang begitu indah, Mas Aldi membelinya saat masih sendiri. Uang tabungan yang selama ini di simpan di belikan rumah sebagai tempat bermuaranya kami dalam rumah tangga. Meskipun di tinggal lama, tapi bersih karena selalu dijaga dengan baik oleh seseorang yang diminta Mas Aldi untuk membersihkannya."Ini rumah kita, rumah kamu dan aku. Rawatlah dan jaga seperti rumah sendiri. Semoga kelak kita menua disini bersama anak dan cucu." Tangan itu menggenggamku erat.Ada rasa haru dan bahagia kala memiliki istana mungil ini. Kebahagiaan seorang istri adalah mempunyai rumah, hidup bersama keluarga kecilnya. Kasarnya makan dengan garam tak mengapa jika bersama suami dan anak."Aamiin," balasku tersenyum senang.Mengucapkan salam saat pintu rumah mulai terbuka perlahan-lahan. Lantai yang putih bersih dan perle
Mobil travel sudah sampai di depan rumah, Pakde Nyomo beserta anak istrinya datang ke rumah. Padahal sehabis sarapan tadi kami semua berkunjung kesana untuk meminta doa restu supaya perjalanan yang kami tempuh selamat sampai tujuan.Namun, namanya juga keluarga, mereka berduyun-duyun datang dan memberikan doa kepada kami lagi. Ada haru, bahagia dan sedih bercampur aduk menjadi satu disini. Bahkan isakan mengiringi langkah kaki kami untuk pergi ke pulau seberang kembali."Kini saatnya kami mengawali kehidupan yang sebenarnya, mohon doanya semoga diberikan kelancaran dan kesuksesan dalam meraih mimpi yang indah," ucapku haru."Jika ada umur panjang, kesehatan dan rezeki yang melimpah kami akan berkunjung kembali kesini lagi melihat kampung terindah beserta keluarga besar yang selalu aku rindukan ini," imbuhku.Bu Fatimah memeluk tubuh ini lagi, seolah enggan untuk melepaskan. Beliau begitu berat berpisah dariku. Entahlah, sebenarnya aku pun ingin bersama mereka selamanya. Namun, ada ses
Pagi yang cerah secerah mentari yang mulai menampakkan warna Indahnya ke dunia ini. Tumbuh-tumbuhan bergoyang syahdu seiring dengan kicauan burung yang berdiri manja di rantingnya. Dihiasi dengan tetesan embun yang seolah memberikan kesejukan saat menikmati alam yang nyata juga indah ini.Ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Apalagi saat suara Kokok ayam bersahutan di antara cicitan anak-anak ayam membuat suasana pagi yang selalu aku rindukan kala di pulau seberang itu membuatku tersenyum melihatnya.Di belakang rumah Ayah, hewan piaraan kembali saling bersahutan, kambing, ayah juga burung yang hinggap di dahan pohon. Selalu aku menikmatinya dulu saat masih tinggal bersama mereka.Sedang, sayuran yang ditanam ibu di sini terlihat segar dan siap untuk dipetik. Warna cabai yang berwarna-warni menggiurkan dan seolah berteriak meminta untuk diambil dan dimasak. Pun demikian dengan sayuran bayam, kangkung juga terong, ibu memang super lincah.Apapun akan di tanamnya di lahan kosong, memanfa
Dua Minggu sudah aku, Mas Aldi, Mbak Lilik dan juga Mas Bima di kampung. Kini saatnya kami kembalikan lagi ke aktivitas masing-masing. Tidak bisa berlama-lama juga kami disini karena ada pekerjaan yang menanti di sana.Sehabis makan malam, kami berkemas, segala pakaian pun sudah siap untuk dibawa pulang kembali ke tempat semula. Bahkan Ibu Fatimah pun memberikan beberapa oleh-oleh khas kampung ini. Juga titipan buat ibu mertua sudah siap sedia untuk dibawa."Ibu nggak bisa memberikan banyak oleh-oleh, hanya segini saja semoga cukup dan bermanfaat buat keluarga disana," ucapnya saat memberikan beberapa plastik berisi penuh itu."Ini beras ketan buat mertuamu, beliau bilang disana mahal jadi Ibu titip ini, ya," imbuhnya dengan senyum merekah."Terima kasih banyak, Bu. Apa ini nggak merepotkan?" Mas Aldi bertanya saat melihat kami saling memegang plastik hitam itu.Bu Fatimah mengembangkan senyumnya, beliau duduk di sampingku sambil terus mengulum senyum tipis. Pun demikian dengan Ayah y
Kini hanya tinggal Pak Joko dan putrinya yang cantik di sini. Sebab, semua orang sudah meninggalkan rumah Ayah tanpa lagi bertanya atau bersuara. Mereka diam dan berlalu begitu saja bergantian.Aku maju, ingin sekali menampar pipi mulus itu dengan tanganku sendiri. Emosi ini naik ke ubun-ubun. Amarah yang salam ini terpendam ingin aku salurkan pada Nabila. Namun, saat aku hendak berbicara, Pakde Nyomo sudah mendahuluinya."Angkat kaki dari sini! Bukankah kamu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh menantuku?" ujar Pakde Nyomo lantang dan tegas."Aku tahu kamu sendirilah yang menyebar fitnah keji itu pada keluarga adikku, satu kali kesempatan aku berikan padamu. Andai aku tidak memandang kamu sebagai seorang bapak dan suami yang dianggap baik oleh keluargamu maka sejak awal aku akan mengatakan pada semua warga di kampung ini siapa dirimu yang sebenarnya." Entah pembicaraan macam mana ini. Sepertinya ada sesuatu lagi yang ditutupi oleh Pakde Nyomo."Kamu terlalu sombong karena memp
Pintu rumah digedor dengan keras dari luar saat kita semua jendela menunjukkan peraduan. Yang ada didalam saling menoleh satu sama lain. Entah tangan siapa yang menggedor pintu tanpa jeda itu.Ayah yang hendak membuka dicegah oleh Yoga yang dengan cepat menuju pintu. Suami dari Mita itu membukanya perlahan dan memperlihatkan ada dua orang yang bertamu, tapi memasang wajah tidak bersahabat.Mereka adalah Nabila dan ayahnya, Pak Joko. Terlihat ada yang ingin mereka bicarakan, karena dari sorot mata itu tertuju padaku."Wa'alaikumsalam, ada apa, ya, Pak. Malam-malam kok bertamu?" tanya Yoga sopan.Aku kalau jadi dia nggak akan bersikap seperti itu, terlalu jengah jika harus berpura-pura baik padahal sikap mereka kurang sopan. Sebagai orang tua bukankah harus memberikan contoh yang baik pada anaknya? Namun, tidak dengan Pak Joko, entahlah memang sifat orang beda-beda."Yoga, biarkan mereka masuk. Ayah mengizinkan tamu istimewa kita untuk duduk. Silahkan!" ujar Ayah yang kembali duduk di k
Sampai rumah aku duduk di teras, menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri sendiri karena kejadian barusan. Entah apa yang aku lakukan dahulu sehingga mengalami kejadian seperti ini.Bermimpi melihat Nabila saja tidak apalagi ada kenyataan yang membuat jantung ini seolah berdisko ria dengan irama yang membuat kepala sakit. Tuduhan yang terbalik seakan meruntuhkan segala tembok telah aku bangun untuk tidak mengingat kejadian lampau."Ada apa?" Suara Ibu Fatimah mengagetkan dieku yang menatap langit-langit teras dengan seksama."Kenapa Nabila selalu mengusik ketenanganku, ya, Bu? Padahal aku, lho, sama sekali nggak kepikiran untuk balikan sama Mas Rendi.""Kamu ketemu Nabila?" Lagi, suara ibu terlihat sedikit panik saat mendengar penjelasan tentang masa laluku.Aku mengangguk, lalu menengadah melihat lagi rumah laba-laba yang berada di antara kayu tempat genting. Serta warna hitam yang melekat pada kayunya, seolah menandakan kalau dia sudah lama berada di sini."Ibu juga nggak