Kabar gembira ini tentu saja aku berikan kepada yang di kampung. Keluarga disana sangat menyambut baik niat Aldi untuk meminangku. Meskipun pada awalnya Ayah mempertanyakan perihal keluarga besar Aldi.Ayah Aldi telah tiada tiga tahun yang lalu, dia tinggal bersama ibunya sendiri di sebuah rumah yang tidak jauh dari kediaman Mas Bima ini. Jaraknya tidak jauh, paling sekitar tiga puluh menit dan itu berarti aku akan ikut tinggal disini dan menetap bersama mereka."Ayah takut jika mereka nggak setuju karena status kamu," ujar Ayah dengan nada sedih."Berpikir positif saja Ayah, besok keluarga Aldi akan datang kesini, doanya semoga lancar." Aku pun mencoba mengalihkan pembicaraan, padahal jujur dalam hati ini pun ragu dan takut."Aamiin, semoga saja lancar sampai hari bahagia. Nanti Ayah dan semuanya akan kesana, kamu anak Ayah dan sudah sewajarnya orang tua akan bertanggung jawab atas pernikahan putrinya."Air mata ini jatuh deras membasahi pipi. Terharu akan perkataan Ayah yang begitu
Mereka berdua tampak lebih cerah dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang mereka bicarakan, aku mengambil bantal dan memposisikan diri menjadi seorang adik yang siap untuk diberikan pencerahan dari orang yang lebih tua."Rani, tadi aku mendapatkan telepon dari keluarga Aldi. Malam Minggu besok mereka akan kesini, bertamu dan saling mengenal satu sama lain. Siap?" tanya Mas Bima."InsyaAllah, Mas, tadi sudah mengabari Ayah tentang kabar bahagia ini. Sekedar ingin berbagi, sekalian mohon doanya semoga di lancarkan." "Alhamdulillah, akhirnya kamu menikah juga. Semoga langgeng, kami turut bersukacita." Mbak Lilik menarik tubuh ini kedalam pelukannya. Mata indah itu berkaca-kaca, bukan tangis duka, tapi kebahagiaan. Aku pun sama, ikut juga dalam suasana bahagia yang besar ini. Tak terasa butiran bening yang tidak ingin aku keluarkan akhirnya luruh juga."Kenapa malah menangis semua? Ini kebahagiaan bersama bukan kesedihan. Rani, persiapkan diri kamu dan untuk suguhan biar Mbak Lilik saja
Tepat di malam Minggu rumah ini ramai dikunjungi para kerabat Mbak Lilik, maklum aku adalah pendatang baru yang kebanyakan keluarga besar berada di kampung. Sedang Mas Bima, keluarga dari ibu juga sama. Sehingga Kakak lelakiku itu di sini sendiri, tapi setelah mendapatkan istri yang banyak saudara di tempat ini maka kami pun berbaur bersama.Meja penuh dengan kue-kue tradisional dan modern, di tata rapi dan sempurna menyambut tamu yang menurut Aldi kemarin ada sekitar dua puluh orang. Banyak menurutku karena ini hanya acara bertamu dan saling mengenal keluarga besar. Rasa sedih pun sesaat datang menghampiri, karena Ayah dan ibu juga Mita tidak ada diantara kami."Kenapa sedih?" tanya Ibu Tari, ibunya Mbak Lilik saat melihatku terdiam di kursi memandang ke depan."Nggak, Bu." "Kami ada disini semua, jangan bersedih. Anggap saja kita keluarga kamu, ya," hiburnya lagi yang berhasil menahan air mata ini yang hendak keluar mengalir di pipi.Genggaman tangan Bu Tati menguatkan diri ini men
Seminggu berlalu semenjak hari pertunangan itu, ayah dan keluarga yang kampung datang kesini kembali. Namun, ini lebih banyak karena ada sepupu juga ikut datang ke tempat ini. Hati ini sungguh bahagia, meskipun keluarga besar tidak bisa hadir dikarenakan jarak yang membentang terlampau jauh.Akan tetapi, aku mengucap syukur dan terima kasih kepada mereka yang sudi datang kesini, ke rumah Mas Bima. Persiapan menyambut hari pernikahan sedikit berbeda, karena daerah yang berbeda juga dengan tempat tinggal kami di kampung.Semua di pegang oleh Mbak Lilik, aku? Tidak diizinkan untuk ikut campur dalam urusan ini, terima bersih begitu jawaban kakak iparku yang paling baik itu terhadap adiknya ini. Riuh canda para anak-anak yang setiap malam di rumah ini seolah membuat suasana sedikit berbeda.Yang biasanya sepi karena kami bertiga kini ramai oleh sanak-saudara. Para kerabat Mbak Lilik pun turut serta meramaikan malam menjelang pesta pernikahanku. Padahal aku tidak menginginkan acara yang ra
Puncaknya hari ini, aku dirias menjadi pengantin tercantik di jagat raya. Ratu sehari dalam istana kebahagiaan keluarga, duduk di singgasana bersama imamku yang sudah berjanji sehidup semati di depan penghulu dan keluarga besarnya.Air mata haru dan bahagia keluar tanpa henti, pun dengan Ayah dan juga keluarga yang merasakan kebahagiaan ini. Suasana sakral berubah menjadi tangisan yang riuh, manakala ijab qobul terdengar merdu di telinga."Alhamdulillah, akhirnya kalian menjadi pasangan yang sah. Selamat menempuh hidup baru, bahagia, langgeng sampai tua, ya, Nak!" ucap Ayah terdengar pilu.Tangisannya pun pecah, kupeluk tubuh yang sudah tidak kekar itu. Dulu saat masa kecil, mereka ayah dan ibu berpisah. Kami hidup berdua sebelum Bu Fatimah datang di rumah. Makan seadanya, tidur berdua di ranjang bambu.Suaranya yang khas itu membuat kerinduan tersendiri saat usia semakin beranjak remaja. Dimana Ibu Fatimah menjadi ibu sambung yang baik dan lembut. Meskipun ada suara sumbang di luar s
Malam-malam pun berlalu begitu saja dengan indah. Keluarga yang aku rasakan sangat hangat, mereka semua menerima diri ini dengan tangan lebar. Seminggu sudah aku menjadi istri dari Mas Aldi dan untuk sementara ini aku ikut dengan dia, tinggal di rumah orang tuanya."Besok Ayah mengajak kita untuk pulang kampung, bisa?" tanyaku pada Mas Aldi yang sedang menikmati kopinya."InsyaAllah, kamu persiapkan saja barang apa yang perlu dibawa!" ucap Mas Aldi."Hati-hati di perjalanan dan jangan lupa beri kabar jika sudah sampai!" Ibu mertua yang datang dari belakang pun tiba-tiba nimbrung pembicaraan kami."Rani, nanti Ibu bawakan buah durian dan hasil bumi disini, jangan ditolak!" Akhirnya aku hanya mengangguk menanggapi permintaan ibu mertua.Semua barang yang akan di bawa sudah aku pisahkan dan tinggal masukkan dalam tas. Setelah sekian lama aku akan menginjakkan kaki di kampung halaman. Pergi saat ingin mengobati lara ini dan kini sakit itu telah sembuh total.Tidak ada kenangan yang harus
Perjalanan darat terasa singkat karena bersama keluarga besar. Menuju rumah masa kecil itu, jantung ini berdebar tak karuan dan semakin kencang. Seperti akan terjadi sesuatu yang mengejutkan.Suasananya masih sama, terasa sejuk dan mendinginkan hati. Pepohonan pun masih saja setia berdiri di tepi jalan seolah ingin memberikan kesejukan tersendiri pada semua makhluk hidup yang tengah melintas di depannya.Kendaraan berhenti tepat di depan rumah, keadaannya pun masih sama. Sejuk dan sedap dipandang mata karena pohon rindang yang berdiri gagah ini melindungi panas yang terik dari matahari. Meskipun terlihat sangat kotor karena ditinggal si empunya keluar pulau hampir dua Minggu, tapi rumah Ayah masih terlihat sejuk."Ini rumah Ayah, ayo, turun!" ajak Ayah pada Mas Bima, Mbak Lilik dan Mas Aldi."Sejuk, ya," ujar Arifin, anak sulung Mas Bima.Semua mengangguk menyetujui apa yang dikatakan anak lelaki yang sudah beranjak remaja itu. Dia melangkah lebih awal dari kami, melihat ke samping de
Pagi-pagi sekali semua keluarga dekat datang ke rumah, ibu Fatimah yang sudah pergi ke pasar karena hari ini akan menyelenggarakan sedikit syukuran karena pernikahan yang aku lakukan di tempat Mas Bima.Di dapur semua bercampur menjadi satu antara tetangga dekat juga saudara kami semua. Riuhnya seakan ada pesta besar di rumah ini. Mbak Lilik dan Mas Bima pun ikut serta dalam acara ini, mereka berkenalan dengan keluarga yang datang. Membaurkan diri bersama mereka semua, begitu pun Mas Aldi.Aku memperkenalkan dirinya sebagai suami, imam dan teman hidup baruku. Selamat dari semua anggota keluarga membuat mata ini memerah, tangis yang tak bisa kubendung akhirnya keluar juga."Semoga langgeng, kami hanya bisa mendoakan dan nggak bisa memberikan kado. Nikahnya di jauh sana, coba kalau disini, aku akan memberikan kado satu set gelas sama tekonya," ucap Mbak Nia, sepupuku dari pihak Ayah.Sontak ucapannya membuat kami semua terbahak-bahak. Tak selesai sampai disitu, salah satu sepupu lagi pu