Perjalanan darat terasa singkat karena bersama keluarga besar. Menuju rumah masa kecil itu, jantung ini berdebar tak karuan dan semakin kencang. Seperti akan terjadi sesuatu yang mengejutkan.Suasananya masih sama, terasa sejuk dan mendinginkan hati. Pepohonan pun masih saja setia berdiri di tepi jalan seolah ingin memberikan kesejukan tersendiri pada semua makhluk hidup yang tengah melintas di depannya.Kendaraan berhenti tepat di depan rumah, keadaannya pun masih sama. Sejuk dan sedap dipandang mata karena pohon rindang yang berdiri gagah ini melindungi panas yang terik dari matahari. Meskipun terlihat sangat kotor karena ditinggal si empunya keluar pulau hampir dua Minggu, tapi rumah Ayah masih terlihat sejuk."Ini rumah Ayah, ayo, turun!" ajak Ayah pada Mas Bima, Mbak Lilik dan Mas Aldi."Sejuk, ya," ujar Arifin, anak sulung Mas Bima.Semua mengangguk menyetujui apa yang dikatakan anak lelaki yang sudah beranjak remaja itu. Dia melangkah lebih awal dari kami, melihat ke samping de
Pagi-pagi sekali semua keluarga dekat datang ke rumah, ibu Fatimah yang sudah pergi ke pasar karena hari ini akan menyelenggarakan sedikit syukuran karena pernikahan yang aku lakukan di tempat Mas Bima.Di dapur semua bercampur menjadi satu antara tetangga dekat juga saudara kami semua. Riuhnya seakan ada pesta besar di rumah ini. Mbak Lilik dan Mas Bima pun ikut serta dalam acara ini, mereka berkenalan dengan keluarga yang datang. Membaurkan diri bersama mereka semua, begitu pun Mas Aldi.Aku memperkenalkan dirinya sebagai suami, imam dan teman hidup baruku. Selamat dari semua anggota keluarga membuat mata ini memerah, tangis yang tak bisa kubendung akhirnya keluar juga."Semoga langgeng, kami hanya bisa mendoakan dan nggak bisa memberikan kado. Nikahnya di jauh sana, coba kalau disini, aku akan memberikan kado satu set gelas sama tekonya," ucap Mbak Nia, sepupuku dari pihak Ayah.Sontak ucapannya membuat kami semua terbahak-bahak. Tak selesai sampai disitu, salah satu sepupu lagi pu
"Bagaimana bisa ini bukan urusanku? Keluarga ini adalah orang tuaku dan mereka semua yang ada disini juga keluarga baruku, lalu anda bisa menilai aku ini bukan bagian dari mereka begitu?" Lagi Mas Aldi mencoba berbicara lebih tenang meskipun aku sudah bergemuruh dan ingin menghajar mantan suamiku itu dengan kata-kata yang menyakitkan.Dia masih berpikir menjadi bagian dari keluarga ini, mungkin itu pikirnya. Namun, sayang setelah sikap dan keputusan yang dia ambil beberapa tahun lalu membuat semua berubah, dia yang memulai maka kami pun mengikuti.Orang tua Mas Rendi pun sejak saat itu enggan mengenal kami padahal aku sama sekali tidak pernah meninggalkan sikap buruk terhadap mereka. Kesalahan yang diperbuat oleh anak lelakinya padaku mungkin jadi alasan renggangnya hubungan baik itu. Biarkan saja, toh sekarang aku sudah mempunyai keluarga baru.Tidak ingin aku mengingat mereka hingga mantan suami yang kini berdiri tegak di dalam rumah Ayah ini. Sikapnya pun masih sama, angkuh. Sehing
"Mas Rendi, apa kabar?" tanyaku penuh penekanan. Berdiri diantara kakak lelakiku, ipar, suami dan ayah. Aku merasa beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang sayang."Sebelumnya perkenalkan ini suamiku, imamku, Mas Aldi namanya. Soal status biar saya dan keluarga yang tahu, orang lain nggak perlu ikut campur ataupun tahu-menahu perihal ini karena aku yakin itu nggak penting banget." Sekuat tenaga aku mencoba tegar dan kuat menghadapi lelaki aneh ini.Memang diperlukan sedikit ketegasan dan sikap agak gila jika ingin masalah yang terlalu panjang ini selesai. Terlalu lucu jika seorang mantan yang sudah dibuang masih diharapkan lagi. Ah, aku mungkin teramat percaya diri untuk itu. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika memang penilaianku seperti itu.Bukankah mantan yang sudah mempunyai pasangan tersayang baru maka yang lalu tidak perlu diingat kembali? Sama seperti apa yang aku rasakan detik ini. Di hati sama sekali tidak ada yang namanya Rendi, dia hanya sebatas masa lalu yang kelam dan
"Sudah, akhiri semua yang ada di hatimu! Akhiri!" bentak Pakde Nyomo lantang."Rani sudah menemukan lelaki yang tepat, yang bisa menjadikannya ratu dalam rumah tangganya. Nabila, wanita pilihanmu itu adalah masa depanmu!" imbuh Pakde Nyomo lagi.Sunyi, tidak ada suara sedikitpun dari Mas Rendi maupun dari yang lain. Semua membisu mendengar perkataan lelaki tua yang dulunya pernah menjadi kepala desa di kampung ini."Satu lagi!" Kini Mbak Nia pun ikut angkat suara. Sepupuku itu menyunggingkan senyum terhadap Mas Rendi yang menunduk kepalanya dalam-dalam."Jangan sekali-kali memfitnah salah satu keluarga kami, karena kami semua akan berubah menjadi monster yang bisa menghancurkan tubuh kamu berkeping-keping. Katakan juga hal ini pada Nabila, silahkan ambil mantan Rani. Akan tetapi, jangan pernah lagi menyenggolnya karena kamu sudah dibuang dan nggak ada gunanya di sini. Rani sungguh baik, dia selalu diam dan tenang jika digosipkan seperti itu, tapi kami sebagai saudaranya nggak akan lag
"Baik, sangat baik. Alhamdulillah, akhirnya semua selesai. Sejak ibu tahu dia masih berusaha mencarimu, sebenarnya hati ini takut jika terjadi hal yang di luar batas. Apalagi keluarga istrinya yang selalu saja menyalahkan kita," jawab Bu Fatimah akhirnya.Ku genggam tangan yang terasa dingin itu, suara yang serak seakan menahan tangis itu malah berganti dengan guncangan hebat pada kedua bahunya. Entah sesuatu apalagi yang disimpan oleh ibuku ini. Penasaran yang selama ini membuat jantungku berdetak tidak menentu akhirnya berakhir pada pandangan yang tertuju di pojok ruangan. Dia adalah Mita, adik sekaligus teman yang tahu banyak tentang semuanya, itu pasti."Keluarga istrinya selalu nyinyir sama Ibu ketika belanja sayur atau kebutuhan rumah. Selalu mencari gara-gara, hingga akhirnya kami memilih untuk menghindari mereka. Bukan merasa bersalah, tapi enggan untuk ikut dalam permainan mereka." Mita menjelaskan duduk permasalahan yang membuat kepala ini sakit."Namun, akhirnya semua tunt
"Betah disini?" tanya Pakde Nyomo pada Mas Aldi yang duduk di depan rumah bersama Mas Bima dan Yoga.Mereka menikmati kopi hitam dengan temani singkong goreng krispi atau nama modernnya singkong Thailand. Sungguh kenikmatan mana lagi yang bisa didustakan jika hal seperti ini adalah sesuatu yang besar dan tidak bisa diragukan. Kebahagiaan itu kita yang menciptakan dan kita yang merasakan, orang lain hanya bisa berkomentar dan melihat tanpa tahu jika ada lika-liku kehidupan yang unik. Mereka bercanda tawa riang seperti tidak ada beban.Tiga hari sudah kami di kampung, selama ini juga Mas Aldi menikmati hari-hari indah bersama keluarga besar ku. Ayah pun tampak begitu bahagia melihat anak dan menantunya tertawa lepas."Ayah bahagia?" tanyaku saat melihat mata Ayah berseri-seri."Sangat, kebahagiaan kami sebagai orang tua terletak pada anak-anak dan cucu, jika mereka bahagia lalu buat apa kamu bersedih? Jaga kebahagiaan ini buat kami!" ujar Ayah dengan mata berkaca-kaca.Tangan yang dulu
Malam ini terasa dingin, mungkin karena hujan di siang hari yang begitu deras disertai angin besar yang menggoyangkan pepohonan di depan rumah. Lalu menyisakan gerimis yang tak kunjung reda hingga malam tiba.Kami yang sehabis isya menikmati malam dengan duduk di depan televisi, satu persatu masuk ke kamar karena cuaca yang terasa dingin menusuk tulang. Meskipun rumah ini rapat, tapi aku masih saja merasa kedinginan. Inilah sisi burukku, aku akan menggigil setiap merasakan angin yang menyapa.Berselimut tebal dengan menutupi seluruh tubuh dan wajah, tapi masih saja merasa sesuatu yang tidak nyaman. Mas Aldi yang melihat keanehan pada diriku pun mendekat dan membuka selimut lalu menempelkan telapak tangannya di kening."Kamu sakit?" Pertanyaan itu hanya aku jawab dengan gelengan kepala."Aku kedinginan," jawabku singkat.Perlahan lelakiku itu keluar, pintu yang berderit memberitahukan bahwa dia sedang tidak ada di dalam kamar. Selang beberapa menit kemudian ada aroma wangi melati menus