"Betah disini?" tanya Pakde Nyomo pada Mas Aldi yang duduk di depan rumah bersama Mas Bima dan Yoga.Mereka menikmati kopi hitam dengan temani singkong goreng krispi atau nama modernnya singkong Thailand. Sungguh kenikmatan mana lagi yang bisa didustakan jika hal seperti ini adalah sesuatu yang besar dan tidak bisa diragukan. Kebahagiaan itu kita yang menciptakan dan kita yang merasakan, orang lain hanya bisa berkomentar dan melihat tanpa tahu jika ada lika-liku kehidupan yang unik. Mereka bercanda tawa riang seperti tidak ada beban.Tiga hari sudah kami di kampung, selama ini juga Mas Aldi menikmati hari-hari indah bersama keluarga besar ku. Ayah pun tampak begitu bahagia melihat anak dan menantunya tertawa lepas."Ayah bahagia?" tanyaku saat melihat mata Ayah berseri-seri."Sangat, kebahagiaan kami sebagai orang tua terletak pada anak-anak dan cucu, jika mereka bahagia lalu buat apa kamu bersedih? Jaga kebahagiaan ini buat kami!" ujar Ayah dengan mata berkaca-kaca.Tangan yang dulu
Malam ini terasa dingin, mungkin karena hujan di siang hari yang begitu deras disertai angin besar yang menggoyangkan pepohonan di depan rumah. Lalu menyisakan gerimis yang tak kunjung reda hingga malam tiba.Kami yang sehabis isya menikmati malam dengan duduk di depan televisi, satu persatu masuk ke kamar karena cuaca yang terasa dingin menusuk tulang. Meskipun rumah ini rapat, tapi aku masih saja merasa kedinginan. Inilah sisi burukku, aku akan menggigil setiap merasakan angin yang menyapa.Berselimut tebal dengan menutupi seluruh tubuh dan wajah, tapi masih saja merasa sesuatu yang tidak nyaman. Mas Aldi yang melihat keanehan pada diriku pun mendekat dan membuka selimut lalu menempelkan telapak tangannya di kening."Kamu sakit?" Pertanyaan itu hanya aku jawab dengan gelengan kepala."Aku kedinginan," jawabku singkat.Perlahan lelakiku itu keluar, pintu yang berderit memberitahukan bahwa dia sedang tidak ada di dalam kamar. Selang beberapa menit kemudian ada aroma wangi melati menus
"Kamu pikir dirimu itu cantik? Ngaca dong! Sudah punya suami baru, tapi masih saja menggoda milik orang lain, dasar sampah!" Aku terhenyak mendengar suara dari belakang yang tak lain adalah istri dari Mas Rendi, Nabila.Wanita itu dengan lancarnya berbicara padaku yang tengah menunggu kembalian dari tukang sayur. Entah kebencian sedalam apa yang masuk di hatinya sehingga dengan seenak jidat mengatakan hal yang tidak aku lakukan.Namun, kali ini aku tidak akan diam saja dan menuruti apa yang menjadi kehendaknya. Bukan lagi manusia yang rendah dan hanya menangis, aku lupa lagi bagaimana caranya berbuat baik dan diam saja saat dihina. Iya, aku lupa."Pakai pelet apa kamu kok bisa-bisanya suami orang kamu taklukkan seperti itu. Hei, ibu-ibu, ini wanita ini nggak rela jika suaminya yang telah menjadi milik orang lain, cintanya masih besar sehingga membuat matanya buta dengan menghalalkan segala cara!" teriak Nabila lagi. Kali ini dia lebih berani karena menunjukku dengan jarinya yang lent
"Kalian semua itu sudah kena guna-guna keluarga mereka! Lihat itu buktinya kalian seolah merasa kasihan padanya, padahal dia yang memulai. Dia yang membuat aku dan Mas Rendi jadi kisruh. Dia ingin memisahkan aku dan suamiku!" teriak Nabila yang membuat mata ini memicing.Jadi beginilah ternyata kenyataan yang ada. Mereka tidak harmonis, makanya Nabila dan keluarga mencari kambing hitam untuk dijadikan tempat kemarahannya. Satu kebenaran yang membuat aku semakin tahu jika kedatangan Mas Rendi ternyata sudah muak dan bosan sama istri barunya lalu ingin mengajakku kembali bersama.Sungguh lelaki gila yang berpikiran picik. Habis manis sepahnya dibuang, memangnya dia kaya dan tampan kok bisa-bisanya dengan sesuka hati memperlakukan wanita seperti sampah."Oh, jadi suamimu sudah bosan sama kamu?" tanyaku sedikit sinis."Seharusnya kamu tahu jika lelaki yang suka menduakan istrinya itu suatu saat akan melakukan hal yang sama pada istri barunya. Hidup itu tabur tuai, siapa yang menanam dia p
Sampai rumah aku duduk di teras, menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri sendiri karena kejadian barusan. Entah apa yang aku lakukan dahulu sehingga mengalami kejadian seperti ini.Bermimpi melihat Nabila saja tidak apalagi ada kenyataan yang membuat jantung ini seolah berdisko ria dengan irama yang membuat kepala sakit. Tuduhan yang terbalik seakan meruntuhkan segala tembok telah aku bangun untuk tidak mengingat kejadian lampau."Ada apa?" Suara Ibu Fatimah mengagetkan dieku yang menatap langit-langit teras dengan seksama."Kenapa Nabila selalu mengusik ketenanganku, ya, Bu? Padahal aku, lho, sama sekali nggak kepikiran untuk balikan sama Mas Rendi.""Kamu ketemu Nabila?" Lagi, suara ibu terlihat sedikit panik saat mendengar penjelasan tentang masa laluku.Aku mengangguk, lalu menengadah melihat lagi rumah laba-laba yang berada di antara kayu tempat genting. Serta warna hitam yang melekat pada kayunya, seolah menandakan kalau dia sudah lama berada di sini."Ibu juga nggak
Pintu rumah digedor dengan keras dari luar saat kita semua jendela menunjukkan peraduan. Yang ada didalam saling menoleh satu sama lain. Entah tangan siapa yang menggedor pintu tanpa jeda itu.Ayah yang hendak membuka dicegah oleh Yoga yang dengan cepat menuju pintu. Suami dari Mita itu membukanya perlahan dan memperlihatkan ada dua orang yang bertamu, tapi memasang wajah tidak bersahabat.Mereka adalah Nabila dan ayahnya, Pak Joko. Terlihat ada yang ingin mereka bicarakan, karena dari sorot mata itu tertuju padaku."Wa'alaikumsalam, ada apa, ya, Pak. Malam-malam kok bertamu?" tanya Yoga sopan.Aku kalau jadi dia nggak akan bersikap seperti itu, terlalu jengah jika harus berpura-pura baik padahal sikap mereka kurang sopan. Sebagai orang tua bukankah harus memberikan contoh yang baik pada anaknya? Namun, tidak dengan Pak Joko, entahlah memang sifat orang beda-beda."Yoga, biarkan mereka masuk. Ayah mengizinkan tamu istimewa kita untuk duduk. Silahkan!" ujar Ayah yang kembali duduk di k
Kini hanya tinggal Pak Joko dan putrinya yang cantik di sini. Sebab, semua orang sudah meninggalkan rumah Ayah tanpa lagi bertanya atau bersuara. Mereka diam dan berlalu begitu saja bergantian.Aku maju, ingin sekali menampar pipi mulus itu dengan tanganku sendiri. Emosi ini naik ke ubun-ubun. Amarah yang salam ini terpendam ingin aku salurkan pada Nabila. Namun, saat aku hendak berbicara, Pakde Nyomo sudah mendahuluinya."Angkat kaki dari sini! Bukankah kamu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh menantuku?" ujar Pakde Nyomo lantang dan tegas."Aku tahu kamu sendirilah yang menyebar fitnah keji itu pada keluarga adikku, satu kali kesempatan aku berikan padamu. Andai aku tidak memandang kamu sebagai seorang bapak dan suami yang dianggap baik oleh keluargamu maka sejak awal aku akan mengatakan pada semua warga di kampung ini siapa dirimu yang sebenarnya." Entah pembicaraan macam mana ini. Sepertinya ada sesuatu lagi yang ditutupi oleh Pakde Nyomo."Kamu terlalu sombong karena memp
Dua Minggu sudah aku, Mas Aldi, Mbak Lilik dan juga Mas Bima di kampung. Kini saatnya kami kembalikan lagi ke aktivitas masing-masing. Tidak bisa berlama-lama juga kami disini karena ada pekerjaan yang menanti di sana.Sehabis makan malam, kami berkemas, segala pakaian pun sudah siap untuk dibawa pulang kembali ke tempat semula. Bahkan Ibu Fatimah pun memberikan beberapa oleh-oleh khas kampung ini. Juga titipan buat ibu mertua sudah siap sedia untuk dibawa."Ibu nggak bisa memberikan banyak oleh-oleh, hanya segini saja semoga cukup dan bermanfaat buat keluarga disana," ucapnya saat memberikan beberapa plastik berisi penuh itu."Ini beras ketan buat mertuamu, beliau bilang disana mahal jadi Ibu titip ini, ya," imbuhnya dengan senyum merekah."Terima kasih banyak, Bu. Apa ini nggak merepotkan?" Mas Aldi bertanya saat melihat kami saling memegang plastik hitam itu.Bu Fatimah mengembangkan senyumnya, beliau duduk di sampingku sambil terus mengulum senyum tipis. Pun demikian dengan Ayah y