"Kamu pikir dirimu itu cantik? Ngaca dong! Sudah punya suami baru, tapi masih saja menggoda milik orang lain, dasar sampah!" Aku terhenyak mendengar suara dari belakang yang tak lain adalah istri dari Mas Rendi, Nabila.Wanita itu dengan lancarnya berbicara padaku yang tengah menunggu kembalian dari tukang sayur. Entah kebencian sedalam apa yang masuk di hatinya sehingga dengan seenak jidat mengatakan hal yang tidak aku lakukan.Namun, kali ini aku tidak akan diam saja dan menuruti apa yang menjadi kehendaknya. Bukan lagi manusia yang rendah dan hanya menangis, aku lupa lagi bagaimana caranya berbuat baik dan diam saja saat dihina. Iya, aku lupa."Pakai pelet apa kamu kok bisa-bisanya suami orang kamu taklukkan seperti itu. Hei, ibu-ibu, ini wanita ini nggak rela jika suaminya yang telah menjadi milik orang lain, cintanya masih besar sehingga membuat matanya buta dengan menghalalkan segala cara!" teriak Nabila lagi. Kali ini dia lebih berani karena menunjukku dengan jarinya yang lent
"Kalian semua itu sudah kena guna-guna keluarga mereka! Lihat itu buktinya kalian seolah merasa kasihan padanya, padahal dia yang memulai. Dia yang membuat aku dan Mas Rendi jadi kisruh. Dia ingin memisahkan aku dan suamiku!" teriak Nabila yang membuat mata ini memicing.Jadi beginilah ternyata kenyataan yang ada. Mereka tidak harmonis, makanya Nabila dan keluarga mencari kambing hitam untuk dijadikan tempat kemarahannya. Satu kebenaran yang membuat aku semakin tahu jika kedatangan Mas Rendi ternyata sudah muak dan bosan sama istri barunya lalu ingin mengajakku kembali bersama.Sungguh lelaki gila yang berpikiran picik. Habis manis sepahnya dibuang, memangnya dia kaya dan tampan kok bisa-bisanya dengan sesuka hati memperlakukan wanita seperti sampah."Oh, jadi suamimu sudah bosan sama kamu?" tanyaku sedikit sinis."Seharusnya kamu tahu jika lelaki yang suka menduakan istrinya itu suatu saat akan melakukan hal yang sama pada istri barunya. Hidup itu tabur tuai, siapa yang menanam dia p
Sampai rumah aku duduk di teras, menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri sendiri karena kejadian barusan. Entah apa yang aku lakukan dahulu sehingga mengalami kejadian seperti ini.Bermimpi melihat Nabila saja tidak apalagi ada kenyataan yang membuat jantung ini seolah berdisko ria dengan irama yang membuat kepala sakit. Tuduhan yang terbalik seakan meruntuhkan segala tembok telah aku bangun untuk tidak mengingat kejadian lampau."Ada apa?" Suara Ibu Fatimah mengagetkan dieku yang menatap langit-langit teras dengan seksama."Kenapa Nabila selalu mengusik ketenanganku, ya, Bu? Padahal aku, lho, sama sekali nggak kepikiran untuk balikan sama Mas Rendi.""Kamu ketemu Nabila?" Lagi, suara ibu terlihat sedikit panik saat mendengar penjelasan tentang masa laluku.Aku mengangguk, lalu menengadah melihat lagi rumah laba-laba yang berada di antara kayu tempat genting. Serta warna hitam yang melekat pada kayunya, seolah menandakan kalau dia sudah lama berada di sini."Ibu juga nggak
Pintu rumah digedor dengan keras dari luar saat kita semua jendela menunjukkan peraduan. Yang ada didalam saling menoleh satu sama lain. Entah tangan siapa yang menggedor pintu tanpa jeda itu.Ayah yang hendak membuka dicegah oleh Yoga yang dengan cepat menuju pintu. Suami dari Mita itu membukanya perlahan dan memperlihatkan ada dua orang yang bertamu, tapi memasang wajah tidak bersahabat.Mereka adalah Nabila dan ayahnya, Pak Joko. Terlihat ada yang ingin mereka bicarakan, karena dari sorot mata itu tertuju padaku."Wa'alaikumsalam, ada apa, ya, Pak. Malam-malam kok bertamu?" tanya Yoga sopan.Aku kalau jadi dia nggak akan bersikap seperti itu, terlalu jengah jika harus berpura-pura baik padahal sikap mereka kurang sopan. Sebagai orang tua bukankah harus memberikan contoh yang baik pada anaknya? Namun, tidak dengan Pak Joko, entahlah memang sifat orang beda-beda."Yoga, biarkan mereka masuk. Ayah mengizinkan tamu istimewa kita untuk duduk. Silahkan!" ujar Ayah yang kembali duduk di k
Kini hanya tinggal Pak Joko dan putrinya yang cantik di sini. Sebab, semua orang sudah meninggalkan rumah Ayah tanpa lagi bertanya atau bersuara. Mereka diam dan berlalu begitu saja bergantian.Aku maju, ingin sekali menampar pipi mulus itu dengan tanganku sendiri. Emosi ini naik ke ubun-ubun. Amarah yang salam ini terpendam ingin aku salurkan pada Nabila. Namun, saat aku hendak berbicara, Pakde Nyomo sudah mendahuluinya."Angkat kaki dari sini! Bukankah kamu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh menantuku?" ujar Pakde Nyomo lantang dan tegas."Aku tahu kamu sendirilah yang menyebar fitnah keji itu pada keluarga adikku, satu kali kesempatan aku berikan padamu. Andai aku tidak memandang kamu sebagai seorang bapak dan suami yang dianggap baik oleh keluargamu maka sejak awal aku akan mengatakan pada semua warga di kampung ini siapa dirimu yang sebenarnya." Entah pembicaraan macam mana ini. Sepertinya ada sesuatu lagi yang ditutupi oleh Pakde Nyomo."Kamu terlalu sombong karena memp
Dua Minggu sudah aku, Mas Aldi, Mbak Lilik dan juga Mas Bima di kampung. Kini saatnya kami kembalikan lagi ke aktivitas masing-masing. Tidak bisa berlama-lama juga kami disini karena ada pekerjaan yang menanti di sana.Sehabis makan malam, kami berkemas, segala pakaian pun sudah siap untuk dibawa pulang kembali ke tempat semula. Bahkan Ibu Fatimah pun memberikan beberapa oleh-oleh khas kampung ini. Juga titipan buat ibu mertua sudah siap sedia untuk dibawa."Ibu nggak bisa memberikan banyak oleh-oleh, hanya segini saja semoga cukup dan bermanfaat buat keluarga disana," ucapnya saat memberikan beberapa plastik berisi penuh itu."Ini beras ketan buat mertuamu, beliau bilang disana mahal jadi Ibu titip ini, ya," imbuhnya dengan senyum merekah."Terima kasih banyak, Bu. Apa ini nggak merepotkan?" Mas Aldi bertanya saat melihat kami saling memegang plastik hitam itu.Bu Fatimah mengembangkan senyumnya, beliau duduk di sampingku sambil terus mengulum senyum tipis. Pun demikian dengan Ayah y
Pagi yang cerah secerah mentari yang mulai menampakkan warna Indahnya ke dunia ini. Tumbuh-tumbuhan bergoyang syahdu seiring dengan kicauan burung yang berdiri manja di rantingnya. Dihiasi dengan tetesan embun yang seolah memberikan kesejukan saat menikmati alam yang nyata juga indah ini.Ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Apalagi saat suara Kokok ayam bersahutan di antara cicitan anak-anak ayam membuat suasana pagi yang selalu aku rindukan kala di pulau seberang itu membuatku tersenyum melihatnya.Di belakang rumah Ayah, hewan piaraan kembali saling bersahutan, kambing, ayah juga burung yang hinggap di dahan pohon. Selalu aku menikmatinya dulu saat masih tinggal bersama mereka.Sedang, sayuran yang ditanam ibu di sini terlihat segar dan siap untuk dipetik. Warna cabai yang berwarna-warni menggiurkan dan seolah berteriak meminta untuk diambil dan dimasak. Pun demikian dengan sayuran bayam, kangkung juga terong, ibu memang super lincah.Apapun akan di tanamnya di lahan kosong, memanfa
Mobil travel sudah sampai di depan rumah, Pakde Nyomo beserta anak istrinya datang ke rumah. Padahal sehabis sarapan tadi kami semua berkunjung kesana untuk meminta doa restu supaya perjalanan yang kami tempuh selamat sampai tujuan.Namun, namanya juga keluarga, mereka berduyun-duyun datang dan memberikan doa kepada kami lagi. Ada haru, bahagia dan sedih bercampur aduk menjadi satu disini. Bahkan isakan mengiringi langkah kaki kami untuk pergi ke pulau seberang kembali."Kini saatnya kami mengawali kehidupan yang sebenarnya, mohon doanya semoga diberikan kelancaran dan kesuksesan dalam meraih mimpi yang indah," ucapku haru."Jika ada umur panjang, kesehatan dan rezeki yang melimpah kami akan berkunjung kembali kesini lagi melihat kampung terindah beserta keluarga besar yang selalu aku rindukan ini," imbuhku.Bu Fatimah memeluk tubuh ini lagi, seolah enggan untuk melepaskan. Beliau begitu berat berpisah dariku. Entahlah, sebenarnya aku pun ingin bersama mereka selamanya. Namun, ada ses