Melihat kemunculan Anita, pikiranku sudah ke mana-mana. Aku menebak kalau dia akan kembali berbuat rusuh. Tentunya tak akan kubiarkan dia dia berbuat onar di sini. Bikin malu keluargaku saja. Namun, nyatanya Anita hanya bersandar di mobilnya dengan bersidekap dada. Sepasang matanya menatap tajam ke arah sini. "Dia memaksa ikut," tutur Mas Hilman padaku. "Oh." Hanya itu tanggapanku."Buruan dong, Mas. Waktu kamu keburu habis kalau cuma bengong di situ," hardik Anita. "Katanya kangen anak, malah ngobrol sama mantan istri," lanjutnya dengan tatapan sinis."Ngapain di sini, Mbak? Kalau mau bikin ribut, mending pulang aja. Aku gak akan biarin Mbak bikin keributan di sini. Malu-maluin aja!" Hanan yang baru kembali dari rumah Mas Ryan berdiri di dekat Anita. Mendengar penuturan Hanan, Anita menghentakkan kakinya. "Aku bilang buruan buruan!" Anita kembali menatap Mas Hilman."Ra, aku mau ketemu Ilham," tutur Mas Hilman. "Dia di dalam, Mas. Ayo, masuk!" ajakku pada mantan suamiku itu. Ma
Besoknya, aku bekerja seperti biasa. Pergi pagi dan berkendara bersama para pejuang nafkah lainnya menuju tempat mengais rezeki masing-masing. Meski pekerjaan sederhana, tapi setidaknya sangat berguna untuk keluarga. Hingga tetap dijalani dengan penuh semangat. Sampai di parkiran kantor, aku langsung turun dari motor dan berjalan cepat menuju dalam gedung. "Pagi, Ra!" Aku menoleh. Ternyata Mas Ryan sudah ada di belakangku. Dia sedang berusaha mensejajarkan langkahnya dengan langkahku. "Pagi, Mas," jawabku sambil tersenyum. Kini dia sudah ada di sebelahku. "Ngomong-ngomong, terima kasih semalam nasi kuningnya. Enak banget. Apalagi kalau kamu yang anterin langsung. Pasti makin enak," tutur Mas Ryan membuatku mengernyit. "Memang ngaruh, ya? Mas ini ada-ada saja," timpalku diakhiri kekehan pelan. "Ngaruh, dong. Coba semalam kamu yang anterin, pasti langsung kebawa mimpi. Kan jarang-jarang sebelum tidur ketemu bidadari." Mas Ryan tersenyum lebar. Mendengar penuturannya, tiba-tiba p
Sampai di pantry, aku langsung terduduk sambil menangis terisak. Rasa haru dan bahagia yang membuncah, membuatku bingung untuk mengekspresikannya. Hingga hanya air mata yang terus berduyun menuruni pipi. "Ra, kamu kenapa? Semuanya baik-baik saja, kan?" Mbak Lina duduk di sampingku. Ia mengusap pundakku pelan. Aku menoleh. Menatapnya sebentar, lalu memeluk tubuhnya. Tangan Mbak Lina terasa mengusap-usap punggungku. "Katakan ada apa, Ra? Apa yang dikatakan Pak Ryan sampai kamu menangis seperti ini?" Mbak Lina kembali bertanya saat aku melepas pelukan. Aku menarik napas panjang sejenak. Kemudian mengusap kedua pipi yang masih basah akibat jejak jatuhnya air mata. "Aku diangkat jadi marketing kantor, Mbak," kataku antusias. "Serius, Ra?" Aku mengangguk cepat. "Alhamdulillah. Selamat, ya. Aku tau kamu wanita yang hebat. Kamu juga sebenarnya pintar. Aku ikut senang meskipun juga sedih karena harus kehilangan partner kerja sepertimu." Wajah Mbak Lina berubah sedikit murung. "Mbak jan
Setelah mandi dan berganti baju, aku pun menghampiri Ilham yang ada di belakang. Nampak ia sedang memberi pakan hewan ternak peliharaan bapak ditemani Hanan. Sementara bapak baru saja naik dari kolam kecil. Entah habis memberi makan ikan atau sekedar membersihkan area kolam ikan tersebut. "Tuh bunda sudah pulang!" Hanan menunjuk ke arahku saat aku sedang berjalan ke arahnya. "Yey ... bunda sudah pulang!" Ilham berlari menghampiriku. "Bunda cari-cari ternyata ada di sini," tuturku pada Ilham. Aku mencium pipinya dengan gemas. "Ilham diajak Om Hanan nemenin Kakek," jawab Ilham. "Tapi gak main kotor-kotoran, kan?" Aku memindai bajunya dari atas sampai bawah. Bersih. "Enggak dong. Kata Om Hanan gak boleh. Nanti dimarahin bunda. Ilham kan sudah mandi," jawabnya polos. "Anak pintar!" Aku mengacak rambutnya pelan. Aku pun mendekati Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Tebak. Aku bawa kabar apa?" tanyaku sambil menaikturunkan alis. "Emmhh ... apa, ya?" Hanan nampak berpikir. "Aku
Setelah memikirkannya beberapa saat, akhirnya kepalaku mengangguk juga. "Apa itu artinya iya?" Mas Ryan malah kembali bertanya. Padahal jelas-jelas aku sudah mengangguk. "Iya, Pak," jawabku. Senyum di bibir Mas Ryan mendadak terbit. Matanya pun nampak berbinar. "Baiklah. Nanti kita berangkat setelah solat magrib, ya," timpalnya. Aku mengangguk lagi tanda setuju. Mas Ryan pun langsung berbalik dan keluar dari area pantry. "Cie cie." Mbak Lina tersenyum lebar menggodaku. "Apaan sih, Mbak? Jangan berpikir yang macam-macam ya. Aku menerima tawaran Pak Ryan itu karena dia tetanggaku. Soalnya kalau berangkat sendirian aku memang takut. Ngeri. Apalagi kalau pulangnya sampai malam. Hih." Aku bergidik. "Iya iya. Aku percaya. Tapi aku yakin deh, Pak Ryan itu suka sama kamu. Emang kamu gak ngerasa ya?" Mbak Lina mendekat. Bicaranya pelan seolah takut ada yang mendengar. "Masa sih? Perasaan Mbak aja kali. Aku kan tadi udah bilang, ini tuh karena kita tetanggaan." Aku mencoba menyangkal.
"Gak semua hal harus dijelaskan. Tapi cukup dirasakan." Hanan menimpali. "Kamu ini ngomong apa, sih? Belibet banget. Langsung ke pokoknya, deh. Biar aku ngerti. Maklum, otakku sedikit tumpul." "Udah, gak perlu dibahas. Intinya, aku selalu ingin berusaha melindungimu. Makanya aku minta kamu pergi bareng sama aku sama Fara. Tapi semuanya terserah sama kamu." Hanan terdengar putus asa. "Maaf, aku gak bisa. Aku gak enak. Udah terlanjur janji.""Baiklah kalau kamu maunya seperti itu. Terserah saja." Hanan mendesah pelan. Entah apa yang membuat hembusan napasnya terdengar begitu berat. "Aku masuk dulu," lanjut Hanan. Dia berdiri dengan lesu lalu berjalan seolah hilang semangat masuk ke dalam kamarnya. Ada semacam rasa bersalah yang tiba-tiba menelusup dalam hati. Melihat raut wajah sendu Hanan tadi pun membuat hatiku sedikit tergores. Entah apa yang terjadi pada seonggok daging dalam dadaku. Apa aku mulai merasakan getaran cinta pada teman baikku sendiri? Aku menggeleng kuat. Kata tida
Langkah kaki Mas Ryan terhenti saat menyadari bahwa aku tak mengikutinya berjalan. Dia menoleh. Saat pandangan mata kami bertemu, aku langsung mengalihkan pandangan ke arah tangannya yang menggenggam tanganku. Sebagai bentuk keberatan atas apa yang dilakukannya."Sorry," ucapnya sambil melepaskan tangannya.Aku buru-buru menarik tanganku sedikit menjauh darinya. "Aku benar-benar minta maaf. Aku hanya ... terbawa suasana," lanjutnya dengan raut wajah nampak tak enak. "Gak masalah," jawabku agar tak keterusan. "Ayo, masuk!" Mas Ryan menggeser tubuhnya sedikit ke belakang, dengan maksud memberiku jalan lebih dulu. Aku pun masuk ke dalam gedung mewah tersebut diikuti Mas Ryan. Di dalam gedung, sudah riuh para karyawan yang sedang berbincang satu sama lain sambil menikmati jamuan yang disediakan. Aku mengedarkan pandangan. Mencari-cari keberadaan Mbak Lina. Satu-satunya orang yang paling akrab denganku. Tapi nihil, sosoknya belum terlihat sama sekali. "Mau makan apa, Ra? Biar aku baw
"Nisya masuk rumah sakit. Gak apa-apa ya, kita ke rumah sakit dulu?" timpalnya. Aku terdiam. Bingung. Jika aku ikut, itu artinya akan bertemu dengan Anita dan Mas Hilman. "Aku pulang duluan aja kalau gitu. Bisa naik grab, kok," timpalku."Gak bisa. Aku gak tenang kalau biarin kamu pulang sendirian malam-malam gini. Rumah sakitnya gak terlalu jauh dari sini. Aku juga sebentar kok. Habis lihat keadaan Nisya, aku langsung antar kamu pulang. Gimana?" Mas Ryan harus sedikit meninggikan suaranya karena suara riuh dari dalam masih terdengar. Tak ingin malah kelamaan, aku pun mengiyakan. Mengikutinya ke parkiran, lalu naik ke atas mobil. "Nisya sakit apa?" tanyaku saat Mas Ryan sudah mengendarai mobilnya. "Kata Anita panas tinggi," jawab Mas Ryan. Wajahnya begitu tegang menggambarkan bahwa ia sangat khawatir dengan keadaan putrinya itu. Aku tak lagi bertanya. Membiarkan Mas Ryan fokus menyetir dan aku pun fokus menata hati sebelum bertemu mantan suamiku dan istrinya. Sampai di parkiran