"Maaf, ya, Mas. Kalau malam ini sepertinya gak bisa. Aku udah janji mau nemenin Ilham. Soalnya hari ini dia ulang tahun." Aku berusaha menolak. Apalagi alasanku memang benar. "Ilham ulang tahun? Kenapa gak bilang? Kalau tahu kan bisa beli hadiah buat dia," timpal Mas Ryan. "Gak ada perayaan apa-apa, kok, Mas. Ulang tahun Ilham memang tidak pernah dirayakan.""Gak apa-apa. Nanti aku cari hadiahnya di jalan sambil pulang, ya," kukuh Mas Ryan. "Gak usah repot-repot, Mas," cegahku tak enak. "Gak repot. Cuma hadiah kecil doang. Lagipula, aku juga kangen sama Nisya. Udah beberapa hari ini belum ketemu dia sama sekali." Raut wajah Mas Ryan berupa nelangsa. Kentara sekali dia sedang merindukan putrinya itu. "Baiklah kalau tidak merepotkan," timpalku akhirnya. Mungkin dengan melihat kebahagiaan Ilham, bisa sedikit mengobati kerinduan Mas Ryan pada putrinya. "Aku duluan, ya. Buru-buru," lanjutku sambil menaiki motor. Mas Ryan belum beranjak dari tempatnya sampai aku benar-benar meleset pe
"Emang kenapa, sih? Tibang cuma ngajakin makan malam doang. Udah gitu aku tolak. Kamu yang heboh. Heran deh." Aku sedikit mendelik. "Ra, yang namanya cowok, kalau ngajakin jalan atau makan berdua gitu, itu tandanya ada apa-apanya. Ada maunya," tebak Hanan. "Enggak gitu. Dia cuma mau ngajak ngerayain kesuksesan meeting tadi siang." Aku berusaha membantah. Lalu aku pun menceritakan pengalaman presentasi tadi siang dengan sumringah. "Itu tuh memang keahlian kamu dari dulu. Tapi ngerayainnya gak perlu pake acara makan malam berdua juga kali. Kecuali rame-rame sama teman kantor." Hanan semakin sewot. "Udah deh, gak perlu dibahas. Makan malamnya juga udah aku tolak.""Bagus itu. Kalau lain kali ngajakin lagi, tolak lagi. Jangan mau dianggap gampangan. Belum ada ikatan apa-apa udah mau diajak ke sana ke mari. Apalagi malam-malam." Dia mendadak berceramah. Udah kayak ustad aja. "Baik, Pak ustad," candaku tersenyum lebar. "Malah disangka bercanda. Aku serius nih.""Iya iya. Aku juga seri
Melihat kemunculan Anita, pikiranku sudah ke mana-mana. Aku menebak kalau dia akan kembali berbuat rusuh. Tentunya tak akan kubiarkan dia dia berbuat onar di sini. Bikin malu keluargaku saja. Namun, nyatanya Anita hanya bersandar di mobilnya dengan bersidekap dada. Sepasang matanya menatap tajam ke arah sini. "Dia memaksa ikut," tutur Mas Hilman padaku. "Oh." Hanya itu tanggapanku."Buruan dong, Mas. Waktu kamu keburu habis kalau cuma bengong di situ," hardik Anita. "Katanya kangen anak, malah ngobrol sama mantan istri," lanjutnya dengan tatapan sinis."Ngapain di sini, Mbak? Kalau mau bikin ribut, mending pulang aja. Aku gak akan biarin Mbak bikin keributan di sini. Malu-maluin aja!" Hanan yang baru kembali dari rumah Mas Ryan berdiri di dekat Anita. Mendengar penuturan Hanan, Anita menghentakkan kakinya. "Aku bilang buruan buruan!" Anita kembali menatap Mas Hilman."Ra, aku mau ketemu Ilham," tutur Mas Hilman. "Dia di dalam, Mas. Ayo, masuk!" ajakku pada mantan suamiku itu. Ma
Besoknya, aku bekerja seperti biasa. Pergi pagi dan berkendara bersama para pejuang nafkah lainnya menuju tempat mengais rezeki masing-masing. Meski pekerjaan sederhana, tapi setidaknya sangat berguna untuk keluarga. Hingga tetap dijalani dengan penuh semangat. Sampai di parkiran kantor, aku langsung turun dari motor dan berjalan cepat menuju dalam gedung. "Pagi, Ra!" Aku menoleh. Ternyata Mas Ryan sudah ada di belakangku. Dia sedang berusaha mensejajarkan langkahnya dengan langkahku. "Pagi, Mas," jawabku sambil tersenyum. Kini dia sudah ada di sebelahku. "Ngomong-ngomong, terima kasih semalam nasi kuningnya. Enak banget. Apalagi kalau kamu yang anterin langsung. Pasti makin enak," tutur Mas Ryan membuatku mengernyit. "Memang ngaruh, ya? Mas ini ada-ada saja," timpalku diakhiri kekehan pelan. "Ngaruh, dong. Coba semalam kamu yang anterin, pasti langsung kebawa mimpi. Kan jarang-jarang sebelum tidur ketemu bidadari." Mas Ryan tersenyum lebar. Mendengar penuturannya, tiba-tiba p
Sampai di pantry, aku langsung terduduk sambil menangis terisak. Rasa haru dan bahagia yang membuncah, membuatku bingung untuk mengekspresikannya. Hingga hanya air mata yang terus berduyun menuruni pipi. "Ra, kamu kenapa? Semuanya baik-baik saja, kan?" Mbak Lina duduk di sampingku. Ia mengusap pundakku pelan. Aku menoleh. Menatapnya sebentar, lalu memeluk tubuhnya. Tangan Mbak Lina terasa mengusap-usap punggungku. "Katakan ada apa, Ra? Apa yang dikatakan Pak Ryan sampai kamu menangis seperti ini?" Mbak Lina kembali bertanya saat aku melepas pelukan. Aku menarik napas panjang sejenak. Kemudian mengusap kedua pipi yang masih basah akibat jejak jatuhnya air mata. "Aku diangkat jadi marketing kantor, Mbak," kataku antusias. "Serius, Ra?" Aku mengangguk cepat. "Alhamdulillah. Selamat, ya. Aku tau kamu wanita yang hebat. Kamu juga sebenarnya pintar. Aku ikut senang meskipun juga sedih karena harus kehilangan partner kerja sepertimu." Wajah Mbak Lina berubah sedikit murung. "Mbak jan
Setelah mandi dan berganti baju, aku pun menghampiri Ilham yang ada di belakang. Nampak ia sedang memberi pakan hewan ternak peliharaan bapak ditemani Hanan. Sementara bapak baru saja naik dari kolam kecil. Entah habis memberi makan ikan atau sekedar membersihkan area kolam ikan tersebut. "Tuh bunda sudah pulang!" Hanan menunjuk ke arahku saat aku sedang berjalan ke arahnya. "Yey ... bunda sudah pulang!" Ilham berlari menghampiriku. "Bunda cari-cari ternyata ada di sini," tuturku pada Ilham. Aku mencium pipinya dengan gemas. "Ilham diajak Om Hanan nemenin Kakek," jawab Ilham. "Tapi gak main kotor-kotoran, kan?" Aku memindai bajunya dari atas sampai bawah. Bersih. "Enggak dong. Kata Om Hanan gak boleh. Nanti dimarahin bunda. Ilham kan sudah mandi," jawabnya polos. "Anak pintar!" Aku mengacak rambutnya pelan. Aku pun mendekati Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Tebak. Aku bawa kabar apa?" tanyaku sambil menaikturunkan alis. "Emmhh ... apa, ya?" Hanan nampak berpikir. "Aku
Setelah memikirkannya beberapa saat, akhirnya kepalaku mengangguk juga. "Apa itu artinya iya?" Mas Ryan malah kembali bertanya. Padahal jelas-jelas aku sudah mengangguk. "Iya, Pak," jawabku. Senyum di bibir Mas Ryan mendadak terbit. Matanya pun nampak berbinar. "Baiklah. Nanti kita berangkat setelah solat magrib, ya," timpalnya. Aku mengangguk lagi tanda setuju. Mas Ryan pun langsung berbalik dan keluar dari area pantry. "Cie cie." Mbak Lina tersenyum lebar menggodaku. "Apaan sih, Mbak? Jangan berpikir yang macam-macam ya. Aku menerima tawaran Pak Ryan itu karena dia tetanggaku. Soalnya kalau berangkat sendirian aku memang takut. Ngeri. Apalagi kalau pulangnya sampai malam. Hih." Aku bergidik. "Iya iya. Aku percaya. Tapi aku yakin deh, Pak Ryan itu suka sama kamu. Emang kamu gak ngerasa ya?" Mbak Lina mendekat. Bicaranya pelan seolah takut ada yang mendengar. "Masa sih? Perasaan Mbak aja kali. Aku kan tadi udah bilang, ini tuh karena kita tetanggaan." Aku mencoba menyangkal.
"Gak semua hal harus dijelaskan. Tapi cukup dirasakan." Hanan menimpali. "Kamu ini ngomong apa, sih? Belibet banget. Langsung ke pokoknya, deh. Biar aku ngerti. Maklum, otakku sedikit tumpul." "Udah, gak perlu dibahas. Intinya, aku selalu ingin berusaha melindungimu. Makanya aku minta kamu pergi bareng sama aku sama Fara. Tapi semuanya terserah sama kamu." Hanan terdengar putus asa. "Maaf, aku gak bisa. Aku gak enak. Udah terlanjur janji.""Baiklah kalau kamu maunya seperti itu. Terserah saja." Hanan mendesah pelan. Entah apa yang membuat hembusan napasnya terdengar begitu berat. "Aku masuk dulu," lanjut Hanan. Dia berdiri dengan lesu lalu berjalan seolah hilang semangat masuk ke dalam kamarnya. Ada semacam rasa bersalah yang tiba-tiba menelusup dalam hati. Melihat raut wajah sendu Hanan tadi pun membuat hatiku sedikit tergores. Entah apa yang terjadi pada seonggok daging dalam dadaku. Apa aku mulai merasakan getaran cinta pada teman baikku sendiri? Aku menggeleng kuat. Kata tida