Mataku belum lepas dari punggung lelaki yang dulu selalu dijadikan sandaran ketika aku lelah. Sampai akhirnya punggung kokoh itu menghilang seiring keluarnya ia dari area pengadilan agama. "Ra." Sebuah suara membuatku langsung menoleh ke arahnya. "Ya." Aku menanggapi singkat dengan senyum tipis di bibir. "Pulang, yuk," ajak Hanan. Ia berdiri tepat di belakang kursi aku terduduk. Tak jauh darinya, ada kedua orang tuaku yang juga sedang menungguku. "Ayo. Ilham juga pasti sudah menunggu," timpalku seraya bangkit dari kursi. Hanan mengangguk lalu berbalik. Berjalan lebih dulu menuju luar gedung. Diikuti olehku dan kedua orang tuaku yang berjalan di belakang. Sampai di parkiran, aku dan kedua orang tuaku langsung masuk ke dalam mobil. Sementara Hanan sudah ada di belakang kemudi. Tak banyak cerita yang mengalun selama di perjalanan. Nampaknya, suasana haru dan sedih masih menyelimuti orang-orang di sekelilingku. Bagaimana tidak, orang tua mana yang tidak sedih menerima kenyataan ki
Matahari kini telah tenggelam. Berganti bulan penuh yang memancar indah di atas sana. Di sekelilingnya, bintang-bintang kelap-kelip menambah keindahan malam. Aku yang memilih menepi sejenak di teras luar menatap langit menikmati pemandangan malam yang jarang kunikmati. Sesekali embusan angin menerpa kulitku meninggalkan sensasi dingin yang menusuk hingga ke dalam. Dulu, waktu awal-awal menikah dengan Mas Hilman, aku sering mengajaknya duduk berdua di teras kontrakan. Kepalaku disandarkan di bahunya sambil bercerita tentang kegiatan yang telah dilalui seharian. Segelas bajigur hangat seringkali menemani beserta kacang rebus yang dibeli dari pedagang keliling. Hal yang begitu sederhana tapi bahagianya luar biasa. "Semoga kita akan terus seperti ini, ya, Mas. Sampai menua bersama-sama," doaku kala itu. Mas Hilman pun terdengar tulus mengamini diikuti belaian lembut di kepalaku. "Ra, ngapain duduk sendirian di luar?" Hanan tiba-tiba sudah ada di luar rumahnya. Lamunan tentang masa la
Bukannya menggeser tubuhnya, Anita justru terus menghalangi jalanku yang ingin melewatinya. Sampai kesal aku dibuatnya. "Ra, jangan ganggu Zara. Kasih dia jalan," pinta Mas Hilman yang berdiri tak jauh darinya dengan kedua tangan yang menenteng banyak paper bag. Sudah macam kacung istrinya saja yang membawakan semua barang tanpa dibantu sedikit pun."Kok Mas belain dia, sih? Sekarang itu kamu suamiku bukan suaminya. Ingat ya, kalian itu sudah resmi bercerai dan bukan suami istri lagi. Kalian itu cuma mantan. Cuma mantan!" Anita begitu menekankan suaranya pada kata mantan."Iya. Kamu gak perlu bahas itu terus-terusan. Aku juga tau," timpal Mas Hilman."Bagus, deh," balas Anita sambil mendelik."Mbak, saya mau lewat. Gak dengar ya?" Aku kembali bersuara. Kali ini diikuti tatapan yang tajam tak bersahabat. "Ops ... ada yang marah." Anita malah menutup mulutnya sambil tersenyum meledek. "Jangan galak-galak. Apalagi sekarang sudah janda. Entar gak ada yang mau, loh. Ditambah lagi penampi
Ternyata mereka berdua juga ingin menonton film. Kenapa bisa kebetulan seperti ini?"Ayah," ucap Ilham saat menyadari ayahnya duduk di depannya. Mas Hilman menoleh seiring lampu yang dimatikan dan pemutaran film dimulai. "Ilham?" Mas Hilman nampak terkejut saat melihat keberadaan putranya itu bersama denganku."Suuttt. Filmnya udah mulai." Anita memutar kepala Mas Hilman hingga kembali menatap ke depan."Sayang, filmnya sudah dimulai. Gak boleh berisik. Nanti dimarahin orang." Aku berbisik lirih di telinga Ilham. "Tapi itu ayah, Bun," timpal Ilham sendu. Kentara sekali Ilham memang sangat merindukan sosok ayah yang beberapa bulan terakhir jarang ditemuinya. "Iya. Nanti kalau filmnya sudah selesai, kita samperin ayah." Aku berusaha membujuk Ilham. Anak itu mengangguk meski nampak lesu. "Kenapa bisa barengan sama Bang Hilman, sih?" Hanan berbisik pelan. "Mana aku tahu. Kan kamu yang beli tiketnya juga," timpalku tak kalah pelan. Hanan tak lagi menanggapi. Aku pun fokus menikmati
Pertanyaan Ilham sukses membuat situasi menjadi tidak nyaman. Aku tidak boleh membiarkan Ilham sampai berharap agar Hanan menjadi ayahnya. Hubungan kami hanya sebatas teman baik. Hubungan Ilham dan Hanan juga hanya sebatas Om dengan keponakannya. Apalagi Fara juga sempat mengutarakan kesukaannya pada lelaki berahang kokoh itu. Tak ingin mematahkan harapan adikku satu-satunya itu untuk bersanding dengan lelaki dambaannya."Enggak gitu, Sayang. Om Hanan sama bunda gak akan menikah. Tapi bunda sama Om Hanan akan selalu ada dan menyayangi Ilham. Ilham masih kecil. Kalau sudah besar nanti, pasti mengerti," jawabku lembut. "Tapi Ilham kangen kayak dulu lagi. Bobo ditemenin bunda sama ayah. Bunda peluk Ilham. Ayah bacain dongeng. Tapi sekarang ayahnya gak ada. Ayah jauh terus." Raut wajah Ilham semakin murung."Kalau gitu, nanti bunda bacain dongeng lagi, ya, sebelum bobo? Atau ... minta kakek yang bacain. Gimana?" tawarku dengan senyum mengembang. "Kalau minta dibacain Om Hanan, boleh gak
Aku langsung tersenyum lebar mendengar pertanyaannya. "Ya enggak lah. Kalau pun ada rasa suka, itu cuma sebatas teman. Bukan suka sebagai kekasih dan semacamnya. Kamu ini ada-ada aja." Aku kembali tersenyum lebih lebar."Tapi Kak Hanan baik banget loh sama Mbak. Apa mungkin dia mencintai Mbak?" "Dari dulu kan dia emang gitu. Gak ada bedanya. Jadi Mbak menganggapnya sudah seperti biasa. Gak ada yang aneh lagi mau dia sebaik apapun. Apalagi sampai baper dan kepedean," timpalku. "Beneran, kan, Mbak? Takutnya aku terlanjur menyukai dia terlalu dalam, eh taunya gak direspon balik.""Kalau masalah direspon atau enggaknya, Mbak gak tau. Cobain aja pepet terus," saranku. "Iya, deh. Tapi beneran loh Mbak gak naksir sama dia?" Fara seolah ragu dengan jawaban dariku. "Beneran. Masa Mbak bohong sih," timpalku meyakinkannya. "Udah gih, sana. Bilang makasih dulu buat belanjaannya." Aku mendorong tubuh Fara pelan. "Oke, deh." Fara bangkit dengan senyum mengembang di bibirnya. Sesaat kemudian, d
Butuh waktu lebih dari sepuluh menit untuk membaca keseluruhan konsep materi yang disodorkan. Setelah mempelajari detailnya, sepertinya materi seperti ini pernah aku pelajari saat duduk di bangku SMA dulu. Apalagi aku memang lumayan aktif di bidang perpustakaan dan Mading sekolah. "Apa, benar-benar gak ada orang lain yang bisa menggantikannya selain saya, Pak?" Aku kembali bertanya dengan harapan masih bisa mundur. Bukan karena aku tak bisa, tapi aku tak percaya diri. "Gak ada. Semua karyawan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Lagipula, saya memang sengaja memberikan kesempatan ini khusus buat kamu agar kemampuan yang mungkin masih terkubur dalam dirimu bisa muncul. Ayo dong dicoba. Demi masa depanmu, demi anakmu, demi keluargamu. Apalagi sudah setengah tahun ini kamu menyandang status single parent yang pasti berat buatmu."Dukungan semangat dari Mas Ryan membuat motivasi dalam hatiku tiba-tiba menggebu. Bismillah. Tak ada salahnya mencoba hal baru. "Baik kalau gitu, Pak. Ak
"Dia aslinya memang cantik. Padahal baru make up seadanya. Apalagi kalau make up salon," puji Vina. Padahal, dia jauh lebih cantik dan modis. "Mbak ini berlebihan," timpalku sambil menunduk malu. "Oh, iya. Gunakan ini!" Vina mengulurkan sepatu dengan hak yang tak terlalu tinggi. Mungkin dia merasa sepatu pantofel tanpa hak yang ku gunakan kurang sesuai untuk penampilanku. "Makasih banyak, ya, Mbak," tuturku. Aku benar-benar terharu. Ternyata aku memang dikelilingi oleh orang-orang baik. "Good luck, ya." Vina mengacungkan dua jempolnya saat aku dan Mas Ryan hendak keluar ruangan. Hak sepatu yang beradu dengan lantai menyebabkan suara di tiap pijakannya. Hal itu membuat orang-orang yang mendengarnya langsung menoleh ke arahku. Merasa rendah diri, aku memilih menundukkan kepala selama berjalan. "Itu kan staf bagian pantry.""Itu Zara, ya? Pangling banget.""Iya. Cantik."Beberapa suara mulai terdengar. Membuatku kepalaku kian menunduk dalam."Jangan malu. Kamu itu cantik." Mas Rya
Aku menoleh. Lalu mengerlingkan mata ke arahnya. "Coba lihat jam dinding. Sudah hampir pukul enam, Sayang. Mau pas lagi tanggung tiba-tiba ada yang gedor pintu?" Hanan pun langsung tertawa ngakak mendengarnya. Hari ini, kami minta ijin pada kedua orang tuaku untuk pindah ke toko kelontongan. Dengan senang hati, ibu bapak mengijinkan. Melihat Fara, aku semakin yakin untuk pindah dari rumah ini. Karena bukan tidak mungkin, jika aku dan Hanan tetap tinggal di sini, Fara akan tersakiti melihat kemesraan kami. Menjelang siang, aku dan Hanan berangkat ke toko tanpa membawa banyak barang. Hanya baju-baju milikku, Ilham dan Hanan yang dibawa. Karena menurut Hanan, di sana sudah ada barang-barang rumah tangga yang cukup komplit. Sampai di sana, keadaan toko masih tutup karena Hanan memang sengaja libur dari kemarin. Tokonya lumayan besar. Apalagi lokasinya tepat di jalan utama dekat dengan pasar induk. "Yuk, masuk!" ajaknya padaku dan Ilham saat kami turun dari mobil. Kami pun memasuki
"Bangun, Sayang. Mandi dulu." Hanan berbisik tepat di telingaku. Dia juga mengecup keningku lembut saat mata ini masih tertutup. Sejujurnya, aku sudah terbangun saat merasakan pergerakan ia yang turun dari ranjang. Hanya saja, aku ingin mengetahui bagaimana caranya dia membangunkan aku setelah apa yang terjadi semalam. Ternyata semanis ini. Aku pura-pura masih terlelap dan tak menanggapinya. Berkali-kali dia mencium pipi dan keningku bergantian. Andai aku tak menahannya, sudah dipastikan aku akan tersenyum tanpa henti karena sikap romantisnya. "Sayang ... bangun! Atau ... aku perlu mengulang apa yang sudah kita lakukan semalam?" Mendengar penuturannya, mataku langsung terbuka lebar. Lekas aku beringsut dan duduk sambil menatapnya. Hanan yang duduk di pinggir ranjang langsung tertawa kecil melihat reaksiku. "Bercanda. Sebentar lagi juga subuh," tukasnya dengan sisa tawa di bibirnya. Aku pun langsung mengerucutkan bibir sambil turun dari ranjang. "Air panasnya sudah aku tuang ke da
Kami duduk saling berhadapan sambil menunggu pesanan tiba. Tidak dipungkiri, ada rasa grogi saat kembali bertemu dengannya. Apalagi saat dia terus menatapku tanpa berkedip. Rasanya pipiku sudah memerah dan memanas. "Kamu kenapa ngeliatin gitu?" tanyaku salah tingkah. Dia malah menyangga dagunya dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Sebulan loh, Ra, kita gak ketemu. Aku kan udah bilang berkali-kali kalau aku kangen banget sama kamu. Apalagi, makin hari kamu makin cantik. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan sebagus ini.""Ish ... udah pintar ngegombal ternyata." Aku sedikit mendelik sambil tersipu malu. "Bukan menggombal. Tapi ini kenyataan," timpalnya. "Oh, iya. Besok aku ke rumah kamu buat lamaran. Kamu juga libur, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Mendengar kata lamaran, jantungku kembali berlompatan. Aku serasa melayang di langit paling tinggi saking bahagianya. Hingga akhirnya pesanan bakso sampai dan kami menikmati bakso itu sambil berbincang ringan. M
Aku menangis. Meremas seprai kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku diguncang seseorang. "Ra, bangun! Kamu kenapa?" Aku membuka mata. Memperhatikan sekeliling. Hanya ada ibu yang berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan heran. "Kamu kenapa nangis nangis jam segini?" Ibu mengulang pertanyaannya. Aku melirik jam dinding. Ternyata baru menunjuk ke angka empat dini hari. Lekas aku mengusap wajah sambil mengucap Alhamdulillah karena semua itu hanya mimpi. "Zara gak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk," jawabku tersipu malu. "Walah, kamu ini. Makanya, sebelum tidur itu baca doa, biar gak mimpi buruk kayak gitu," timpal ibu sambil berbalik dan pergi meninggalkan kamarku. Saking bahagianya, semalam aku memang lupa tidak berdoa sebelum tidur. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mimpi mengerikan seperti itu.Untuk menenangkan debaran jantung yang masih belum beraturan, aku pun turun dari ranjang lalu mengambil air wudu. Setelahnya, aku meng
Tidak terlalu banyak percakapan di antara kami. Karena otakku juga sibuk memutar ulang momen yang baru saja terjadi. Momen bahagia yang membuatku berbunga-bunga dan tersipu tanpa sadar. Bahkan, saat kembali melanjutkan pekerjaan pun, bayang-bayang itu tak kunjung hilang dari ingatan. Membuatku sudah merindukan Hanan padahal baru berpisah beberapa jam yang lalu. Sore menjelang. Waktu pulang pun sudah tiba. Sebelum bersiap, aku mengecek ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Karena dari tadi aku sudah gelisah menunggu kabar dari Hanan yang tak kunjung muncul. Aku menghela napas pelan saat mengetahui kalau Hanan tak mengirim pesan sama sekali. Rasa kecewa membuat dadaku tiba-tiba sesak. Namun, baru saja aku akan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, getarannya membuatku urung. Saat dilihat, mataku langsung berbinar melihat siapa yang mengirim pesan.[ Maaf baru ngabarin. Tadi ponselku lowbat dan mati. Alhamdulillah aku sudah sampai dengan selamat. Kamu sudah pulang belum?][ Alhamdu
Laju air mata mengalir semakin deras setelah mendengar penuturan Hanan. Kakiku rasanya lemas tak bertulang hingga hampir ambruk andai tak ada kursi yang langsung menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi itu dengan perasaan campur aduk. "Ra ...!" Mas Ryan mendekat. Tangannya hampir memegang pundakku andai tanganku tak langsung memberi kode agar ia jangan melakukan hal itu. "Tapi kenapa, Han? Bukannya kamu sendiri pernah bilang, kalau kamu gak akan pernah pergi jika aku mengatakan perasaan yang sebenarnya." Aku kembali menatap Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Maaf, Ra. Aku sudah janji ke perusahaan akan segera kembali untuk mengurus semuanya," jawab Hanan."Maksudnya? Mengurus apa? Lalu aku dan Ilham?" Aku semakin terisak. Perih sekali rasanya mengetahui Hanan tetap akan pergi dan tak akan mengurungkan niatnya."Justru karena hal itulah aku terpaksa harus pergi. Pihak perusahaan memintaku untuk tetap stay di sana. Jika aku menolak, aku diminta untuk mengundurkan diri. Dan aku,
Setelah selesai solat dan tadarus sebentar, aku mengecek ponsel. Mungkin saja Hanan mengirimkan pesan padaku. Nihil. Hanya ada beberapa pesan grup yang masuk. Aku pun memandangi layar ponsel cukup lama. Berpikir untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. Setelah menimbang-nimbang, aku pun menyingkirkan sedikit egoku untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. [Han, kenapa belum pulang? Semuanya baik-baik saja kan?] Aku pun mengirimkannya dengan jantung berdebar. Cukup lama pesan itu hanya centang satu. Menandakan nomornya sedang tidak aktif. Aku pun semakin dilanda gelisah dan kekhawatiran. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Hingga setelah melaksanakan solat isya, barulah layar ponsel itu memendarkan cahaya. Aku langsung mengambilnya. Mataku berbinar saat tahu itu adalah balasan dari Hanan. Gegas aku pun membukanya dengan tergesa. [ Aku di rumah ibu, Ra. Sepertinya aku akan menginap di sini. Semuanya baik-baik saja kok. Gimana kabar kamu sama Ilham hari ini? Sepi banget rasanya
Aku sempat tertegun sesaat setelah mendengar penuturannya. Hingga kemudian aku tersadar bahwa Fara memang benar-benar telah mengucapkan hal demikian saat menatap wajahnya yang memang terlihat serius tanpa candaan seperti biasanya. Aku memaksakan senyum meski kecil. "Kamu ngomong apa, sih, Far?" "Aku serius, Mbak. Aku sudah tau kalau sebenarnya Mbak sama Kak Hanan itu saling mencintai. Waktu Mbak dan Kak Hanan bicara berdua sore itu, aku sebenarnya mendengar perbincangan kalian di balik pintu rumah. Aku juga sudah tanyakan langsung hal ini pada Mbak Rima. Tadi siang aku ke rumahnya. Dan Mbak Rima membenarkan hal itu," jawab Fara dengan wajah yang masih nampak sedikit sendu. "Awalnya aku sempat marah, kecewa, juga sedih. Tapi akhirnya aku sadar, akulah yang berada di tengah-tengah antara Mbak Zara dan Kak Hanan. Kalian saling mencintai satu sama lain. Apalagi Kak Hanan, dia mencintai Mbak sejak lama. Mana mungkin aku bisa memaksakan seseorang yang sama sekali tidak mencintaiku. Ayola
Pagi ini aku harus kembali bekerja. Meski pikiran masih sedikit kacau karena semua yang terjadi, namun, hidup harus tetap dijalani dengan penuh semangat. Ada orang-orang yang harus aku bahagiakan. Di sebrang sana, Mas Ryan pun nampak sudah siap. Sepertinya dia juga hendak berangkat kerja karena sudah rapi dengan kemeja yang melekat di tubuh atletisnya. Penasaran dengan nasib Nisya, aku pun menghampirinya."Pagi, Mas," sapaku ramah. "Hai. Pagi." Mas Ryan berbinar melihatku. "Nisya gimana? Di mana dia sekarang?" tanyaku. "Tadi pagi udah aku anterin ke sekolahnya. Aku titipkan ke gurunya. Nanti sore aku jemput lagi," jawabnya. "Alhamdulillah kalau gitu, Mas. Jadi gak terlalu khawatir," timpalku sambil tersenyum. "Kalau ... Mbak Anita?" "Mungkin nanti istirahat aku akan melihat keadaan dia. Mau ikut?" tawarnya. "Oh, enggak sepertinya, Mas," tolakku. "Ya sudah kalau gitu. Aku juga mau berangkat soalnya." Aku buru-buru berbalik dan kembali ke halaman rumahku. Saat sampai di teras u