Matahari kini telah tenggelam. Berganti bulan penuh yang memancar indah di atas sana. Di sekelilingnya, bintang-bintang kelap-kelip menambah keindahan malam. Aku yang memilih menepi sejenak di teras luar menatap langit menikmati pemandangan malam yang jarang kunikmati. Sesekali embusan angin menerpa kulitku meninggalkan sensasi dingin yang menusuk hingga ke dalam. Dulu, waktu awal-awal menikah dengan Mas Hilman, aku sering mengajaknya duduk berdua di teras kontrakan. Kepalaku disandarkan di bahunya sambil bercerita tentang kegiatan yang telah dilalui seharian. Segelas bajigur hangat seringkali menemani beserta kacang rebus yang dibeli dari pedagang keliling. Hal yang begitu sederhana tapi bahagianya luar biasa. "Semoga kita akan terus seperti ini, ya, Mas. Sampai menua bersama-sama," doaku kala itu. Mas Hilman pun terdengar tulus mengamini diikuti belaian lembut di kepalaku. "Ra, ngapain duduk sendirian di luar?" Hanan tiba-tiba sudah ada di luar rumahnya. Lamunan tentang masa la
Bukannya menggeser tubuhnya, Anita justru terus menghalangi jalanku yang ingin melewatinya. Sampai kesal aku dibuatnya. "Ra, jangan ganggu Zara. Kasih dia jalan," pinta Mas Hilman yang berdiri tak jauh darinya dengan kedua tangan yang menenteng banyak paper bag. Sudah macam kacung istrinya saja yang membawakan semua barang tanpa dibantu sedikit pun."Kok Mas belain dia, sih? Sekarang itu kamu suamiku bukan suaminya. Ingat ya, kalian itu sudah resmi bercerai dan bukan suami istri lagi. Kalian itu cuma mantan. Cuma mantan!" Anita begitu menekankan suaranya pada kata mantan."Iya. Kamu gak perlu bahas itu terus-terusan. Aku juga tau," timpal Mas Hilman."Bagus, deh," balas Anita sambil mendelik."Mbak, saya mau lewat. Gak dengar ya?" Aku kembali bersuara. Kali ini diikuti tatapan yang tajam tak bersahabat. "Ops ... ada yang marah." Anita malah menutup mulutnya sambil tersenyum meledek. "Jangan galak-galak. Apalagi sekarang sudah janda. Entar gak ada yang mau, loh. Ditambah lagi penampi
Ternyata mereka berdua juga ingin menonton film. Kenapa bisa kebetulan seperti ini?"Ayah," ucap Ilham saat menyadari ayahnya duduk di depannya. Mas Hilman menoleh seiring lampu yang dimatikan dan pemutaran film dimulai. "Ilham?" Mas Hilman nampak terkejut saat melihat keberadaan putranya itu bersama denganku."Suuttt. Filmnya udah mulai." Anita memutar kepala Mas Hilman hingga kembali menatap ke depan."Sayang, filmnya sudah dimulai. Gak boleh berisik. Nanti dimarahin orang." Aku berbisik lirih di telinga Ilham. "Tapi itu ayah, Bun," timpal Ilham sendu. Kentara sekali Ilham memang sangat merindukan sosok ayah yang beberapa bulan terakhir jarang ditemuinya. "Iya. Nanti kalau filmnya sudah selesai, kita samperin ayah." Aku berusaha membujuk Ilham. Anak itu mengangguk meski nampak lesu. "Kenapa bisa barengan sama Bang Hilman, sih?" Hanan berbisik pelan. "Mana aku tahu. Kan kamu yang beli tiketnya juga," timpalku tak kalah pelan. Hanan tak lagi menanggapi. Aku pun fokus menikmati
Pertanyaan Ilham sukses membuat situasi menjadi tidak nyaman. Aku tidak boleh membiarkan Ilham sampai berharap agar Hanan menjadi ayahnya. Hubungan kami hanya sebatas teman baik. Hubungan Ilham dan Hanan juga hanya sebatas Om dengan keponakannya. Apalagi Fara juga sempat mengutarakan kesukaannya pada lelaki berahang kokoh itu. Tak ingin mematahkan harapan adikku satu-satunya itu untuk bersanding dengan lelaki dambaannya."Enggak gitu, Sayang. Om Hanan sama bunda gak akan menikah. Tapi bunda sama Om Hanan akan selalu ada dan menyayangi Ilham. Ilham masih kecil. Kalau sudah besar nanti, pasti mengerti," jawabku lembut. "Tapi Ilham kangen kayak dulu lagi. Bobo ditemenin bunda sama ayah. Bunda peluk Ilham. Ayah bacain dongeng. Tapi sekarang ayahnya gak ada. Ayah jauh terus." Raut wajah Ilham semakin murung."Kalau gitu, nanti bunda bacain dongeng lagi, ya, sebelum bobo? Atau ... minta kakek yang bacain. Gimana?" tawarku dengan senyum mengembang. "Kalau minta dibacain Om Hanan, boleh gak
Aku langsung tersenyum lebar mendengar pertanyaannya. "Ya enggak lah. Kalau pun ada rasa suka, itu cuma sebatas teman. Bukan suka sebagai kekasih dan semacamnya. Kamu ini ada-ada aja." Aku kembali tersenyum lebih lebar."Tapi Kak Hanan baik banget loh sama Mbak. Apa mungkin dia mencintai Mbak?" "Dari dulu kan dia emang gitu. Gak ada bedanya. Jadi Mbak menganggapnya sudah seperti biasa. Gak ada yang aneh lagi mau dia sebaik apapun. Apalagi sampai baper dan kepedean," timpalku. "Beneran, kan, Mbak? Takutnya aku terlanjur menyukai dia terlalu dalam, eh taunya gak direspon balik.""Kalau masalah direspon atau enggaknya, Mbak gak tau. Cobain aja pepet terus," saranku. "Iya, deh. Tapi beneran loh Mbak gak naksir sama dia?" Fara seolah ragu dengan jawaban dariku. "Beneran. Masa Mbak bohong sih," timpalku meyakinkannya. "Udah gih, sana. Bilang makasih dulu buat belanjaannya." Aku mendorong tubuh Fara pelan. "Oke, deh." Fara bangkit dengan senyum mengembang di bibirnya. Sesaat kemudian, d
Butuh waktu lebih dari sepuluh menit untuk membaca keseluruhan konsep materi yang disodorkan. Setelah mempelajari detailnya, sepertinya materi seperti ini pernah aku pelajari saat duduk di bangku SMA dulu. Apalagi aku memang lumayan aktif di bidang perpustakaan dan Mading sekolah. "Apa, benar-benar gak ada orang lain yang bisa menggantikannya selain saya, Pak?" Aku kembali bertanya dengan harapan masih bisa mundur. Bukan karena aku tak bisa, tapi aku tak percaya diri. "Gak ada. Semua karyawan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Lagipula, saya memang sengaja memberikan kesempatan ini khusus buat kamu agar kemampuan yang mungkin masih terkubur dalam dirimu bisa muncul. Ayo dong dicoba. Demi masa depanmu, demi anakmu, demi keluargamu. Apalagi sudah setengah tahun ini kamu menyandang status single parent yang pasti berat buatmu."Dukungan semangat dari Mas Ryan membuat motivasi dalam hatiku tiba-tiba menggebu. Bismillah. Tak ada salahnya mencoba hal baru. "Baik kalau gitu, Pak. Ak
"Dia aslinya memang cantik. Padahal baru make up seadanya. Apalagi kalau make up salon," puji Vina. Padahal, dia jauh lebih cantik dan modis. "Mbak ini berlebihan," timpalku sambil menunduk malu. "Oh, iya. Gunakan ini!" Vina mengulurkan sepatu dengan hak yang tak terlalu tinggi. Mungkin dia merasa sepatu pantofel tanpa hak yang ku gunakan kurang sesuai untuk penampilanku. "Makasih banyak, ya, Mbak," tuturku. Aku benar-benar terharu. Ternyata aku memang dikelilingi oleh orang-orang baik. "Good luck, ya." Vina mengacungkan dua jempolnya saat aku dan Mas Ryan hendak keluar ruangan. Hak sepatu yang beradu dengan lantai menyebabkan suara di tiap pijakannya. Hal itu membuat orang-orang yang mendengarnya langsung menoleh ke arahku. Merasa rendah diri, aku memilih menundukkan kepala selama berjalan. "Itu kan staf bagian pantry.""Itu Zara, ya? Pangling banget.""Iya. Cantik."Beberapa suara mulai terdengar. Membuatku kepalaku kian menunduk dalam."Jangan malu. Kamu itu cantik." Mas Rya
"Maaf, ya, Mas. Kalau malam ini sepertinya gak bisa. Aku udah janji mau nemenin Ilham. Soalnya hari ini dia ulang tahun." Aku berusaha menolak. Apalagi alasanku memang benar. "Ilham ulang tahun? Kenapa gak bilang? Kalau tahu kan bisa beli hadiah buat dia," timpal Mas Ryan. "Gak ada perayaan apa-apa, kok, Mas. Ulang tahun Ilham memang tidak pernah dirayakan.""Gak apa-apa. Nanti aku cari hadiahnya di jalan sambil pulang, ya," kukuh Mas Ryan. "Gak usah repot-repot, Mas," cegahku tak enak. "Gak repot. Cuma hadiah kecil doang. Lagipula, aku juga kangen sama Nisya. Udah beberapa hari ini belum ketemu dia sama sekali." Raut wajah Mas Ryan berupa nelangsa. Kentara sekali dia sedang merindukan putrinya itu. "Baiklah kalau tidak merepotkan," timpalku akhirnya. Mungkin dengan melihat kebahagiaan Ilham, bisa sedikit mengobati kerinduan Mas Ryan pada putrinya. "Aku duluan, ya. Buru-buru," lanjutku sambil menaiki motor. Mas Ryan belum beranjak dari tempatnya sampai aku benar-benar meleset pe