Dalam hitungan mundur, tiga, dua, satu!
Ku buka perlahan. Benar sekali. Di dalamnya adalah benda berbentuk kotak. Coba kalian tebak! Isinya apa hayo? Aduh, aku dek-dekan. Sampai gemetar 'ni tangan."Karmila, dicari Bu Efi 'ni!" teriak Mas Darius. Ish, menyebalkan sekali. Ku intip saja dulu."Karmila ...! Sudah di tunggu 'ni," serunya lagi. Suara lelaki itu membuyarkan sesuatu yang ada di kepalaku.Kotak itu ku letakkan begitu saja di nakas. Lalu ke luar menemui Bu Efi."Lho, Mbak Karmila kok belum siap-siap?" tanya Bu Efi. Bu Efi terlihat kaget melihatku. Aku pun tak kalah bingung."Si-siap, siap apa, Bu?""Lho, Mbak Karmila lupa atau amnesia? Bukankah kemarin Mbak Mila sendiri yang ngajak bareng aku untuk menjenguk Bu RT?""Oalah iya, Bu Efi. Maaf, aku lupa!" kataku. Tepuk jidat dah. Gara-gara berlian aku jadi amnesia. "Kalau begitu ku ambil tas dulu, Bu!" pamitku. Aku cepat-cepat ke kamar dan menyambar tas kecil di sana. "Ayo, Bu!" "Pakai mobilku saja, Mbak Mila. Kebetulan suamiku libur kerja," katanya."Memangnya dia mau mengantar kita?" tanyaku penasaran."Ya jelas maulah, Mbak. Masak antar istri sendiri nggak mau. Kalau nggak mau, kempesin saja ban mobilnya," canda Bu Efi. Ahahaha.Kami tertawa serentak. Sekilas ku lihat Mas Darius yang sedang asik bermain dengan burungnya. "Andai saja Mas Darius mau belajar nyetir mobil. Jadi, dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar supir. Aku bisa diantarnya setiap kali akan pergi. 'Kan, nggak enak kalau pergi berdua dengan supir. Paling cuma bisa duduk diam main ponsel. Nggak seru!" batinku."Mas, kami pergi dulu ya!"Aku salim dan ku kecup punggung juga telapak tangannya."Iya, hati-hati!" katanya dengan santai.Di halaman rumah, ternyata sudah ada Pak Randi--suami Bu Efi. Kami masuk ke dalam mobil itu. Aku dan Bu Efi duduk di belakang."Lho, Bu Efi kok di belakang. Kenapa nggak di depan?" tanyaku bingung. Biasanya istri 'kan duduk di sebelah suaminya."Nggak, Mbak Mila. Di belakang saja, menemani Mbak Mila. Nanti kalau aku di depan, Mbak Mila malah jadi obat nyamuk lagi," ujar Bu Efi. "Hehe, iya juga 'sih," gumamku."Pak Randi tidak apa-apa di depan sendiri?" tanyaku. "Halah, biasa saja, Mbak. Sudah biasa setiap hari nyetir sendiri," kata Pak Randi."Kamu enak, Mbak Mila. Mas Darius punya sopir sendiri," kata Bu Efi."Enak Bu Efi, dong! Kemana-mana bisa berdua terus sama suami," balasku."Enak dari mana, Mbak? Aku kalau ke luar kota dan nyetir sendiri, rasanya capek banget. Kaki, tangan, otak juga. Apalagi kalau mengantuk juga. Pokoknya lengkap capeknya," kata Pak Randi."Benar Mbak Mila, Mas Randi kalau perjalanan jauh, dia jadi mudah sakit," Bu Efi menimpali."Iyalah, Mbak. Jadi Mas Darius itu enak. Kemana-mana tinggal ngomong 'ayo' lalu tiduran di mobil. Tahu-tahu sudah sampai tujuan," ujar Bu Efi.Di sini aku mulai bingung. "Maksud ... Ibu apa? Bukankah enak nyetir sendiri, Bu Efi? Aku malah sering menyuruh Mas Darius untuk belajar mengemudikan mobil. Tapi, dia tidak pernah mau," kataku."Ya jelas nggak mau, Mbak. 'Kan lebih enak ada sopir," balas Pak Randi.Sepertinya untuk hal mengendarai mobil pun aku juga akan kalah berdebat. Untung ini membahas dengan orang lain. Kalau dengan suamiku, ujung-ujungnya bakal diceramahi.Mungkin ini yang dinamakan WANG SINAWANG melihat, juga dilihat. Aku melihat seorang istri yang mobilnya di setir suaminya sendiri itu enak banget. Tapi, Bu Efi dan suaminya justru sebaliknya, mereka menganggap aku dan suamiku lebih enak, karena kemana-mana bawa sopir.Pantas saja waktu itu, saat aku berkeinginan belajar mengemudikan mobil, dilarang keras oleh Mas Garwo alias sigaraning nyowo atau belahan jiwa. Mungkin dia takut kalau aku kecapekan. Atau takut istrinya kelayapan melulu. Hehe. ***Puskesmas tempat merawat Bu RT sudah terlihat cukup dekat. Pak Randi mulai mempercepat laju mobilnya hingga sampai di parkiran, aku dan Bu Efi turun. Lalu, aku dan Bu Efi masuk ke dalam. Sedangkan Pak Randi menunggu di luar.Kami menyambangi sebuah kamar yang di dalamnya terdapat Bu RT, sedang terlihat terkulai lemah di ranjang."Assalamualaikum!" serantak kami mengucap salam."Walaikum salam, Bu Efi, Mbak Mila. Mari masuk!" Pak RT menyambut kami."Bu RT, bagaimana keadaannya?" tanya Bu Efi."Sudah agak mendingan kok, Bu. Mungkin besok sudah boleh pulang," jawab Bu RT."Ini cuma berdua saja?" tanya Pak RT sambil menunjukku dan Bu Efi bergantian."Kita bertiga kok, Pak. Sama Mas Randi. Dia menunggu di luar," ujar Bu Efi."Lho, kenapa tidak di ajak masuk?" Pak RT bertanya lagi."Biarkan di luar saja, Pak RT. Biar Bu RT tidak terlalu bising," jawab Bu Efi."Bu Efi ngelesnya kurang pinter. Padahal, tiga ibu-ibu vs dua bapak-bapak, akan lebih los tiga ibu-ibu. Jadi, meski yang pria di luar, tetap saja ruangan akan ramai," batinku."Kalau begitu biar aku ke luar menemani, Pak Randi," kata Pak RT.Pak RT ke luar. Kami diam saja sampai punggung lelaki itu benar-benar tidak kelihatan. Hantu kali ya."Kemarin Bu Meta, Bu Fatia juga ke sini," ujar Bu RT."Oalah, kok mereka nggak ngajak kita ya Mbak Mila?" tanya Bu Efi."Mungkin karena mereka tidak suka dengan Mas Darius, Bu Efi!" jawabku. Sepertinya aku kembali berpikiran negatif lagi dengan kumpulan ibu-ibu rumpi."Mereka cerita apa saja ke sini, Bu RT? Secara, signal mereka 'kan kuat. Kabar orang se-RT bisa tahu semua. Mengalahkan chanel TV," ujar Bu Evi.Bu RT tersenyum mendengar pertanyaan warganya yang satu ini."Kira-kira aku cerita nggak, ya? Aku serba salah ni," ujar Bu RT."Kenapa bingung Bu RT? Cerita saja," desak Bu Efi. "Masalahnya, mereka sudah bicara padaku, kalau aku nggak boleh bilang-bilang sama orang," katanya lagiAku cuma bergeming sambil mikir. Sepertinya mereka membicarakanku. Terlihat dari sikap Bu RT yang sungkan terhadapku."Halah, nggak apa-apa Bu RT. Lagian, si Fatia itu nggak mungkin bisa menyimpan rahasia. Paling beritanya juga bocor kemana-mana," ujar Bu Efi.Kemudian Bu RT menatapku. Meski bibirnya masih sedikit pucat, tapi badannya sudah terlihat segar."Karmila, kamu jangan marah, ya. Sebenarnya mereka membicarakanmu," kata Bu RT.Drundungdungdung. Biar seperti yang ada disinetron,hehe.Benar 'kan dugaanku. Mereka pasti membicarakanku. Kali ini bukan sekedar berpikir negatif. Tapi fakta."Mereka bicara apa, Bu?" tanyaku.Bu RT terlihat sungkan untuk bicara. "Emmm, itu Mil. Katanya, Darius sok-sokan mau beli emas 1kg. Tapi nggak jadi. Apa benar?" tanya Bu RT. Bu Efi ikut melongo. Haduh, dasar mulut ember. Ternyata ceritanya disebar luaskan. Bisa viral di komplek 'ni. Merdengar soal emas, otakku kembali ke rumah. Eh, kembali teringat benda kecil yang ada di kamarku. Jadi pengen buru-buru pulang.Benar 'kan dugaanku. Mereka pasti membicarakanku. Kali ini bukan sekedar berpikir negatif. Tapi fakta."Mereka bicara apa, Bu?" tanyaku.Bu RT terlihat sungkan untuk bicara. "Emmm, itu Mil. Katanya, Darius sok-sokan mau beli emas 1kg. Tapi nggak jadi. Apa benar?" tanya Bu RT. Bu Efi ikut melongo. Haduh, dasar mulut ember. Ternyata ceritanya disebar luaskan. Bisa viral di komplek 'ni. Merdengar soal emas, otakku kembali ke rumah. Eh, kembali teringat benda kecil yang ada di kamarku. Jadi pengen buru-buru pulang."Mila, Mbak Karmila!" seru Bu Efi. Ia menggoyang-goyangkan pundakku."Ditanya Bu RT kok malah bengong. Bagaimana, apakah benar berita itu?" tanya Bu Efi. Aku berusaha menarik bibir agar terlihat senyum meski sedikit mengembang. Dalam hati rasanya malu ... setengah mati. "Iya 'sih benar," jawabku sambil cengengesan. "Oalah, ahahaha, Mila ... sabar banget ya kamu ini. Punya suami macam Darius. Jadi berita itu benar? Ya Gusti ...." Bu RT dan Bu Efi tertawa sambil memegang perutn
6"Auk ah, gelap!""Kalau hatimu gelap, Mas siap menyinarinya.""Halah, nggak mempan gombalanmu, Mas! Apa salahnya 'sih, Mas. Membelikan 'ku perhiasan emas? Sedangkan uang di brangkas Mas Darius juga banyak," protesku."Bukan begitu, Sayang. Memang benar, Mas bisa saja membeli perhiasan emas. Tapi, akan lebih nyaman kalau kamu pakai yang imitasi kalau untuk sehari-hari. Lebih aman dan lebih nyaman dalam beraktifitas. Lagian saat bercinta Mas juga nggak suka kamu memakai barang-barang itu. Ribet, malah nyangkut-nyangkut. Bayangkan saja, kalau sedang di luar atau di jalan, kamu ketemu dengan perampok. Dia mau semua barang yang kamu bawa. Kalau emas beneran, pulang bisa nangis guling-guling. Tapi kalau imitasi, tinggal kasih aja."Kupikir logis 'sih cara berpikir Mas Darius. "Tunggu sebentar, Mas mau kasih kamu lihat sesuatu," ujarnya, lalu meninggalkanku ke kamar. Kemudian ia balik lagi. Mendatangiku dengan menyembunyikan ke dua tangan di belakang. Apalagi yang akan dilakukannya. Jang
"Kalian bisik-bisik apa 'sih? Bikin penasaran," ujar Bu Efi."Ra-ha-si-a!" Bu Fatia berkata pada Bu Efi. Aku menjawab dengan senyum saja."Fatia, awas kalau kamu macam-macam. Aku tidak mau menjadi temanmu lagi. Nggak ada traktir-traktiran lagi," ancam Bu Meta.Bu Fatia meringis dan berkata, "Tenang, Bu. Aman!"Otakku pun jadi su'udzon. Apakah Bu Meta ada hubungan dengan Mas Darius. Atau pernah menjalin hubungan saja. Kalau benar, siap-siap saja, Mas Darius ku cubit ginjalnya."Mari, Bu Meta, kami antar ke rumah. Buat istirahat saja supaya bisa menenangkkan diri," Bu Fatia memapah Bu Meta ke rumahnya. Sebagian ibu-ibu masih berada di tempat. Sebagian lagi mereka pulang. Aku menjadi salah satu yang pulang.***"Mas, Bu Meta kenapa ya, ketus banget kalau bicara sama aku. Kelihatannya benci ... banget, kalau melihatku."Ku kira suamiku akan kaget atau syok mendengar ucapanku. Ternyata dia biasa saja."Yak, kiri,kiri. Oper,oper!" teriaknya. Aku menolehnya. Gemes banget 'kan. Istri bicara
"Ada yang aneh dengan penampilanku?" tanyanya."Nggak aneh 'sih, Mas. Tapi ya jangan pakai kaos dalam saja dong!""Halah, ribet amat. Ayo cepat. Mas sudah lapar."Dia menarik tanganku."Mas Darius, kenapa kamu nggak pernah serius 'sih""Kenapa lagi, Mila?"Katanya makan di luar, tapi ini_?""Ya iya, di luar. Ini Mas sudah pesan nasi goreng abang yang lewat.""Mas! Aku sudah capek dandan, ganti baju bagus. Taunya cuma makan di emperan. Ini namanya bukan makan di luar Mas. Tapi, makan di halaman rumah. Ih, sebel."Aku pun merajuk dan masuk ke dalam rumah lagi. Melempar sepatu yang tadi ku kenakan. Menghapus make up yang sudah paripurna. Kemudian mengganti bajuku dengan piyama."Tau gini aku nggak bakal dandan. Mas Darius , kenapa kamu jahat banget padaku?" batinku. Aku mulai menangis di kamar. Kali ini aku tidak mengharap dia membujukku. Aku benar-benar marah padanya."Mila, ayo makan dulu. Keburu dingin nasi gorengnya. Nanti nggak enak." Panggil suamiku dari luar. "Makan saja sendiri
Ku cubit hidung Mas Darius. Ku tepuk-tepuk pipinya. Ku toel dagunya."Ihhh, kaya anak kecil saja. Sudah, Mas mau tidur. Sudah ngantuk," ujarnya.Malam ini cukup istimewa buatku. Meskipun gagal untuk makan di luar. Di restoran atau di cafe maksudnya. Bukan seperti Mas Darius yang makan di luar RUMAH.Bisa dibilang suamiku adalah spesies langka. Entah hatinya terbuat dari apa. Bahkan selama aku menemaninya, aku tidak pernah melihatnya marah, emosi atau pun berbuat kasar padaku.Mungkin hatinya terbentuk dari benda mati. Seperti teori yang dicetuskan oleh Aristoteles yang yakin bahwa makhluk hidup itu ada karena benda mati dan semuanya muncul secara spontan. Meski teori itu belum tentu benar. Habisnya aku bingung. Pernah saat awal menikah, aku belum terlalu paham sifatnya. Ternyata dia mempunyai kebiasaan suka menaruh handuk di kasur setelah dipakai sehabis mandi. Aku tidak suka sikapnya. Aku ngomel dari A sampai Z. Dia cuma diam ... saja."Mas, setelah handuk di pakai, dijemur dong. Ka
"Aku laki-laki normal, Mila. Siapa yang tidak mau dengan wanita cantik," ucapnya lagi."Kamu jahat, Mas. Jahat! Hi hik hik.""Ahahaha, sadar woe! Kamu mimpi apa 'sih. Suami nggak salah apa-apa ditarik rambutnya, dipukuli, dicubiti," ujarnya.Kemudian aku mendongak melihat wajahnya. Bajunya yang tidak sama. Lalu ku tepuk-tepuk pipiku sendiri. Jadi ... Aku mimpi, Mas?Aku pun malu dengan apa yang telah tadi ku perbuat. Seingatku, aku tadi tertidur di sajadah. Setelah bangun, aku sudah di ranjang. Berarti Mas Darius menggendongku. Ah, cuit."Mas, maaf. Aku nggak tau kalau cuma mimpi," ujarku.Mas Darius terlihat menahan tawanya."Lagian, kamu mimpi apa 'sih? Suami nggak tahu apa-apa tiba-tiba di maki-maki.""Emmm, aku mimpi kamu bercinta dengan wanita lain, Mas. Bahkan saat wanita itu ku usir, kamu malah mengejarnya." Aku bercerita sambil menunduk."Ahahaha, makanya, jangan suka sebel sama suami. Nanti kalau beneran gimana?" tanyanya."Ih, jadi Mas pengen melakukan itu!" Aku menarik teli
"Kalau begitu caranya, aku saja yang nyuri barang kamu, Mas. Soalnya diikhlaskan begitu saja," kata Septi."Boleh, curi saja apa yang ada di rumah kakakmu ini. Tapi, dosanya tanggung sendiri," jawab suamiku."Lho, kok dosa? Kan sudah diikhlaskan barangnya. Jadi nggak dosa dong ... Ya 'kan kakak ipar!" ucap Septi. Lalu menoleh padaku."Hmmm ..." Aku cuma bisa senyum."Ya memang benar. Kuikhlaskan semua barang yang sudah hilang. Tapi, kamu kan mencuri. Pencuri saja dihukum kalau ketangkap. Berarti dosalah," ujar Mas Darius lagi.Kali ini aku memilih diam. Percuma ikut bicara. Lagi mau irit tenaga. Untung ada Septi. Biarkanlah, kakak adik itu berdebat. Karena jika mereka berdebat dari pagi sampai malam juga betah."Terus, ini urusannya bagaimana mobilnya, Mas?" tanya septi."Ya nggak bagaimana-bagaimana," jawab suamiku."Nggak bagaimana-bagaimana? Terus ... kalau Mbak Mila mau pergi atau Mas Darius sendiri ada urusan di luar pakai apa?" tanya Septi lagi. Aku memilih menjadi pendengar ya
"Mobil? Kenapa mobilnya bisa balik?" batinku.Di depan pintu sudah bertengger seorang lelaki berparas preman. Dengan rambut yang gondrong dan baju yang acak-acakan. Tapi raut wajahnya tidak menampakkan kegarangan. Dia menunduk seperti orang malu. "Apa lagi ini ya, Allah. Kenapa ada orang model seperti itu datang kesini?" batinku.Aku menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Apakah orang ini yang membawa mobilnya balik. Jangan-jangan dia pencurinya. Atau pahlawan yang membawa pulang mobil kami. Kenapa aku terjebak dalam suasa seperti ini Ya Tuhan? Kalau dia pencuri, nggak bakalan mengembalikannya."Heh, katakan siapa kamu? Pencuri, preman, atau pahlawan!" tanyaku dengan ketus. "Mumpung suasana hati sedang kurang bagus, bisa juga tu orang ku pakai untuk cem-ceman. Lumayan buat memuaskan tanganku yang sedikit gatal," batinku."Ak-aku ... Aku..." dia terlihat gugup."Aku, aku apa?" Penampilan saja yang sangar. Tapi, suara melow. "Ma-maaf, Bu!""Ibu-ibu, memangnya aku ibumu!""E