Saatnya ngetes istriku. Apakah dia sudah bisa memahami cara pikirku atau belum."Sayang, kamu hari ini ada acara nggak?" tanyaku sambil tiduran di pangkuannya. Ia sibuk dengan ponselnya."Kebetulan aku juga lagi kosong. Jalan-jalan, yuk!" ajakku."Kemana?" Mila bertanya tanpa melihatku. Aku nyengir dan menahan tawa. "Sepertinya istriku yang bawel ini akan kena jebakan," batinku"Sekitar sini saja," kataku."Sebenarnya aku sedang males 'sih, Mas. Tapi demi menemanimu, ayo!""Ya sudah, aku ganti baju dulu. Kamu juga ganti. Buruan!" titahku.Mila menaruh ponselnya di nakas kemudian berganti pakaian."Ayo, Mas. Aku sudah siap!""Iya, ayo! Mas juga sudah dari tadi nungguin kamu."Pagi ini cukup cerah. Tidak mendung juga tidak panas. Birunya langit menambah keindahan pagi ini. Sudah cukup lama juga tidak cari angin bersama istri.Biasanya berjalan sebentar saja Mila sudah mengeluh capek. Tapi kali ini kenapa diam saja? Aku jadi pusing kalau istriku seperti ini."Sayang, kamu capek nggak? Ka
"Mila, buka pintunya! Kalau pintu kamar di tutup, aku tidur di mana?""Terserah kamu saja, Mas. Salah sendiri pakai janjian sama, Ros." "Mila, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Buka dulu, Sayang. Biar kujelaskan."Mas Darius terus saja membujukku. Tapi biarkan saja. Dia sudah ketahuan main belakang dengan wanita lain. Mungkin akan lebih baik jika aku pergi dari rumah ini. Aaa, tidak, tidak. Kalau aku pergi dari rumah ini, Mas Darius keenakan dong. Dia bisa semaunya sendiri."Mila, buka dong pintunya. Aku cuma bercanda tadi," teriaknya dari luar. Tapi tak kuhiraukan.Setelah beberapa saat, tidak terdengar lagi suaranya. "Apa Mas Darius pergi? Jangan-jangan dia jadi jalan-jalan sama si Rosi itu," batinku. Ya sudahlah, aku tidak peduli. Lama-lama aku juga jenuh di kamar melulu. Aku pun memutuskan untuk ke luar.Saat aku membuka pintu, terlihat sebuah kaki menjulur di atas kursi sofa.Astaga, bandot tua. Mahluk aneh. Kukira sudah pergi jalan-jalan dengan si Ros yang ia telepon tadi
"Mbak, mau beli emas yang paling besar ada?" tanya suamiku. Aku sudah senyam-senyum mendengarnya."Ada, Pak!" jawab penjaga toko."Paling besar beratnya berapa?" tanya suamiku dengan PD banget. Padahal aku tahu, dia tidak membawa uang."Yang ready 100gr, Pak!" jawab wanita berkemeja merah."Aku mau emas yang beratnya 1kg," kata suamiku. Aku tepuk jidat. Malu dilihat banyak orang. Mau ditaruh mana mukaku ini.Si Mbak penjaga toko pun bingung. Akhirnya dia memanggil pemilik toko yang diketahui wajahnya seperti orang cina. Dia memandang kami sangat aneh. Apa lagi aku cuma memakai gamis biasa. Suamiku mengenakan celana pendek dan kaos setelan olahraga."Bapak butuh apa?" tanya wanita Cina itu. Rambutnya berwarna pirang sebahu."Aku butuh emas yang beratnya 1kg, ada?" "Ada Pak, tapi pesan dulu," katanya."Kalau sekarang bisa nggak?""Nggak bisa, Pak!""Ya sudah, nggak jadi!" ujar lelaki di sampingku ini. "Ayo pulang!" Ia menggandeng tanganku.Sudah kuduga. Setiap aku menginginkan sesuatu
Bu Meta mengerucutkan bibirnya sambil ngedumel."Lagaknya mau menyaingi aku. Sok-sokan mau beli emas 1kg," gerutu Bu Meta."Gila suaminya Mbak Karmila ini. Mau membelikan emas istrinya 1kg lho!" puji Bu Fatia. "Wah, Bu Meta bisa kesaing sama Mbak Karmila 'ni," ujar Bu Fatia lagi. Aku menjadi salah tingkah di tempat itu."Memang benar, ya. Jarak umur yang terlalu jauh tidak menghalangi untuk saling mengerti ya, Mas Darius!" Bu Fatia mengulang pujiannya lagi. Ya Allah, aku dan suamiku tidak bermaksud sombong. Hanya mulut suami hamba saja yang sedikit dol."Ibu-ibu, kami pamit dulu!" Aku berpamitan dengan semua yang ada di tempat itu. "Ayo, Mas!" Giliranku yang menggandeng tangan Mas Darius."Ya ampun ... Seneng melihat pasangan itu," lantang suara Bu Fatia mengiringi langkah kami masuk ke dalam rumah.***Aku cemberut, merajuk saat sampai di rumah."Mas, jujur saja. Sebenarnya kamu nggak mau membelikanku emas 'kan?" tanyaku dengan bibir manyun di depan TV.Dia dengan santai menjawab.
"Assalamu'alaikum!""Mas Darius pulang," gumamku. Segera ku sambut pujaan hatiku yang berjanji membawakan perhisan untukku."Mila, lihat yang Mas bawa!" ujarnya. Ia meletakkan sebuah tak kecil di meja. Dari gambarnya 'sih gambar berlian. Katanya aku disuruh berpikir positif. Ini saatnya. Apakah di dalamnya berlian?"Apa ini, Mas?" tanyaku. Mataku mulai berbinar-binar. "Nanti saja bukanya. Mas buatkan kopi dulu, sudah haus dari tadi," katanya."Siap! Karena sudah membawakanku berlian, Mas Darius akan ku buatkan kopi spesial. Tapi nggak pake telur. Hehe .." Aku meluncur ke dapur secepat kilat. Kembali juga dengan secepat alap-alap. "Ini, Mas, kopinya! Susunya masih di sini," kataku. Sambil senyam-senyum tak jelas. "Ku buka boleh 'kan Mas?" tanyaku lagi."Apanya? Susunya? Jangan, jangan!" "Ish, itu ... Mas!" Ku gunakan bahasa isyarat mata. Ting, ting, ting."Jangan sekarang dong. Nanti malam. Nggak sabar amat!" katanya sambil menutup benda pusakanya dengan tangan. Karena aku semakin se
Dalam hitungan mundur, tiga, dua, satu!Ku buka perlahan. Benar sekali. Di dalamnya adalah benda berbentuk kotak. Coba kalian tebak! Isinya apa hayo? Aduh, aku dek-dekan. Sampai gemetar 'ni tangan."Karmila, dicari Bu Efi 'ni!" teriak Mas Darius. Ish, menyebalkan sekali. Ku intip saja dulu."Karmila ...! Sudah di tunggu 'ni," serunya lagi. Suara lelaki itu membuyarkan sesuatu yang ada di kepalaku.Kotak itu ku letakkan begitu saja di nakas. Lalu ke luar menemui Bu Efi."Lho, Mbak Karmila kok belum siap-siap?" tanya Bu Efi. Bu Efi terlihat kaget melihatku. Aku pun tak kalah bingung."Si-siap, siap apa, Bu?""Lho, Mbak Karmila lupa atau amnesia? Bukankah kemarin Mbak Mila sendiri yang ngajak bareng aku untuk menjenguk Bu RT?""Oalah iya, Bu Efi. Maaf, aku lupa!" kataku. Tepuk jidat dah. Gara-gara berlian aku jadi amnesia. "Kalau begitu ku ambil tas dulu, Bu!" pamitku. Aku cepat-cepat ke kamar dan menyambar tas kecil di sana. "Ayo, Bu!" "Pakai mobilku saja, Mbak Mila. Kebetulan suamiku
Benar 'kan dugaanku. Mereka pasti membicarakanku. Kali ini bukan sekedar berpikir negatif. Tapi fakta."Mereka bicara apa, Bu?" tanyaku.Bu RT terlihat sungkan untuk bicara. "Emmm, itu Mil. Katanya, Darius sok-sokan mau beli emas 1kg. Tapi nggak jadi. Apa benar?" tanya Bu RT. Bu Efi ikut melongo. Haduh, dasar mulut ember. Ternyata ceritanya disebar luaskan. Bisa viral di komplek 'ni. Merdengar soal emas, otakku kembali ke rumah. Eh, kembali teringat benda kecil yang ada di kamarku. Jadi pengen buru-buru pulang."Mila, Mbak Karmila!" seru Bu Efi. Ia menggoyang-goyangkan pundakku."Ditanya Bu RT kok malah bengong. Bagaimana, apakah benar berita itu?" tanya Bu Efi. Aku berusaha menarik bibir agar terlihat senyum meski sedikit mengembang. Dalam hati rasanya malu ... setengah mati. "Iya 'sih benar," jawabku sambil cengengesan. "Oalah, ahahaha, Mila ... sabar banget ya kamu ini. Punya suami macam Darius. Jadi berita itu benar? Ya Gusti ...." Bu RT dan Bu Efi tertawa sambil memegang perutn
6"Auk ah, gelap!""Kalau hatimu gelap, Mas siap menyinarinya.""Halah, nggak mempan gombalanmu, Mas! Apa salahnya 'sih, Mas. Membelikan 'ku perhiasan emas? Sedangkan uang di brangkas Mas Darius juga banyak," protesku."Bukan begitu, Sayang. Memang benar, Mas bisa saja membeli perhiasan emas. Tapi, akan lebih nyaman kalau kamu pakai yang imitasi kalau untuk sehari-hari. Lebih aman dan lebih nyaman dalam beraktifitas. Lagian saat bercinta Mas juga nggak suka kamu memakai barang-barang itu. Ribet, malah nyangkut-nyangkut. Bayangkan saja, kalau sedang di luar atau di jalan, kamu ketemu dengan perampok. Dia mau semua barang yang kamu bawa. Kalau emas beneran, pulang bisa nangis guling-guling. Tapi kalau imitasi, tinggal kasih aja."Kupikir logis 'sih cara berpikir Mas Darius. "Tunggu sebentar, Mas mau kasih kamu lihat sesuatu," ujarnya, lalu meninggalkanku ke kamar. Kemudian ia balik lagi. Mendatangiku dengan menyembunyikan ke dua tangan di belakang. Apalagi yang akan dilakukannya. Jang