Bu Meta mengerucutkan bibirnya sambil ngedumel.
"Lagaknya mau menyaingi aku. Sok-sokan mau beli emas 1kg," gerutu Bu Meta."Gila suaminya Mbak Karmila ini. Mau membelikan emas istrinya 1kg lho!" puji Bu Fatia. "Wah, Bu Meta bisa kesaing sama Mbak Karmila 'ni," ujar Bu Fatia lagi. Aku menjadi salah tingkah di tempat itu."Memang benar, ya. Jarak umur yang terlalu jauh tidak menghalangi untuk saling mengerti ya, Mas Darius!" Bu Fatia mengulang pujiannya lagi.Ya Allah, aku dan suamiku tidak bermaksud sombong. Hanya mulut suami hamba saja yang sedikit dol."Ibu-ibu, kami pamit dulu!" Aku berpamitan dengan semua yang ada di tempat itu. "Ayo, Mas!" Giliranku yang menggandeng tangan Mas Darius."Ya ampun ... Seneng melihat pasangan itu," lantang suara Bu Fatia mengiringi langkah kami masuk ke dalam rumah.***Aku cemberut, merajuk saat sampai di rumah."Mas, jujur saja. Sebenarnya kamu nggak mau membelikanku emas 'kan?" tanyaku dengan bibir manyun di depan TV.Dia dengan santai menjawab. "Zegarrr!""Kenapa 'sih, Mas. Harus memperlakukan aku seperti ini. Aku kamu anggap anak kecil?" tanyaku lagi."Mas, aku ini sudah melahirkan dua kali. Jadi jangan perlakukan aku seperti anak kecil lagi dong. Aku nggak suka. Seperti anak kecil yang minta mainan dan dibolehin. Kemudian dibohongi barangnya habis," gerutuku lagi. Aku terus saja nyerocos. Mungkin sampai berbusa juga bibir ini."Zegarr ... Ces!" jawab suamiku. Sungutku semakin ke luar dan ingin segera marah-marah di depan wajahnya."Mas ...! Istri ngomel-ngomel didengerin dong! Dari tadi jawabnya nggak jelas." Aku membalik badan dan hendak melepar bantal ke arahnya. Tapi, dia malah cengengesan menatapku."Hehe, minum dulu, Sayang! Es jeruknya Zegarr ..."Mas Darius berkata sambil menenggak gelas yang ada di tangannya. Kemudian mengelus lehernya.Aku pun tergoda hingga kerongkonganku tanpa sadar telah menelan salifa.Ceguk."Kamu menyebalkan banget 'sih, Mas!" Ku lempar bantal kecil yang tadinya tertunda."Minum dulu, Sayang. Biar nggak naik darah," titahnya. Sebenarnya aku mau menolak karena omelanku nggak di dengar. Tapi melihat embun-embun es yang terbentuk di dinding gelas membuatku lupa diri. Segera ku ambil es jeruk di tangan Mas Darius. Kemudian ku tenggak hingga habis. "Apa ku bilang. Kamu itu kurang minum sayang. Bukannya kurang emas," katanya. Aku pun melotot mendengar ucapannya. Bisa-bisanya dia bercanda di saat hatiku gundah. "Makin cantik kalau matanya membelalak gitu. Seperti orang-orang india," ucapnya lagi."Auk ah, Mas!"Dulu sebelum menikah, aku sering berdoa agar diberikan suami yang sabar. Alhamdulilah, Allah mengabulkannya. Tapi, dapatnya kelewat sabar. Sabaarrr ... Banget! Tapi kelewat sabar. Apa-apa harus sabar.***Marah dengan Mas Darius pun percuma hanya karena emas. Mau mogok makan aku yang rugi. Pernah sekali aku ngambek dan mogok makan. Sebenarnya aku pengen seperti yang di TV-TV gitu. Kalau ngambek dirayu-rayu disuruh makan. Ditawari dibelikan ini itu. Meski sebelum marah aku sudah stok makanan di bawah ranjang. Hehe, ini ceritanya ngambek terencana. Jadi, sudah persiapan dulu biar nggak kelaparan beneran.Saat itu mungkin karena aku yang ingin dimanja. Maklum waktu itu masih pengantin baru. Aku mengurung diri di kamar. Hatiku sudah bedebar saat Mas Darius mulai membuka pintu."Akhirnya, dia datang juga. Pasti mau ajak aku makan di luar biar romantis seperti film-film drakor," batinku saat itu.Nggak tahunya, dia menjatuhkan badannya begitu saja di sampingku. Langsung ngorok pula.***Agar aku tidak galau karena batal beli emas, ku putuskan untuk ke kamar dan main ponsel. Di dalam ponselku, aku mempunyai beberapa aplikasi jual beli online. Tapi saat ini aku hanya ingin melihat-lihat saja. Siapa tahu, Mas Darius menyusul ke kamar dan melihat apa yang kulihat saat ini.Beberapa menit kemudian, benar saja. Suamiku yang gagah seperti Arjuna itu masuk ke kamar. Ia duduk di sampingku. Kemudian meletakkan kepalaku di pundaknya. Ini kesempatan bagus. Dia bisa ikut aku nonton gambar perhiasannya."Mas, ini bagus nggak?" tanyaku."Nggak!" jawabnya. Ih, sebel. Suami nggak peka banget 'sih."Kalau ini?" tanyaku lagi.Suamiku bergeming dan hanya menggunakan isyarat saja dalam menjawab."Ya Sudah! Kalau tidak ada yang bagus," kataku. Ku matikan ponsel kemudian meletakkannya di nakas."Ngebet banget pengen perhiasan emas. Mas mau tanya. Memangnya buat apa?""Ya buat bersolek di depanmu lah, Mas. Untuk apa lagi?"Mas Darius mengelus rambutku. Lelaki yang menghalalkanku ini menyanyikanku lagu romantis. Ya Allah, saat seperti ini, aku berasa menjadi Aisyah istri Rosullullah."Sudah, jangan pikirkan itu lagi. Besok Mas belikan perhiasan," ujarnya."Halah, pasti bohong lagi!""Nah ini, kamu itu selalu berpikir negatif sebelum saatnya tiba.""Habisnya, seringnya gitu. Seperti yang sudah-sudah. Katanya mau ajak ke toko emas. Tapi pulang nggak dapat apa-apa.""Eh, dengarkan! Aku 'kan cuma bilang. Besok ku ajak kamu ke toko emas. Dan sudah ku tepati. Jadi ... aku nggak bohong dong.Capek berdebat dengan Mas Darius. Selalu aku yang kalah. Tanpa sadar mata pun mulai sepet. Entah sirep apa yang ia gunakan. Karena hanya dalam hitungan menit aku langsung tak sadarkankan diri.***Pagi ini Mas Darius janji mau pergi dan pulang membawakanku perhiasan. Dengan semangat aku menyiapkan menu kesukaannya. Untuk makanan sehari-hari kami tidak pernah pusing mikir untuk beli. Makanan yang kami konsumsi berdatangan begitu saja. Aku juga tidak tahu kenapa para petani selalu memberikan hasil panennya pada suamiku.Pernah aku menolak seorang pria paruh baya datang membawa hasil panen terong sekarung ke rumah."Pak, kenapa Bapak berikan ini pada kami? Bukankah Bapak lebih butuh?" tanyaku. Orang itu malah tersenyum. Suamiku juga diam tanpa penjelasan. Kemudian ku tanya lagi, "Pak, jujur sama aku. Apa Bapak dipaksa Mas Darius agar menyerahkan hasil panennya?""Tidak, Bu Mila. Sama sekali Bapak tidak pernah memaksaku. Aku ikhas memberikan ini," ujarnya. Aku bingung sampai garuk-garuk kepala. Meski sebenarnya gatel beneran karena berkeringat saat memakai hijab."Memangnya aku kompeni, yang suka merebut hasil panen warga?" desis Mas Darius. Aku meliriknya. Ia bicara sambil melipat tangannya."Ya kali aja," bisikku."Tu 'kan, cobalah untuk berpikir yang positif Karmilaku sayang.""Nggak bisa, Mas! Aku hanya bisa berpikir sebab akibat sesuai yang aku lihat dan aku alami."Si Bapak di depanku bingung melihat ke arahku, lalu pindah ke arah Mas Darius.Sampai sekarang teka-teki itu belum aku pecahkan. Yang aku tahu, Mas Darius bekerja sebagai guru di sebuah yayasan. Mungkin segala jenis makanan hasil panen pertanian maupun peternakan yang di kirim adalah tanda terima kasih.***"Assalamu'alaikum!""Mas Darius pulang," gumamku. Segera ku sambut pujaan hatiku yang berjanji membawakan perhisan untukku."Mila, lihat yang Mas bawa!" ujarnya. Ia meletakkan sebuah tak kecil di meja. Dari gambarnya 'sih gambar berlian. Katanya aku disuruh berpikir positif. Ini saatnya. Apakah di dalamnya berlian?___"Assalamu'alaikum!""Mas Darius pulang," gumamku. Segera ku sambut pujaan hatiku yang berjanji membawakan perhisan untukku."Mila, lihat yang Mas bawa!" ujarnya. Ia meletakkan sebuah tak kecil di meja. Dari gambarnya 'sih gambar berlian. Katanya aku disuruh berpikir positif. Ini saatnya. Apakah di dalamnya berlian?"Apa ini, Mas?" tanyaku. Mataku mulai berbinar-binar. "Nanti saja bukanya. Mas buatkan kopi dulu, sudah haus dari tadi," katanya."Siap! Karena sudah membawakanku berlian, Mas Darius akan ku buatkan kopi spesial. Tapi nggak pake telur. Hehe .." Aku meluncur ke dapur secepat kilat. Kembali juga dengan secepat alap-alap. "Ini, Mas, kopinya! Susunya masih di sini," kataku. Sambil senyam-senyum tak jelas. "Ku buka boleh 'kan Mas?" tanyaku lagi."Apanya? Susunya? Jangan, jangan!" "Ish, itu ... Mas!" Ku gunakan bahasa isyarat mata. Ting, ting, ting."Jangan sekarang dong. Nanti malam. Nggak sabar amat!" katanya sambil menutup benda pusakanya dengan tangan. Karena aku semakin se
Dalam hitungan mundur, tiga, dua, satu!Ku buka perlahan. Benar sekali. Di dalamnya adalah benda berbentuk kotak. Coba kalian tebak! Isinya apa hayo? Aduh, aku dek-dekan. Sampai gemetar 'ni tangan."Karmila, dicari Bu Efi 'ni!" teriak Mas Darius. Ish, menyebalkan sekali. Ku intip saja dulu."Karmila ...! Sudah di tunggu 'ni," serunya lagi. Suara lelaki itu membuyarkan sesuatu yang ada di kepalaku.Kotak itu ku letakkan begitu saja di nakas. Lalu ke luar menemui Bu Efi."Lho, Mbak Karmila kok belum siap-siap?" tanya Bu Efi. Bu Efi terlihat kaget melihatku. Aku pun tak kalah bingung."Si-siap, siap apa, Bu?""Lho, Mbak Karmila lupa atau amnesia? Bukankah kemarin Mbak Mila sendiri yang ngajak bareng aku untuk menjenguk Bu RT?""Oalah iya, Bu Efi. Maaf, aku lupa!" kataku. Tepuk jidat dah. Gara-gara berlian aku jadi amnesia. "Kalau begitu ku ambil tas dulu, Bu!" pamitku. Aku cepat-cepat ke kamar dan menyambar tas kecil di sana. "Ayo, Bu!" "Pakai mobilku saja, Mbak Mila. Kebetulan suamiku
Benar 'kan dugaanku. Mereka pasti membicarakanku. Kali ini bukan sekedar berpikir negatif. Tapi fakta."Mereka bicara apa, Bu?" tanyaku.Bu RT terlihat sungkan untuk bicara. "Emmm, itu Mil. Katanya, Darius sok-sokan mau beli emas 1kg. Tapi nggak jadi. Apa benar?" tanya Bu RT. Bu Efi ikut melongo. Haduh, dasar mulut ember. Ternyata ceritanya disebar luaskan. Bisa viral di komplek 'ni. Merdengar soal emas, otakku kembali ke rumah. Eh, kembali teringat benda kecil yang ada di kamarku. Jadi pengen buru-buru pulang."Mila, Mbak Karmila!" seru Bu Efi. Ia menggoyang-goyangkan pundakku."Ditanya Bu RT kok malah bengong. Bagaimana, apakah benar berita itu?" tanya Bu Efi. Aku berusaha menarik bibir agar terlihat senyum meski sedikit mengembang. Dalam hati rasanya malu ... setengah mati. "Iya 'sih benar," jawabku sambil cengengesan. "Oalah, ahahaha, Mila ... sabar banget ya kamu ini. Punya suami macam Darius. Jadi berita itu benar? Ya Gusti ...." Bu RT dan Bu Efi tertawa sambil memegang perutn
6"Auk ah, gelap!""Kalau hatimu gelap, Mas siap menyinarinya.""Halah, nggak mempan gombalanmu, Mas! Apa salahnya 'sih, Mas. Membelikan 'ku perhiasan emas? Sedangkan uang di brangkas Mas Darius juga banyak," protesku."Bukan begitu, Sayang. Memang benar, Mas bisa saja membeli perhiasan emas. Tapi, akan lebih nyaman kalau kamu pakai yang imitasi kalau untuk sehari-hari. Lebih aman dan lebih nyaman dalam beraktifitas. Lagian saat bercinta Mas juga nggak suka kamu memakai barang-barang itu. Ribet, malah nyangkut-nyangkut. Bayangkan saja, kalau sedang di luar atau di jalan, kamu ketemu dengan perampok. Dia mau semua barang yang kamu bawa. Kalau emas beneran, pulang bisa nangis guling-guling. Tapi kalau imitasi, tinggal kasih aja."Kupikir logis 'sih cara berpikir Mas Darius. "Tunggu sebentar, Mas mau kasih kamu lihat sesuatu," ujarnya, lalu meninggalkanku ke kamar. Kemudian ia balik lagi. Mendatangiku dengan menyembunyikan ke dua tangan di belakang. Apalagi yang akan dilakukannya. Jang
"Kalian bisik-bisik apa 'sih? Bikin penasaran," ujar Bu Efi."Ra-ha-si-a!" Bu Fatia berkata pada Bu Efi. Aku menjawab dengan senyum saja."Fatia, awas kalau kamu macam-macam. Aku tidak mau menjadi temanmu lagi. Nggak ada traktir-traktiran lagi," ancam Bu Meta.Bu Fatia meringis dan berkata, "Tenang, Bu. Aman!"Otakku pun jadi su'udzon. Apakah Bu Meta ada hubungan dengan Mas Darius. Atau pernah menjalin hubungan saja. Kalau benar, siap-siap saja, Mas Darius ku cubit ginjalnya."Mari, Bu Meta, kami antar ke rumah. Buat istirahat saja supaya bisa menenangkkan diri," Bu Fatia memapah Bu Meta ke rumahnya. Sebagian ibu-ibu masih berada di tempat. Sebagian lagi mereka pulang. Aku menjadi salah satu yang pulang.***"Mas, Bu Meta kenapa ya, ketus banget kalau bicara sama aku. Kelihatannya benci ... banget, kalau melihatku."Ku kira suamiku akan kaget atau syok mendengar ucapanku. Ternyata dia biasa saja."Yak, kiri,kiri. Oper,oper!" teriaknya. Aku menolehnya. Gemes banget 'kan. Istri bicara
"Ada yang aneh dengan penampilanku?" tanyanya."Nggak aneh 'sih, Mas. Tapi ya jangan pakai kaos dalam saja dong!""Halah, ribet amat. Ayo cepat. Mas sudah lapar."Dia menarik tanganku."Mas Darius, kenapa kamu nggak pernah serius 'sih""Kenapa lagi, Mila?"Katanya makan di luar, tapi ini_?""Ya iya, di luar. Ini Mas sudah pesan nasi goreng abang yang lewat.""Mas! Aku sudah capek dandan, ganti baju bagus. Taunya cuma makan di emperan. Ini namanya bukan makan di luar Mas. Tapi, makan di halaman rumah. Ih, sebel."Aku pun merajuk dan masuk ke dalam rumah lagi. Melempar sepatu yang tadi ku kenakan. Menghapus make up yang sudah paripurna. Kemudian mengganti bajuku dengan piyama."Tau gini aku nggak bakal dandan. Mas Darius , kenapa kamu jahat banget padaku?" batinku. Aku mulai menangis di kamar. Kali ini aku tidak mengharap dia membujukku. Aku benar-benar marah padanya."Mila, ayo makan dulu. Keburu dingin nasi gorengnya. Nanti nggak enak." Panggil suamiku dari luar. "Makan saja sendiri
Ku cubit hidung Mas Darius. Ku tepuk-tepuk pipinya. Ku toel dagunya."Ihhh, kaya anak kecil saja. Sudah, Mas mau tidur. Sudah ngantuk," ujarnya.Malam ini cukup istimewa buatku. Meskipun gagal untuk makan di luar. Di restoran atau di cafe maksudnya. Bukan seperti Mas Darius yang makan di luar RUMAH.Bisa dibilang suamiku adalah spesies langka. Entah hatinya terbuat dari apa. Bahkan selama aku menemaninya, aku tidak pernah melihatnya marah, emosi atau pun berbuat kasar padaku.Mungkin hatinya terbentuk dari benda mati. Seperti teori yang dicetuskan oleh Aristoteles yang yakin bahwa makhluk hidup itu ada karena benda mati dan semuanya muncul secara spontan. Meski teori itu belum tentu benar. Habisnya aku bingung. Pernah saat awal menikah, aku belum terlalu paham sifatnya. Ternyata dia mempunyai kebiasaan suka menaruh handuk di kasur setelah dipakai sehabis mandi. Aku tidak suka sikapnya. Aku ngomel dari A sampai Z. Dia cuma diam ... saja."Mas, setelah handuk di pakai, dijemur dong. Ka
"Aku laki-laki normal, Mila. Siapa yang tidak mau dengan wanita cantik," ucapnya lagi."Kamu jahat, Mas. Jahat! Hi hik hik.""Ahahaha, sadar woe! Kamu mimpi apa 'sih. Suami nggak salah apa-apa ditarik rambutnya, dipukuli, dicubiti," ujarnya.Kemudian aku mendongak melihat wajahnya. Bajunya yang tidak sama. Lalu ku tepuk-tepuk pipiku sendiri. Jadi ... Aku mimpi, Mas?Aku pun malu dengan apa yang telah tadi ku perbuat. Seingatku, aku tadi tertidur di sajadah. Setelah bangun, aku sudah di ranjang. Berarti Mas Darius menggendongku. Ah, cuit."Mas, maaf. Aku nggak tau kalau cuma mimpi," ujarku.Mas Darius terlihat menahan tawanya."Lagian, kamu mimpi apa 'sih? Suami nggak tahu apa-apa tiba-tiba di maki-maki.""Emmm, aku mimpi kamu bercinta dengan wanita lain, Mas. Bahkan saat wanita itu ku usir, kamu malah mengejarnya." Aku bercerita sambil menunduk."Ahahaha, makanya, jangan suka sebel sama suami. Nanti kalau beneran gimana?" tanyanya."Ih, jadi Mas pengen melakukan itu!" Aku menarik teli