6
"Auk ah, gelap!""Kalau hatimu gelap, Mas siap menyinarinya.""Halah, nggak mempan gombalanmu, Mas! Apa salahnya 'sih, Mas. Membelikan 'ku perhiasan emas? Sedangkan uang di brangkas Mas Darius juga banyak," protesku."Bukan begitu, Sayang. Memang benar, Mas bisa saja membeli perhiasan emas. Tapi, akan lebih nyaman kalau kamu pakai yang imitasi kalau untuk sehari-hari. Lebih aman dan lebih nyaman dalam beraktifitas. Lagian saat bercinta Mas juga nggak suka kamu memakai barang-barang itu. Ribet, malah nyangkut-nyangkut. Bayangkan saja, kalau sedang di luar atau di jalan, kamu ketemu dengan perampok. Dia mau semua barang yang kamu bawa. Kalau emas beneran, pulang bisa nangis guling-guling. Tapi kalau imitasi, tinggal kasih aja."Kupikir logis 'sih cara berpikir Mas Darius. "Tunggu sebentar, Mas mau kasih kamu lihat sesuatu," ujarnya, lalu meninggalkanku ke kamar. Kemudian ia balik lagi. Mendatangiku dengan menyembunyikan ke dua tangan di belakang. Apalagi yang akan dilakukannya. Jangan sampai dia membawaku ke awan lagi dan menjatuhkannya. Kalau jatuhnya di kasur ma enak. Tapi, kalau di genteng, bisa lapuk tulang-tulangku."Bawa apa, Mas?" tanyaku. Aku mencoba mengintip apa yang ia bawa."Jangan ngintip, merem dulu!" titahnya. Aku jelas tidak mau benar-benar merem. Takutnya ditipu lagi.Lelaki yang kadang bersikap romantis ini, meletakkan sesuatu ke tanganku."Ayo buka mata perlahan!" titahnya lagi Saat ku buka mata ... Uaow! "Ya Allah, apa aku mimpi?" batinku. "Tampar aku, Mas! Ayo tampar aku!" kataku sambil meletakkan tangan Mas Darius dipipiku.Plak."Aow! Sakit, Mas!" teriakku"Katanya disuruh menampar. Ya ku tampar," ujarnya."Iya, tapi nggak keras juga, Mas!" kataku, sambil manyun. "Mas, aku nggak mimpi 'kan?""Ya nggaklah, tidur saja belum. Masak mimpi.""Ya Allah, Mas. Kenapa kamu nggak bilang-bilang kalau punya logam mulia?" tanyaku lagi."Apa kamu benar-benar nggak tahu? Kalau suamimu menyimpan ini?" dia balik bertanya. "Mila, ini sengaja Mas simpan untuk masa depan anak kita. Ini ku letakkan jadi satu kok di brangkas."Setelah melihat logam mulia itu, pikiran tentang perhiasan emas pun hilang. Aku mulai paham apa yang dibicarakan suamiku. Memang benar, kalau kemana-mana tidak memakai emas memang terasa lebih tenang.***"Jambret ...! Jambret ...!"Hari berikutnya, saat aku dan Mas Darius bercanda di ruang keluarga, tiba-tiba suara di luar gaduh sekali. Kami pun segera melihatnya."Ada apa ini, Bu Fatia?" tanyaku. Wajah Bu Fatia terlihat bingung."Itu, itu, Mbak Mila. Bu Meta di jambret. Kasihan dia menangis. Orang-orang sudah mengejar. Mudah-mudahan tertangkap," ujar Bu Fatia. "Aamiin!"Aku menoleh ke samping kanan. Memang benar, Bu Meta sedang menangis ditemani ibu-ibu yang lain."Kejadiannya bagaimana tadi, Bu?" tanyaku pada Bu Fatiya lagi."Ya seperti yang Mbak Mila lihat. Kami biasa ngobrol di bawah pohon itu. Tiba-tiba ada motor berhenti. Pura-pura tanya alamat. Kebetulan berhentinya pas di hadapan Bu Meta. Dan tiba-tiba pula, orang itu menarik kalung Bu Meta. Aku sempat memukulnya dengan kayu. Sayang, kayunya lapuk.""Ya Allah, padahal di tempat ramai ya, Bu!" kataku."Iya, Mbak. Sekarang tindak kriminal semakin ngeri. Nggak perlu menunggu tempat sepi. Ramai juga diembat," kata Bu Fatiya.Kemudian aku menoleh Mas Darius yang asik bermain dengan burung kesayangnya."Mas, kamu santai amat 'sih. Tetangganya kena musibah malah asik main sama burung," kataku."Lalu, Mas mau apa? Di suruh ngejar jambretnya juga nggak bisa. Tenang saja. Kalau masih rejeki ya balik. Kalau tidak ya ikhaskan saja," ujar Mas Darius. "Ihhh! Kesel aku sama kamu, Mas. Kamu tahu sendiri 'kan. Kalung Bu Meta itu gede banget. Pasti harganya mahal. Enak saja bilang ikhlasin," balasku."Love, kamu dengar 'kan. Istriku setiap hari ngomel ... melulu. Apa benar ini tandanya aku akan jadi wali? Atau tanda-tada stroke. Tapi, kalaupun jadi wali, paling cuma wali band," gerutunya.Aku senyam-senyum melihat tingkah Mas Darius. Dia semakin berumur semakin lucu."Love, istriku itu aneh. Masak, yang kehilangan barang orang lain. Tapi, dia yang nggak bisa ikhlas. Kan aneh ya, Lovebird."Ingin rasanya ku buka pintu kandang burungnya. Biar dia tahu rasanya kalau kehilangan barang yang disukainya hilang. Gatel rasanya tanganku pengen melempari kandangnya dengan batu. Dari pada melihat suamiku ngomong sama burung lebih baik aku menemui Bu Meta dan lainnya."Assalamualaikum!""Walaikumsalam, Mbak Mila." Serentak menjawab salamku.Aku mencoba duduk disebelah Bu Meta. Siapa tahu aku bisa menghiburnya."Bu Meta, aku turut prihatin atas musibah yang menimpamu! Yang sabar ya, Bu. Semoga mendapat ganti yang lebih baik," ujarku."Halah, bilang saja kamu senang melihatku tertimpa musibah. Sok-sokan prihatin!" tukasnya. "Ya Allah, Bu Meta. Bagaimana anda bisa bicara seperti itu? Apa salahku pada Ibu?"Bu Meta bergeming. Aku sungguh tidak mengerti dengannya. Memang 'sih, dari sekelompok orang yang sering ngumpul ngrumpi, hanya Bu Meta yang terlihat ketus padaku. Apa salahku? Kenapa dia bersikap seperti itu setiap bertemu denganku."Bu Meta, Mbak Karmila niatnya baik, lho. Kenapa Bu Meta marang-marah?" Bu Efi menimpali. Dia lebih dulu berada di tempat ini dari pada aku."Benar, Bu Meta. Kenapa 'sih nggak bisa ikhasin seseorang yang sudah berumah tanggan?" cetus Bu Fatia. Kemudian ia cepat menutup mulut. Bu Meta mendelik menatap ke arah Bu Fatia."Ikhasin, rumah tangga?" gumamku. Kemudian aku berdiri dan menghampiri Bu Fatia.Bu Fatia dan semua yang ada di tempat itu terlihat salah tingkah. "Bu Fatia, apa bisa diperjelas?" tanyaku lagi."Emm, emm, a-apa, Mbak Mila?" Bu Fatia menggigit bibirnya. Ia terlihat menahan sebuah ucapan. Lalu ku pegang pundaknya. "Bu, ayo jujur!" kataku. Kemudian kubisikkan sesuatu ke telinganya. "Bu Fatia, kalau mau memberi tahu, nanti aku bagi perhiasan titanium. Lumayan buat gaya-gayaan," bisikku.Aku tahu, Bu Fatia orang yang suka bergaya. Kuyakin dengan iming-iming barang itu, ia akan memberi sebuah informasi. Lalu Bu Fatia membisikkan sesuatu ke telingaku. "Mba Mila, jangan di sini. Aku takut kalau sampai di end sama Bu Meta. Dia 'kan CS-ku.""Oke, nanti kirim pesan W******p, ya!""Siap, oke!""Kalian bisik-bisik apa 'sih? Bikin penasaran," ujar Bu Efi."Ra-ha-si-a!" Bu Fatia berkata pada Bu Efi. Aku menjawab dengan senyum saja."Fatia, awas kalau kamu macam-macam. Aku tidak mau menjadi temanmu lagi. Nggak ada traktir-traktiran lagi," ancam Bu Meta.Bu Fatia meringis dan berkata, "Tenang, Bu. Aman!"Otakku pun jadi su'udzon. Apakah Bu Meta ada hubungan dengan Mas Darius. Atau pernah menjalin hubungan saja. Kalau benar, siap-siap saja, Mas Darius ku cubit ginjalnya."Kalian bisik-bisik apa 'sih? Bikin penasaran," ujar Bu Efi."Ra-ha-si-a!" Bu Fatia berkata pada Bu Efi. Aku menjawab dengan senyum saja."Fatia, awas kalau kamu macam-macam. Aku tidak mau menjadi temanmu lagi. Nggak ada traktir-traktiran lagi," ancam Bu Meta.Bu Fatia meringis dan berkata, "Tenang, Bu. Aman!"Otakku pun jadi su'udzon. Apakah Bu Meta ada hubungan dengan Mas Darius. Atau pernah menjalin hubungan saja. Kalau benar, siap-siap saja, Mas Darius ku cubit ginjalnya."Mari, Bu Meta, kami antar ke rumah. Buat istirahat saja supaya bisa menenangkkan diri," Bu Fatia memapah Bu Meta ke rumahnya. Sebagian ibu-ibu masih berada di tempat. Sebagian lagi mereka pulang. Aku menjadi salah satu yang pulang.***"Mas, Bu Meta kenapa ya, ketus banget kalau bicara sama aku. Kelihatannya benci ... banget, kalau melihatku."Ku kira suamiku akan kaget atau syok mendengar ucapanku. Ternyata dia biasa saja."Yak, kiri,kiri. Oper,oper!" teriaknya. Aku menolehnya. Gemes banget 'kan. Istri bicara
"Ada yang aneh dengan penampilanku?" tanyanya."Nggak aneh 'sih, Mas. Tapi ya jangan pakai kaos dalam saja dong!""Halah, ribet amat. Ayo cepat. Mas sudah lapar."Dia menarik tanganku."Mas Darius, kenapa kamu nggak pernah serius 'sih""Kenapa lagi, Mila?"Katanya makan di luar, tapi ini_?""Ya iya, di luar. Ini Mas sudah pesan nasi goreng abang yang lewat.""Mas! Aku sudah capek dandan, ganti baju bagus. Taunya cuma makan di emperan. Ini namanya bukan makan di luar Mas. Tapi, makan di halaman rumah. Ih, sebel."Aku pun merajuk dan masuk ke dalam rumah lagi. Melempar sepatu yang tadi ku kenakan. Menghapus make up yang sudah paripurna. Kemudian mengganti bajuku dengan piyama."Tau gini aku nggak bakal dandan. Mas Darius , kenapa kamu jahat banget padaku?" batinku. Aku mulai menangis di kamar. Kali ini aku tidak mengharap dia membujukku. Aku benar-benar marah padanya."Mila, ayo makan dulu. Keburu dingin nasi gorengnya. Nanti nggak enak." Panggil suamiku dari luar. "Makan saja sendiri
Ku cubit hidung Mas Darius. Ku tepuk-tepuk pipinya. Ku toel dagunya."Ihhh, kaya anak kecil saja. Sudah, Mas mau tidur. Sudah ngantuk," ujarnya.Malam ini cukup istimewa buatku. Meskipun gagal untuk makan di luar. Di restoran atau di cafe maksudnya. Bukan seperti Mas Darius yang makan di luar RUMAH.Bisa dibilang suamiku adalah spesies langka. Entah hatinya terbuat dari apa. Bahkan selama aku menemaninya, aku tidak pernah melihatnya marah, emosi atau pun berbuat kasar padaku.Mungkin hatinya terbentuk dari benda mati. Seperti teori yang dicetuskan oleh Aristoteles yang yakin bahwa makhluk hidup itu ada karena benda mati dan semuanya muncul secara spontan. Meski teori itu belum tentu benar. Habisnya aku bingung. Pernah saat awal menikah, aku belum terlalu paham sifatnya. Ternyata dia mempunyai kebiasaan suka menaruh handuk di kasur setelah dipakai sehabis mandi. Aku tidak suka sikapnya. Aku ngomel dari A sampai Z. Dia cuma diam ... saja."Mas, setelah handuk di pakai, dijemur dong. Ka
"Aku laki-laki normal, Mila. Siapa yang tidak mau dengan wanita cantik," ucapnya lagi."Kamu jahat, Mas. Jahat! Hi hik hik.""Ahahaha, sadar woe! Kamu mimpi apa 'sih. Suami nggak salah apa-apa ditarik rambutnya, dipukuli, dicubiti," ujarnya.Kemudian aku mendongak melihat wajahnya. Bajunya yang tidak sama. Lalu ku tepuk-tepuk pipiku sendiri. Jadi ... Aku mimpi, Mas?Aku pun malu dengan apa yang telah tadi ku perbuat. Seingatku, aku tadi tertidur di sajadah. Setelah bangun, aku sudah di ranjang. Berarti Mas Darius menggendongku. Ah, cuit."Mas, maaf. Aku nggak tau kalau cuma mimpi," ujarku.Mas Darius terlihat menahan tawanya."Lagian, kamu mimpi apa 'sih? Suami nggak tahu apa-apa tiba-tiba di maki-maki.""Emmm, aku mimpi kamu bercinta dengan wanita lain, Mas. Bahkan saat wanita itu ku usir, kamu malah mengejarnya." Aku bercerita sambil menunduk."Ahahaha, makanya, jangan suka sebel sama suami. Nanti kalau beneran gimana?" tanyanya."Ih, jadi Mas pengen melakukan itu!" Aku menarik teli
"Kalau begitu caranya, aku saja yang nyuri barang kamu, Mas. Soalnya diikhlaskan begitu saja," kata Septi."Boleh, curi saja apa yang ada di rumah kakakmu ini. Tapi, dosanya tanggung sendiri," jawab suamiku."Lho, kok dosa? Kan sudah diikhlaskan barangnya. Jadi nggak dosa dong ... Ya 'kan kakak ipar!" ucap Septi. Lalu menoleh padaku."Hmmm ..." Aku cuma bisa senyum."Ya memang benar. Kuikhlaskan semua barang yang sudah hilang. Tapi, kamu kan mencuri. Pencuri saja dihukum kalau ketangkap. Berarti dosalah," ujar Mas Darius lagi.Kali ini aku memilih diam. Percuma ikut bicara. Lagi mau irit tenaga. Untung ada Septi. Biarkanlah, kakak adik itu berdebat. Karena jika mereka berdebat dari pagi sampai malam juga betah."Terus, ini urusannya bagaimana mobilnya, Mas?" tanya septi."Ya nggak bagaimana-bagaimana," jawab suamiku."Nggak bagaimana-bagaimana? Terus ... kalau Mbak Mila mau pergi atau Mas Darius sendiri ada urusan di luar pakai apa?" tanya Septi lagi. Aku memilih menjadi pendengar ya
"Mobil? Kenapa mobilnya bisa balik?" batinku.Di depan pintu sudah bertengger seorang lelaki berparas preman. Dengan rambut yang gondrong dan baju yang acak-acakan. Tapi raut wajahnya tidak menampakkan kegarangan. Dia menunduk seperti orang malu. "Apa lagi ini ya, Allah. Kenapa ada orang model seperti itu datang kesini?" batinku.Aku menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Apakah orang ini yang membawa mobilnya balik. Jangan-jangan dia pencurinya. Atau pahlawan yang membawa pulang mobil kami. Kenapa aku terjebak dalam suasa seperti ini Ya Tuhan? Kalau dia pencuri, nggak bakalan mengembalikannya."Heh, katakan siapa kamu? Pencuri, preman, atau pahlawan!" tanyaku dengan ketus. "Mumpung suasana hati sedang kurang bagus, bisa juga tu orang ku pakai untuk cem-ceman. Lumayan buat memuaskan tanganku yang sedikit gatal," batinku."Ak-aku ... Aku..." dia terlihat gugup."Aku, aku apa?" Penampilan saja yang sangar. Tapi, suara melow. "Ma-maaf, Bu!""Ibu-ibu, memangnya aku ibumu!""E
"Nyil, dimakan lagi. Kalau cuma makanan, kami berlimpah. Kamu bisa makan sepuasnya," ujar Mas Darius.Unyil pun makan dengan lahap dan menenggak segelas jus sampai ludes. Hari ini seperti mimpi. Aku tidak percaya menyaksikan peristiwa di depanku ini. Apakah ada orang yang memberi makan seseorang yang sudah mencuri mobilnya?"Unyil itu nama asli kamu atau cuma samaran?" tanyaku."Unyil nama julukan yang diberikan teman saya di pasar, Bu!" jawabnya."Ooo .... Lalu, siapa nama aslimu?" tanyaku penasaran. "Nama asliku, Akmal.""Ya Allah, nama bagus-bagus kok diganti Unyil.""Pak, Bu, terima kasih sudah memberiku makanan dan minuman seenak ini. Dari pagi, perutku tidak terisi makanan sedikit pun."Ya Allah, nggak kuat mendengarnya. Air mataku mulai berlomba untuk jatuh dari manik mata ini. Aku merasa bersalah karena telah membentak-bentaknya tadi."Iya, makan saja. Habiskan semua. Di dalam masih banyak makanan. Kalau kamu masih mau, nanti aku ambilkan lagi," kataku. Mas Darius mulai ters
"Maaf, Pak, Bu. Aku disini belum ada pasangan lho," kata Akmal sambil menunduk.Hih, ngeri melihat si Unyil.Seketika kami salah tingkah. Pak RT dan Bu RT senyam-senyum melihatku dan lelaki di sampingku ini."Jadi, begini Pak RT. Sementara Akmal akan tinggal di yayasan. Biarkan dia membantu bersih-bersih di sana. Setelah Pak RT bicara dengan warga dan mereka setuju, baru Akmal akan ku bawa ke sini lagi."Ketika melihat suamiku bicara serius, Masya Allah ... dia terlihat sangat berwibawa. Karismanya seperti memancar. Pantas saja, Bu Meta klepek-klepek dengan lelakiku."Mbak Mila menatap Mas Dariusnya serius banget. Seperti belum pernah melihat. Padahal kalian setiap hari selalu bersama lho," Bu RT mulai menggodaku.Mataku segera mencari objek lain agar tidak terlalu mal-lu. Ampu deh. Pasti Kakang Mas Darius merasa gede kepala di puji seperti itu. Kalau kelihatan, pusernya pasti sudah mekar segede mawah. Ia pun memicingkan matanya ke arahku. Aku pura-pura tidak tahu."Kenapa Sayang, ter