"Ada yang aneh dengan penampilanku?" tanyanya."Nggak aneh 'sih, Mas. Tapi ya jangan pakai kaos dalam saja dong!""Halah, ribet amat. Ayo cepat. Mas sudah lapar."Dia menarik tanganku."Mas Darius, kenapa kamu nggak pernah serius 'sih""Kenapa lagi, Mila?"Katanya makan di luar, tapi ini_?""Ya iya, di luar. Ini Mas sudah pesan nasi goreng abang yang lewat.""Mas! Aku sudah capek dandan, ganti baju bagus. Taunya cuma makan di emperan. Ini namanya bukan makan di luar Mas. Tapi, makan di halaman rumah. Ih, sebel."Aku pun merajuk dan masuk ke dalam rumah lagi. Melempar sepatu yang tadi ku kenakan. Menghapus make up yang sudah paripurna. Kemudian mengganti bajuku dengan piyama."Tau gini aku nggak bakal dandan. Mas Darius , kenapa kamu jahat banget padaku?" batinku. Aku mulai menangis di kamar. Kali ini aku tidak mengharap dia membujukku. Aku benar-benar marah padanya."Mila, ayo makan dulu. Keburu dingin nasi gorengnya. Nanti nggak enak." Panggil suamiku dari luar. "Makan saja sendiri
Ku cubit hidung Mas Darius. Ku tepuk-tepuk pipinya. Ku toel dagunya."Ihhh, kaya anak kecil saja. Sudah, Mas mau tidur. Sudah ngantuk," ujarnya.Malam ini cukup istimewa buatku. Meskipun gagal untuk makan di luar. Di restoran atau di cafe maksudnya. Bukan seperti Mas Darius yang makan di luar RUMAH.Bisa dibilang suamiku adalah spesies langka. Entah hatinya terbuat dari apa. Bahkan selama aku menemaninya, aku tidak pernah melihatnya marah, emosi atau pun berbuat kasar padaku.Mungkin hatinya terbentuk dari benda mati. Seperti teori yang dicetuskan oleh Aristoteles yang yakin bahwa makhluk hidup itu ada karena benda mati dan semuanya muncul secara spontan. Meski teori itu belum tentu benar. Habisnya aku bingung. Pernah saat awal menikah, aku belum terlalu paham sifatnya. Ternyata dia mempunyai kebiasaan suka menaruh handuk di kasur setelah dipakai sehabis mandi. Aku tidak suka sikapnya. Aku ngomel dari A sampai Z. Dia cuma diam ... saja."Mas, setelah handuk di pakai, dijemur dong. Ka
"Aku laki-laki normal, Mila. Siapa yang tidak mau dengan wanita cantik," ucapnya lagi."Kamu jahat, Mas. Jahat! Hi hik hik.""Ahahaha, sadar woe! Kamu mimpi apa 'sih. Suami nggak salah apa-apa ditarik rambutnya, dipukuli, dicubiti," ujarnya.Kemudian aku mendongak melihat wajahnya. Bajunya yang tidak sama. Lalu ku tepuk-tepuk pipiku sendiri. Jadi ... Aku mimpi, Mas?Aku pun malu dengan apa yang telah tadi ku perbuat. Seingatku, aku tadi tertidur di sajadah. Setelah bangun, aku sudah di ranjang. Berarti Mas Darius menggendongku. Ah, cuit."Mas, maaf. Aku nggak tau kalau cuma mimpi," ujarku.Mas Darius terlihat menahan tawanya."Lagian, kamu mimpi apa 'sih? Suami nggak tahu apa-apa tiba-tiba di maki-maki.""Emmm, aku mimpi kamu bercinta dengan wanita lain, Mas. Bahkan saat wanita itu ku usir, kamu malah mengejarnya." Aku bercerita sambil menunduk."Ahahaha, makanya, jangan suka sebel sama suami. Nanti kalau beneran gimana?" tanyanya."Ih, jadi Mas pengen melakukan itu!" Aku menarik teli
"Kalau begitu caranya, aku saja yang nyuri barang kamu, Mas. Soalnya diikhlaskan begitu saja," kata Septi."Boleh, curi saja apa yang ada di rumah kakakmu ini. Tapi, dosanya tanggung sendiri," jawab suamiku."Lho, kok dosa? Kan sudah diikhlaskan barangnya. Jadi nggak dosa dong ... Ya 'kan kakak ipar!" ucap Septi. Lalu menoleh padaku."Hmmm ..." Aku cuma bisa senyum."Ya memang benar. Kuikhlaskan semua barang yang sudah hilang. Tapi, kamu kan mencuri. Pencuri saja dihukum kalau ketangkap. Berarti dosalah," ujar Mas Darius lagi.Kali ini aku memilih diam. Percuma ikut bicara. Lagi mau irit tenaga. Untung ada Septi. Biarkanlah, kakak adik itu berdebat. Karena jika mereka berdebat dari pagi sampai malam juga betah."Terus, ini urusannya bagaimana mobilnya, Mas?" tanya septi."Ya nggak bagaimana-bagaimana," jawab suamiku."Nggak bagaimana-bagaimana? Terus ... kalau Mbak Mila mau pergi atau Mas Darius sendiri ada urusan di luar pakai apa?" tanya Septi lagi. Aku memilih menjadi pendengar ya
"Mobil? Kenapa mobilnya bisa balik?" batinku.Di depan pintu sudah bertengger seorang lelaki berparas preman. Dengan rambut yang gondrong dan baju yang acak-acakan. Tapi raut wajahnya tidak menampakkan kegarangan. Dia menunduk seperti orang malu. "Apa lagi ini ya, Allah. Kenapa ada orang model seperti itu datang kesini?" batinku.Aku menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Apakah orang ini yang membawa mobilnya balik. Jangan-jangan dia pencurinya. Atau pahlawan yang membawa pulang mobil kami. Kenapa aku terjebak dalam suasa seperti ini Ya Tuhan? Kalau dia pencuri, nggak bakalan mengembalikannya."Heh, katakan siapa kamu? Pencuri, preman, atau pahlawan!" tanyaku dengan ketus. "Mumpung suasana hati sedang kurang bagus, bisa juga tu orang ku pakai untuk cem-ceman. Lumayan buat memuaskan tanganku yang sedikit gatal," batinku."Ak-aku ... Aku..." dia terlihat gugup."Aku, aku apa?" Penampilan saja yang sangar. Tapi, suara melow. "Ma-maaf, Bu!""Ibu-ibu, memangnya aku ibumu!""E
"Nyil, dimakan lagi. Kalau cuma makanan, kami berlimpah. Kamu bisa makan sepuasnya," ujar Mas Darius.Unyil pun makan dengan lahap dan menenggak segelas jus sampai ludes. Hari ini seperti mimpi. Aku tidak percaya menyaksikan peristiwa di depanku ini. Apakah ada orang yang memberi makan seseorang yang sudah mencuri mobilnya?"Unyil itu nama asli kamu atau cuma samaran?" tanyaku."Unyil nama julukan yang diberikan teman saya di pasar, Bu!" jawabnya."Ooo .... Lalu, siapa nama aslimu?" tanyaku penasaran. "Nama asliku, Akmal.""Ya Allah, nama bagus-bagus kok diganti Unyil.""Pak, Bu, terima kasih sudah memberiku makanan dan minuman seenak ini. Dari pagi, perutku tidak terisi makanan sedikit pun."Ya Allah, nggak kuat mendengarnya. Air mataku mulai berlomba untuk jatuh dari manik mata ini. Aku merasa bersalah karena telah membentak-bentaknya tadi."Iya, makan saja. Habiskan semua. Di dalam masih banyak makanan. Kalau kamu masih mau, nanti aku ambilkan lagi," kataku. Mas Darius mulai ters
"Maaf, Pak, Bu. Aku disini belum ada pasangan lho," kata Akmal sambil menunduk.Hih, ngeri melihat si Unyil.Seketika kami salah tingkah. Pak RT dan Bu RT senyam-senyum melihatku dan lelaki di sampingku ini."Jadi, begini Pak RT. Sementara Akmal akan tinggal di yayasan. Biarkan dia membantu bersih-bersih di sana. Setelah Pak RT bicara dengan warga dan mereka setuju, baru Akmal akan ku bawa ke sini lagi."Ketika melihat suamiku bicara serius, Masya Allah ... dia terlihat sangat berwibawa. Karismanya seperti memancar. Pantas saja, Bu Meta klepek-klepek dengan lelakiku."Mbak Mila menatap Mas Dariusnya serius banget. Seperti belum pernah melihat. Padahal kalian setiap hari selalu bersama lho," Bu RT mulai menggodaku.Mataku segera mencari objek lain agar tidak terlalu mal-lu. Ampu deh. Pasti Kakang Mas Darius merasa gede kepala di puji seperti itu. Kalau kelihatan, pusernya pasti sudah mekar segede mawah. Ia pun memicingkan matanya ke arahku. Aku pura-pura tidak tahu."Kenapa Sayang, ter
"Tidak apa-apa. 'Kan cuma di pakai saat tempur saja. Bukan dipakai jalan-jalan. Lagian juga di perlihatkan sama suaminya. Kalau dipertontonkan pada pria lain baru nggak boleh."Aku mikir panjang. Karena sepanjang sejarah pernikahan kami, belum pernah Mas Darius memintaku memakai pakaian yang seperti kelambu nyamuk. Aku tahu menyenangkan suami itu ibadah. Tapi ...Beli nggak ya? Beli saja deh, mumpung dibayarin sama suami."Kalau begitu aku langsung chek out ya, Mas?""Iya, jawabnya.""Yes, sudah berhasil dan tinggal menunggu dikirim," kataku dengan sangat bangga. "Ini diganti 'kan uangnya, Mas?""Ganti? Kapan Mas bilang mau ganti?""Jadi ... ini aku beli sendiri?""Kamu 'kan memang beli sendiri, Mila.""Ih, ku cubit juga ginjalmu, Mas. Kirain disuruh beli baju panas itu mau dibayarin.""Ahahaha, 'kan Mas sudah beri kamu mentahannya. Mau dipakai apa saja terserah. Kemarin Mas ngomong gitu 'kan?""Ya iya 'sih, Mas. Tapi, aku pengennya beli bajunya dibayarin sama kamu juga.""Tidak!""Ka
"Mila, buka pintunya! Kalau pintu kamar di tutup, aku tidur di mana?""Terserah kamu saja, Mas. Salah sendiri pakai janjian sama, Ros." "Mila, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Buka dulu, Sayang. Biar kujelaskan."Mas Darius terus saja membujukku. Tapi biarkan saja. Dia sudah ketahuan main belakang dengan wanita lain. Mungkin akan lebih baik jika aku pergi dari rumah ini. Aaa, tidak, tidak. Kalau aku pergi dari rumah ini, Mas Darius keenakan dong. Dia bisa semaunya sendiri."Mila, buka dong pintunya. Aku cuma bercanda tadi," teriaknya dari luar. Tapi tak kuhiraukan.Setelah beberapa saat, tidak terdengar lagi suaranya. "Apa Mas Darius pergi? Jangan-jangan dia jadi jalan-jalan sama si Rosi itu," batinku. Ya sudahlah, aku tidak peduli. Lama-lama aku juga jenuh di kamar melulu. Aku pun memutuskan untuk ke luar.Saat aku membuka pintu, terlihat sebuah kaki menjulur di atas kursi sofa.Astaga, bandot tua. Mahluk aneh. Kukira sudah pergi jalan-jalan dengan si Ros yang ia telepon tadi
Saatnya ngetes istriku. Apakah dia sudah bisa memahami cara pikirku atau belum."Sayang, kamu hari ini ada acara nggak?" tanyaku sambil tiduran di pangkuannya. Ia sibuk dengan ponselnya."Kebetulan aku juga lagi kosong. Jalan-jalan, yuk!" ajakku."Kemana?" Mila bertanya tanpa melihatku. Aku nyengir dan menahan tawa. "Sepertinya istriku yang bawel ini akan kena jebakan," batinku"Sekitar sini saja," kataku."Sebenarnya aku sedang males 'sih, Mas. Tapi demi menemanimu, ayo!""Ya sudah, aku ganti baju dulu. Kamu juga ganti. Buruan!" titahku.Mila menaruh ponselnya di nakas kemudian berganti pakaian."Ayo, Mas. Aku sudah siap!""Iya, ayo! Mas juga sudah dari tadi nungguin kamu."Pagi ini cukup cerah. Tidak mendung juga tidak panas. Birunya langit menambah keindahan pagi ini. Sudah cukup lama juga tidak cari angin bersama istri.Biasanya berjalan sebentar saja Mila sudah mengeluh capek. Tapi kali ini kenapa diam saja? Aku jadi pusing kalau istriku seperti ini."Sayang, kamu capek nggak? Ka
Dua tahun kemudian usaha mi ayam Septi sukses. Ia bisa melunasi hutangnya pada Mas Darius. Kami pun diminta ke rumahnya sekalian silaturahmi dan makan mi ayam gratis.Sebenarnya Septi mau mengantarnya ke sini. Tapi, Mas Darius sekali-kali juga pengen berkunjung ke rumah adik perempuannya itu. Jadi nggak harus yang muda mengunjungi yang tua melulu."Mas, mau bawa oleh-oleh nggak?" tanyaku saat siap-siap mau ganti baju."Tenang, aku sudah siapkan," katanya. Lega banget dengarnya. Suamiku memang the best.***"Mas, katanya sudah menyiapkan oleh-oleh untuk Septi, mana?"Aku bertanya serius, dia malah cengengesan."Oleh-olehnya ya, kamu!""Hah! Ya Gusti, jangan bercanda, Mas! Kalau tahu begini, aku tadi siapkan. Kalau begitu kita mampir ke toko buah saja. Kita bawakan buah," kataku dengan kesal. Punya suami bawaannya bikin emosi. "Menepi dulu, Kang Arif!""Siap, Bu!"Kami turun dan memilih-milih buah di sana."Enaknya beli buah apa, Mas?" tanyaku meminta saran."Apa saja enak!" jawabnya."
Hari ini adalah waktunya kami pulang dari berlibur. Ayah dan ibuku satu mobil dengan Fadil."Mas, bagaimana kalau nanti kita adu ketangguhan mobil? Jalanan berkelok, banyak jalan yang berlubang. Aku yakin mobilku yang menang," ujar Fadil pada Mas Darius."Mm, bagaimana Kang Arif, berani nggak?" Mas Darius menoleh pada supir."Siap, Pak Bos!" Kang Arif begitu bersemangat."Fadil, jangan begitu! Bahaya ugal-ugalan di jalan. Kamu tahu sendiri 'kan ibu takut kalau kebut-kebutan di jalan," Ibu menimpali."Tenang saja, Bu. Cuma uji ketangguhan saja. Bukan kebut-kebutan," balas Fadil.Kami pun naik ke mobil masing-masing. Memang ada sedikit jalan berkelok-kelok dan banyak lubang. Sebenarnya aku juga takut. Namun melihat semangat Mas Darius dan Kang Arif, aku cuma bisa diam."Bagaimana ini, Pak? Mas Fadil sepertinya yang lebih unggul," kata Kang Arif."Tenang saja, Kang. Kita santai saja. Berdoa saja mobil Fadil bannya kempes," kata suamiku."Ish, jangan begitu, Mas. Di sana ada ayah dan ibu.
"Ini bagaimana ceritanya kalian bisa sekongkol ngerjain aku?" tanyaku pada Fadil.Fadil menggaruk-garuk kepalanya sambil melirik kakak iparnya yang meringis kesakitan."Emm, anu-Mbak. Sebelum ke sini, kami sudah janjian. Dan sebenarnya, ayah dan ibu juga hadir, Mbak.""Ayah dan ibu?""Iya, Mbak.""Lalu mereka di mana sekarang?""Itu mereka ...!" Fadil menunjuk ke arah belakangku."Astaga, Ayah, Ibu! Ya Allah, aku kangen sama kalian." Ke peluk kedua orang tua itu. Kemudian Mas Darius mendekat dan menyalami orang tuaku."Em, hebat akting kalian, ya. Jadi, pemulung yang cuma makan nasi dan garam itu, Ibu!""Hmm, Mila, ini agar kamu bisa berubah. Masak umur sudah semakin matang masih saja emosian, nggak sabaran, gengsian juga. Buang sikap seperti itu, Mila.""Ini sudah watakku, Bu. Ibaratnya adalah pakaianku sehari-hari. Jadi, tetap akan seperti ini terus," kataku. Benar 'kan. Batuk gampang diobati, dan watak sulit untuk dirubah."Tentu saja aku bicara dengan ibu secara lemah lembut."Hih
"Gado-gadonya isinya lengkap ya, Mas! Ada karbohidrat dari lontong dan kentangnya. Ada protein dari telur dan kacang pannjangnya, termasuk sambalnya juga. Ada zat besi dari bayam. Komplit banget. Tinggal nanti kita beli buah dan susu," kataku. Bagaimanapun sebagai seorang ibu itu harus memperhatikan nilai gizi dari setiap apa yang dimakan anggota keluarga. Aku tidak mau suamiku kekurangan gizi. Apalagi di usianya yang tidak muda lagi. "Makan ya makan saja, Mila. Ngapain mikirin gizi. Karbohidratlah, proteinlah, vitaminlah, kalorilah. Kalau mikirin semua itu, yang ada kita justru sakit bukan karena kekurangan gizi. Tapi sakit memikirkan gizi."Ish, ngeyel banget kalau dibilangin. "Mas, gizi itu penting buat gubuh kita lho. Kalau kita kekurangan karbohidrat, yang ada kita lemes. Nggak bisa mikir.""Emm, kata siapa? Mas nggak percaya. Buktinya bayi cuma minum susu nggak makan nasi dan sayur juga sehat.""Itu beda, Mas. Susu sudah banyak kandungan vitamin dan lainnya. Termasuk lemak," k
Biasanya seorang suami merasa tenang ketika istrinya di rumah saja dan bermain ponsel di kamar. Mereka mengira aman karena tidak keluyuran. Tapi, aku justru was-was ketika Mila berdiam diri di sana. Aku lebih suka ia menemaniku di teras atau nonton TV bareng. Karena, jika Mila bermain ponsel di kamar, jarinya tidak bisa dikendalikan. Ia main masuk-masukkan barang ke keranjang aplikasi penjualan online. Aku sebagai suaminya harus waspada. Jangan sampai istriku kalap dengan segala macam jenis dagangan yang diperjual belikan di sana.Segera saja aku menghampirinya ketika ia berpamitan ke kamar."Sayang, sedang main apa?" tanyaku dengan mesrah. Biarkan umur kepala empat. Tapi jiwa masih kepala dua dong."Main ponsel, Mas!" jawabnya.Aku tidak pernah memarahi atau membentaknya ketika tahu jari lentiknya sedang memilah-memilih sesuatu yang akan ia masukkan ke keranjang. Aku menghampirinya, duduk di sampinya. Kemudian menyandarkan kepalanya di dadaku. Aku tahu, tempat itu adalah tempat tern
POV Mila"Tahu nggak, Mas. Anaknya Bu Meta wanita yang terkintil-kintil denganmu dulu, sekarang sekolah di jurusan akuntan. Dengar-dengar 'ni, Mas. Kalau sudah lulus dari sana, akan gampang banget cari pekerjaan," ujarku, Sore itu saat duduk santai di teras rumah."Pinter ngitung dwit?" tanya Mas Darius."Ya jelas, Mas. Analisa keuangan, laporan keuangan, laporan pajak suatu perusahaan dan lainnya bisa ia kerjakan," kataku. "Ooo ... Kalau itu aku juga bisa," balas lelaki yang sedang menikmati pisang goreng."Enak ya, Mas.""Iya, enak. Pisang gorengnya."Ish, menyebalkan. Malah pisang goreng."Mas, nggak pengen tu. Sepandai apapun dia, nanti kerjanya paling ngitung dwit orang lain.""Terus, kalau Mas pengennya apa?""Ngitung dwit sendiri. Ahahaha!""Uh, dasar.""Ya iyalah, coba bayangkan. Kerja di Bank misalnya. Jadi karyawan di sana. Ahli banget dalam menghitung uang. Tapi, itu uang orang. Cuma pegang sebentar saja. Ngiler 'kan. Jelas enak menghitung uang sendiri meski nggak ngerti-
POV DARIUSHari ini ada acara hajatan di rumah saudara. Tepatnya dari pihak keluargaku. Rumahnya masih satu komplek. Tentu saja nanti kami akan berbaur bersama keluarga maupun tetangga. Setiap kali tamu yang datang akan membawa pasangannya masing-masing. Aku sudah menduga sebelumnya. Di acara itu akan menjadi ajang pamer baju maupun perhiasan bagi ibu-ibu. Kalau bapak-bapak simple, cukup memakai celana atau sarung dan kemeja saja. Tapi, istriku tidak mungkin kusuruh mengenakan pakaian yang sama denganku."Mas, kita nanti couplelan, ya! Kebetulan ada baju yang belum pernah kita pakai. Warnanya moca.""Masak iya, suamimu disuruh pakai gamis.""Bukan gamis, tapi kurta, Mas. Sama warnanya biar serasi," katanya. "Iya, deh. Aku menurut saja dari pada diomeli.""Sip! Nanti kusiapkan."Mila buru-buru mandi dan aku masih bermain dengan burung love kesayanganku. Sepasang burung yang kupelihara itu mengajariku arti betapa pentingnya pasangan hidup. Setiap kali ketemu, mereka bercumbu, sayang-s