Benar 'kan dugaanku. Mereka pasti membicarakanku. Kali ini bukan sekedar berpikir negatif. Tapi fakta.
"Mereka bicara apa, Bu?" tanyaku.Bu RT terlihat sungkan untuk bicara. "Emmm, itu Mil. Katanya, Darius sok-sokan mau beli emas 1kg. Tapi nggak jadi. Apa benar?" tanya Bu RT. Bu Efi ikut melongo. Haduh, dasar mulut ember. Ternyata ceritanya disebar luaskan. Bisa viral di komplek 'ni. Merdengar soal emas, otakku kembali ke rumah. Eh, kembali teringat benda kecil yang ada di kamarku. Jadi pengen buru-buru pulang."Mila, Mbak Karmila!" seru Bu Efi. Ia menggoyang-goyangkan pundakku."Ditanya Bu RT kok malah bengong. Bagaimana, apakah benar berita itu?" tanya Bu Efi. Aku berusaha menarik bibir agar terlihat senyum meski sedikit mengembang. Dalam hati rasanya malu ... setengah mati. "Iya 'sih benar," jawabku sambil cengengesan. "Oalah, ahahaha, Mila ... sabar banget ya kamu ini. Punya suami macam Darius. Jadi berita itu benar? Ya Gusti ...." Bu RT dan Bu Efi tertawa sambil memegang perutnya."Mila, Mila ... kalau aku jadi kamu, sudah ku masukkan suamiku ke dalam ketiak. Ahahaha ..." seru Bu Efi."Aduh, aduh, cukup. Rasanya aku mau pipis," ujar Bu RT. "Ayo bantu aku ke kamar mandi!" ajaknya.Aku dan Bu Efi segera memapah Bu RT ke kamar mandi. "Makanya, Bu. Jangan kencang-kencang kalau tertawa. Untung bisa bisa menahannya. Kalau ngompol di kasur apa nggak malu?" kataku."Ya habisnya suamimu lucu, Mil. Kok ada ... orang kaya gitu. Tapi, berkat obrolan tadi aku terhibur lho, Mil. Rasanya tubuhku tambah bugar," kata Bu RT.Setelah selesai, kami membawa Bu RT ke ranjang lagi. Karena kami sudah terlalu lama di situ, aku dan Bu Efi pun berpamitan."Bu, kami pulang dulu. Ini ada sedikit semoga berguna," kata Bu Efi. Lalu kami menyerahkan amplop pada Bu RT."Ya Allah, ibu-ibu terima kasih. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian," kata Bu RT.Ini saat yang aku tunggu-tunggu. Segera pulang dan sampai rumah. Bayangan kotak itu sudah menari-nari di ingatanku seperti bayangan mantan.***Disaat aku sampai rumah, ternyata Mas Darius tidak ada di rumah. Di rumah hanya ada Mbok Inah--seseorang yang bekerja paruh waktu di rumah kami.Tidak menunggu lama. Aku harus segera menyelesaikan misi. Jangan sampai ada ganguan melulu. Langsung saja aku ke kamar. Mengambil kotak kecil yang ku tinggalka tadi.Tidak pakai basa-basi. Nggak pakai hitungan segala. Kelamaan. Jeng Jeng Jeng. Kalian penasaran kan ...Dengan menutup mata. Takut silau, Say! Jepret!"Mas Dariusssss ....! Awas kamu, Mas! Tunggu saja pembalasanku!"Ku tunggu suamiku di depan TV. "Kalau dia pulang, siap-siap saja ku remas-remas wajahnya. Biar tambah kisut. Sekalian masukkan ke ketiak seperti pesan Bu RT. Huh, rasanya pengen makan orang," gerutuku.Sambil menunggu aku menonton film Drakor. Katanya filmnya romantis. Jadi aku penasaran pengen nonton. Beberapa menit kemudian. Mas Darius pulang. Aku menyambutnya dengan salam dan biasa cium punggung tangan dan telapaknya. Meski aku masih sebel padanya.. Tetap tetap saja, dia masih suamiku yang harus aku hormati"Mau kopi, Mas?" tanyaku."Iya Sayang, yang manis, ya. Kaya kamu!" katanya. Aku membalas dengan senyum ciut.Aku menuju ke dapur untuk melancarkan aksi. Kebetulan Mbok Inah sudah ku suruh pulang dari tadi. Ku ambil kopi kesukaannya. Setelah selesai segera ku hidangkan di meja."Ayo, Mas. Di minum. Mumpung masih hangat!" seruku.Ketika Suamiku mulai meminunnya. Aku menahan tawa."Ngapain senyam-senyum? Kaya baru menang undian saj," tanyanya. Aku tidak menjawab. Tidak sabar melihat reaksinya.BEUAH!Ahahaha.Aku puas bisa tertawa. Aku berhasil ngerjain dia."Kenapa, Mas?" tanyaku seolah tidak tahu."Nggak apa-apa. Cuma ada yang aneh," jawabnya.Ahahaha.Meski tertawa dalam hati. Melihat wajahnya seperti itu serasa sedang menonton film komedi secara live. Aku tahu, Mas Darius bukan orang yang suka mencaci masakan istrinya. Aku yakin dia akan menghabiskannya."Kenapa, Mas? Kurang manis?" tanyaku lagi."Ti-tidak. Ini akan ku habiskan," katanya.Apakah ini termasuk penganiayaan pada suami? Ah, aku tidak tahu. Yang aku tahu, Mas Darius harus menghabiskan kopi buatan istri tercinntahnya ini. Kopi spesial garam.Setelah menemaninya menghabiskan kopi, aku segera mengambil benda kotak tadi ke hadapan suamiku."Mas, jelaskan ini. Maksudnya apa kamu memberiku barang seperti ini untuk dijadikan berhias. Aku bisa disangka orang gila, Mas!"Aku ngomong, ngoceh dari timur ke barat, selatan ke utara. Dia malah asik makan kacang. "Mas! Hih, Mas! Dengarkan istrinya kalau sedang ngomel," hardikku. "Iya, iya. Mas dengar kok. Lanjutkan!" katanya.Rasanya sungutku sudah mulai berdiri. Istri ngomel sampai berbusa nggak bertanya kenapa, atau apa gitu. Malah dicuekin."Ya ini, Mas, jelaskan. Maksudnya apa?""Apa? Ini?" Dia menunjuk kotak itu. "Sudah tahu ini coklat," katanya santai."Tapi kenapa kamu bilang padaku perhiasan? Jahat kamu, Mas. Jahat!" Aku menangis tersedu-sedu sambil memukul lengannya."Ahahaha. Jadi, kamu kira ini perhiasan?" tanyanya sambil tertawa. Aku terus saja memukulinya. Tapi dia tidak melawan. "Lagian kamu 'kan nggak bertanya. Kalau pun coklat, apa masalahnya? Ini coklat oleh-oleh dari Pak Haji lho. Pasti enak. Coklatnya berkelas. Lihat saja kemasannya," katanya panjang lebar."Aku nggak mau tahu. Aku marah sama kamu. Aku tadi bukan cuma mengira itu perhiasan, Mas. Ku kira berlian," gerutuku. Sambil menarik telinga Mas Darius. Mencubitinya karena rasanya dadaku sudah empet banget dengan kelakuannya. Dia pun pasrah aku gituin. "Berlian? Ada-ada saja istriku ini. Itu kotak ada tulisan berlian, karena merk dari pabrik coklatnya. Bukan kotak berlian.""Lagian, katanya mau membelikanku perhiasan. Mau bohong lagi?""Enggak! Itu pehiasannya ada di plastik hitam di sebelah TV," katanya. Tangisanku langsung berhenti. Ku ambil plastik itu. Jiwa negatifku langsung ke luar akibat berpikir positif tapi hasilnya menyakitkan. Huhu.Ada yang aneh juga. Perhiasan, masak bungkus plastik hitam. Seperti bungkus jajan di warung."Ayo buruan dibuka, jangan di lihat luarnya saja. Supaya tahu isinya," seru Mas Darius.Tanpa hitungan ku buka plastiknya. Ada kalung, gelang, dan anting di situ."Bagaimana? Bagus-bagus 'kan modelnya?""Bagus 'sih bagus, Mas! Tapi nggak gini juga. Aku tahu ini titanium. Bukan emas. Ihh! Sebel!""Aduh, salah lagi!" ujarnya. "Mas kan cuma bilang beli perhiasan. Nggak ngomong beli emas.""Auk ah, gelap!""Kalau hatimu gelap, Mas siap menyinarinya.""Halah, nggak mempan gombalanmu, Mas! Apa salahnya 'sih, Mas. Membelikan 'ku perhiasan emas? Sedangkan uang di brangkas Mas Darius juga banyak," protesku."Bukan begitu, Sayang. Memang benar, Mas bisa saja membeli perhiasan emas. Tapi, akan lebih nyaman kalau kamu pakai yang imitasi kalau untuk sehari-hari. Lebih aman dan lebih nyaman dalam beraktifitas. Lagian saat bercinta Mas juga nggak suka kamu memakai barang-barang itu. Ribet, malah nyangkut-nyangkut. Bayangkan saja, kalau sedang di luar atau di jalan, kamu ketemu dengan perampok. Dia mau semua barang yang kamu bawa. Kalau emas beneran, pulang bisa nangis guling-guling. Tapi kalau imitasi, tinggal kasih aja."Kupikir logis juga 'sih cara berpikir Mas Darius. "Tunggu sebentar, Mas mau kasih lihat kamu sesuatu," ujarnya, lalu meninggalkanku ke kamar.6"Auk ah, gelap!""Kalau hatimu gelap, Mas siap menyinarinya.""Halah, nggak mempan gombalanmu, Mas! Apa salahnya 'sih, Mas. Membelikan 'ku perhiasan emas? Sedangkan uang di brangkas Mas Darius juga banyak," protesku."Bukan begitu, Sayang. Memang benar, Mas bisa saja membeli perhiasan emas. Tapi, akan lebih nyaman kalau kamu pakai yang imitasi kalau untuk sehari-hari. Lebih aman dan lebih nyaman dalam beraktifitas. Lagian saat bercinta Mas juga nggak suka kamu memakai barang-barang itu. Ribet, malah nyangkut-nyangkut. Bayangkan saja, kalau sedang di luar atau di jalan, kamu ketemu dengan perampok. Dia mau semua barang yang kamu bawa. Kalau emas beneran, pulang bisa nangis guling-guling. Tapi kalau imitasi, tinggal kasih aja."Kupikir logis 'sih cara berpikir Mas Darius. "Tunggu sebentar, Mas mau kasih kamu lihat sesuatu," ujarnya, lalu meninggalkanku ke kamar. Kemudian ia balik lagi. Mendatangiku dengan menyembunyikan ke dua tangan di belakang. Apalagi yang akan dilakukannya. Jang
"Kalian bisik-bisik apa 'sih? Bikin penasaran," ujar Bu Efi."Ra-ha-si-a!" Bu Fatia berkata pada Bu Efi. Aku menjawab dengan senyum saja."Fatia, awas kalau kamu macam-macam. Aku tidak mau menjadi temanmu lagi. Nggak ada traktir-traktiran lagi," ancam Bu Meta.Bu Fatia meringis dan berkata, "Tenang, Bu. Aman!"Otakku pun jadi su'udzon. Apakah Bu Meta ada hubungan dengan Mas Darius. Atau pernah menjalin hubungan saja. Kalau benar, siap-siap saja, Mas Darius ku cubit ginjalnya."Mari, Bu Meta, kami antar ke rumah. Buat istirahat saja supaya bisa menenangkkan diri," Bu Fatia memapah Bu Meta ke rumahnya. Sebagian ibu-ibu masih berada di tempat. Sebagian lagi mereka pulang. Aku menjadi salah satu yang pulang.***"Mas, Bu Meta kenapa ya, ketus banget kalau bicara sama aku. Kelihatannya benci ... banget, kalau melihatku."Ku kira suamiku akan kaget atau syok mendengar ucapanku. Ternyata dia biasa saja."Yak, kiri,kiri. Oper,oper!" teriaknya. Aku menolehnya. Gemes banget 'kan. Istri bicara
"Ada yang aneh dengan penampilanku?" tanyanya."Nggak aneh 'sih, Mas. Tapi ya jangan pakai kaos dalam saja dong!""Halah, ribet amat. Ayo cepat. Mas sudah lapar."Dia menarik tanganku."Mas Darius, kenapa kamu nggak pernah serius 'sih""Kenapa lagi, Mila?"Katanya makan di luar, tapi ini_?""Ya iya, di luar. Ini Mas sudah pesan nasi goreng abang yang lewat.""Mas! Aku sudah capek dandan, ganti baju bagus. Taunya cuma makan di emperan. Ini namanya bukan makan di luar Mas. Tapi, makan di halaman rumah. Ih, sebel."Aku pun merajuk dan masuk ke dalam rumah lagi. Melempar sepatu yang tadi ku kenakan. Menghapus make up yang sudah paripurna. Kemudian mengganti bajuku dengan piyama."Tau gini aku nggak bakal dandan. Mas Darius , kenapa kamu jahat banget padaku?" batinku. Aku mulai menangis di kamar. Kali ini aku tidak mengharap dia membujukku. Aku benar-benar marah padanya."Mila, ayo makan dulu. Keburu dingin nasi gorengnya. Nanti nggak enak." Panggil suamiku dari luar. "Makan saja sendiri
Ku cubit hidung Mas Darius. Ku tepuk-tepuk pipinya. Ku toel dagunya."Ihhh, kaya anak kecil saja. Sudah, Mas mau tidur. Sudah ngantuk," ujarnya.Malam ini cukup istimewa buatku. Meskipun gagal untuk makan di luar. Di restoran atau di cafe maksudnya. Bukan seperti Mas Darius yang makan di luar RUMAH.Bisa dibilang suamiku adalah spesies langka. Entah hatinya terbuat dari apa. Bahkan selama aku menemaninya, aku tidak pernah melihatnya marah, emosi atau pun berbuat kasar padaku.Mungkin hatinya terbentuk dari benda mati. Seperti teori yang dicetuskan oleh Aristoteles yang yakin bahwa makhluk hidup itu ada karena benda mati dan semuanya muncul secara spontan. Meski teori itu belum tentu benar. Habisnya aku bingung. Pernah saat awal menikah, aku belum terlalu paham sifatnya. Ternyata dia mempunyai kebiasaan suka menaruh handuk di kasur setelah dipakai sehabis mandi. Aku tidak suka sikapnya. Aku ngomel dari A sampai Z. Dia cuma diam ... saja."Mas, setelah handuk di pakai, dijemur dong. Ka
"Aku laki-laki normal, Mila. Siapa yang tidak mau dengan wanita cantik," ucapnya lagi."Kamu jahat, Mas. Jahat! Hi hik hik.""Ahahaha, sadar woe! Kamu mimpi apa 'sih. Suami nggak salah apa-apa ditarik rambutnya, dipukuli, dicubiti," ujarnya.Kemudian aku mendongak melihat wajahnya. Bajunya yang tidak sama. Lalu ku tepuk-tepuk pipiku sendiri. Jadi ... Aku mimpi, Mas?Aku pun malu dengan apa yang telah tadi ku perbuat. Seingatku, aku tadi tertidur di sajadah. Setelah bangun, aku sudah di ranjang. Berarti Mas Darius menggendongku. Ah, cuit."Mas, maaf. Aku nggak tau kalau cuma mimpi," ujarku.Mas Darius terlihat menahan tawanya."Lagian, kamu mimpi apa 'sih? Suami nggak tahu apa-apa tiba-tiba di maki-maki.""Emmm, aku mimpi kamu bercinta dengan wanita lain, Mas. Bahkan saat wanita itu ku usir, kamu malah mengejarnya." Aku bercerita sambil menunduk."Ahahaha, makanya, jangan suka sebel sama suami. Nanti kalau beneran gimana?" tanyanya."Ih, jadi Mas pengen melakukan itu!" Aku menarik teli
"Kalau begitu caranya, aku saja yang nyuri barang kamu, Mas. Soalnya diikhlaskan begitu saja," kata Septi."Boleh, curi saja apa yang ada di rumah kakakmu ini. Tapi, dosanya tanggung sendiri," jawab suamiku."Lho, kok dosa? Kan sudah diikhlaskan barangnya. Jadi nggak dosa dong ... Ya 'kan kakak ipar!" ucap Septi. Lalu menoleh padaku."Hmmm ..." Aku cuma bisa senyum."Ya memang benar. Kuikhlaskan semua barang yang sudah hilang. Tapi, kamu kan mencuri. Pencuri saja dihukum kalau ketangkap. Berarti dosalah," ujar Mas Darius lagi.Kali ini aku memilih diam. Percuma ikut bicara. Lagi mau irit tenaga. Untung ada Septi. Biarkanlah, kakak adik itu berdebat. Karena jika mereka berdebat dari pagi sampai malam juga betah."Terus, ini urusannya bagaimana mobilnya, Mas?" tanya septi."Ya nggak bagaimana-bagaimana," jawab suamiku."Nggak bagaimana-bagaimana? Terus ... kalau Mbak Mila mau pergi atau Mas Darius sendiri ada urusan di luar pakai apa?" tanya Septi lagi. Aku memilih menjadi pendengar ya
"Mobil? Kenapa mobilnya bisa balik?" batinku.Di depan pintu sudah bertengger seorang lelaki berparas preman. Dengan rambut yang gondrong dan baju yang acak-acakan. Tapi raut wajahnya tidak menampakkan kegarangan. Dia menunduk seperti orang malu. "Apa lagi ini ya, Allah. Kenapa ada orang model seperti itu datang kesini?" batinku.Aku menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Apakah orang ini yang membawa mobilnya balik. Jangan-jangan dia pencurinya. Atau pahlawan yang membawa pulang mobil kami. Kenapa aku terjebak dalam suasa seperti ini Ya Tuhan? Kalau dia pencuri, nggak bakalan mengembalikannya."Heh, katakan siapa kamu? Pencuri, preman, atau pahlawan!" tanyaku dengan ketus. "Mumpung suasana hati sedang kurang bagus, bisa juga tu orang ku pakai untuk cem-ceman. Lumayan buat memuaskan tanganku yang sedikit gatal," batinku."Ak-aku ... Aku..." dia terlihat gugup."Aku, aku apa?" Penampilan saja yang sangar. Tapi, suara melow. "Ma-maaf, Bu!""Ibu-ibu, memangnya aku ibumu!""E
"Nyil, dimakan lagi. Kalau cuma makanan, kami berlimpah. Kamu bisa makan sepuasnya," ujar Mas Darius.Unyil pun makan dengan lahap dan menenggak segelas jus sampai ludes. Hari ini seperti mimpi. Aku tidak percaya menyaksikan peristiwa di depanku ini. Apakah ada orang yang memberi makan seseorang yang sudah mencuri mobilnya?"Unyil itu nama asli kamu atau cuma samaran?" tanyaku."Unyil nama julukan yang diberikan teman saya di pasar, Bu!" jawabnya."Ooo .... Lalu, siapa nama aslimu?" tanyaku penasaran. "Nama asliku, Akmal.""Ya Allah, nama bagus-bagus kok diganti Unyil.""Pak, Bu, terima kasih sudah memberiku makanan dan minuman seenak ini. Dari pagi, perutku tidak terisi makanan sedikit pun."Ya Allah, nggak kuat mendengarnya. Air mataku mulai berlomba untuk jatuh dari manik mata ini. Aku merasa bersalah karena telah membentak-bentaknya tadi."Iya, makan saja. Habiskan semua. Di dalam masih banyak makanan. Kalau kamu masih mau, nanti aku ambilkan lagi," kataku. Mas Darius mulai ters