"Mbak, mau beli emas yang paling besar ada?" tanya suamiku. Aku sudah senyam-senyum mendengarnya.
"Ada, Pak!" jawab penjaga toko."Paling besar beratnya berapa?" tanya suamiku dengan PD banget. Padahal aku tahu, dia tidak membawa uang."Yang ready 100gr, Pak!" jawab wanita berkemeja merah."Aku mau emas yang beratnya 1kg," kata suamiku. Aku tepuk jidat. Malu dilihat banyak orang. Mau ditaruh mana mukaku ini.Si Mbak penjaga toko pun bingung. Akhirnya dia memanggil pemilik toko yang diketahui wajahnya seperti orang cina. Dia memandang kami sangat aneh. Apa lagi aku cuma memakai gamis biasa. Suamiku mengenakan celana pendek dan kaos setelan olahraga."Bapak butuh apa?" tanya wanita Cina itu. Rambutnya berwarna pirang sebahu."Aku butuh emas yang beratnya 1kg, ada?""Ada Pak, tapi pesan dulu," katanya."Kalau sekarang bisa nggak?""Nggak bisa, Pak!""Ya sudah, nggak jadi!" ujar lelaki di sampingku ini. "Ayo pulang!" Ia menggandeng tanganku.Sudah kuduga. Setiap aku menginginkan sesuatu ia selalu membuat hati lega dan tenang. Tapi ... cuma sesaat doang. Setelah sampai rumah amsyong. Nggak dapat apa-apa. Ini sudah menjadi kebiasaan. Anehnya, aku selalu telat dalam menganalisa ucapan Mas Darius.~Malam hari, sebelum kami datang ke toko emas, Kusampaikan keinginanku padanya, agar suamiku membelikan emas. Karena aku juga menginginkan perhiasan itu seperti wanita pada umumnya."Mas, aku ingin seperti wanita-wanita lain yang memakai perhiasan," kataku saat mau tidur."Karmila, Sayang! Tenang saja. Besok pagi kita akan langsung ke toko emas," sahutnya sembari mengusap rambutku."Benar, Mas? Kamu nggak bohong 'kan?" tanyaku sedikit ragu."Iya, sayang. Cuma ke toko emas kecil buat suamimu ini," ujarnya.Malam itu aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung. Hingga akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak. Sekali pun suamiku tidak pernah membentak atau berbicara kasar. Itu nilai plus darinya.~Aku dan Mas Darius umurnya selisih 15 tahun. Entahlah, mungkin karena aku menyukai orang yang umurnya lebih tua. Jadi merasa biasa saja dalam menjalani. Meski begitu, dia masih terlihat muda lho. Nggak kalah sama yang masih brondong. Mungkin, karena Mas Darius orangnya sangat santai dalam menjalani kehidupan. Sifatnya yang tidak mudah marah dan apa adanya itulah, yang membuatku nyaman berada didekatnya.~Pagi itu kami bersiap pergi jalan-jalan untuk melihat-lihat toko emas yang dekat dengan tempat tinggal. Tertujulah pada satu toko yang paling besar. Sejak awal perasaan ini sudah tidak enak, karena aku tidak melihat Mas Darius membawa dompet."Mas, yakin kita akan ke sana?""Yakinlah, itu kan tokoku?" katanya, sembari mengusap rambut."Ngawur kamu, Mas!""Eh, nggak percaya. Ngajinya kurang lama sih?""Ngomongin toko emas sampai ngaji. Gimana ceritanya. Nggak nyambung," batinku.Sampai di toko itu, suamiku langsung bertanya pada penjaganya. Padahal sebagai wanita aku ingin melihat-lihat terlebih dahulu. Secara modelnya bagus-bagus. Ya ampiun ... ngiler rasanya, pengen kuborong semua. Tapi, ketika Mas Darius tiba-tiba saja bertanya emas 1kg, hatiku degdegan seperti genderang mau perang. Jangankan aku, orang di sekitar yang mendengar pun geleng kepala. Sudah gila mungkin suamiku ini. Dikira leherku kokoh seperti patung atau kerbau kali.Ingin sekali aku mundur dan berlari lebih dulu, agar tidak ikut menanggung malu. Mataku memindai saku celana berwarna hitam putih itu begitu tipis. Tidak mungkin ada uang di sana. Kalau pun pakai ATM juga mustahil. Mas Darius bukan tipe orang yang suka menabung di Bank. Dia lebih suka menyimpan uangnya di brangkas."Mas, pulang saja, yuk! Perasaanku nggak enak," bisikku. Tapi dia tidak menghiraukan istrinya ini. Aduh ... rasanya muka ini mau kututup pakai kantong kresek hitam saja.Dan ternyata perasaanku benar. Kami pulang dengan tangan kosong. Dengan alasan emasnya tidak ada yang sesuai keinginan pria ajaibku."Mas, kenapa tidak jadi?" tanyaku sedikit merajuk."Toko emasnya nggak lengkap," ujarnya."Mas, aku 'kan cuma pengen perhiasan. Kalung kek, gelang kek, bukan emas 1kg. Masak iya, aku pakai kalung 1kg. Bisa putus ni leher, Mas. Ih, sebel!" Aku ngomel di sepanjang jalan. Tapi, Mas Darius dengan santainya melenggang berjalan dengan pandangan lurus ke depan tanpa menghiburku. Dia senyang-senyum sendiri. Ingin rasanya kugetok kepalanya pakai sandal, tapi takut kwalat.***Sampailah kami di komplek. Seperti biasa ibu-ibu sedang asyik ngegosip. Sebenarnya jiwaku juga meronta ingin bergabung bersama mereka. Tidak bisa dipungkiri, wanita memang bibirnya lemes, doyan banget ngrumpi. Sayangnya suamiku selalu melarang.Sesekali aku pernah minta izin padanya."Mas, aku boleh nggak, ikut ngumpul ibu-ibu di situ, supaya lebih akrab dengan tetangga?" tanyaku. Tentunya dengan sedikit manja. Ternyata gaya yang kutiru melalui grup literasi tentang tips meluluhkan hati suami gagal."Nggak, boleh!" pungkasnya. Singkat, padat, dan jelas. Mulut langsung mingkem. Tidak ada toleransi lagi. Oalah, Mak ... sudah capek-capek merangkai kata, dapatnya kecewa.Saat kami melewati kumpulan ibu-ibu itu, Bu Fatia menyapa."Mas Darius, Karmila, dari mana 'ni? Salut sama pasangan ini. Meski umurnya beda jauh, tetap saja mes_rah," katanya, sambil mendesah. Bu Fatiya adalah orang yang humoris. Meski suka menguliti hidup orang lain. "Dari mana kalian? Tumben, berdua saja."Bu Fatia seperti mencari sesuatu yang mungkin kami bawa.Mas Darius menoleh padaku dan memicingkan matanya. Itu pertanda, bahwa kami tidak boleh berlama-lama di tempat itu. Aku sedikit meliriknya. Saat aku mau menjawab pertanyaan Bu Fatiya, lelaki di sampingku sudah mendahului."Kami dari toko emas, Bu Fatiya!" jawab Mas Darius. Suamiku benar 'sih tapi, kami cuma jalan-jalan doang.Ibu-ibu yang ada di situ saling menatap satu sama lain. Apa lagi Bu Meta yang seperti toko emas berjalan. Dia merasa akan tersaingi."Wah, wah ... Karmila dibelikan emas sama suaminya. Beli kalung atau gelang? Berapa gr?" tanya Bu Fatia lagi."Emmm..!"Baru saja mau membuka mulut sudah di srobot lagi."Nggak jadi beli!""Lho, lho ... kenapa nggak jadi, Mas? Jangan-jangan nggak punya uang dan cuma lihat-lihat," cerca Bu Meta. Yaah ... Ketahuan dong. Benar sekali kata Bu Meta. Rasanya pengen banget kulipat wajah ini. Anehnya Mas Darius terlihat santai tanpa ada perubahan ekspresi dari wajahnya meski dikata orang seperti itu. Entah, hatinya terbuat dari apa."Jadi benar Mbak Karmila? Kalian cuma melihat-lihat saja?"Ampun deh, malu banget aku."Tadinya mau beli. Tapi nggak ada. Kalau masalah uang sih kecil." Mas Darius menjentikkan jari. "Tinggal minta saja sama Allah," ujarnya kemudian."Sombong amat," gumam Bu Meta. Tidak lupa tangan kirinya diangkat agar gelang yang melingkar itu bisa saling bertabrakan dan menimbulkan suara gemerincing."Kok nggak ada, Mas?" ke dua alis Bu Fatiya saling tertaut, "bukannya di toko emas banyak pilihan dan model? Memangnya Mas Darius mau berapa gr?" Bu Fatiya menyilangkan tangan sejajar dada."Satu kilogram!" jawab suamiku."Haaaa ....!" Serentak mereka melongo. Tangan Bu Fatiya yang tadinya menyilang rapat, kini pun terurai."Huaow ... Amazing! Satu kilogram, Mas?!" Bu Fatiya memperjelas."Iya, tadinya mau beli. Karena nggak ada ya nggak jadi."Ya Allah, aku mau pingsan saja. Biar nggak malu.___Bu Meta mengerucutkan bibirnya sambil ngedumel."Lagaknya mau menyaingi aku. Sok-sokan mau beli emas 1kg," gerutu Bu Meta."Gila suaminya Mbak Karmila ini. Mau membelikan emas istrinya 1kg lho!" puji Bu Fatia. "Wah, Bu Meta bisa kesaing sama Mbak Karmila 'ni," ujar Bu Fatia lagi. Aku menjadi salah tingkah di tempat itu."Memang benar, ya. Jarak umur yang terlalu jauh tidak menghalangi untuk saling mengerti ya, Mas Darius!" Bu Fatia mengulang pujiannya lagi. Ya Allah, aku dan suamiku tidak bermaksud sombong. Hanya mulut suami hamba saja yang sedikit dol."Ibu-ibu, kami pamit dulu!" Aku berpamitan dengan semua yang ada di tempat itu. "Ayo, Mas!" Giliranku yang menggandeng tangan Mas Darius."Ya ampun ... Seneng melihat pasangan itu," lantang suara Bu Fatia mengiringi langkah kami masuk ke dalam rumah.***Aku cemberut, merajuk saat sampai di rumah."Mas, jujur saja. Sebenarnya kamu nggak mau membelikanku emas 'kan?" tanyaku dengan bibir manyun di depan TV.Dia dengan santai menjawab.
"Assalamu'alaikum!""Mas Darius pulang," gumamku. Segera ku sambut pujaan hatiku yang berjanji membawakan perhisan untukku."Mila, lihat yang Mas bawa!" ujarnya. Ia meletakkan sebuah tak kecil di meja. Dari gambarnya 'sih gambar berlian. Katanya aku disuruh berpikir positif. Ini saatnya. Apakah di dalamnya berlian?"Apa ini, Mas?" tanyaku. Mataku mulai berbinar-binar. "Nanti saja bukanya. Mas buatkan kopi dulu, sudah haus dari tadi," katanya."Siap! Karena sudah membawakanku berlian, Mas Darius akan ku buatkan kopi spesial. Tapi nggak pake telur. Hehe .." Aku meluncur ke dapur secepat kilat. Kembali juga dengan secepat alap-alap. "Ini, Mas, kopinya! Susunya masih di sini," kataku. Sambil senyam-senyum tak jelas. "Ku buka boleh 'kan Mas?" tanyaku lagi."Apanya? Susunya? Jangan, jangan!" "Ish, itu ... Mas!" Ku gunakan bahasa isyarat mata. Ting, ting, ting."Jangan sekarang dong. Nanti malam. Nggak sabar amat!" katanya sambil menutup benda pusakanya dengan tangan. Karena aku semakin se
Dalam hitungan mundur, tiga, dua, satu!Ku buka perlahan. Benar sekali. Di dalamnya adalah benda berbentuk kotak. Coba kalian tebak! Isinya apa hayo? Aduh, aku dek-dekan. Sampai gemetar 'ni tangan."Karmila, dicari Bu Efi 'ni!" teriak Mas Darius. Ish, menyebalkan sekali. Ku intip saja dulu."Karmila ...! Sudah di tunggu 'ni," serunya lagi. Suara lelaki itu membuyarkan sesuatu yang ada di kepalaku.Kotak itu ku letakkan begitu saja di nakas. Lalu ke luar menemui Bu Efi."Lho, Mbak Karmila kok belum siap-siap?" tanya Bu Efi. Bu Efi terlihat kaget melihatku. Aku pun tak kalah bingung."Si-siap, siap apa, Bu?""Lho, Mbak Karmila lupa atau amnesia? Bukankah kemarin Mbak Mila sendiri yang ngajak bareng aku untuk menjenguk Bu RT?""Oalah iya, Bu Efi. Maaf, aku lupa!" kataku. Tepuk jidat dah. Gara-gara berlian aku jadi amnesia. "Kalau begitu ku ambil tas dulu, Bu!" pamitku. Aku cepat-cepat ke kamar dan menyambar tas kecil di sana. "Ayo, Bu!" "Pakai mobilku saja, Mbak Mila. Kebetulan suamiku
Benar 'kan dugaanku. Mereka pasti membicarakanku. Kali ini bukan sekedar berpikir negatif. Tapi fakta."Mereka bicara apa, Bu?" tanyaku.Bu RT terlihat sungkan untuk bicara. "Emmm, itu Mil. Katanya, Darius sok-sokan mau beli emas 1kg. Tapi nggak jadi. Apa benar?" tanya Bu RT. Bu Efi ikut melongo. Haduh, dasar mulut ember. Ternyata ceritanya disebar luaskan. Bisa viral di komplek 'ni. Merdengar soal emas, otakku kembali ke rumah. Eh, kembali teringat benda kecil yang ada di kamarku. Jadi pengen buru-buru pulang."Mila, Mbak Karmila!" seru Bu Efi. Ia menggoyang-goyangkan pundakku."Ditanya Bu RT kok malah bengong. Bagaimana, apakah benar berita itu?" tanya Bu Efi. Aku berusaha menarik bibir agar terlihat senyum meski sedikit mengembang. Dalam hati rasanya malu ... setengah mati. "Iya 'sih benar," jawabku sambil cengengesan. "Oalah, ahahaha, Mila ... sabar banget ya kamu ini. Punya suami macam Darius. Jadi berita itu benar? Ya Gusti ...." Bu RT dan Bu Efi tertawa sambil memegang perutn
6"Auk ah, gelap!""Kalau hatimu gelap, Mas siap menyinarinya.""Halah, nggak mempan gombalanmu, Mas! Apa salahnya 'sih, Mas. Membelikan 'ku perhiasan emas? Sedangkan uang di brangkas Mas Darius juga banyak," protesku."Bukan begitu, Sayang. Memang benar, Mas bisa saja membeli perhiasan emas. Tapi, akan lebih nyaman kalau kamu pakai yang imitasi kalau untuk sehari-hari. Lebih aman dan lebih nyaman dalam beraktifitas. Lagian saat bercinta Mas juga nggak suka kamu memakai barang-barang itu. Ribet, malah nyangkut-nyangkut. Bayangkan saja, kalau sedang di luar atau di jalan, kamu ketemu dengan perampok. Dia mau semua barang yang kamu bawa. Kalau emas beneran, pulang bisa nangis guling-guling. Tapi kalau imitasi, tinggal kasih aja."Kupikir logis 'sih cara berpikir Mas Darius. "Tunggu sebentar, Mas mau kasih kamu lihat sesuatu," ujarnya, lalu meninggalkanku ke kamar. Kemudian ia balik lagi. Mendatangiku dengan menyembunyikan ke dua tangan di belakang. Apalagi yang akan dilakukannya. Jang
"Kalian bisik-bisik apa 'sih? Bikin penasaran," ujar Bu Efi."Ra-ha-si-a!" Bu Fatia berkata pada Bu Efi. Aku menjawab dengan senyum saja."Fatia, awas kalau kamu macam-macam. Aku tidak mau menjadi temanmu lagi. Nggak ada traktir-traktiran lagi," ancam Bu Meta.Bu Fatia meringis dan berkata, "Tenang, Bu. Aman!"Otakku pun jadi su'udzon. Apakah Bu Meta ada hubungan dengan Mas Darius. Atau pernah menjalin hubungan saja. Kalau benar, siap-siap saja, Mas Darius ku cubit ginjalnya."Mari, Bu Meta, kami antar ke rumah. Buat istirahat saja supaya bisa menenangkkan diri," Bu Fatia memapah Bu Meta ke rumahnya. Sebagian ibu-ibu masih berada di tempat. Sebagian lagi mereka pulang. Aku menjadi salah satu yang pulang.***"Mas, Bu Meta kenapa ya, ketus banget kalau bicara sama aku. Kelihatannya benci ... banget, kalau melihatku."Ku kira suamiku akan kaget atau syok mendengar ucapanku. Ternyata dia biasa saja."Yak, kiri,kiri. Oper,oper!" teriaknya. Aku menolehnya. Gemes banget 'kan. Istri bicara
"Ada yang aneh dengan penampilanku?" tanyanya."Nggak aneh 'sih, Mas. Tapi ya jangan pakai kaos dalam saja dong!""Halah, ribet amat. Ayo cepat. Mas sudah lapar."Dia menarik tanganku."Mas Darius, kenapa kamu nggak pernah serius 'sih""Kenapa lagi, Mila?"Katanya makan di luar, tapi ini_?""Ya iya, di luar. Ini Mas sudah pesan nasi goreng abang yang lewat.""Mas! Aku sudah capek dandan, ganti baju bagus. Taunya cuma makan di emperan. Ini namanya bukan makan di luar Mas. Tapi, makan di halaman rumah. Ih, sebel."Aku pun merajuk dan masuk ke dalam rumah lagi. Melempar sepatu yang tadi ku kenakan. Menghapus make up yang sudah paripurna. Kemudian mengganti bajuku dengan piyama."Tau gini aku nggak bakal dandan. Mas Darius , kenapa kamu jahat banget padaku?" batinku. Aku mulai menangis di kamar. Kali ini aku tidak mengharap dia membujukku. Aku benar-benar marah padanya."Mila, ayo makan dulu. Keburu dingin nasi gorengnya. Nanti nggak enak." Panggil suamiku dari luar. "Makan saja sendiri
Ku cubit hidung Mas Darius. Ku tepuk-tepuk pipinya. Ku toel dagunya."Ihhh, kaya anak kecil saja. Sudah, Mas mau tidur. Sudah ngantuk," ujarnya.Malam ini cukup istimewa buatku. Meskipun gagal untuk makan di luar. Di restoran atau di cafe maksudnya. Bukan seperti Mas Darius yang makan di luar RUMAH.Bisa dibilang suamiku adalah spesies langka. Entah hatinya terbuat dari apa. Bahkan selama aku menemaninya, aku tidak pernah melihatnya marah, emosi atau pun berbuat kasar padaku.Mungkin hatinya terbentuk dari benda mati. Seperti teori yang dicetuskan oleh Aristoteles yang yakin bahwa makhluk hidup itu ada karena benda mati dan semuanya muncul secara spontan. Meski teori itu belum tentu benar. Habisnya aku bingung. Pernah saat awal menikah, aku belum terlalu paham sifatnya. Ternyata dia mempunyai kebiasaan suka menaruh handuk di kasur setelah dipakai sehabis mandi. Aku tidak suka sikapnya. Aku ngomel dari A sampai Z. Dia cuma diam ... saja."Mas, setelah handuk di pakai, dijemur dong. Ka
"Mila, buka pintunya! Kalau pintu kamar di tutup, aku tidur di mana?""Terserah kamu saja, Mas. Salah sendiri pakai janjian sama, Ros." "Mila, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Buka dulu, Sayang. Biar kujelaskan."Mas Darius terus saja membujukku. Tapi biarkan saja. Dia sudah ketahuan main belakang dengan wanita lain. Mungkin akan lebih baik jika aku pergi dari rumah ini. Aaa, tidak, tidak. Kalau aku pergi dari rumah ini, Mas Darius keenakan dong. Dia bisa semaunya sendiri."Mila, buka dong pintunya. Aku cuma bercanda tadi," teriaknya dari luar. Tapi tak kuhiraukan.Setelah beberapa saat, tidak terdengar lagi suaranya. "Apa Mas Darius pergi? Jangan-jangan dia jadi jalan-jalan sama si Rosi itu," batinku. Ya sudahlah, aku tidak peduli. Lama-lama aku juga jenuh di kamar melulu. Aku pun memutuskan untuk ke luar.Saat aku membuka pintu, terlihat sebuah kaki menjulur di atas kursi sofa.Astaga, bandot tua. Mahluk aneh. Kukira sudah pergi jalan-jalan dengan si Ros yang ia telepon tadi
Saatnya ngetes istriku. Apakah dia sudah bisa memahami cara pikirku atau belum."Sayang, kamu hari ini ada acara nggak?" tanyaku sambil tiduran di pangkuannya. Ia sibuk dengan ponselnya."Kebetulan aku juga lagi kosong. Jalan-jalan, yuk!" ajakku."Kemana?" Mila bertanya tanpa melihatku. Aku nyengir dan menahan tawa. "Sepertinya istriku yang bawel ini akan kena jebakan," batinku"Sekitar sini saja," kataku."Sebenarnya aku sedang males 'sih, Mas. Tapi demi menemanimu, ayo!""Ya sudah, aku ganti baju dulu. Kamu juga ganti. Buruan!" titahku.Mila menaruh ponselnya di nakas kemudian berganti pakaian."Ayo, Mas. Aku sudah siap!""Iya, ayo! Mas juga sudah dari tadi nungguin kamu."Pagi ini cukup cerah. Tidak mendung juga tidak panas. Birunya langit menambah keindahan pagi ini. Sudah cukup lama juga tidak cari angin bersama istri.Biasanya berjalan sebentar saja Mila sudah mengeluh capek. Tapi kali ini kenapa diam saja? Aku jadi pusing kalau istriku seperti ini."Sayang, kamu capek nggak? Ka
Dua tahun kemudian usaha mi ayam Septi sukses. Ia bisa melunasi hutangnya pada Mas Darius. Kami pun diminta ke rumahnya sekalian silaturahmi dan makan mi ayam gratis.Sebenarnya Septi mau mengantarnya ke sini. Tapi, Mas Darius sekali-kali juga pengen berkunjung ke rumah adik perempuannya itu. Jadi nggak harus yang muda mengunjungi yang tua melulu."Mas, mau bawa oleh-oleh nggak?" tanyaku saat siap-siap mau ganti baju."Tenang, aku sudah siapkan," katanya. Lega banget dengarnya. Suamiku memang the best.***"Mas, katanya sudah menyiapkan oleh-oleh untuk Septi, mana?"Aku bertanya serius, dia malah cengengesan."Oleh-olehnya ya, kamu!""Hah! Ya Gusti, jangan bercanda, Mas! Kalau tahu begini, aku tadi siapkan. Kalau begitu kita mampir ke toko buah saja. Kita bawakan buah," kataku dengan kesal. Punya suami bawaannya bikin emosi. "Menepi dulu, Kang Arif!""Siap, Bu!"Kami turun dan memilih-milih buah di sana."Enaknya beli buah apa, Mas?" tanyaku meminta saran."Apa saja enak!" jawabnya."
Hari ini adalah waktunya kami pulang dari berlibur. Ayah dan ibuku satu mobil dengan Fadil."Mas, bagaimana kalau nanti kita adu ketangguhan mobil? Jalanan berkelok, banyak jalan yang berlubang. Aku yakin mobilku yang menang," ujar Fadil pada Mas Darius."Mm, bagaimana Kang Arif, berani nggak?" Mas Darius menoleh pada supir."Siap, Pak Bos!" Kang Arif begitu bersemangat."Fadil, jangan begitu! Bahaya ugal-ugalan di jalan. Kamu tahu sendiri 'kan ibu takut kalau kebut-kebutan di jalan," Ibu menimpali."Tenang saja, Bu. Cuma uji ketangguhan saja. Bukan kebut-kebutan," balas Fadil.Kami pun naik ke mobil masing-masing. Memang ada sedikit jalan berkelok-kelok dan banyak lubang. Sebenarnya aku juga takut. Namun melihat semangat Mas Darius dan Kang Arif, aku cuma bisa diam."Bagaimana ini, Pak? Mas Fadil sepertinya yang lebih unggul," kata Kang Arif."Tenang saja, Kang. Kita santai saja. Berdoa saja mobil Fadil bannya kempes," kata suamiku."Ish, jangan begitu, Mas. Di sana ada ayah dan ibu.
"Ini bagaimana ceritanya kalian bisa sekongkol ngerjain aku?" tanyaku pada Fadil.Fadil menggaruk-garuk kepalanya sambil melirik kakak iparnya yang meringis kesakitan."Emm, anu-Mbak. Sebelum ke sini, kami sudah janjian. Dan sebenarnya, ayah dan ibu juga hadir, Mbak.""Ayah dan ibu?""Iya, Mbak.""Lalu mereka di mana sekarang?""Itu mereka ...!" Fadil menunjuk ke arah belakangku."Astaga, Ayah, Ibu! Ya Allah, aku kangen sama kalian." Ke peluk kedua orang tua itu. Kemudian Mas Darius mendekat dan menyalami orang tuaku."Em, hebat akting kalian, ya. Jadi, pemulung yang cuma makan nasi dan garam itu, Ibu!""Hmm, Mila, ini agar kamu bisa berubah. Masak umur sudah semakin matang masih saja emosian, nggak sabaran, gengsian juga. Buang sikap seperti itu, Mila.""Ini sudah watakku, Bu. Ibaratnya adalah pakaianku sehari-hari. Jadi, tetap akan seperti ini terus," kataku. Benar 'kan. Batuk gampang diobati, dan watak sulit untuk dirubah."Tentu saja aku bicara dengan ibu secara lemah lembut."Hih
"Gado-gadonya isinya lengkap ya, Mas! Ada karbohidrat dari lontong dan kentangnya. Ada protein dari telur dan kacang pannjangnya, termasuk sambalnya juga. Ada zat besi dari bayam. Komplit banget. Tinggal nanti kita beli buah dan susu," kataku. Bagaimanapun sebagai seorang ibu itu harus memperhatikan nilai gizi dari setiap apa yang dimakan anggota keluarga. Aku tidak mau suamiku kekurangan gizi. Apalagi di usianya yang tidak muda lagi. "Makan ya makan saja, Mila. Ngapain mikirin gizi. Karbohidratlah, proteinlah, vitaminlah, kalorilah. Kalau mikirin semua itu, yang ada kita justru sakit bukan karena kekurangan gizi. Tapi sakit memikirkan gizi."Ish, ngeyel banget kalau dibilangin. "Mas, gizi itu penting buat gubuh kita lho. Kalau kita kekurangan karbohidrat, yang ada kita lemes. Nggak bisa mikir.""Emm, kata siapa? Mas nggak percaya. Buktinya bayi cuma minum susu nggak makan nasi dan sayur juga sehat.""Itu beda, Mas. Susu sudah banyak kandungan vitamin dan lainnya. Termasuk lemak," k
Biasanya seorang suami merasa tenang ketika istrinya di rumah saja dan bermain ponsel di kamar. Mereka mengira aman karena tidak keluyuran. Tapi, aku justru was-was ketika Mila berdiam diri di sana. Aku lebih suka ia menemaniku di teras atau nonton TV bareng. Karena, jika Mila bermain ponsel di kamar, jarinya tidak bisa dikendalikan. Ia main masuk-masukkan barang ke keranjang aplikasi penjualan online. Aku sebagai suaminya harus waspada. Jangan sampai istriku kalap dengan segala macam jenis dagangan yang diperjual belikan di sana.Segera saja aku menghampirinya ketika ia berpamitan ke kamar."Sayang, sedang main apa?" tanyaku dengan mesrah. Biarkan umur kepala empat. Tapi jiwa masih kepala dua dong."Main ponsel, Mas!" jawabnya.Aku tidak pernah memarahi atau membentaknya ketika tahu jari lentiknya sedang memilah-memilih sesuatu yang akan ia masukkan ke keranjang. Aku menghampirinya, duduk di sampinya. Kemudian menyandarkan kepalanya di dadaku. Aku tahu, tempat itu adalah tempat tern
POV Mila"Tahu nggak, Mas. Anaknya Bu Meta wanita yang terkintil-kintil denganmu dulu, sekarang sekolah di jurusan akuntan. Dengar-dengar 'ni, Mas. Kalau sudah lulus dari sana, akan gampang banget cari pekerjaan," ujarku, Sore itu saat duduk santai di teras rumah."Pinter ngitung dwit?" tanya Mas Darius."Ya jelas, Mas. Analisa keuangan, laporan keuangan, laporan pajak suatu perusahaan dan lainnya bisa ia kerjakan," kataku. "Ooo ... Kalau itu aku juga bisa," balas lelaki yang sedang menikmati pisang goreng."Enak ya, Mas.""Iya, enak. Pisang gorengnya."Ish, menyebalkan. Malah pisang goreng."Mas, nggak pengen tu. Sepandai apapun dia, nanti kerjanya paling ngitung dwit orang lain.""Terus, kalau Mas pengennya apa?""Ngitung dwit sendiri. Ahahaha!""Uh, dasar.""Ya iyalah, coba bayangkan. Kerja di Bank misalnya. Jadi karyawan di sana. Ahli banget dalam menghitung uang. Tapi, itu uang orang. Cuma pegang sebentar saja. Ngiler 'kan. Jelas enak menghitung uang sendiri meski nggak ngerti-
POV DARIUSHari ini ada acara hajatan di rumah saudara. Tepatnya dari pihak keluargaku. Rumahnya masih satu komplek. Tentu saja nanti kami akan berbaur bersama keluarga maupun tetangga. Setiap kali tamu yang datang akan membawa pasangannya masing-masing. Aku sudah menduga sebelumnya. Di acara itu akan menjadi ajang pamer baju maupun perhiasan bagi ibu-ibu. Kalau bapak-bapak simple, cukup memakai celana atau sarung dan kemeja saja. Tapi, istriku tidak mungkin kusuruh mengenakan pakaian yang sama denganku."Mas, kita nanti couplelan, ya! Kebetulan ada baju yang belum pernah kita pakai. Warnanya moca.""Masak iya, suamimu disuruh pakai gamis.""Bukan gamis, tapi kurta, Mas. Sama warnanya biar serasi," katanya. "Iya, deh. Aku menurut saja dari pada diomeli.""Sip! Nanti kusiapkan."Mila buru-buru mandi dan aku masih bermain dengan burung love kesayanganku. Sepasang burung yang kupelihara itu mengajariku arti betapa pentingnya pasangan hidup. Setiap kali ketemu, mereka bercumbu, sayang-s