Sebulan sejak kejadian aneh. Ziva menjadi penyendiri. Dia tak pernah lagi berkumpul dengan kawan-kawannya. Pikirannya hanya ada pada Yudhistira. Bahkan di rumah pun dia hanya mengurung di dalam kamar.
Hingga malam itu. Saat bulan purnama Ziva terbangun dari mimpinya. Dia melihat sosok Yusdhistira di jendela kamarnya. Segera saja Ziva berlari membuka jendela. Dan benar,Yudhistira tersenyum seraya melambaikan tangan.
"Hai,apa kabarmu?" Zia tersenyum menyapa pria di hadapannya.
"Yah beginilah. Boleh aku masuk?" Tanya Yudhistira meminta izin.
"Tapi jendela ini terhalang teralis besi. Kau tak mungkin menembusnya." Ziva memgang teralis besinya.
"Mudah saja. Aku akan melakukan teleportasi. Tunggulah." Pinta Yudhistira. Ziva tak mengerti.
Dalam sekejap tubuh Yusdhistira sudah ada di hadapan Ziva. Dai ternganga tidak percaya. Hingga tepukan Yudhistira menyadarkannya.
"Wow,amazing. Kau melakukan sulap?"
"Hahaha tidak juga. Setiap malam saat bulan purnama kekuatanku sebagai dewa akan kembali."
"Oh begitu. Tapi kau sangat keren."
"Hehehe biasa saja."
Kini Ziva dan Yudhis duduk saling berhadapan. Mereka hanya diam tak tahu ingin melakukan apa. Yudhistira akhirnya mengawali percakapan karena Ziva seperti asyik dengan pikirannya sendiri. Padahal mungkin Ziva sangat gugup berduaan dengan pria itu. Apalagi jika mengingat ciuman pertama mereka.
"Apa mamimu sudah tidur?"
"Ya tentu saja. Memangnya kamu, nokturnal?"
"Hahaha apa aku terlihat seperti hewan yang selalu berburu di malam hari? Kau ini ada saja." Yudhistira tertawa. Hingga Ziva menutup mulut Yudhistira takut mami bangun.
"Sttt. Jangan keras-keras nanti mami bangun." Ziva menempelkan telunjuk ke bibirnya. Yudhistira mengangguk paham dan menghentikan tawanya.
"Oya ada apa kau menemuiku?"
"Entah kenapa aku selalu mengingat aromamu." Terang Yudhistira.
"Aromaku? Maksudmu aroma tubuhku?" Ziva terheran-heran dan mengendus tubuhnya.
"Ya bisa dibilang seperti itu. Tapi lebih dari itu." Jawab Yudhistira kikuk. Mengusap tengkuknya mengusir kegugupannya yang seperti ketahuan mencuri.
"Hahaha ini lucu. Kau bilang selalu mengingat aromaku? Sedangkan aku sendiri sangat mual dengan aromaku sendiri." Ziva terkekeh sambil mengedikkan bahu.
"Hahaha entahlah. Aku hanya menyukai aroma-mu." Kekeh Yudhistira.
Tiba-tiba Ziva memeluk Yudhistira. Tubuh Yudhis menegang. Dia tak pernah membayangkan bisa berjarak sedekat ini dengan Ziva. Dia merasa jantungnya akan melompat. Wangi tubuh Ziva menghipnotisnya.
"Bagaimana? Apa kau menyukainya?" Ujar Ziva seolah tak peka.
"Ya." Jawab Yudhistira memejamkan matanya.
Dan tanpa Ziva sangka Yudhis mencium bibirnya. Awalnya sangat ragu. Namun begitu ziva juga membalas ciumannya. Yudhis pun semakin berani. Apalagi ini ciuman kedua mereka. Hingga suara ketukan pintu menyadarkan mereka berdua. Ziva menyuruh Yudhis sembunyi di lemari.
"Ziva? Apa ada orang di kamarmu?" Mami melongokkan kepala ke kamar putrinya setalh dibuka.
"Ti-tidak ada mami. Aku sudah tidur." Jawab Ziva seraya pura-pura menguap.
"Oh mami kira ada orang. Soalnya suara di kamarmu ribut sekali."
"Tidak ada mami."
"Yaudah tidurlah."
"Iya mam."
Setelah kepergian Mami,Yudhis segela keluar dari lemari. Mereka tertawa lirih.
"Kalu begitu aku akan pergi."
"Ya hati-hati."
"Bolehkah aku kesini besok?"
"Ya tentu saja."
Dan setiap bulan purnama tiba maka Yudhistira selalu berkunjung ke kamar Ziva. Mereka menghabiskan waktu berdua dengan bercerita. Main catur. Sampai nonton film horor.
"Hahaha lucu sekali hantunya." Tawa Ziva.
"Kau bilang lucu? Itu sangat menyeramkan."
"Apalah itu wajahnya penuh dempulan tepung begitu."
"Kau memang wanita aneh. Hantu seram kok malah lucu."
"Kau mau tahu apa yang paling seram dari hantu?"
"Ya?"
"Itu kau Yudhistira."
"Aku?"
"Iyalah. Bayangkan ya kau tiba-tiba hadir di hadapanku dan menghilang begitu saja. Jika aku terkena penyakit jantung. Mungkin aku sudah mati muda."
"Benarkah?"
"Ya untung saja kau tampan. Jadi aku tidak begitu takut."
Yudhistira tersenyum. Dia semakin tertarik. Dari awal melihat Ziva rasa tertarik itu yang membuatnya mengikuti Ziva.
"Ziva?"
"Ya?"
"Apa kau melihat sesuatu di tubuhku?"
"Apa? Aku tak melihat apapun."
"Benarkah?"
"Hu'um. Memang kenapa?"
"Dalam perjanjian kami. Jika ada seorang keturunan Dewi yang melihat gelang emas di lengan kami maka mereka adalah jodoh kami. Seperti benang merah dalam kepercayaan orang china. Aku melihat gelang emas di lengan kananmu."
"Mana? Aku tak melihat apapun."
"Benarkah? Ah,mungkin kau pengecualian." Ucap Yudhis lemah. Dia sangat kecewa.
Namun Yudhis yakin bahwa Ziva pasti bisa melihat gelang emas itu. Namun entah kenapa Ziva belum melihatnya. Sebenarnya dia kecewa. Namun dia tidak akan menyerah. Ziva adalah jodohnya. Begitu keyakinannya. Sebab gelang itu berpendar sangat indah jika bertemu dengannya.
Hingga malam ketiga bulan purnama. Yudhistira ingin mengajak Ziva menikah.
"Aku tak tahu apa rasa sayang dan cinta itu. Karena kaum kami tak begitu mempedulikannya. Namun aku begitu tertarik padamu. Maukah kau menjadi istriku?" Yudhistira menggenggam tangan gadis dihadapannya.
"Ap-apa? Kau mengajakku menikah?" Ucap Ziva terbata.
"Ya tentu saja. Aku ingin menikah denganmu. Jadilah istriku." Ucap Yudhistira mantap
"Ta-tapi Yudhis." Ragu Ziva.
"Kenapa?"
"Aku tidak bisa."
Seketika genggaman Yudhistira lepas. Dia berdiri menatap jendela Ziva. Bulan purnama bersinar dengan indahnya.
"Jadi kau menolakku?""Maaf. Aku tak bisa denganmu.""Sudah kuduga. Padahal aku berharap kau menerima lamaranku." Kekehnya pelanZiva memandang wajah yang tampak kecewa di hadapannya."Yah baiklah. Berarti kau harus melupakanku. Aku akan melakukan brainwash padamu.""Apa maksudmu?""Aku tak bisa membiarkan manusia mengetahui rahasiaku. Untuk itu aku akan menghapus ingatanmu.""Jadi aku tidak akan mengenalmu?""Ya tentu saja.""Walaupun aku melihat sebuah gelang emas ada di lengan kirimu?""Apa? Jadi selama ini...?""Ya,aku melihatnya. Ini." Tunjuk Ziva pada lengan kiri Yudhis."Kalau begitu pikirkanlah tawaranku. Aku tak bisa melepaskanmu begitu saja.""Ta-tapi.""Kutunggu jawabanmu di bulan purnama berikutnya.""He-hei tunggu!" Teriak Ziva memanggilnya. Namun Yudhis sudah hilang dari pandangannya begitu saja.Angin malam menerpa wajah ayunya. Ziva menikmati semilir
Setelah resepsi yang menguras tenaga dan waktu. Ziva dan Yudhistira diantarkan ke rumah mereka. Mami terlihat menangis memeluk Ziva anak semata wayangnya."Baik-baiklah disini sayang." Mami memeluk erat tubuh anak gadisnya."Iya mami pasti. Mami juga ya. Nanti Ziva akan sering-sering main kesana.""Yudhis.""Ya mami.""Titip anak mami ya.""Pasti mam."Setelah beramah tamah. Ziva merebahkan dirinya di ranjang king size. Entah ratusan atau mungkin ribuan orang yang hadir dalam resepsi pernikahannya. Sedangkan suaminya terakhir kali dilihatnya diruang tamu bersama keluarga besar Ziva.Ziva hampir saja terlelap. Hingga benda kenyal dan dingin itu menyentuh keningnya cukup lama. Lalu turun ke hidung dan hinggap dibibir ranumnya. Yudhis begitu lihai memainkan bibir Ziva. Mereka berpagutan. Saling menuntut. Ziva menikmati setiap sentuhan yang diterimanya. Bahkan mungkin dia menginginkan lebih."Bukalah gaunmu." Pin
"Ziva,lo mau ikut ngga?" Ajak Rina pada gadis berkuncir satu yang tengah menikmati cilok itu."Kemana? Kalau ke mall aku malas." Jawab gadis itu datar."Ih,ngapain ke mall. Kita mau hiking nih. Ke Gunung Tangkuban Perahu." Azel menimpali seraya membidikan kamera pada gadis tomboy itu."Wah boleh tuh. Aku ikut." Ujarnya semangat wajahnya berbinar karena senang."Yaudah hari sabtu besok kita siap-siap ya." Ucap Rina mengomando."Oke. Naik bus atau kereta?" Tanya Ziva pada kedua gadis di depannya."Bus ajalah." Azel memberi saran."Siap. Kalau begitu aku balik dulu ya. Takut dicariin Mami." Ziva pamit pada kedua temannya."Dasar anak mami." Cibir Azel mencebik. Ziva hanya tersenyum kuda."Oya siapa aja yang ikut?" Tanya Ziva kemudian."Kayaknya Ada 5 orang. Roy sama Wawan bilang mau ikut." Rina menjawab sambil menulis nama-nama anak yang ikut di bukunya."Wah asik juga nih ada Roy." Ujar Azel girang."G
Ziva tersesat karena kecerobohannya sendiri. Dia merutuki nasib sialnya. Mungkin saat ini kawan-kawannya tengah kebingungan mencarinya kesana kemari. Ini semua karena anjing hitam yang selalu mengikuti kemanapun Ziva pergi. Dan anehnya hanya dia yang melihatnya sedangkan keempat kawannya tidak.Karena hanya dia yang terusik anjing hitam aneh itu. Sedangkan keempat kawannya terlihat biasa saja dan santai. Ziva berjalan mengingat dari arah mana dia datang. Namun dia seolah hanya terpaku satu tempat. Dia tandai dengan ranting dan selaku kembali pada ranting itu. Begitu erus menerus hingga menjelang senja."Duh gimana nih. Lama-lama aku bisa kemalaman di tengah hutan. Mami maafin Ziva ya. Gara-gara maksa buat kesini Ziva jadi tersesat."Karena kelelahan akhirnya Ziva duduk di sebuah pohon besar dan tinggi. Matanya memandang sekeliling. Yang ada hanyalah pohon yang menulang tinggi. Apalagi saat ini tengah senja. Keadaan menjadi sedikit gelap. Hanya kemila
Setelah membersihkan tubuhnya. Ziva segera keluar kamar. Dia memandang takjub ruangan demi ruangan yang dilewatinya. Pasti perabot dirumah ini sangat mahal. Gumamnya. Namun sejak tadi dia tak mendapati satupun foto keluarga.Ziva melangkah menyusuri setapak demi setapak dan hanya mengikuti kemana kaki membawanya pergi. Hingga sampailah di dapur. Dia melihat Yudhistira sibuk di dapur."Harumnya." Ziva memuji aroma masakan yang mengganggu indra penciumannya.Pria itu hanya menoleh sebentar lalj kemudian asyik kembali dengan pisau dan talenan di depannya."Siapa namamu tuan koki?" Tanya Ziva pada pria dihadapannya."Namaku Yudhistira." Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan."Nama yang indah. Seperti dalam tokoh pewayangan." Ucap Ziva tersenyum"Ya memang benar. Yudhistira adalah anak dari Maharaja Pandhu dan Dewi Kunti." Jelasnya dengan tenang."Kenapa namamu bukan Arjuna saja? Kau lebih tepat bernama Arjuna. Tampan nan rupaw
Saat tersadar Ziva sudah berada di kamarnya. Dia melihat pakaiannya sudah berganti piyama. Namun pikirannya masih dihari yang sama. Momorinya penuh dengan Yudhistira. Dia sedih karena harus meninggalkan Yusdhistira sendirian lagi. Hingga akhirnya maminya masuk kedalam kamarnya."Ternyata aku sudah pulang ya?" Gumamnya dalam hati."Sayang apa kau sudah baikan?" Tanya mami seraya memegang keningnya. Ziva tersenyum."Iya mam. Ziva sudah baikan kok." Jawabnya ceria. Dia tidak ingin membuat maminya khawatir."Oya pria yang mengantarmu kemari menitipkan ini." Mami menyerahkan selembar kertas pad Ziva."Apa ini mami?" Tanya Ziva."Sepertinya surat. Masih ada saja ya yang nulis surat begini di jaman modern." Mami terkekeh lalu melangkah pergi meninggalkan Ziva."Hehe iya ya mi.""Kalau gitu segera turun dan mandi ya sayang. Mami akan siapkan sarapan spesial buat kamu." Pinta maminya sebelum keluar kamat."Iya mi."Z