Setelah membersihkan tubuhnya. Ziva segera keluar kamar. Dia memandang takjub ruangan demi ruangan yang dilewatinya. Pasti perabot dirumah ini sangat mahal. Gumamnya. Namun sejak tadi dia tak mendapati satupun foto keluarga.
Ziva melangkah menyusuri setapak demi setapak dan hanya mengikuti kemana kaki membawanya pergi. Hingga sampailah di dapur. Dia melihat Yudhistira sibuk di dapur.
"Harumnya." Ziva memuji aroma masakan yang mengganggu indra penciumannya.
Pria itu hanya menoleh sebentar lalj kemudian asyik kembali dengan pisau dan talenan di depannya.
"Siapa namamu tuan koki?" Tanya Ziva pada pria dihadapannya.
"Namaku Yudhistira." Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.
"Nama yang indah. Seperti dalam tokoh pewayangan." Ucap Ziva tersenyum
"Ya memang benar. Yudhistira adalah anak dari Maharaja Pandhu dan Dewi Kunti." Jelasnya dengan tenang.
"Kenapa namamu bukan Arjuna saja? Kau lebih tepat bernama Arjuna. Tampan nan rupawan." Puji Ziva memandang Yudhis takjub.
"Hahaha. Entahlah. Aku sudah diciptakan dengan nama itu." Yudhistira tertawa terbahak-bahak.
"Lalu siapa nama anda nona?"
"Namaku Zivania."
"Nama yang cantik,secantik orangnya."
"Kau pandai merayu rupanya."
Aku hanya mengatakan fakta."
"Terima kasih."
Yudhistira begitu lihai mencincang berbagai sayuran.
"Kamu pandai memasak juga."
"Tentu saja. Sudah kukatakan bahwa aku mantan chef dari restoran sunda dan memiliki beberapa warung makan." Jawabnya seraya mengelingkan mata.
"Benarkah?"
"Ya."
"Wah hebat dong. Kau pengusaha sukses dan sangat tampan."
"Apa nona memujiku?"
"Ya tentu saja."
"Terima kasih."
"Tapi apa kau benar-benar tinggal sendirian dirumah luas nan megah ini?"
"Nona kira aku tinggal dengan siapa? Bukankah nona tak melihat seorang pun sedari tadi?"
"Ya benar. Apa kau tidak memiliki keluarga?" Tanya Ziva kepo.
"Ya. Aku terlahir sendirian." Jawabnya tenang seraya terkekenh.
"Jadi kau tidak memiliki ayah,ibu bahkan kakak dan adik?"
"Ya begitulah."
"Jadi bagaimana caramu membersihkan rumah sebesar ini sendirian?"
Mata Yudhis terbelalak tak menyangka gadis itu menanyakan hal yang tanpa kolerasi sama sekali. Lalu dia tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa kau tertawa?"
"Ah tidak apa-apa. Mau kutunjukkan caranya?"
"Ya. Aku ingin tahu."
"Saksikanlah." Jawab Yudhis seraya menepuk tangannya. Dan tiba-tiba sapu,kemoceng bahkan alat pel datang seperti diterbangkan angin.
"Oh my god." Ucap Ziva tanpa berkedip.
Ziva terbelalak kaget saat sapu dan alat kebersihan lainnya menari dengan sendirinya tanpa di gerakkan siapapun. Ziva menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Takjub.
"Woow amazing. Kau melakukan sulap?"
"Nona kira ini pertunjukkan sirkus?"
"Hehehe aku hanya takjub."
Lalu Yudhistira menata masakannya diatas meja. Semuanya menggugah selera. Ziva meneguk salivanya.
"Ini nasi tutug oncom,sambal terasi,ayam goreng,lalapan dan sayur asam."
"Nasi ini sangat harum."
"Nona memang benar-benar keturunan Dewi Sri ya. Ini nasi yang berasnya berasal dari Cianjur. Pandan wangi."
"Wah,pasti rasanya sangat enak dan pulen."
"Pasti. Dan itu sudah terkenal di Indonesia."
"Oya Yudhis bisakah kau memanggilku Ziva saja tanpa embel-embel nona?"
"Baiklah."
Ziva makan dengan lahapnya seperti orang kelaparan. Bahkan Yudhistira hanya menggelengkan kepala tidak percaya.
"Masakanmu enak sekali."
"Benarkah? Ya tentu saja masakan Chef pastilah sangat enak."
"Hahaha iya. Aku sampai berkali-kali nambah. Oya kamu sendiri makan apa?"
"Aku? Ini steak daging kerbau bule."
"Kerbau bule? Bukankah itu sangat susah mencarinya?"
"Susah mencarinya bukan berarti tidak ada."
"Ya kau benar. Apalagi orang kaya macam kamu apapun bisa dibeli. Sepertinya enak? Bolehkah aku mencobanya?"
"Lebih baik jangan. Meskipun ini terlihat enak tapi perhatikanlah sausnya."
"Ap-apa itu? Bukankah itu darah?"
"Rupanya kau sangat jeli. Ini memang darah segar."
"Aku mau muntah."
"Bukankah sudah kubilang?"
Setelah makan siang. Mereka berbincang-bincang di taman. Ziva begitu senang memberi makan ikan-ikannya.
"Berapa usiamu Yudhis?"
"Mungkin 800-850 tahun. Aku lupa."
"Wow jadi kau hidup selama itu?"
"Ya begitulah. Berapa usiamu nona?"
"Aku baru 19 tahun."
"Masih sangat muda."
"Kalau dipikir betapa membosankannya hidup selama itu."
"Ya begitulah. Sangat membosankan. Saat orang terlahir lalu hidup dan kemudian mati. Namun aku masih saja seperti ini. Aku tidak terlahir sebagai anak-anak ataupun orang tua. Beginilah aku semenjak diciptakan."
"Berarti kau tidak akan tua?"
"Ya mungkin."
Ziva terdiam cukup lama. Otaknya sibuk memikirkan betapa menyedihkannya pria disampingnya. Hidup untuk menyaksikan orang-orang terdekatnya mati satu persatu. Ziva tidak bisa membayangkan ternyata menjadi Dewa yang dikutuk ke bumi itu menyiksa. Benarlah ini disebut kutukan.
"Sunggub malang sekali nasibmu tuan dewa."
"Hahaha tidak juga nona. Aku hanya menikmati hidupku saja."
Setelah berbincang-bincang cukup lama. Ziva akhirnya ingat Mami. Dia tidak bisa membayangkan jika tidak ada mami disampingnya. Mungkin dia akan merasa sedih dan kesepian. Dia semakin rindu maminya.
"Aku ingin pulang. Aku sangat merindukan mami."
"Baiklah. Nanti aku akan antarkan kau pulang ke rumahmu."
"Sungguh?"
"Ya." Jawab Yudhis tersenyum walaupun ada rasa tak rela melihat gadis ceria di hadapannya pergi.
Saat tersadar Ziva sudah berada di kamarnya. Dia melihat pakaiannya sudah berganti piyama. Namun pikirannya masih dihari yang sama. Momorinya penuh dengan Yudhistira. Dia sedih karena harus meninggalkan Yusdhistira sendirian lagi. Hingga akhirnya maminya masuk kedalam kamarnya."Ternyata aku sudah pulang ya?" Gumamnya dalam hati."Sayang apa kau sudah baikan?" Tanya mami seraya memegang keningnya. Ziva tersenyum."Iya mam. Ziva sudah baikan kok." Jawabnya ceria. Dia tidak ingin membuat maminya khawatir."Oya pria yang mengantarmu kemari menitipkan ini." Mami menyerahkan selembar kertas pad Ziva."Apa ini mami?" Tanya Ziva."Sepertinya surat. Masih ada saja ya yang nulis surat begini di jaman modern." Mami terkekeh lalu melangkah pergi meninggalkan Ziva."Hehe iya ya mi.""Kalau gitu segera turun dan mandi ya sayang. Mami akan siapkan sarapan spesial buat kamu." Pinta maminya sebelum keluar kamat."Iya mi."Z
Sebulan sejak kejadian aneh. Ziva menjadi penyendiri. Dia tak pernah lagi berkumpul dengan kawan-kawannya. Pikirannya hanya ada pada Yudhistira. Bahkan di rumah pun dia hanya mengurung di dalam kamar.Hingga malam itu. Saat bulan purnama Ziva terbangun dari mimpinya. Dia melihat sosok Yusdhistira di jendela kamarnya. Segera saja Ziva berlari membuka jendela. Dan benar,Yudhistira tersenyum seraya melambaikan tangan."Hai,apa kabarmu?" Zia tersenyum menyapa pria di hadapannya."Yah beginilah. Boleh aku masuk?" Tanya Yudhistira meminta izin."Tapi jendela ini terhalang teralis besi. Kau tak mungkin menembusnya." Ziva memgang teralis besinya."Mudah saja. Aku akan melakukan teleportasi. Tunggulah." Pinta Yudhistira. Ziva tak mengerti.Dalam sekejap tubuh Yusdhistira sudah ada di hadapan Ziva. Dai ternganga tidak percaya. Hingga tepukan Yudhistira menyadarkannya."Wow,amazing. Kau melakukan sulap?""Hahaha tidak juga. Se
"Jadi kau menolakku?""Maaf. Aku tak bisa denganmu.""Sudah kuduga. Padahal aku berharap kau menerima lamaranku." Kekehnya pelanZiva memandang wajah yang tampak kecewa di hadapannya."Yah baiklah. Berarti kau harus melupakanku. Aku akan melakukan brainwash padamu.""Apa maksudmu?""Aku tak bisa membiarkan manusia mengetahui rahasiaku. Untuk itu aku akan menghapus ingatanmu.""Jadi aku tidak akan mengenalmu?""Ya tentu saja.""Walaupun aku melihat sebuah gelang emas ada di lengan kirimu?""Apa? Jadi selama ini...?""Ya,aku melihatnya. Ini." Tunjuk Ziva pada lengan kiri Yudhis."Kalau begitu pikirkanlah tawaranku. Aku tak bisa melepaskanmu begitu saja.""Ta-tapi.""Kutunggu jawabanmu di bulan purnama berikutnya.""He-hei tunggu!" Teriak Ziva memanggilnya. Namun Yudhis sudah hilang dari pandangannya begitu saja.Angin malam menerpa wajah ayunya. Ziva menikmati semilir
Setelah resepsi yang menguras tenaga dan waktu. Ziva dan Yudhistira diantarkan ke rumah mereka. Mami terlihat menangis memeluk Ziva anak semata wayangnya."Baik-baiklah disini sayang." Mami memeluk erat tubuh anak gadisnya."Iya mami pasti. Mami juga ya. Nanti Ziva akan sering-sering main kesana.""Yudhis.""Ya mami.""Titip anak mami ya.""Pasti mam."Setelah beramah tamah. Ziva merebahkan dirinya di ranjang king size. Entah ratusan atau mungkin ribuan orang yang hadir dalam resepsi pernikahannya. Sedangkan suaminya terakhir kali dilihatnya diruang tamu bersama keluarga besar Ziva.Ziva hampir saja terlelap. Hingga benda kenyal dan dingin itu menyentuh keningnya cukup lama. Lalu turun ke hidung dan hinggap dibibir ranumnya. Yudhis begitu lihai memainkan bibir Ziva. Mereka berpagutan. Saling menuntut. Ziva menikmati setiap sentuhan yang diterimanya. Bahkan mungkin dia menginginkan lebih."Bukalah gaunmu." Pin
"Ziva,lo mau ikut ngga?" Ajak Rina pada gadis berkuncir satu yang tengah menikmati cilok itu."Kemana? Kalau ke mall aku malas." Jawab gadis itu datar."Ih,ngapain ke mall. Kita mau hiking nih. Ke Gunung Tangkuban Perahu." Azel menimpali seraya membidikan kamera pada gadis tomboy itu."Wah boleh tuh. Aku ikut." Ujarnya semangat wajahnya berbinar karena senang."Yaudah hari sabtu besok kita siap-siap ya." Ucap Rina mengomando."Oke. Naik bus atau kereta?" Tanya Ziva pada kedua gadis di depannya."Bus ajalah." Azel memberi saran."Siap. Kalau begitu aku balik dulu ya. Takut dicariin Mami." Ziva pamit pada kedua temannya."Dasar anak mami." Cibir Azel mencebik. Ziva hanya tersenyum kuda."Oya siapa aja yang ikut?" Tanya Ziva kemudian."Kayaknya Ada 5 orang. Roy sama Wawan bilang mau ikut." Rina menjawab sambil menulis nama-nama anak yang ikut di bukunya."Wah asik juga nih ada Roy." Ujar Azel girang."G
Ziva tersesat karena kecerobohannya sendiri. Dia merutuki nasib sialnya. Mungkin saat ini kawan-kawannya tengah kebingungan mencarinya kesana kemari. Ini semua karena anjing hitam yang selalu mengikuti kemanapun Ziva pergi. Dan anehnya hanya dia yang melihatnya sedangkan keempat kawannya tidak.Karena hanya dia yang terusik anjing hitam aneh itu. Sedangkan keempat kawannya terlihat biasa saja dan santai. Ziva berjalan mengingat dari arah mana dia datang. Namun dia seolah hanya terpaku satu tempat. Dia tandai dengan ranting dan selaku kembali pada ranting itu. Begitu erus menerus hingga menjelang senja."Duh gimana nih. Lama-lama aku bisa kemalaman di tengah hutan. Mami maafin Ziva ya. Gara-gara maksa buat kesini Ziva jadi tersesat."Karena kelelahan akhirnya Ziva duduk di sebuah pohon besar dan tinggi. Matanya memandang sekeliling. Yang ada hanyalah pohon yang menulang tinggi. Apalagi saat ini tengah senja. Keadaan menjadi sedikit gelap. Hanya kemila