"Jadi kau menolakku?"
"Maaf. Aku tak bisa denganmu."
"Sudah kuduga. Padahal aku berharap kau menerima lamaranku." Kekehnya pelan
Ziva memandang wajah yang tampak kecewa di hadapannya.
"Yah baiklah. Berarti kau harus melupakanku. Aku akan melakukan brainwash padamu."
"Apa maksudmu?"
"Aku tak bisa membiarkan manusia mengetahui rahasiaku. Untuk itu aku akan menghapus ingatanmu."
"Jadi aku tidak akan mengenalmu?"
"Ya tentu saja."
"Walaupun aku melihat sebuah gelang emas ada di lengan kirimu?"
"Apa? Jadi selama ini...?"
"Ya,aku melihatnya. Ini." Tunjuk Ziva pada lengan kiri Yudhis.
"Kalau begitu pikirkanlah tawaranku. Aku tak bisa melepaskanmu begitu saja."
"Ta-tapi."
"Kutunggu jawabanmu di bulan purnama berikutnya."
"He-hei tunggu!" Teriak Ziva memanggilnya. Namun Yudhis sudah hilang dari pandangannya begitu saja.
Angin malam menerpa wajah ayunya. Ziva menikmati semilir angin yang menyisakan aroma tubuh Yudhis. Dia sadar bahwa ada yang tidak beres pada otak dan hatinya. Apakah mungkin manusia bisa bersatu dengan jelmaan Dewa?
"Ini seperti sebuah kutukan."
Hari-hari Ziva lalui dengan perasaan galaunya. Bahkan mami mulai menyadari perubahan Ziva. Dia selalu melamun dan mengurung dirinya. Matanya sering terlihat sembab. Seolah tengah merindukan seseorang yang jauh.
"Zi,boleh mami masuk?"
"Ya mi masuk aja ga dikunci."
Mami masuk ke dalam kamar Ziva yang terlihat tengah mencoret-coret bukunya. Mami tak sengaja melihatnya sekilas.
"Ternyata benar. Anak mami tengah jatuh cinta."
"Apa? Mami tahu darimana?
"Hahaha mami ini sudah hidup selama bertahun-tahun sayang. Jadi pastilah tahu apa yang tengah menimpamu. Jadi siapa pria itu?"
"Dia sangat jauh mi. Dia orang Bandung."
"Tak apa panggilah dia kemari. Mami tidak akan melarangmu."
"Yang benar mi?"
"Ya tentu saja."
Malam hari bulan Purnama kedua. Ziva sudah duduk di jendela. Dia menunggu sang Pangeran datang menemuinya. Namun hingga sang fajar terbit. Dia tak kunjung menampakkan dirinya.
Ziva terus menunggu hingga malam ketiga bulan purnama. Namun Yudhistira tak kunjung menampakkan dirinya. Ziva merasa frustasi. Pikirannya benar-benar kalut. Sepertinya dia sangat merindukan Yudhistira.
"Apa kau benar-benar pergi dariku? Aku merindukanmu pria malangku." Ucap Ziva seraya menatap pohon di samping kamarnya yang bergoyang tertiup angin.
Ziva merebahkan diri di ranjang sempitnya dan menatap langit-langit kamarnya. Ingatannya melukiskan hari-hari bersama Yudhistira. Entah kenapa hatinya terus membayangkan lengkungan senyum pria itu. Sejurus kemudian dia terpejam berkelana di alam mimpinya.
Hingga dia menyadari seseorang disamping tempat tidurnya. Ziva terkesiap dan mengucek matanya berkali-kali. Matanya mengembun. Pria itu merentangkan tangannya.
"Hai...apa kau merindukanku?"
Refleks Ziva memeluk pria itu erat. Sangat erat. Bahkan bahunya berguncang hebat.
"Apa kau benar-benar merindukanku?"
Ziva mengangguk.
"Tentu saja bodoh. Aku sangat merindukanmu sampai rasanya sesak."
"Hahaha kukira hanya aku yang merindukanmu. Jadi kau juga rupanya."
"Kenapa kau menghilang?"
"Hahaha aku hanya takut di tolak lagi."
"Ternyata kau pengecut juga ya."
Semalaman mereka bervengkrama. Melepaskan segala resah dan gundah akibat merindu. Yudhistira mengelus kepala Ziva seraya tersenyum.
"Aku mencintaimu Zivania. Maukah kau menjadi istriku?"
"Tentu saja...Ya."
"Ja...jadi kau menerima lamaranku?"
"Iya. Jadikan aku nyoya Yudhistira."
"Baiklah besok aku akan melamarku. Tidurlah."
Cup. Yudhistira mengecup kening Ziva. Lalu pergi.
Keesokan harinya Yudhistira benar-benar melamarnya. Dia datang dengan 3 orang lainnya. Yang tak pernah Ziva lihat sebelumnya. Bahkan bawaannya sangatlah banyak. Mami sendiri sampai terbengong menatap calon menantunya.
"Zi,kamu nemu pria ini dimana?"
"Ish mami ini. Masa nemu sih?" Ziva menyenggol lengan maminya seraya tersenyum.
Yudhistira berdehem.
"Maafkan saya bu,saya yatim piatu. Hanya ada saudara saya saja yang tersisa."
"Iya tidak apa-apa ibu memakluminya. Panggilnya mami seperti Ziva."
"Iya mami."
Lalu mengalirlah obrolan demi obrolalan tentang pernikahan. Mami yang awalnya meragukan anak gadisnya dipinang laki-laki yang bari dikenalnya akhirnya luluh dan menerima setelah Yudhistira menyatakan ketulusannya.
Hingga hari yang dinantikan itu datang mereka mengikat janji suci dan mengucapkan saling setia apapun yang terjadi. Mami terisak melihat putrinya yang sangat cantik dengan baju pengantin putih.
"Mami kenapa nangis?"
"Mami bahagia sayang."
"Terima kasih ya mi sudah merestui kami." Ucap Yudhistira tulus seraya memeluk ibu mertuanya.
"Jaga baik-baik anak mami ya. Mami percaya padamu."
"Baik mi. Aku berjanji."
Tamu undangan sangat banyak bahkan teman-teman Ziva hadir. Rina dan Azel sampai menangis karena tak menyangka Ziva secepatnya melepas lajang. Sedangkan mereka yang memiliki kekasih malah belum dilamar.
"Ah lo ngeselin banget. Gak ada angin dan hujan menikah."
"Eh ini bocah ngaco. Masa nikahan hujan angin sih."
"Mana ganteng banget lagi. Untung udah nikah. Kalau ngga?"
"Mulai deh mulai Zel gue kasih tau Roy nih."
"Jangan dong. Gue kan cuma bercanda ya kan Zi?"
"Iya deh iya."
Ydhistira hanya tersenyum. Istrinya terlihat sangat bahagia. Dia tak menyangka bahwa akan berakhir indah seperti ini.
Setelah resepsi yang menguras tenaga dan waktu. Ziva dan Yudhistira diantarkan ke rumah mereka. Mami terlihat menangis memeluk Ziva anak semata wayangnya."Baik-baiklah disini sayang." Mami memeluk erat tubuh anak gadisnya."Iya mami pasti. Mami juga ya. Nanti Ziva akan sering-sering main kesana.""Yudhis.""Ya mami.""Titip anak mami ya.""Pasti mam."Setelah beramah tamah. Ziva merebahkan dirinya di ranjang king size. Entah ratusan atau mungkin ribuan orang yang hadir dalam resepsi pernikahannya. Sedangkan suaminya terakhir kali dilihatnya diruang tamu bersama keluarga besar Ziva.Ziva hampir saja terlelap. Hingga benda kenyal dan dingin itu menyentuh keningnya cukup lama. Lalu turun ke hidung dan hinggap dibibir ranumnya. Yudhis begitu lihai memainkan bibir Ziva. Mereka berpagutan. Saling menuntut. Ziva menikmati setiap sentuhan yang diterimanya. Bahkan mungkin dia menginginkan lebih."Bukalah gaunmu." Pin
"Ziva,lo mau ikut ngga?" Ajak Rina pada gadis berkuncir satu yang tengah menikmati cilok itu."Kemana? Kalau ke mall aku malas." Jawab gadis itu datar."Ih,ngapain ke mall. Kita mau hiking nih. Ke Gunung Tangkuban Perahu." Azel menimpali seraya membidikan kamera pada gadis tomboy itu."Wah boleh tuh. Aku ikut." Ujarnya semangat wajahnya berbinar karena senang."Yaudah hari sabtu besok kita siap-siap ya." Ucap Rina mengomando."Oke. Naik bus atau kereta?" Tanya Ziva pada kedua gadis di depannya."Bus ajalah." Azel memberi saran."Siap. Kalau begitu aku balik dulu ya. Takut dicariin Mami." Ziva pamit pada kedua temannya."Dasar anak mami." Cibir Azel mencebik. Ziva hanya tersenyum kuda."Oya siapa aja yang ikut?" Tanya Ziva kemudian."Kayaknya Ada 5 orang. Roy sama Wawan bilang mau ikut." Rina menjawab sambil menulis nama-nama anak yang ikut di bukunya."Wah asik juga nih ada Roy." Ujar Azel girang."G
Ziva tersesat karena kecerobohannya sendiri. Dia merutuki nasib sialnya. Mungkin saat ini kawan-kawannya tengah kebingungan mencarinya kesana kemari. Ini semua karena anjing hitam yang selalu mengikuti kemanapun Ziva pergi. Dan anehnya hanya dia yang melihatnya sedangkan keempat kawannya tidak.Karena hanya dia yang terusik anjing hitam aneh itu. Sedangkan keempat kawannya terlihat biasa saja dan santai. Ziva berjalan mengingat dari arah mana dia datang. Namun dia seolah hanya terpaku satu tempat. Dia tandai dengan ranting dan selaku kembali pada ranting itu. Begitu erus menerus hingga menjelang senja."Duh gimana nih. Lama-lama aku bisa kemalaman di tengah hutan. Mami maafin Ziva ya. Gara-gara maksa buat kesini Ziva jadi tersesat."Karena kelelahan akhirnya Ziva duduk di sebuah pohon besar dan tinggi. Matanya memandang sekeliling. Yang ada hanyalah pohon yang menulang tinggi. Apalagi saat ini tengah senja. Keadaan menjadi sedikit gelap. Hanya kemila
Setelah membersihkan tubuhnya. Ziva segera keluar kamar. Dia memandang takjub ruangan demi ruangan yang dilewatinya. Pasti perabot dirumah ini sangat mahal. Gumamnya. Namun sejak tadi dia tak mendapati satupun foto keluarga.Ziva melangkah menyusuri setapak demi setapak dan hanya mengikuti kemana kaki membawanya pergi. Hingga sampailah di dapur. Dia melihat Yudhistira sibuk di dapur."Harumnya." Ziva memuji aroma masakan yang mengganggu indra penciumannya.Pria itu hanya menoleh sebentar lalj kemudian asyik kembali dengan pisau dan talenan di depannya."Siapa namamu tuan koki?" Tanya Ziva pada pria dihadapannya."Namaku Yudhistira." Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan."Nama yang indah. Seperti dalam tokoh pewayangan." Ucap Ziva tersenyum"Ya memang benar. Yudhistira adalah anak dari Maharaja Pandhu dan Dewi Kunti." Jelasnya dengan tenang."Kenapa namamu bukan Arjuna saja? Kau lebih tepat bernama Arjuna. Tampan nan rupaw
Saat tersadar Ziva sudah berada di kamarnya. Dia melihat pakaiannya sudah berganti piyama. Namun pikirannya masih dihari yang sama. Momorinya penuh dengan Yudhistira. Dia sedih karena harus meninggalkan Yusdhistira sendirian lagi. Hingga akhirnya maminya masuk kedalam kamarnya."Ternyata aku sudah pulang ya?" Gumamnya dalam hati."Sayang apa kau sudah baikan?" Tanya mami seraya memegang keningnya. Ziva tersenyum."Iya mam. Ziva sudah baikan kok." Jawabnya ceria. Dia tidak ingin membuat maminya khawatir."Oya pria yang mengantarmu kemari menitipkan ini." Mami menyerahkan selembar kertas pad Ziva."Apa ini mami?" Tanya Ziva."Sepertinya surat. Masih ada saja ya yang nulis surat begini di jaman modern." Mami terkekeh lalu melangkah pergi meninggalkan Ziva."Hehe iya ya mi.""Kalau gitu segera turun dan mandi ya sayang. Mami akan siapkan sarapan spesial buat kamu." Pinta maminya sebelum keluar kamat."Iya mi."Z
Sebulan sejak kejadian aneh. Ziva menjadi penyendiri. Dia tak pernah lagi berkumpul dengan kawan-kawannya. Pikirannya hanya ada pada Yudhistira. Bahkan di rumah pun dia hanya mengurung di dalam kamar.Hingga malam itu. Saat bulan purnama Ziva terbangun dari mimpinya. Dia melihat sosok Yusdhistira di jendela kamarnya. Segera saja Ziva berlari membuka jendela. Dan benar,Yudhistira tersenyum seraya melambaikan tangan."Hai,apa kabarmu?" Zia tersenyum menyapa pria di hadapannya."Yah beginilah. Boleh aku masuk?" Tanya Yudhistira meminta izin."Tapi jendela ini terhalang teralis besi. Kau tak mungkin menembusnya." Ziva memgang teralis besinya."Mudah saja. Aku akan melakukan teleportasi. Tunggulah." Pinta Yudhistira. Ziva tak mengerti.Dalam sekejap tubuh Yusdhistira sudah ada di hadapan Ziva. Dai ternganga tidak percaya. Hingga tepukan Yudhistira menyadarkannya."Wow,amazing. Kau melakukan sulap?""Hahaha tidak juga. Se