Setelah resepsi yang menguras tenaga dan waktu. Ziva dan Yudhistira diantarkan ke rumah mereka. Mami terlihat menangis memeluk Ziva anak semata wayangnya.
"Baik-baiklah disini sayang." Mami memeluk erat tubuh anak gadisnya.
"Iya mami pasti. Mami juga ya. Nanti Ziva akan sering-sering main kesana."
"Yudhis."
"Ya mami."
"Titip anak mami ya."
"Pasti mam."
Setelah beramah tamah. Ziva merebahkan dirinya di ranjang king size. Entah ratusan atau mungkin ribuan orang yang hadir dalam resepsi pernikahannya. Sedangkan suaminya terakhir kali dilihatnya diruang tamu bersama keluarga besar Ziva.
Ziva hampir saja terlelap. Hingga benda kenyal dan dingin itu menyentuh keningnya cukup lama. Lalu turun ke hidung dan hinggap dibibir ranumnya. Yudhis begitu lihai memainkan bibir Ziva. Mereka berpagutan. Saling menuntut. Ziva menikmati setiap sentuhan yang diterimanya. Bahkan mungkin dia menginginkan lebih.
"Bukalah gaunmu." Pinta Yudhis tak sabar.
"Aku sangat malas." Ucap Ziva serak.
Hingga tangan kekar itu berhasil merenggut gaunnya yang sangat beat itu dengan paksa.
"Emh." Erang Ziva saat tangan Yudhis dengan liar menjamah setiap inci tubuhnya.
Dan terjadilah apa yang di inginkan setiap pengantin di malam pertama. Erangan dan desahan memenuhi kamar sepasang pengantin. Entah sudah berapa kali keduanya mencapai klimas.
Yudhistira mengecup ubun-ubun istrinya sebelum pergi membersihkan diri. Tubuhnya lengket oleh cairan bahkan keringatnya. Dia tersenyum dan menatap dalam istrinya yang bergelung dalam selimut.
"Terima kasih sayang. Aku mencintaimu." Ucapnya.
Sprei putih itu sudah tak berbentuk lagi. Bercak darah keperawanan tumpah ruah di atasnya. Pakaian berserakan dilantai. Bagaikan terkana badai tornado. Kamar pengantin baru sudah seperti kapal pecah.
Setelah memebersihkan diri. Kelmbali lagi wajah sang pria begitu bahagia memandangi wanitanya yang masih bergelung dalam selimut tebalnya. Rumah sudah sangat sepi. Para handai taulan pun sudah kembali ke tempat tinggal masing-masing. Bahkan mami yang di minta Ziva menginap pun tidak mau. Tinggalah mereka berdua yang tengah di mabuk asmara.
"Sudah pagi honey. Turunlah kebawah. Aku akan menyiapkan makanan untukmu." Tangan besar nan hangat itu mengelus pipi sang istri dengan lembut. Bibirnya mendarat dikening. Dia tersenyum sangat manis. Ziva merangkul pinggang suaminya erat.
"Aku masih ingin bermalas-malasan. Bagian bawahku perih." Ujarku manja. Yudhis terkekeh pelan sambil membetulkan selimut tebal yang membungkus tubuhku.
"Kalau begitu biar ku gendong ke kamar mandi ya." Yudhis menggoda istrinya.
"Tidak perlu." Sahut Ziva cepat.
"Hahaha kalau begitu aku turun duluan. Kamu mau makan apa?" Tanyaya lembut.
"Apapun yang Mas Yudhis masakkan pasti kumakan. Hehe." Ziva tersenyum sambil mengelus pipi suaminya sayang.
"Baiklah. Kujamin aroma masakanku akan membuatmu bersemangat." Jamin Yudhis percaya diri.
Dan 10 menit kemudian. Aroma pancake yang harum menguar ke seluruh penjuru rumah. Itu membuat perut Ziva terus berbunyi. Segera saja dia menyibak tirai jendela lalu segera turun ke bawah.
Seorang pria yang baru menjadi suaminya sudah sibuk menata piring dibawah sana. Tak heran sebagai mantan Chef dia amat terampil dan cekatan di dapur. Sedangkan Ziva yang tomboy amat begitu jauh berbeda. Ziva menyukai hal yang berpacu adrenalin. Memanjat tebing,beladiri dan pacuan kuda.
"Hmmm,aromanya enak sekali chef." Puji Ziva seraya mencomot kue yang sangat cantik.
"Sudah kutebak kau akan terbangun karena aroma pancake buatanku." Terka Yudhis sambil melepas apron dan duduk di dekat istrinya.
"Kue ini terlalu cantik untuk kumakan. Jadi sayang."
"Tak ada yang lebih cantik darimu honey. Plating ini hanya nol koma nol persen dari kecantikanmu."
"Hahaha. Kau bisa saja Mas. Aku jadi malu." Tawanya berderai hingga airmata Ziva keluar.
"Kenapa harus malu?" Herannya. Yudhis mengubah duduknya menghadap iatrinya.
"Pasalnya hanya satu laki-laki diantara berjuta umat manusia yang mengatakan aku cantik. Yaitu kamu." Canda Ziva seraya menepuk bahu suaminya beberapa kali.
"Tentu saja harus aku. Tidak ada yang boleh memujimu selain aku." Tutur Yudis dengan memandang istrinya begitu serius.
Ziva berhenti tertawa lalu menenggak air putih di hadapannya.
"Terimakasih. Aku benar-benar tersanjung." Dengan erat memeluk tubuh suaminya. Seketika pria itu tersenyum membalas pelukan istrinya dengan erat.
"Aku mencintaimu Mas."
"Aku juga honey."
"Ziva,lo mau ikut ngga?" Ajak Rina pada gadis berkuncir satu yang tengah menikmati cilok itu."Kemana? Kalau ke mall aku malas." Jawab gadis itu datar."Ih,ngapain ke mall. Kita mau hiking nih. Ke Gunung Tangkuban Perahu." Azel menimpali seraya membidikan kamera pada gadis tomboy itu."Wah boleh tuh. Aku ikut." Ujarnya semangat wajahnya berbinar karena senang."Yaudah hari sabtu besok kita siap-siap ya." Ucap Rina mengomando."Oke. Naik bus atau kereta?" Tanya Ziva pada kedua gadis di depannya."Bus ajalah." Azel memberi saran."Siap. Kalau begitu aku balik dulu ya. Takut dicariin Mami." Ziva pamit pada kedua temannya."Dasar anak mami." Cibir Azel mencebik. Ziva hanya tersenyum kuda."Oya siapa aja yang ikut?" Tanya Ziva kemudian."Kayaknya Ada 5 orang. Roy sama Wawan bilang mau ikut." Rina menjawab sambil menulis nama-nama anak yang ikut di bukunya."Wah asik juga nih ada Roy." Ujar Azel girang."G
Ziva tersesat karena kecerobohannya sendiri. Dia merutuki nasib sialnya. Mungkin saat ini kawan-kawannya tengah kebingungan mencarinya kesana kemari. Ini semua karena anjing hitam yang selalu mengikuti kemanapun Ziva pergi. Dan anehnya hanya dia yang melihatnya sedangkan keempat kawannya tidak.Karena hanya dia yang terusik anjing hitam aneh itu. Sedangkan keempat kawannya terlihat biasa saja dan santai. Ziva berjalan mengingat dari arah mana dia datang. Namun dia seolah hanya terpaku satu tempat. Dia tandai dengan ranting dan selaku kembali pada ranting itu. Begitu erus menerus hingga menjelang senja."Duh gimana nih. Lama-lama aku bisa kemalaman di tengah hutan. Mami maafin Ziva ya. Gara-gara maksa buat kesini Ziva jadi tersesat."Karena kelelahan akhirnya Ziva duduk di sebuah pohon besar dan tinggi. Matanya memandang sekeliling. Yang ada hanyalah pohon yang menulang tinggi. Apalagi saat ini tengah senja. Keadaan menjadi sedikit gelap. Hanya kemila
Setelah membersihkan tubuhnya. Ziva segera keluar kamar. Dia memandang takjub ruangan demi ruangan yang dilewatinya. Pasti perabot dirumah ini sangat mahal. Gumamnya. Namun sejak tadi dia tak mendapati satupun foto keluarga.Ziva melangkah menyusuri setapak demi setapak dan hanya mengikuti kemana kaki membawanya pergi. Hingga sampailah di dapur. Dia melihat Yudhistira sibuk di dapur."Harumnya." Ziva memuji aroma masakan yang mengganggu indra penciumannya.Pria itu hanya menoleh sebentar lalj kemudian asyik kembali dengan pisau dan talenan di depannya."Siapa namamu tuan koki?" Tanya Ziva pada pria dihadapannya."Namaku Yudhistira." Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan."Nama yang indah. Seperti dalam tokoh pewayangan." Ucap Ziva tersenyum"Ya memang benar. Yudhistira adalah anak dari Maharaja Pandhu dan Dewi Kunti." Jelasnya dengan tenang."Kenapa namamu bukan Arjuna saja? Kau lebih tepat bernama Arjuna. Tampan nan rupaw
Saat tersadar Ziva sudah berada di kamarnya. Dia melihat pakaiannya sudah berganti piyama. Namun pikirannya masih dihari yang sama. Momorinya penuh dengan Yudhistira. Dia sedih karena harus meninggalkan Yusdhistira sendirian lagi. Hingga akhirnya maminya masuk kedalam kamarnya."Ternyata aku sudah pulang ya?" Gumamnya dalam hati."Sayang apa kau sudah baikan?" Tanya mami seraya memegang keningnya. Ziva tersenyum."Iya mam. Ziva sudah baikan kok." Jawabnya ceria. Dia tidak ingin membuat maminya khawatir."Oya pria yang mengantarmu kemari menitipkan ini." Mami menyerahkan selembar kertas pad Ziva."Apa ini mami?" Tanya Ziva."Sepertinya surat. Masih ada saja ya yang nulis surat begini di jaman modern." Mami terkekeh lalu melangkah pergi meninggalkan Ziva."Hehe iya ya mi.""Kalau gitu segera turun dan mandi ya sayang. Mami akan siapkan sarapan spesial buat kamu." Pinta maminya sebelum keluar kamat."Iya mi."Z
Sebulan sejak kejadian aneh. Ziva menjadi penyendiri. Dia tak pernah lagi berkumpul dengan kawan-kawannya. Pikirannya hanya ada pada Yudhistira. Bahkan di rumah pun dia hanya mengurung di dalam kamar.Hingga malam itu. Saat bulan purnama Ziva terbangun dari mimpinya. Dia melihat sosok Yusdhistira di jendela kamarnya. Segera saja Ziva berlari membuka jendela. Dan benar,Yudhistira tersenyum seraya melambaikan tangan."Hai,apa kabarmu?" Zia tersenyum menyapa pria di hadapannya."Yah beginilah. Boleh aku masuk?" Tanya Yudhistira meminta izin."Tapi jendela ini terhalang teralis besi. Kau tak mungkin menembusnya." Ziva memgang teralis besinya."Mudah saja. Aku akan melakukan teleportasi. Tunggulah." Pinta Yudhistira. Ziva tak mengerti.Dalam sekejap tubuh Yusdhistira sudah ada di hadapan Ziva. Dai ternganga tidak percaya. Hingga tepukan Yudhistira menyadarkannya."Wow,amazing. Kau melakukan sulap?""Hahaha tidak juga. Se
"Jadi kau menolakku?""Maaf. Aku tak bisa denganmu.""Sudah kuduga. Padahal aku berharap kau menerima lamaranku." Kekehnya pelanZiva memandang wajah yang tampak kecewa di hadapannya."Yah baiklah. Berarti kau harus melupakanku. Aku akan melakukan brainwash padamu.""Apa maksudmu?""Aku tak bisa membiarkan manusia mengetahui rahasiaku. Untuk itu aku akan menghapus ingatanmu.""Jadi aku tidak akan mengenalmu?""Ya tentu saja.""Walaupun aku melihat sebuah gelang emas ada di lengan kirimu?""Apa? Jadi selama ini...?""Ya,aku melihatnya. Ini." Tunjuk Ziva pada lengan kiri Yudhis."Kalau begitu pikirkanlah tawaranku. Aku tak bisa melepaskanmu begitu saja.""Ta-tapi.""Kutunggu jawabanmu di bulan purnama berikutnya.""He-hei tunggu!" Teriak Ziva memanggilnya. Namun Yudhis sudah hilang dari pandangannya begitu saja.Angin malam menerpa wajah ayunya. Ziva menikmati semilir
Setelah resepsi yang menguras tenaga dan waktu. Ziva dan Yudhistira diantarkan ke rumah mereka. Mami terlihat menangis memeluk Ziva anak semata wayangnya."Baik-baiklah disini sayang." Mami memeluk erat tubuh anak gadisnya."Iya mami pasti. Mami juga ya. Nanti Ziva akan sering-sering main kesana.""Yudhis.""Ya mami.""Titip anak mami ya.""Pasti mam."Setelah beramah tamah. Ziva merebahkan dirinya di ranjang king size. Entah ratusan atau mungkin ribuan orang yang hadir dalam resepsi pernikahannya. Sedangkan suaminya terakhir kali dilihatnya diruang tamu bersama keluarga besar Ziva.Ziva hampir saja terlelap. Hingga benda kenyal dan dingin itu menyentuh keningnya cukup lama. Lalu turun ke hidung dan hinggap dibibir ranumnya. Yudhis begitu lihai memainkan bibir Ziva. Mereka berpagutan. Saling menuntut. Ziva menikmati setiap sentuhan yang diterimanya. Bahkan mungkin dia menginginkan lebih."Bukalah gaunmu." Pin
"Jadi kau menolakku?""Maaf. Aku tak bisa denganmu.""Sudah kuduga. Padahal aku berharap kau menerima lamaranku." Kekehnya pelanZiva memandang wajah yang tampak kecewa di hadapannya."Yah baiklah. Berarti kau harus melupakanku. Aku akan melakukan brainwash padamu.""Apa maksudmu?""Aku tak bisa membiarkan manusia mengetahui rahasiaku. Untuk itu aku akan menghapus ingatanmu.""Jadi aku tidak akan mengenalmu?""Ya tentu saja.""Walaupun aku melihat sebuah gelang emas ada di lengan kirimu?""Apa? Jadi selama ini...?""Ya,aku melihatnya. Ini." Tunjuk Ziva pada lengan kiri Yudhis."Kalau begitu pikirkanlah tawaranku. Aku tak bisa melepaskanmu begitu saja.""Ta-tapi.""Kutunggu jawabanmu di bulan purnama berikutnya.""He-hei tunggu!" Teriak Ziva memanggilnya. Namun Yudhis sudah hilang dari pandangannya begitu saja.Angin malam menerpa wajah ayunya. Ziva menikmati semilir
Sebulan sejak kejadian aneh. Ziva menjadi penyendiri. Dia tak pernah lagi berkumpul dengan kawan-kawannya. Pikirannya hanya ada pada Yudhistira. Bahkan di rumah pun dia hanya mengurung di dalam kamar.Hingga malam itu. Saat bulan purnama Ziva terbangun dari mimpinya. Dia melihat sosok Yusdhistira di jendela kamarnya. Segera saja Ziva berlari membuka jendela. Dan benar,Yudhistira tersenyum seraya melambaikan tangan."Hai,apa kabarmu?" Zia tersenyum menyapa pria di hadapannya."Yah beginilah. Boleh aku masuk?" Tanya Yudhistira meminta izin."Tapi jendela ini terhalang teralis besi. Kau tak mungkin menembusnya." Ziva memgang teralis besinya."Mudah saja. Aku akan melakukan teleportasi. Tunggulah." Pinta Yudhistira. Ziva tak mengerti.Dalam sekejap tubuh Yusdhistira sudah ada di hadapan Ziva. Dai ternganga tidak percaya. Hingga tepukan Yudhistira menyadarkannya."Wow,amazing. Kau melakukan sulap?""Hahaha tidak juga. Se
Saat tersadar Ziva sudah berada di kamarnya. Dia melihat pakaiannya sudah berganti piyama. Namun pikirannya masih dihari yang sama. Momorinya penuh dengan Yudhistira. Dia sedih karena harus meninggalkan Yusdhistira sendirian lagi. Hingga akhirnya maminya masuk kedalam kamarnya."Ternyata aku sudah pulang ya?" Gumamnya dalam hati."Sayang apa kau sudah baikan?" Tanya mami seraya memegang keningnya. Ziva tersenyum."Iya mam. Ziva sudah baikan kok." Jawabnya ceria. Dia tidak ingin membuat maminya khawatir."Oya pria yang mengantarmu kemari menitipkan ini." Mami menyerahkan selembar kertas pad Ziva."Apa ini mami?" Tanya Ziva."Sepertinya surat. Masih ada saja ya yang nulis surat begini di jaman modern." Mami terkekeh lalu melangkah pergi meninggalkan Ziva."Hehe iya ya mi.""Kalau gitu segera turun dan mandi ya sayang. Mami akan siapkan sarapan spesial buat kamu." Pinta maminya sebelum keluar kamat."Iya mi."Z
Setelah membersihkan tubuhnya. Ziva segera keluar kamar. Dia memandang takjub ruangan demi ruangan yang dilewatinya. Pasti perabot dirumah ini sangat mahal. Gumamnya. Namun sejak tadi dia tak mendapati satupun foto keluarga.Ziva melangkah menyusuri setapak demi setapak dan hanya mengikuti kemana kaki membawanya pergi. Hingga sampailah di dapur. Dia melihat Yudhistira sibuk di dapur."Harumnya." Ziva memuji aroma masakan yang mengganggu indra penciumannya.Pria itu hanya menoleh sebentar lalj kemudian asyik kembali dengan pisau dan talenan di depannya."Siapa namamu tuan koki?" Tanya Ziva pada pria dihadapannya."Namaku Yudhistira." Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan."Nama yang indah. Seperti dalam tokoh pewayangan." Ucap Ziva tersenyum"Ya memang benar. Yudhistira adalah anak dari Maharaja Pandhu dan Dewi Kunti." Jelasnya dengan tenang."Kenapa namamu bukan Arjuna saja? Kau lebih tepat bernama Arjuna. Tampan nan rupaw
Ziva tersesat karena kecerobohannya sendiri. Dia merutuki nasib sialnya. Mungkin saat ini kawan-kawannya tengah kebingungan mencarinya kesana kemari. Ini semua karena anjing hitam yang selalu mengikuti kemanapun Ziva pergi. Dan anehnya hanya dia yang melihatnya sedangkan keempat kawannya tidak.Karena hanya dia yang terusik anjing hitam aneh itu. Sedangkan keempat kawannya terlihat biasa saja dan santai. Ziva berjalan mengingat dari arah mana dia datang. Namun dia seolah hanya terpaku satu tempat. Dia tandai dengan ranting dan selaku kembali pada ranting itu. Begitu erus menerus hingga menjelang senja."Duh gimana nih. Lama-lama aku bisa kemalaman di tengah hutan. Mami maafin Ziva ya. Gara-gara maksa buat kesini Ziva jadi tersesat."Karena kelelahan akhirnya Ziva duduk di sebuah pohon besar dan tinggi. Matanya memandang sekeliling. Yang ada hanyalah pohon yang menulang tinggi. Apalagi saat ini tengah senja. Keadaan menjadi sedikit gelap. Hanya kemila
"Ziva,lo mau ikut ngga?" Ajak Rina pada gadis berkuncir satu yang tengah menikmati cilok itu."Kemana? Kalau ke mall aku malas." Jawab gadis itu datar."Ih,ngapain ke mall. Kita mau hiking nih. Ke Gunung Tangkuban Perahu." Azel menimpali seraya membidikan kamera pada gadis tomboy itu."Wah boleh tuh. Aku ikut." Ujarnya semangat wajahnya berbinar karena senang."Yaudah hari sabtu besok kita siap-siap ya." Ucap Rina mengomando."Oke. Naik bus atau kereta?" Tanya Ziva pada kedua gadis di depannya."Bus ajalah." Azel memberi saran."Siap. Kalau begitu aku balik dulu ya. Takut dicariin Mami." Ziva pamit pada kedua temannya."Dasar anak mami." Cibir Azel mencebik. Ziva hanya tersenyum kuda."Oya siapa aja yang ikut?" Tanya Ziva kemudian."Kayaknya Ada 5 orang. Roy sama Wawan bilang mau ikut." Rina menjawab sambil menulis nama-nama anak yang ikut di bukunya."Wah asik juga nih ada Roy." Ujar Azel girang."G