89 Mentari menghempaskan bokong di atas kursi kerjanya dengan lemah setelah menaruh tas di meja. Penat sebenarnya, memberikan keterangan di kantor polisi berjam-jam, lanjut berdebat lagi dengan Samudra. Padahal apa susahnya pria itu membiarkannya naik taxi sendiri untuk pulang, lalu ia bebas menemui Lunanya itu. Namun, yang ada sang pria malah ikut keluar dari mobil, lalu memaksanya untuk masuk kembali. Saat ia menolak, sang pria malah membopong dan membawanya kembali ke mobil. Ia ingin meronta, tapi sadar itu akan menarik perhatian banyak orang. Karenanya, ia terpaksa mengalah Sepanjang jalan pulang, ia tidak bicara apa pun lagi dan hanya membuang pandangan ke luar jendela. Dongkol terasa menyesak di dada bahkan terasa bercokol di tenggorokan. Yang membuat Mentari semakin kesal, tidak ada raut bersalah atau apa pun di wajah Samudra setelah ia menyebut nama wanita itu. Bahkan kalau tidak salah lihat, saat terlirik melalui ekor mata, pria itu malah menahan senyum geli. Dan raut itu
90Mentari mengusap sudut mata dengan kasar. Lalu berjalan menuju wastafel di kamar mandinya. Membasuh wajahnya berkali-kali dengan kasar. Ia benci dirinya yang terus saja menangisi Samudra. Ia benci dirinya yang terus menumpahkan air mata untuk pria itu. Untuk pria yang sama sekali tidak pantas ditangisi.Sudah berkali-kali meyakinkan dirinya agar tidak lagi lemah hanya karena pria itu. Tapi tetap saja tidak bisa. Hatinya yang terlanjur tercuri, membuatnya selalu sakit jika mendapati indikasi pria yang tidak terasa sudah tiga bukan menikahinya itu membagi hati.“Ahh …!” Mentari berkali-kali menyiramkan air keran dengan kasar ke wajahnya. Mengutuk dirinya yang lemah. Memaki hatinya yang selalu gundah. Menyuruh pikirannya agar tidak lagi memikirkan pria itu. Agar apa pun yang dilakukan Samudra tidak berpengaruh sama sekali terhadap hidupnya.Nyatanya, itu tidak semudah yang ia pikir. Mengetahui ada wanita lain di hati Samudra, ternyata lebih sakit daripada saat memergoki Bastian bersam
91Mentari membuang muka. Kalau saja kepenasaran tidak menjejali hati dan kepalanya, sudah dipastikan ia akan langsung keluar dari ruangan itu. Namun, semua yang ingin ia tahu harus mendapat jawaban saat ini juga.Karenanya ia harus bertahan di dalam ruangan yang sama dengan Samudra dalam kondisi pria itu setengah telanjang.“Tari, ada apa?” Samudra mengulang pertanyaan sembari berjalan mendekat. Sama sekali tidak ada raut malu di wajahnya meski berpenampilan terbuka. Dan bukan hanya itu, saat Mentari memutuskan untuk meliriknya setelah beberapa lama, tidak juga ia dapati raut kesal atau marah seperti yang ia duga sebelumnya.Ekspresinya biasa saja. Datar. Seperti yang biasa ia lihat setiap saat, walaupun belakangan ini lebih banyak mimik ia dapati. Tidak selempeng di awal-awal pertemuan mereka.“Tari?” tanya Samudra lagi karena wanita itu lagi-lagi membuang muka.Tidak tahu saja Samudra jika Mentari sekuat tenaga menahan napas karena aroma sabuh dan sampo dari tubuhnya yang menguar m
92 Ini bukan pertama kalinya Mentari melihat tubuh Samudra tak berpenutup sama sekali. Dulu, saat pria itu merenggut mahkotanya juga ia sudah melihat. Namun tentu saja dalam kondisi yang berbeda. Bila dulu di bawah pencahayaan lampu kamar yang temaram, dengan matanya yang terus terpejam setelah lelah meronta. Kini, ia menyaksikan di bawah pencahayaan yang terang benderang dengan kondisinya yang benar-benar sadar dan dengan posisi mereka sama-sama berdiri. Semua apa yang terdapat di sana, tak ada yang luput dari penglihatannya. Semua terlihat jelas. Bahkan tanda lahir hitam di paha kiri sang pria. Mulut Mentari masih menganga dengan mata yang seakan sulit untuk berkedip saat tiba-tiba tulang-tulang terasa dilolosi dari persendian. Tubuhnya lemas dan hampir ambruk jika saja tak ada yang sigap menopangnya. Lagi-lagi, dunia seakan berhenti berputar saat sepasang mata Mentari bertubrukan dengan tatapan lain yang jaraknya sangat dekat dengan wajahnya. Bahkan embusan napas pemilik tatapa
93Mentari mengerjap, lalu merenggangkan otot-ototnya dengan merentangkan kedua tangan. Pandangan diedarkan ke sekeliling ruangan saat matanya sudah terbuka lebar. Dahinya mengernyit saat mendapati dirinya terbangun bukan di ruangan sempit di balik rak buku itu, melainkan di … kamarnya sendiri.Wanita itu mencoba bangkit walaupun seluruh tubuhnya terasa remuk redam. Terutama di bagian pangkal kaki yang terasa ngilu bahkan saat ia bergerak sedikit saja.Ingatannya berputar. Mencoba megingat-ingat kapan dirinya pindah ke sana. Namun, sama sekali tidak ada bagian memorinya yang menyimpan ingatan itu.Semalam ia memang terjaga. Entah jam berapa. Niatnya ingin menagih janji Samudra tentang penjelasan itu. Nyatanya bukan penjelasan yang ia dapatkan, melainkan serangan susulan yang membuatnya tidak bisa berkutik dan lagi-lagi terkapar kalah.Dan itu terus berulang hingga berkali-kali. Bahkan rasanya ia hanya diberi kesempatan memejam sebentar saja. Sebelum kembali mendapat serangan panas.Mu
94Samudra mengeratkan pelukan di tubuh mungil itu hingga mereka bukan sekadar saling menempel, tapi rasanya sudah sangat menyatu. Didaratkan ciuman di pucuk kepala Mentari setelah puas menghidu aroma yang menguar dari sana dan membuat candu. Berharap apa yang ia lakukan dapat memberikan efek positif hingga Mentari yakin apa yang akan ia ceritakan tidak akan mengecewakan wanita itu.“Jadi, kamu tidak ingin mendengar apa pun lagi?” tanyanya setelah puas mencium kepala itu. Lalu sedikit melonggarkan pelukan.Pertanyaannya tidak langsung mendapatkan jawaban. Butuh jeda beberapa lama hingga wanita itu melerai pelukan dan mendongak.“Cerita saja, Mas. Aku tetap ingin mendengar semuanya,” ujarnya pelan.Posisinya yang mendongak tepat di bawah wajah Samudra membuat pria itu tidak bisa menahan diri untuk tidak mendaratkan kecupan di bibir ranum yang sedikit terbuka itu. Sang pria tidak butuh menunggu waktu lama, dan tidak butuh juga meminta izin, langsung menempelkan wajah mereka hingga dua p
95Pipi Mentari terasa memanas, dan ia yakin sudah memerah. Wanita itu memalingkan wajah untuk menyembunyikannya.Apa ia tersanjung dengan ucapan Samudra? Mungkin. Tapi tetap saja masih jual mahal. Tidak ingin terlihat terlalu senang. Bisa saja apa yang dikatakan Samudra barusan tidak seindah yang sebenarnya.Apa coba alasan pria itu mencintainya. Bahkan sejak dirinya masih kecil. Sepertinya di luar nalar. Memang pria itu sudah remaja atau mungkin sudah dewasa saat ia masih seusia dalam foto-foto itu. Pastinya sudah baligh dan memiliki rasa suka terhadap lawan jenis. Namun, tidak masuk akal jika suka terhadap dirinya yang saat itu masih berusia lima tahun. Buang ingus saja masih dibantu orang dewasa. Benar-benar di luar nalar.Samudra sendiri langsung meraih tangan Mentari, lalu menggenggam dan menciumnya bolak-balik bergantian antara punggung jari-jemari tangan kiri dan kanannya.“Belum percaya rasanya jika Luna-ku kini sudah bisa Mas miliki sepenuhnya,” ujar Samudra dengan tatapan p
98Mentari masih tertegun di tempatnya. Menatap tubuh tinggi besar yang menunduk dan bahunya berguncang di depannya. Berbagai perasaan mulai berkecamuk dalam hati wanita itu. Bukan hanya karena cerita Samudra yang sama sekali tidak disangkanya, tetapi juga karena sang pria menangis di hadapannya tanpa rasa malu sama sekali.Bukankah itu menunjukkan jika apa yang dialami suaminya di masa lalu sangat menyakitkan?Pria tinggi besar yang penampilannya di awal pertemuan mereka sangat menakutkan, kini bahkan berlinang air mata di hadapannya. Bukankah biasanya seorang pria terlalu malu untuk menitikkan air mata? Apalagi di depan wanita.Mentari beringsut mendekat setelah beberapa lama hanya memaku di tempatnya. Perempuan itu mengulurkan tangannya, kemudian merengkuh tubuh besar yang bahkan kedua tangannya nyaris tidak bertemu saat ingin memeluknya.Terpaksa ia semakin merapatkan diri agar dapat memeluk tubuh itu. Mendekapnya hangat dalam pelukan seoraang istri. Berharap dekapannya dapat memb