“Mas Alvan ke mana, ya? Kok jam segini belum pulang?” Sembari melipat sajadah, Ameera yang baru selesai melakukan ritual shalat malam, bergumam.
Sejak pertama kali datang di kediaman baru-nya ini, perempuan itu tidak bisa tenang lantaran terus menunggu kepulangan Alvan. Namun, sampai lewat tengah malam hingga masuk permulaan pagi, suaminya itu masih belum kunjung kembali. Karena tidak tidak juga bisa tidur, Ameera memutuskan untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat dua raka’at dengan tujuan mencari ketenangan diri. Dan terbukti, sekarang dia sudah merasa jauh lebih tenang dari sebelum-nya.
“Seperti-nya, Mas Alvan beneran enggak pulang malam ini,” monolog Ameera begitu teringat dengan kata-kata Alvan sebelum pergi tadi.
“Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa.”
Diletakkan-nya sajadah yang telah dilipat ke atas nakas, pandangan Ameera kemudian teralih pada botol air kosong yang juga berada di atas sana. Tiba-tiba saja, sebuah ide melintas di kepala Ameera. “Siapa tahu sebentar lagi Mas Alvan pulang. Sebaiknya aku buatkan teh hangat untuk-nya.” Diraih-nya botol tabung berbahan kaca tersebut, lalu membawa-nya ke dapur yang berada di lantai bawah.
Ameera berjalan lambat menuruni anak tangga. Bangunan yang dihuni-nya saat ini begitu besar dan luas. Menurut kabar yang Ameera dengar, keluarga David Septihan memang sangat kaya raya. Tidak mengherankan, jika rumah tempat mereka tinggal bisa sebesar dan semegah ini.
Hembusan angin, membisiki keheningan. Berjalan mendekati sisi dinding, Ameera menekan saklar lampu. Dan, saat itu juga suasana di sekitar dapur menjadi terang-benderang. Tanpa berlama-lama lagi, ia kemudian segera memasuki pantry dan bergegas memanaskan air.
“Sepertinya aku harus mulai membiasakan diri dengan semua detail di sini. Rasa-nya, untuk menuju dapur saja memerlukan waktu yang cukup panjang,” monolog Ameera, seraya mencoba menghitunng-hitung berapa lama dirinya harus berjalan dari kamar ke sini.
Nampak-nya, Ameera benar-benar harus mengenal lingkungan tempat dia tingal dengan baik. Sebab, ada banyak hal yang tidak dia ketahui. Seperti, terdapat dapur lain di lantai atas yang juga dapat digunakan daripada harus jauh-jauh berjalan menuju dapur utama di lantai bawah.
***
Gesekan kertas serta seretan ujung boplen yang runcing terdengar nyaring mengisi heningan. Dentak jarum jam yang berputar perlahan, mengiringi lengan kokoh Alvan yang sedang membolak-balik kertas secara bertahap dan teratur. Dari tempat-nya, dapat terlihat bagaimana Sang dewi malam nampak bersinar terang di atas sana, menyapa bumantara dan seisi-nya. Kesyahduan usai hujan deras yang turun, menyelimuti atmosfer malam yang kian larut.
Setelah duduk lama dan berkutat dengan setumpuk pekerjaan, akhirnya, Alvan menghentikan kegiatan-nya. Diletakkan-nya, lembar dokumen terakhir yang baru saja ditanda tangani ke atas meja, sebelum kemudian menyandarkan tubuh tegap-nya pada sandaran kursi. “Sepertinya, semua pekerjaan ini tidak akan selesai malam ini,” gumam Alvan sembari memijat pangkal hidung-nya yang mancung.
Dipejamkan-nya sepasang mata tajam, sosok jangkung itu kembali teringat dengan serangkaian kejadian yang telah dilaluinya dalam satu hari ini. Yakni, saat di mana diri-nya memutuskan menghabiskan waktu-nya untuk mengurus pekerjaan di kantor dari pada bermalam di mansion atau tidur bersama dengan Ameera, wanita yang baru dinikahi-nya siang tadi. “Oh, kenapa keadaan-nya menjadi rumit seperti ini?”
Menghela napas berat, Alvan mencoba menghempaskan beban berat yang dirasakan. Tidak pernah terlintas di pikiran Alvan bahawa dia akan terjebak di dalam situasi rumit seperti ini. Berniat kembali untuk satu tujuan penting. Akan tetapi, semua rencana-nya menjadi hancur berantakan.
“Alex sialan! Sampai mati pun kau tetap saja menyusahkanku!” Alvan mengumpati almarhum adik-nya. Bahkan, tanah di pemakaman yang baru ditimbun beberapa saat lalu itu masih belum kering. Namun, rasa-rasanya Alvan terpancing untuk mengundang keributan di sana.
“Berhenti, Nona. Tuan Alvan sedang tidak ingin diganggu.”
“Apa yang kau lakukan, Jay? Aku ini kekasih Alvan. Sudah sepantasnya aku menemui-nya.”
“Maafkan saya, Nona. Tuan Alvan sendiri yang berpesan kalau tidak mengizinkan siapa pun mengganggu-nya. Anda dilarang masuk ....”
Kegaduhan di luar berhasil mengusik ketenangan Alvan. Mengernyitkan kening, ia nampak mengenali siapa pemilik suara nyaring familiar tersebut. Hanya saja, sebelum Alvan sempat beranjak untuk mengecek situasi di luar, seseorang telah lebih dahulu mendobrak pintu dan memaksa masuk ke dalam ruangan pribadi Alvan tanpa mempedulikan larangan yang diserukan padanya.
“Katrine?” Pria di meja kerja itu mengangkat sebelah tangannya ke atas, memberi isyarat agar Jay, sekretaris pribadinya membiarkan wanita berpakaian super sexy itu masuk ke dalam ruangan-nya. “Kau boleh pergi, Jay.”
Tidak membantah, sosok tegap itu mengangguk patuh. “Baik, Tuan.” Tanpa berlama-lama, Jay segera kembali ke luar dan menutup pintu ruangan rapat-rapat. Bos-nya itu terlalu mengerikan jika marah, dan Jay tidak ingin dirinya menjadi penyebab atas kemarahan tersebut.
“Ada apa, Katrine? Kenapa kau datang ke sini?” Tepat setelah pintu ditutup, Alvan yang masih di tempat duduk, bertanya kepada wanita sexy yang berdiri di antara meja dan sofa panjang.
Dengan perasaan kesal, sosok berparas cantik itu berjalan melenggok menghampiri sosok Alvan. “Habisnya, seharian ini kamu enggak ngangkat telpon aku. Di chat, juga enggak dibalas. Aku, ‘kan kangen sama, kamu, Alvan.” Tanpa sungkan, Katrine langsung memeluk tubuh tegap Alvan dengan manja.
Menghela napas panjang, Alvan kemudian melepas pelukan Katrine. Tak pelak, hal tersebut, membuat sang empu terkejut. Pasalnya, tidak biasanya kekasihnya itu bersikapa demikian. Bahkan, ungkapan i love you atau i miss you sebagaimana yang selalu laki-laki itu berikan setiap kali mereka bertemu, tidak Alvan ucapkan. Sehingga, Katrine merasa sikap kekasihnya kali ini terasa sedikit berbeda dari biasanya.
“Mi Amor, kamu kenapa? Kok kamu jadi nyuekin aku kayak begini?” Katrine berpura-pura tersinggung.
Mengusap kasar wajahnya menggunakan sebelah telapak tangan, Alvan mencoba mengenyahkan rasa frustrasi. “Maafkan aku, Katrine. Aku tidak bermaksud menyinggung kamu,” sesalnya meminta maaf.
“Kamu tahu, Alvan. Butuh perjuangan buat aku untuk bisa sampai di sini. Aku sampai berantem sama Daddy karena memaksa ingin bertemu denganmu,” ungkap Katrine merajuk.
“Benarkah? Oh, padahal kamu tidak perlu sampai harus berantem dengan paman El. Aku hanya sebentar di sini dan akan segera kembali ke Amerika.” Alvan menanggapi sekedar-nya.
Sembari memasang wajah cemberut, Katrine mendudukkan dirinya di atas pangkuan Alvan. “Aku enggak bisa sabar, Alvan. Aku sangat merindukan kamu,” bisiknya seraya mengusap wajah Alvan dengan gerakan sensual.
Memejamkan matanya sejenak, Alvan menggeram tertahan. Ayolah, dia sedang tidak berminat untuk menanggapi Katrine yang berusaha keras merayu-nya. “Sayang, selama pacaran kita tidak pernah melakukan ‘itu’. Gimana kalau malam ini kita habiskan waktu bersama? Kamu tahu, memikirkannya saja sudah membuat aku panas-dingin.” Wanita berpenampilan super sexy itu semakin gencar menggoda Alvan dan berharap laki-laki itu akan terangsang oleh-nya.
Namun, alih-alih tergoda, Alvan yang tidak membiarkan wanita itu berbuat lebih jauh segera mencekal tangan Katrine dan menghentikan pergerakan-nya. “Maaf, Katrine aku harus pergi.” Sembari menghela napas berat, sosok jangkung itu bangkit dari tempat duduk, sehingga membuat Katrine terpaksa harus turun dari atas pangkuan-nya. “Ada banyak hal yang harus aku urus.”
“Sayang ....” Katrine menatap Alvan tidak percaya. Apa-apaan ini, baru saja pria itu mengacuhkan dirinya!
Berdeham beberapa kali, Alvan mencoba menetralkan perasaan-nya. “Aku akan meminta Jay mencarikan hotel untukmu. Besok pagi, kamu bisa kembali ke Amerika. Jay akan memesankan tiket pesawat,” tandas-nya dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Rahang Katrine turun ke bawah, ia tercengang. “Tapi, Sayang. Aku baru sampai, masa iya kamu nyuruh aku kembali?”
Kedua tangan Alvan tergerak untuk mengancing jas yang dikenakan lalu berjalan keluar ruangan tanpa menghiraukan protesan sang kekasih. Menurut Alvan, bukan merupakan hal yang baik bagi Katrine mengetahui tentang pernikahan-nya dengan Ameera. Karena itu, ia berencana untuk memberitahu Katrine di saat dan waktu yang tepat.
“Sayang? Sayang ... kamu mau ke mana? Haish, Alvan kenapa sih? Main pergi gitu saja!” Katrine menatap punggung tegap Alvan yang kini telah lenyap dari balik pintu dengan sorot mata penuh kecewa.
‘Apa yang salah dengan Alvan? Tidak biasanya dia tidak peduli kepadaku.’
***
Cahaya rembulan menembus celah ventilasi. Di atas meja kayu mengkilap, terdapat dua buah cangkir dan ceret dengan uap mengepul dari cerobong kecil. Derap langkah yang terdengar, berhasil mengalihkan fokus perempuan pemilik manik mata coklat terang yang sedang berdiri di depan meja.
Menggeser sedikit nampan ke tengah meja, ia kemudian menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, saat itu juga rungunya mendengar deritan daun pintu yang terbuka, sementara kedua mata-nya menangkap bayangan seseorang muncul dari balik sana. “Mas Alvan?” gumam Ameera dengan suara lirih.
Berjalan masuk ke dalam kamar, Alvan berhenti beberapa langkah di depan Ameera. “Masih belum tidur?” Suara berat nan dingin itu terdengar penuh intimidasi.
Sebelah tangan Ameera tergerak untuk membenarkan kain cadar yang dikenakan. Sebenarnya, dia berencana melepas-nya. Namun, Ameera takut kalau-kalau suami-nya itu tidak menyukai-nya. Karena itu, Ameera memilih untuk tetap mengenakan cadar di hadapan Alvan sampai laki-laki itu sendiri yang mengizinkan Ameera untuk membukanya.
“B-belum. Aku nunggu Mas Alvan ....” Ragu-ragu, Ameera membalas.
“Ck, aku ‘kan sudah bilang kamu tidak perlu menungguku. Kenapa keras kepala sekali!” potong Alvan dengan ketus.
Ameera menundukkan kepala-nya dalam-dalam. “M-maaf, Mas.” Ia tidak tahu harus berbuat apa dan hanya bisa meminta maaf.
Siapa sangka, sikap Ameera tersebut justru membuat Alvan merasa muak. “Minggir! Kamu hanya membuatku merasa kesal,” tandas Alvan telak.
Sedikit menggeser tubuhnya ke samping, Ameera berusaha bersikap biasa saja. “O iya, aku baru saja membuat teh. Siapa tahu Mas Alvan mau,” tawar perempuan itu dengan lembut.
Mendengkus kasar, sosok jangkung itu memilih berlalu dan tidak menghiraukan Ameera. Namun, saat Alvan sedang melepas jas yang dikenakan, suara pecahan sesuatu terdengar nyaring di keheningan. Ameera yang hendak menuangkan teh, secara tidak sengaja menjatuhkan cangkir dan membuat benda itu terbelah menjadi beberapa bagian.
Pyarr!
Menoleh ke arah sumber suara, Alvan terbelalak tatkala mendapati cangkir keramik berukiran bunga Teratai yang sebelumnya berada di atas meja telah terlonggok tak berdaya di bawah. “Kamu ... apa yang kamu lakukan? Astaga, itu cangkir kesayanganku!” sentaknya bersungut-sungut, bak guntur yang menggelegar di kegelapan malam.
Meneguk salivanya sudah payah, Ameera segera memungut pecahan cangkir di lantai. Jujur saja, dia sangat takut saat melihat Alvan yang seperti tersulut api amarah. Sampai-sampai, saking gugupnya, Ameera tidak sengaja tergores pecahan runcing, hingga membuat pergelangan tangannya terluka.
“Sshh ....” Reflek, Ameera meringis kecil. Dalam sekejap, darah segar mengalir dari ruang luka dan menetes melalui celah lengan, sedikit menodai gamis yang dikenakan.
“Kalau kamu pikir cara seperti itu bisa menarik perhatianku, maka kamu salah. Aku tidak tertarik untuk menolongmu!” ketus Alvan kemudian berjalan meninggalkan Ameera.
Sembari memegangi lengannya yang berdarah, Ameera menatap punggung Alvan dengan nanar. Ia hanya berniat melayani suami-nya. Namun, karena kurang berhati-hati, cangkir itu terpleset dan jatuh dari cekalan tangannya. ‘Ini bukan sesuatu yang disengaja.’ Rasanya ingin sekali Ameera mengucapkan kalimat itu. Namun, ia memilih mengurungkannya.
Alih-alih benar-benar pergi, Alvan yang sudah sampai di depan pintu, menghentikan langkahnya. Sekeras apapun ia mencoba untuk tidak menghiraukan, sesuatu lain di dalam diri-nya justru menuntun-nya untuk peduli. “Astaga! Yang benar saja!” Mendengkus kasar, ia pun berbalik dan berjalan kembali menghampiri Ameera.
Alvan berhenti di depan Ameera. Lalu, secara tiba-tiba mengangkat Ameera, hingga membuat perempuan itu memekik terkejut. “Mas Alvan?!” Seolah tidak mempedulikan keterkejuran Ameera, Alvan segera memindahkan perempuan itu dan mendudukkan-nya di atas kasur. “Diam di sini, biar aku yang bersihkan.”
“Hah?” beo Ameera seraya mengerjap bingung.
Bukannya menjelaskan maksud dari ucapannya, Alvan segera beranjak pergi dan membereskan pecahan cangkir hingga bersih tak bersisa.
Ameera mengulum tipis bibir bawah-nya. “Terima kasih, Mas,” ucap perempuan itu seraya menunduk dalam.
Tidak menghiraukan, sosok jangkung itu kemudian mengambil kotak obat dan membawanya menghampiri Ameera, lalu mendudukkan diri-nya di dekat perempuan itu. “Kemarikan tangan kamu.” Dengan raut wajah tanpa ekspresi, Alvan berujar.
Ragu-ragu, Ameera mengulurkan lengan-nya. “Lelet sekali!” ketus Alvan seraya menarik cepat tangan Ameera dan membuka lengan baju yang dikenakan.
Deg!
Saat itu juga, Alvan dibuat terkesima melihat lengan Ameera yang putih mulus, seolah tidak pernah terjamah. Berdeham beberapa kali, ia mencoba mengenyahkan desiran hangat yang sempat mendera hatinya dan kembali fokus mengobati luka Ameera. Diambil-nya, kapas serta obat merah dari dalam kotak, Alvan kemudian mulai mengobati luka Ameera dengan telaten.
Selama proses itu, diam diam, Ameera memperhatikan Alvan. Tanpa bisa dicegah, perasaan kagum sekaligus terharu perlahan menyelimuti sanubari-nya. Ameera tahu, dibalik sikap dingin Alvan, sebenarnya, suaminya itu cukup peduli. Bahkan, tak segan-segan, ia memberikan tiupan lembut, seolah-olah khawatir kalau-kalau telah menyakiti-nya.
‘Maa syaa Allah, aku baru sadar. Tampan sekali suamiku,’ gumam Ameera dalam hati. Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum simpul.
Merasa ada yang memperhatikan, Alvan menghentikan gerakan tangan-nya dan mendongakkan kepala-nya ke atas. Saat itu juga, kedua netra berbeda warna itu bertemu. Sampai pada beberapa saat kemudian, Alvan yang tersadar dengan apa yang tengah terjadi, buru-buru mengalihkan atensi-nya ke arah lain dan mencoba bersikap tenang seperti biasa.
“Jangan salah paham, aku melakukan ini hanya karena sebatas kemanusiaan,” tandas Alvan, mengklarifikasi.
“T-terima kasih, Mas. Sudah mengobati Lukaku.”
“Dasar ceroboh!” ketus Alvan berang.
Mengulum tipis bibir bawahnya, Ameera menatap Alvan ragu-ragu. “Maafin aku, Mas. Aku tahu, aku bersalah karena tidak hati-hati,” sesal-nya merasa bersalah.
“Diam-lah. Kamu berisik sekali!”
Ameera segera menutup mulutnya rapat-rapat, hanya diam dan memperhatikan suaminya tanpa berani mengeluarkan suara barang sepatah kata pun. Tentu saja, dia tidak ingin membuat suaminya semakin tersulut. Sementara Alvan, baru saja selesai mengobati dan menutup luka Ameera dengan jalinan perban.
“Sudah selesai. Jangan kena air sampai besok pagi, atau luka itu masih terasa perih.”
“Eum.” Ameera mengangguk pelan. “O iya, Mas Alvan ke mana saja? Kenapa jam segini baru pulang?” tanya perempuan itu begit teringat dengan Alvan yang baru saja kembali setelah semalaman keluar.
“Ke mana aku pergi itu tidak ada hubungannya denganmu!” ketus laki-laki itu tanpa menoleh.
Bersamaan dengan itu, Alvan merasakan ponsel miliknya bergetar. Dirogoh-nya, saku celana yang dikenakan lalu mengambil ponsel dari dalam sana. Sosok jangkung itu mendesah berat, begitu melirik siapa nama penelpon. “Cepat istirahat. Aku angkat telpon dulu,” tukas Alvan lalu beranjak pergi meninggalkan Ameera dengan perban yang belum selesai dipasang.
Di tempatnya, Ameera menatap kepergian Alvan dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah kenapa, tiba-tiba saja dadanya terasa sesak begitu teringat dengan nama si penelpon yang tanpa sengaja sempat ia lihat tadi. “Katrine? Siapa dia?”
Dinginnya udara terasa begitu menusuk. Waktu telah menunjukkan pukul 05 pagi, setelah shalat subuh, Ameera berniat keluar kamar. Namun, pandangannya berlabuh pada sosok Alvan yang tengah tertidur di kursi kerja di sudut kamar. Sepulang dari kantor dini hari tadi, ia tidak langsung beristirahat. Alvan kembali berkutaat dengan pekerjaan-nya dan berakhir ketiduran.Menyadari hal tersebut, Ameera menghela napas panjang. Ia meraih selimut tebal yang terlipat rapi di sisi tempat tidur, lalu membawanya menuju tempat di mana suaminya berada. “Kasihan sekali Mas Alvan. Pasti kedinginan ketiduran di situ.” Dibentangkan-nya selimut yang tadi diambil, kemudian digunakan untuk menyelimuti tubuh suaminya, bertujuan menjaganya tetap hangat. “Sebaiknya sekarang aku turun dan membantu membuat sarapan pagi.” Ameera melirik sosok jangkung yang tengah terlelap itu sekilas, sebelum kemudian berjalan keluar kamar menuju dapur.Bagaimanapun juga, ini adalah hari pertamanya menjadi seorang istri. Sebuah peran
Di bawah langit biru yang cerah, Ameera menggantungkan pakaian terakhir yang sebelumnya telah dicuci pada tali jemuran. Sembari mengusap keringat di dahinya, perempuan bercadar itu kemudian membawa atensinya ke sekeliling.Seperti biasa, mansion keluarga Septihan yang luas itu selalu dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitas masing-masing. Lihat saja, betapa lantai marmer di setiap sudut itu nampak berkilau, begitu juga dengan halaman-nya yang bersih tanpa satupun daun yang berserakan.Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih semua tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan para pekerja, melainkan karena merupakan perintah khusus dari Bianca. Mertuanya itu cukup sulit untuk dihadapi. Sosoknya tegas serta memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan tempat tinggal dengan-nya.Ameera tahu betul, untuk mendapatkan sedikit pengakuan
Setelah berganti pakaian, Alvan berjalan menuju sofa panjang. Setelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai, nampak pas membalut tubuh jangkungnya. Sampai di dekat sofa, Alvan hendak berbaring di sana guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mendapati Ameera yang masih terpejam, padahal sudah cukup lama baginya tidak sadarkan diri. Alih-alih memanggilkan doker, ia memilih untuk tidak peduli dan segera berbaring. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun Alvan mencoba untuk tidak menghiraukan, tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.“Masih belum bangun juga.” Kening Alvan berkerut, saat menyadari siklus napas Ameera yang berat. “Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan bernapas. Haruskah aku melepasnya?” Alvan nampak ragu un
Sinar matahari menyelinap masuk, menerangi setiap ruang di kediaman keluarga Septihan. Sekalipun kehangatan menyapa pagi hari. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana dingin di meja makan. Bianca, yang duduk di posisi ujung meja memasang ekspresi masam, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran empuk untuk melampiaskan kekesalan-nya. Sampai pada beberapa saat kemudian, pandangan wanita itu tertuju pada sosok Ameera yang sedang berjalan sedikit tertatih memasuki ruangan.“Melihatmu berjalan seperti itu, hanya akan membuat aku berpikir kalau kamu sedang berpura-pura sakit, Ameera. Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga. Benar-benar akting yang menakjubkan!” cibir Bianca menohok. Sorot matanya yang tajam, seolah siap menguliti Ameera hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-
Ameera berjalan memasuki kamar lalu mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur. Sebelah tangannya tergerak untuk menyeka keringat di keningnya. Baru saja, ia menyelesaikan pekerjaan di mansion, sebagai tugas yang diberikan oleh Bianca. Sekalipun sedikit kelelahan, Ameera merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan semalaman ia telah beristirahat dan meminum obat.Alih-alih membaringkan diri di kasur, pandangan Ameera tanpa sengaja berlabuh pada sebuah handuk kecil yang berada di atas nakas. Senyum tipis terukir di bibir merah muda Ameera begitu teringat dengan Alvan yang telah merawatnya semalam. “Aku masih enggak nyangka, semalam Mas Alvan akan merawatku,” gumamnya pelan.Membahas tentang Alvan, Ameera teringat jika Saat ini, suaminya itu sedang sibuk bekerja dan entah kapan akan kembali. “Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah i
Ameera berlari sekuat tenaga meninggalkan ruangan pribadi Alvan. Sementara Jay yang masih berdiri di depan pintu, hanya bisa menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa dicegah, air mata perempuan itu mengalir dengan begitu deras membasahi pipi pucatnya yang tertutup kain cadar. Kekecewaan dan rasa sakit seketika memenuhi relung hatinya begitu bayangan kurang menyenangkan yang ia lihat beberapa detik lalu kembali melintas di kepalanya.Napasnya terasa sesak, dadanya panas dan sakit. Ameera tidak pernah menyangka bahwa takdir hidupnya akan membawanya sampai ke titik ini. Titik di mana hatinya terasa hancur berkeping-keping menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya sendiri.“Seharusnya aku menyadarinya. Mas Alvan memang suamiku, tetapi hatinya bukan untuk-ku. Dia sudah memiliki kekasih jauh sebelum kami menikah,” gumam Ameera sembari mengusap air matanya dengan sedikit kasar.Dalam keadaan bingung dan sedih, Ameera tidak menyadari ke mana dia
“Mas Alvan, lepasin. Mas mau bawa aku ke mana?” pinta Ameera seraya berusaha melepasakan cekalan tangan Alvan yang begitu kuat.Namun, alih-alih segera melepaskan, sosok jangkung itu justru menulikan pendengaran-nya. Ia terus menarik perempuan itu pergi bersamanya. Tidak peduli dengan Ameera yang kesulitan dalam mengimbangi langkah lebarnya hingga terseok.Beberapa orang yang mereka lewati, nampak terkejut melihat kejadian tersebut. Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya mengenai siapakah wanita bercadar yang bersama Alvan itu. Berbagai macam spekulasi mulai bermunculan, menantikan kabar panas yang mungkin akan beredar dikeesokan hari dan tersebar di forum gossip.Walau demikian, Alvan tidak peduli. Saat ini, pikiran-nya kacau, begitu juga dengan perasan-nya yang terasa tidak karuan. Dia terus menarik Ameera, membawanya ke ruangan pribadinya.Jay dan Gled yang masih berada di sana nampak mengernyitkan kening melihat Alvan yang kembali bersama Ameera. Namun, belum sempat keduanya bertan
Semilir angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di pekarangan luas. Di bawah langit senja yang indah, Ameera berjalan lunglai memasuki teras mansion. Pundaknya menurun lesu, pandangan-nya yang kabur, menyiratkan kesenduan, menunjuk-kan jika ia baru saja melewati hari yang kurang menyenangkan.Masih terbayang dengan jelas di benak Ameera bagaimana ia berusaha keras membuatkan bekal makan siang untuk Alvan. Namun, saat mencoba mengantarkan-nya ke kantor, ia justru disambut dengan respon kurang baik oleh suaminya. Persitegangan terjadi, dengan Alvan yang menuding Ameera dengan pernyataan ini dan itu, sehingga membuat perempuan itu berakhir tersinggung dan sakit hati.“Oh, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Sudahlah, semua sudah berlalu.” Menghela napas panjang, Ameera mencoba melupakan beban berat yang sempai bergelayut di hatinya dan fokus kembali dengan tujuan serta rencana masa depan-nya.Ameera berjalan memasuki pintu utama mansion dengan perasaan yang jauh le
Gelapnya malam menyelimuti, menyisakan samar-samar sinar rembulan yang menembus tirai jendela dan menerangi wajah Ameera yang terlelap tenang dalam tidur. Di antara keheningan yang ada, Alvan duduk di tepi ranjang, mengamati perempuan di pembaringan dengan tatapan lembut. Selepas menghadiri rapat dan menyelesaikan urusan pentingnya, Alvan memutuskan untuk kembali ke mansion. Bukan tanpa sebab, di tengah persitegangan yang terjadi siang tadi, diam-diam Alvan terkejut saat tanpa sengaja melihat tangan Ameera yang terluka. Namun, karena situasi saat itu cukup panas, Alvan memilih menahan egonya dan bersikap seolah-olah tidak peduli. Dan, sekarang, dia datang untuk memastikan keadaan perempuan itu.“Terluka sampai seperti ini, dan dia sama sekali tidak mengadukan-nya padaku.” Alvan menatap garis luka di tangan Ameera dengan sedikit ngilu. Rasa bersalah dan khawatir, seketika merayapi relung hatinya, membuat Alvan semakin terpukul. Bagaimana bisa, perempuan itu menanggung semua penderitaan
Ameera berdiri di tengah ruangan dengan tubuh gemetar. Kening putihnya berkerut, kedua tangan kecilnya meremas erat ujung gamis yang dikenakan, sementara air matanya mulai menggenang di pelupuk mata, menantikan nasib buruk yang sebentar lagi mungkin akan menimpanya. Saat ini, tepat di hadapan-nya, Bianca tengah menatapnya dengan sorot mata penuh amarah.Tidak sendirian, di sekeliling mereka juga terdapat para pelayan yang berdiri dengan kepala menunduk, seolah enggan terlibat dalam persitegangan ini. Namun, sangat disayangkan, tidak satupun dari mereka yang berani menolak perintah Bianca untuk ikut serta dalam menyidang. Semua ini bermula ketika Ameera tanpa sengaja menemukan sebuah miniatur milik Alex saat sedang merapikan ruang penyimpanan di belakang mansion. Bianca yang kebetulan lewat, terkejut dan langsung murka begitu melihat barang milik mediang putranya berada di tangan Ameera. “Kamu tahu apa kesalahanmu, Ameera?” tanya wanita paruh baya itu penuh intimidasi.“Maaf, Ma. Amee
“Daddy bilang, kamu juga setuju untuk menikah denganku. Bukankah itu artinya, kamu berhak atas keputusan dan masa depanku?” ..Setelah sempat terdiam beberapa saat, Alvan melepaskan pelukan Katrine dari tubuhnya. “Maaf, Katrine. Setelah ini, aku ada pertemuan penting. Aku harus pergi.” Bangkit dari tempat duduk, sosok jangkung itu membenarkan sedikit kemeja biru terang yang dikenakan sebelum kemudian berbalik dan beranjak pergi.“Kamu pergi begitu saja?” Pertanyaan Katrine tersebut berhasil menghentikan pergerakan Alvan. “Aku baru sampai dan kamu sudah mau ninggalin aku,” lanjut wanita itu mengiba.Memasuk-kan kedua telapak tangan-nya ke dalam saku celana, Alvan sedikit menelengkan kepalanya ke samping. “Kerjasama Galaxy Grup dengan Star Grup telah berjalan. Banyak hal yang harus dipersiapkan,” terangnya menjelaskan.“Benarkah? Kamu bukan sedang menghindariku?” Katrine menatap Alvan lekat-lekat, seolah tidak percaya dengan alasan yang pria itu buat.Tidak langsung menanggapi, Alvan t
Ameera melangkah keluar dari dapur dengan membawa segelas kopi hitam yang baru saja dibuatnya menggunakan mesin pengekstrak. Aroma pahit yang menguar di udara, memberikan sedikit kehangatan di tengah suasana pagi yang dingin. Di mana hujan yang sejak fajar tadi masih turun, membasahi pekarangan dan tanah di luar sana, menjadikan hari terasa syahdu tanpa panas mentari yang membara. Semalam, Ameera sempat bertanya kepada Jay mengenai minuman apa yang disukai oleh suaminya, dan Jay memberitahu jika Alvan menyukai kopi hitam pekat dengan aroma khas yang kuat. Karena itu, saat ini dia membawa minuman tersebut dan berharap jika segelas kopi buatan-nya itu dapat menyenangkan hati suaminya.Sesampainya di depan kamar, Ameera menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengeluarkan-nya secara perlahan. Mencoba mengendalikan kegugupan. “Semoga Mas Alvan suka sama kopinya,” gumam perempuan itu dengan suara lirih.Setelah berhasil meyakinkan diri, Ameera menyentuh handle pintu dan membukanya. Seket
Di dalam kamar yang sunyi, Ameera duduk di sofa sudut dengan perasaan resah. Matanya terus memandangi daun pintu yang tertutup rapat, seperti tengah menantikan kemunculan seseorang dari balik sana. Jam di dinding sudah menunjuk-kan pukul 01.45 dini hari. Namun, suaminya masih belum juga kembali. Entah apa yang terjadi, sejak meninggalkan restoran beberapa jam lalu, dia terus didera kegelisahan, seolah-olah tanpa ia sadari sesuatu yang buruk telah terjadi.Menoleh ke samping, Ameera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, dan mengeceknya. Raut kecewa seketika menghiasi wajah putihnya begitu mendapati pesan yang dikirim untuk suaminya pada setengah jam lalu masih belum mendapatkan balasan. Jangankan mendapat balasan, bahkan pesan teks tersebut masih menunjuk-kan centang satu yang berarti pesan berhasil dikirim, tetapi belum diterima oleh penerima.“Masih belum dibuka. Sepertinya, Mas Alvan terlalu sibuk sampai-sampai enggak sempat ngecek HP,” monolong perempuan itu, mencoba berpik
Lilin di atas meja bergoyang lembut mengikuti hembusan angin yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Di tempatnya, Ameera menatap kosong hidangan makan malam yang tersaji di atas meja, masih utuh dan sebagian besar belum tersentuh. Sesekali, suara dentingan halus dari alat makan yang tertata rapi terdengar, mempertegas kesunyian yang melingkupi ruangan ekslusif di restoran Bintang lima tersebut.Beberapa saat yang lalu, Alvan mengajak Ameera untuk makan malam bersama di sebuah restoran mewah yang berada di pusat Kota. Bukan hanya itu, Ameera juga sempat merasakan kehangatan serta perhatian dari suaminya yang jarang sekali ditunjukan kepadanya. Namun, sangat disayangkan, suasana indah tersebut dengan cepat berubah ketika Alvan tiba-tiba pergi meninggalkan Ameera setelah menerima telpon sendirian tanpa penjelasan.“Aku pergi. Ada sesuatu yang harus aku urus. Kamu, kembali-lah ke mansion dan jangan menungguku!” Mendadak, Ameera kehilangan selera makan. Ia memandangi kursi kosong di seb
“Dengan siapa kamu datang ke sini?” tanya Alvan setelah menutup sambungan panggilan telpon miliknya.“Ada santi yang menemaniku, Mas,” jawab Ameera seraya memasuk-kan kotak bekal yang telah kosong ke dalam totebag coklat.“Santi?” Satu alis Alvan terangkat tinggi. Seolah-olah bertanya di mana wanita yang ditugaskan sebagai pelayan pribadi Ameera itu berada.“Aah, sekarang Santi sedang menunggu di bawah, Mas,” terang Ameera memberitahu.Alvan manggut-manggut mengerti. “Begitu rupanya.” Bangkit dari tempat duduk, sosok jangkung itu kemudian berjalan mendekati meja kerjanya dan berdiri di sana dengan satu tangan di masuk-kan ke dalam saku celana. “Apa jadwal berikutnya, Jay?” Meskipun suara pria itu terkesan rendah. Namun, cukup untuk dapat di dengar oleh Jay yang sedang berdiri di depan pintu ruangan.“Izinkan saya memberitahu, Tuan Muda. Untuk jadwal berikutnya, Anda meminta saya mengosongkan-nya. Bukankah Anda hendak ke rumah sakit dan membesuk Tuan Besar?” balas Jay terdengar tenang.
Di lantai tertinggi gedung Galaxy Tower, rapat tengah berlangsung. Alvan duduk di sebelah Tuan Abimana, CEO dari Star Grup. Keduanya tengah memandangi layar proyektor yang menampilkan rencana besar mereka—proyek perumahan inovatif yang akan dibangun di jantung kota. Dengan pemandangan skyline kota yang modern sebagai latar belakang, membuat suasana di dalam ruangan itu terasa penuh semangat dan antusiasme.“Harus aku akui, jika kolaborasi ini adalah langkah besar bagi kita, Tuan Alvan. Dengan menggabungkan sumber daya kita, proyek perumahan ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan pasar saja, tetapi juga mengubah wajah pusat kota,” ucap Tuan Abimana dengan nada penuh keyakinan.Alvan mengangguk setuju, sementara matanya terus menelusuri garis-garis rencana di layar. “Galaxy Grup telah mengumpulkan data demografis dan tren urban terkini. Kita akan memanfaatkan setiap informasi itu untuk menciptakan hunian yang bukan hanya modern, tetapi juga fungsional dan berkelanjutan,” pungkasnya deng
Dentingan alat masak terdengar mengiringi Ameera yang tengah berkutat di dapur. Sejak pagi-pagi sekali, ia sudah turun dan sibuk mempersiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvan. Kebetulan hari ini, mereka hanya tinggal berdua saja, karena papa dan mama mertuanya sedang menjaga kakek David di rumah sakit. Sehingga, tidak mengherankan jika hunian yang besar itu terasa lebih sepi dari biasanya.Aroma harum yang khas dari nasi goreng, menguar di udara, membuat siapa saja yang menciumnya akan tergugah oleh selera. Dari banyaknya bahan persediaan yang ada, Ameera memilih nasi goreng sebagai menu pagi mereka. Seperti saat ini, ia terus mengaduk nasi di penggorengan dengan ritme yang teratur, memastikan semua bumbu meresap sempurna.Untuk sentuhan akhir, Ameera menambahkan kecap manis dan sejumput garam, lalu mengaduk nasi goreng sekali lagi hingga semua bumbu benar-benar tercampur merata. Ameera mencicipi sedikit dengan ujung spatula. Senyum tipis terbit di wajahnya ketika mendapati nasi goreng