Rintik gerimis membasahi bumi pertiwi. Di bawah nungan langit malam yang memayungi alam semesta, terlihat lautan manusia yang datang berbondong-bondong memasuki pemakaman guna mengiringi peristirahatan terakhir Alexander Septihan. Siang tadi, kabar duka datang menimpa keluarga besar David Septihan. Pria berusia sekitar 24 tahun yang seharusnya menikah pada hari ini dan akan memulai hidup bahagia bersama dengan wanita yang dicintainya, kini telah pergi untuk selama-lamanya menuju kepangkuan Yang Maha Kuasa.
Banyak yang merasa sedih atas kepergian Alex. Kematian, tidak ada yang tahu kapan ia akan datang menjemput. Kehadiran-nya tiba-tiba tanpa bisa dicegah, kemunculan-nya pun menjadi rahasia di antara ribuan nyawa manusia. Bisa jadi, sekarang kita merasa sehat dan baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu satu-dua detik kedepan, raga telah meregang nyawa menyusul mereka yang terlebih dahulu telah pergi.
Sampai pada beberapa saat kemudian, serangkaian proses pemakaman telah selesai dilaksanakan. Satu-persatu dari orang-orang yang ikut mengantar ke pemakanan, mulai berpamitan untuk pulang. Termasuk hal-nya dengan keluarga besar Septihan, Sulistyo dan juga Via.
Duka menyelimuti setiap hati yang ditinggalkan. Bahkan, Bianca, istri Brian dua kali jatuh pingsan sejak kabar duka sampai kepada keluarga mereka. Putra bungsu yang sangat dicintai-nya telah tiada dan pergi untuk selama-lama-nya.
“Aku tidak menyangka, kau akan pergi secepat ini, Alex. Kakek harap, kau tenang di sana,” ucap David dengan sorot mata sendu.
“Dia pergi dengan harapan yang besar. Semoga kau bahagia, Son.” Brian ikut berujar.
Bianca yang berada di antara David dan Brian mengusap air mata-nya yang terus menetes. “Oh, Alex. Kenapa kamu pergi lebih dulu, Nak? Bukankah kamu sudah berjanji untuk selalu menemani Mama?” tutur Bianca, melahirkan tangisan pilu.
“Tidak ada guna-nya berlarut-larut dalam kesedihan. Kita harus ikhlas,” pungkas David terdengar bijak.
Sedikit bergeser ke samping, Brian yang mengerti dengan maksud dari perkataan sang papa pun segera menenangkan Bianca. “Sudah, Ma. Biarkan Alex tenang di sana. Sekarang sebaik-nya kita pulang. Hujan juga semakin deras, eh?” ajak pria paruh baya itu kepada sang istri.
Melirik sekilas ke arah makam baru yang berada di hadapan-nya, Bianca yang lunglai memilih mengangguk patuh. “Iya, Pa.” Dengan hati yang berat pasangan paruh baya itu pun mulai beranjak pergi keluar arena pemakaman, menyusul para pentakziyah yang lain.
.
.
Semua orang telah pergi meninggalkan pemakaman. Brian, Bianca, David, serta para pentakziyah telah berjalan menuju pintu keluar. Sementara di tempat-nya, Ameera masih mematung dengan pandangan yang tidak luput sedetik pun dari gundukkan tanah bertabur bunga yang baru beberapa saat lalu ditimbunkan.
Gemuruh guntur terdengar saling bersahutan. Perlahan, rintik gerimis jatuh membasahi bumi pertiwi. Meski begitu, sosok bercadar yang berdiri tepat di depan makam Alex masih tidak juga beranjak, hingga membuat ayah dan ibu-nya merasa khawatir.
“Ameera, ayo kita pulang, Nak. Semua orang sudah pergi.” Tiga langkah di belakang Ameera, Via mencoba mengajak putri-nya itu untuk pulang bersama mereka.
Perempuan dalam balutan baju syar’i itu menggeleng pelan. “Ameera masih mau di sini dulu, Bu. Sebentar lagi. Ameera mau pamitan sama mas Alex.” Sejak mereka memutuskan untuk menikah, Ameera sudah mulai membiasakan diri memanggil Alex dengan sebutan mas seperti saat ini.
“Ya sudah. Kalau begitu, Ayah sama Ibu tunggu di depan sana, ya,” putus Sulistyo menghargai keinginan putri mereka yang meminta waktu sendiri.
“Jangan lama-lama, ya, Nduk. Hujan ini, nanti kamu sakit,” pesan Via lemah-lembut.
Ameera mengangguk kecil hingga nyaris tidak terlihat di gelap-nya malam. “Iya Ayah, Ibu. In syaa Allah, setelah ini Ameera langsung nyusul,” balasnya dengan suara parau.
Setelah suasana di sekitar pemakaman sepi, Ameera duduk seorang diri di sebelah makam Alex. Sementara itu tidak jauh dari tempat perempuan itu berada, Sulistyo dan Via yang belum benar-benar pergi turut memperhatikan gerak-gerik putri mereka. Kedua-nya hanya bisa menghela napas pasrah, dan berharap badai ini akan segera berlalu.
Pasangan paruh baya itu bisa memaklumi dan turut merasakan kehilangan yang Ameera rasakan. Meskipun telah ditinggal oleh calon suami sekaligus laki-laki yang diam-diam dicintainya, Ameera tidak meratap atau menangis tersedu-sedu. Perempuan itu, nampak tegar seolah-olah telah mengikhlaskan semuanya dan menerima apa yang ditakdirnya untuknya hingga membuat Sulistyo dan Via terkagum.
“Aku tahu, tidak pantas rasanya aku menangisi kamu, Mas Alex. Saat ini, kita masih belum menjadi pasangan yang sah. Aku cuman mau ngucapin terima kasih karena kamu sempat memberikan impian indah untuk-ku. Semoga segala urusan Mas dipermudah,” ucap Ameera dengan tulus.
Sekalipun dia berusaha terlihat tegar. Namun, percaya-lah, jika jauh di dalam hati-nya, Ameera tengah begitu tidak berdaya. Manusiawi untuk merasa sedih dan terpukul. Hanya saja, Ameera mencoba agar tidak terlalu berlarut. Bagaimanapun juga, semua adalah kehendak yang di atas. Sehungga, sekuat apa pun kita para manusia mencoba menyusun rencana, kalau Allah belum berkehendak, maka tidak ada arti-nya.
Di antara keheningan yang tercipta, tanpa disadari seseorang berjalan menghampiri Ameera dan berhenti tepat di belakang-nya. “Mau sampai kapan kamu duduk di situ?” Suara berat yang mengalun, berhasil menyentak sang empunya nama.
Menoleh ke arah sumber suara dan mendongakkan kepalanya sedikit ke atas, perempuan bercadar di bawah sana terbelalak tatkala mendapati siapa sosok jangkung yang berdiri di belakang dan tengah menatapnya dengan ekspresi wajah sedingin mungkin. “M-mas Alvan?” gumam Ameera dengan suara tercekat. Ada terkejut sekaligus gugup yang mendera hati-nya melihat kehadiran Alvan di sana.
Sembari memasukkan sebelah tangan ke dalam saku celana, Alvan berdecak gerah. “Ck, benar-benar menyebalkan!” umpat-nya dengan suara rendah. Dia tidak menyukai respon Ameera yang menurut-nya sangat lamban itu.
Di tempat-nya, Ameera mengerjap polos. “Mas Alvan bilang apa?” beo perempuan itu, bingung. Pasal-nya gumaman Alvan terlalu rendah hingga nyaris tidak terdengar.
Bukan-nya menjawab, sosok jangkung itu justru mendengkus kasar. “Astaga, selain menyebalkan, ternyata dia juga bodoh!” Berjalan satu langkah ke depan sosok jangkung itu menatap Ameera dengan raut wajah tanpa ekspresi. Angin malam yang berhembus menjadi saksi bisu dari rahasia dua hati yang bersatu.
Lalu, dalam sekejap mata Alvan sudah mengangkat tubuh Ameera. Tak pelak, hal tersebur membuat sang empu terkejut. “Mas Alvan? Apa yang Mas lakukan? Turunkan aku, Mas!” pekik Ameera seraya berusaha turun dari gendongan Alvan.
Meskipun mereka telah sah sebagai pasangan suami-istri. Namun, Ameera masih belum terbiasa berinteraksi langsung dengan Alvan seperti ini. Belum lagi, laki-laki itu selalu bersikap dingin sejak pertama kali mereka bertemu. Lalu, baru saja secara tiba-tiba dia mengangkat tubuh Ameera dan membuat perempuan itu terkejut sekaligus gugup.
“Hujan semakin deras. Aku enggak mau Papa dan Kakek marah cuman karena kelakuan kekanak-kanakan kamu itu,” cetus Alvan menohok.
Mengerti dengan kekhawatiran sang suami, Ameera menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyesal. “M-maaf.” Ia memberingsut kemudian menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Alvan.
Menghela napas berat, Alvan mulai melangkah pergi menuju pintu keluar dengan Ameera yang berada di dalam gendongannya. “Pegang erat-erat. Kalau jatuh, aku itu di luar tanggung jawabku!” peringat laki-laki itu kemudian mempercepat laju langkahnya.
Tidak berani menentang, Ameera segera mengalungkan kedua lengannya pada leher jenjang Alvan. Rintikan hujan yang masih setia turun, kini berubah menjadi deraian yang cukup deras. Di sela-sela langkahnya, Alvan merundukkan sedikit tengkuk-nya ke bawah guna melindungi wajah Ameera agar tidak terkena air hujan. Namun, sepersekian detik kemudian, Alvan tersadar dengan perbuatan bodoh-nya, segera menegakkan leher-nya dan membiarkan rintikan hujan membasahi wajah Ameera yang tertutup kain cadar.
‘Shit! Untuk apa aku peduli padanya?’
***
Di luar pemakaman, David dan yang lain tengah menunggu di mobil. Sudah lebih dari lima belas menit, Alvan dan Ameera masih belum kunjung keluar juga. Padahal, hujan yang turun sudah semakin deras.
“Di mana mereka? Bukankah Alvan bilang, dia akan menjemput Ameera?” kata David diiringi batuk-batuk kecil. Tubuh senja-nya, sedikit rentan dengan hawa dingin yang menusuk.
Sampai pada beberapa saat kemudian, Brian tersenyum begitu melihat Alvan yang baru saja keluar pemakaman sembari menggendong Ameera. “Hey, Alvan. Ada apa dengan Ameera? Kenapa kamu menggendongnya seperti itu?”
Sontak, pertanyaan Brian tersebut berhasil menarik perhatian banyak pasang mata. Termasuk dengan, Sulistyo dan Via yang juga berada di sana, turut menoleh dan memperhatikan pasangan muda yang tengah berjalan ke arah mereka. ‘Ada apa dengan Ameera? Kenapa Alvan menggendongnya?’ Via dan Sulistyo beryanya-tanya dalam hati.
Alih-alih langsung menjawab, Alvan memilih mengitari mobil miliknya yang terparkir tepat di depan mobil sang papa kemudian mendudukkan Ameera di kursi samping kemudi. “Mulai malam ini, dia akan tinggal bersaamaku,” putus laki-laki itu seketika membuat Ameera dan semua yang mendengarnya terkesiap.
David mengangkat satu alisnya ke atas. Sementara Via dan Sulistiyo yang juga masih berada di sana saling berpandangan bingung, begitu juga dengan Brian dan Bianca, yang juga tidak bisa langsung menyimpulkan keputusan putra mereka.
“Kau yakin dengan keputusanmu itu, Son?” tanya Brian memastikan.
“Hm.”
“Lalu, bagaimana dengan Ameera. Apa kau sudah membicarakan hal ini dengan istrimu?”
Untuk sesaat, Alvan bergeming. Diliriknya perempuan bercadar yang sudah duduk di dalam mobil dengan pandangan tak yakin. Namun, beberapa detik kemudian Alvan yang sempat ragu mengangguk singkat. “Hm.” Lagi-lagi, sosok jangkung itu hanya berdeham.
“Itu ....” Ameera hendak menyela. Namun, perempuan itu segera mengatupkan kedua bibir-nya tatkala mendapati, Alvan yang tengah menatapnya dengan penuh intimidasi.
“Pernikahan sudah terjadi. Aku mau, dia ikut denganku. Bukankah begitu seharus-nya? Pasangan yang sudah menikah tinggal bersama,” tandas Alvan penuh arti. Sementara pandangan-nya tidak lepas menatap Ameera. Seolah-olah, sorot mata tajam itu hendak menguliti perempuan lemah di dalam mobil hidup-hidup.
Sulistyo berpandangan dengan sang istri sebelum kemudian manggut-manggut kecil. “Baiklah. Kami menghargai keputusanmu, nak Alvan. Hanya saja ....” Pria paruh baya itu nampak ragu untuk melanjutkan kalimat-nya.
Seakan paham dengan apa yang dikhawatirkan oleh Sulistyo, Alvan tersenyum tipis. “Ayah tenang saja, Ameera sudah setuju dengan keputusan ini. Kami memang berniat untuk tinggal bersama,” tukas Alvan sembari memberi isyarat kepada Ameera agar tidak bertindak gegabah dan membuat diri-nya marah.
Meneguk salivanya susah payah, Ameera yang tidak memiliki pilihan pun mengangguk kecil. “I-iya, Ayah. Mas Alvan benar. Kami memang berniat tinggal bersama.” Akhir-nya, mau tidak mau Ameera hanya bisa pasrah dan menyetujui keputusan tinggal bersama dengan keluarga suami-nya.
Via menghela napas lega mendengar keputusan putri mereka. “Kalau memang seperti itu, Ayah dan Ibu cuma bisa mendukung keputusan kalian.” Sebagai seorang ibu, Via hanya bisa mendukung kebahagiaan putri-nya.
“Terima kasih atas kelapangan-nya, Ayah, Ibu. Kalau begitu, saya dan Ameera permisi dulu.” Setelah membungkuk sekilas, Alvan pun segera masuk ke dalam mobil dan mulai membawa kendaraan beroda empat itu melaju meninggalkan pemakaman dengan kecepatan rata-rata.
“Kenapa Ibu merasa khawatir ya, Pak?”
“Tenang, Bu. Semua ini sudah keputusan mereka. Kita do’akan saja yang terbaik untuk Ameera.” Sulistyo mencoba menenangkan sang istri.
Menghela napas panjang, Brian keluar dari dalam mobil dan menghampiri pasangan paruh baya yang kini telah menjadi keluarga-nya itu. “Kalian berdua tenang saja. Ameera pasti akan baik-baik saja. Alvan, dia memang kelihatan dingin dan keras. Tetapi, dia cukup sensitif. Ameera pasti bisa mengetuk dinding di hati-nya,” ujar Brian, meyakinkan.
Meski masih dirundung keraguan, Sulistyo dan Via mencoba mempercayai Brian. Terlebih lagi, saat ini David tengah memandangi mereka dari dalam mobil. Sehingga, Sulistyo dan Via tidak bisa leluasan dalam bertindak, atau mereka akan mendapat masalah bila membuat keluarga Septihan tersinggung.
***
Sebuah mobil berjalan cepat membelah jalanan malam. Rintik hujan mulai mereda, menyisakan genangan air di celah aspal basah berwarna hitam. Di sepanjang perjalanan, Ameera terus memperhatikan pemandangan di luar jendela.
Sembari menggenggam seat belt yang melingkar di tubuhnya yang ramping, sesekali perempuan itu melirik ke samping tempat di mana Alvan berada, dan memperhatikan-nya dengan lekat. ‘Jadi, seperti ini rupa suamiku kalau dilihat dari dekat,’ gumam Ameera dalam hati.
Sosok jangkung yang sedang mengemudi itu terlihat begitu tenang dalam diam. Pandangannya fokus menatap jalanan di depan sana. Seolah-olah bidikan di penghujung jalan akan melesat jika ia menggeser mutiara pekat milik-nya barang sekejap saja.
“Bicara saja. Aku tau, sejak tadi kamu hendak mengatakan sesuatu sampai terus menatap-ku seperti itu,” pungkas Alvan tiba-tiba, menyentak Ameera.
Berdeham pelan, perempuan bercadar itu cukup terkejut dengan kepekaan Alvan. Juga tentang laki-laki itu yang bisa membaca apa yang berada di dalam pikirannya. ‘Dari mana Mas Alvan tahu kalau ada sesuatu yang mau aku katakan?’ batin Ameera bertanya-tanya.
“Sebelum aku ikut Mas, apa aku boleh pulang dulu ke rumah Ayah dan Ibu? Aku harus ambil barang-barangku dulu di sana.” Takut-takut, Ameera membeberkan apa yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
Melirik sekilas ke arah Ameera dan kembali memperhatikan jalan, Alvan menggeleng singkat. “Tidak perlu. Aku sudah menyuruh seseorang untuk mengambil semua barang-barang milik-mu dan membawanya ke mansion,” jawab-nya tidak bersahabat.
“Tapi ....” Kata-kata Ameera menggantung beberapa saat. “Ada sesuatu yang harus aku ambil. Aku khawatir, Ayah dan Ibu enggak akan tahu di mana aku meletakkan-nya.”
“Ck, menyebalkan sekali!” decak Alvan tanpa mempedulikan keinginan Ameera.
“Mas?” panggil Ameera dengan suara lembut,
“Kamu tidak dengar? Kita ke mansion. Kalau ada yang mau kamu ambil, bicara saja dengan Palve. Dia yang akan membawakan-nya untukmu!” cetus Alvan paten.
Tidak berani membantah, Ameera pun memilih mengalah dan menutup mulut-nya rapat-rapat. Kembali, dia menyandarkan punggung-nya pada sandaran kursi serta menahan diri atas apa yang ia inginkan. Sementara itu, di tempat-nya, Alvan hanya menghela napas melihat Ameera yang tertunduk lesu. Sebenar-nya, apa yang perempuan itu sembunyikan dari-nya? Mengapa dia tidak mau memberitahu apa yang hendak diambil-nya? Entahlah, Alvan memilih tidak menghiraukan dan kembali fokus mengemudi.
***
“Mas Alvan mau ke mana lagi?” Ameera bertanya pada Alvan. Sosok jangkung yang berdiri beberapa langkah di hadapan-nya itu nampak terburu-buru seperti hendak pergi, padahal mereka baru saja sampai di mansion keluarga Septihan.
Melirik sekilas ke arah Ameera, Alvan mengambil jas baru dari dalam mobil kemudian segera memakai-nya. “Ke mana aku pergi, itu enggak ada urusan-nya sama kamu!” Sembari mengancing jas hitam yang dikenakan, laki-laki itu membalas dengan ketus.
“Tapi, Mas ... ini sudah malam.” Ragu-ragu, Ameera mengingatkan. Selain karena sudah malam, mereka baru saja menikah. Apa yang orang-orang katakana jika mereka mengetahui tentang pasangan baru yang langsung berpisah dengan melewatkan malam pertama mereka?
Gerakan mengancing Alvan berhenti. Membalikkan tubuh-nya, ia menatap Ameera dengan sinis. Tentu saja, dia tidak suka dengan ucapan perempuan itu yang dianggap terlalu berlebihan. “Aku paling membenci wanita cerewet dan suka ikut campur!”
Meneguk saliva-nya berat, Ameera merasa termpar oleh kata-kata Alvan. Meski begitu, ia berusaha mengenyahkan rasa takut-nya dan mencoba bersikap tenang seperti biasa. “M-mas pulang jam berapa?” Berdeham pelan, Ameera berjalan menghampiri sang suami. “Biar aku bisa nyambut Mas ....”
“Susah sekali dibilangin! Aku tidak suka kamu ikut campur urusanku. Kenapa kamu tidak mengerti juga?!” tandas Alvan dengan berang.
Tersentak, Ameera segera menunduk dalam. “M-maaf, Mas. Aku enggak bermaksud ikut campur urusan Mas Alvan,” cicit perempuan itu menyesal.
“Huuh, dasar perempuan menyebalkan!” kesal Alvan gerah, “ngapain kamu berdiri terus di situ? Minggir!”
“Iya, Mas.”
Tidak sabar menunggu Ameera beranjak, Alvan segera menerobos dan mendorong-nya hingga membuat perempuan itu mundur beberapa langkah ke belakang. Sesampai-nya di depan mobil, Alvan menghentikan langkah jenjang-nya, dan menoleh sedikit ke belakang. “Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa,” tukas sosok jangkung itu lalu masuk ke dalam mobil.
Mengerjapkan mata-nya beberapa kali, Ameera merasa bingung dengan maksud dari ucapan Alvan. Tidak perlu menunggu-nya? Apakah suami-nya itu berniat tidak akan kembali mala mini?
Namun, selagi bertanya-tanya dalam hati, suara klakson berhasil menyentak lamunan Ameera. “Tin!” Kendaraan beroda empat yang dinaiki suami-nya itu mulai melaju pergi meninggalkan Ameera yang masih termangu seorang diri di teras mansion yang luas.
“Apa maksud Mas Alvan? Kenapa dia bicara seperti itu?”
“Mas Alvan ke mana, ya? Kok jam segini belum pulang?” Sembari melipat sajadah, Ameera yang baru selesai melakukan ritual shalat malam, bergumam.Sejak pertama kali datang di kediaman baru-nya ini, perempuan itu tidak bisa tenang lantaran terus menunggu kepulangan Alvan. Namun, sampai lewat tengah malam hingga masuk permulaan pagi, suaminya itu masih belum kunjung kembali. Karena tidak tidak juga bisa tidur, Ameera memutuskan untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat dua raka’at dengan tujuan mencari ketenangan diri. Dan terbukti, sekarang dia sudah merasa jauh lebih tenang dari sebelum-nya. “Seperti-nya, Mas Alvan beneran enggak pulang malam ini,” monolog Ameera begitu teringat dengan kata-kata Alvan sebelum pergi tadi.“Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa.”Diletakkan-nya sajadah yang telah dilipat ke atas nakas, pandangan Ameera kemudian teralih pada botol air kosong yang juga berada di atas sana. Tiba-tiba saja, sebuah ide melintas
Dinginnya udara terasa begitu menusuk. Waktu telah menunjukkan pukul 05 pagi, setelah shalat subuh, Ameera berniat keluar kamar. Namun, pandangannya berlabuh pada sosok Alvan yang tengah tertidur di kursi kerja di sudut kamar. Sepulang dari kantor dini hari tadi, ia tidak langsung beristirahat. Alvan kembali berkutaat dengan pekerjaan-nya dan berakhir ketiduran.Menyadari hal tersebut, Ameera menghela napas panjang. Ia meraih selimut tebal yang terlipat rapi di sisi tempat tidur, lalu membawanya menuju tempat di mana suaminya berada. “Kasihan sekali Mas Alvan. Pasti kedinginan ketiduran di situ.” Dibentangkan-nya selimut yang tadi diambil, kemudian digunakan untuk menyelimuti tubuh suaminya, bertujuan menjaganya tetap hangat. “Sebaiknya sekarang aku turun dan membantu membuat sarapan pagi.” Ameera melirik sosok jangkung yang tengah terlelap itu sekilas, sebelum kemudian berjalan keluar kamar menuju dapur.Bagaimanapun juga, ini adalah hari pertamanya menjadi seorang istri. Sebuah peran
Di bawah langit biru yang cerah, Ameera menggantungkan pakaian terakhir yang sebelumnya telah dicuci pada tali jemuran. Sembari mengusap keringat di dahinya, perempuan bercadar itu kemudian membawa atensinya ke sekeliling.Seperti biasa, mansion keluarga Septihan yang luas itu selalu dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitas masing-masing. Lihat saja, betapa lantai marmer di setiap sudut itu nampak berkilau, begitu juga dengan halaman-nya yang bersih tanpa satupun daun yang berserakan.Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih semua tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan para pekerja, melainkan karena merupakan perintah khusus dari Bianca. Mertuanya itu cukup sulit untuk dihadapi. Sosoknya tegas serta memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan tempat tinggal dengan-nya.Ameera tahu betul, untuk mendapatkan sedikit pengakuan
Setelah berganti pakaian, Alvan berjalan menuju sofa panjang. Setelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai, nampak pas membalut tubuh jangkungnya. Sampai di dekat sofa, Alvan hendak berbaring di sana guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mendapati Ameera yang masih terpejam, padahal sudah cukup lama baginya tidak sadarkan diri. Alih-alih memanggilkan doker, ia memilih untuk tidak peduli dan segera berbaring. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun Alvan mencoba untuk tidak menghiraukan, tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.“Masih belum bangun juga.” Kening Alvan berkerut, saat menyadari siklus napas Ameera yang berat. “Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan bernapas. Haruskah aku melepasnya?” Alvan nampak ragu un
Sinar matahari menyelinap masuk, menerangi setiap ruang di kediaman keluarga Septihan. Sekalipun kehangatan menyapa pagi hari. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana dingin di meja makan. Bianca, yang duduk di posisi ujung meja memasang ekspresi masam, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran empuk untuk melampiaskan kekesalan-nya. Sampai pada beberapa saat kemudian, pandangan wanita itu tertuju pada sosok Ameera yang sedang berjalan sedikit tertatih memasuki ruangan.“Melihatmu berjalan seperti itu, hanya akan membuat aku berpikir kalau kamu sedang berpura-pura sakit, Ameera. Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga. Benar-benar akting yang menakjubkan!” cibir Bianca menohok. Sorot matanya yang tajam, seolah siap menguliti Ameera hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-
Ameera berjalan memasuki kamar lalu mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur. Sebelah tangannya tergerak untuk menyeka keringat di keningnya. Baru saja, ia menyelesaikan pekerjaan di mansion, sebagai tugas yang diberikan oleh Bianca. Sekalipun sedikit kelelahan, Ameera merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan semalaman ia telah beristirahat dan meminum obat.Alih-alih membaringkan diri di kasur, pandangan Ameera tanpa sengaja berlabuh pada sebuah handuk kecil yang berada di atas nakas. Senyum tipis terukir di bibir merah muda Ameera begitu teringat dengan Alvan yang telah merawatnya semalam. “Aku masih enggak nyangka, semalam Mas Alvan akan merawatku,” gumamnya pelan.Membahas tentang Alvan, Ameera teringat jika Saat ini, suaminya itu sedang sibuk bekerja dan entah kapan akan kembali. “Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah i
Ameera berlari sekuat tenaga meninggalkan ruangan pribadi Alvan. Sementara Jay yang masih berdiri di depan pintu, hanya bisa menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa dicegah, air mata perempuan itu mengalir dengan begitu deras membasahi pipi pucatnya yang tertutup kain cadar. Kekecewaan dan rasa sakit seketika memenuhi relung hatinya begitu bayangan kurang menyenangkan yang ia lihat beberapa detik lalu kembali melintas di kepalanya.Napasnya terasa sesak, dadanya panas dan sakit. Ameera tidak pernah menyangka bahwa takdir hidupnya akan membawanya sampai ke titik ini. Titik di mana hatinya terasa hancur berkeping-keping menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya sendiri.“Seharusnya aku menyadarinya. Mas Alvan memang suamiku, tetapi hatinya bukan untuk-ku. Dia sudah memiliki kekasih jauh sebelum kami menikah,” gumam Ameera sembari mengusap air matanya dengan sedikit kasar.Dalam keadaan bingung dan sedih, Ameera tidak menyadari ke mana dia
“Mas Alvan, lepasin. Mas mau bawa aku ke mana?” pinta Ameera seraya berusaha melepasakan cekalan tangan Alvan yang begitu kuat.Namun, alih-alih segera melepaskan, sosok jangkung itu justru menulikan pendengaran-nya. Ia terus menarik perempuan itu pergi bersamanya. Tidak peduli dengan Ameera yang kesulitan dalam mengimbangi langkah lebarnya hingga terseok.Beberapa orang yang mereka lewati, nampak terkejut melihat kejadian tersebut. Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya mengenai siapakah wanita bercadar yang bersama Alvan itu. Berbagai macam spekulasi mulai bermunculan, menantikan kabar panas yang mungkin akan beredar dikeesokan hari dan tersebar di forum gossip.Walau demikian, Alvan tidak peduli. Saat ini, pikiran-nya kacau, begitu juga dengan perasan-nya yang terasa tidak karuan. Dia terus menarik Ameera, membawanya ke ruangan pribadinya.Jay dan Gled yang masih berada di sana nampak mengernyitkan kening melihat Alvan yang kembali bersama Ameera. Namun, belum sempat keduanya bertan
Gelapnya malam menyelimuti, menyisakan samar-samar sinar rembulan yang menembus tirai jendela dan menerangi wajah Ameera yang terlelap tenang dalam tidur. Di antara keheningan yang ada, Alvan duduk di tepi ranjang, mengamati perempuan di pembaringan dengan tatapan lembut. Selepas menghadiri rapat dan menyelesaikan urusan pentingnya, Alvan memutuskan untuk kembali ke mansion. Bukan tanpa sebab, di tengah persitegangan yang terjadi siang tadi, diam-diam Alvan terkejut saat tanpa sengaja melihat tangan Ameera yang terluka. Namun, karena situasi saat itu cukup panas, Alvan memilih menahan egonya dan bersikap seolah-olah tidak peduli. Dan, sekarang, dia datang untuk memastikan keadaan perempuan itu.“Terluka sampai seperti ini, dan dia sama sekali tidak mengadukan-nya padaku.” Alvan menatap garis luka di tangan Ameera dengan sedikit ngilu. Rasa bersalah dan khawatir, seketika merayapi relung hatinya, membuat Alvan semakin terpukul. Bagaimana bisa, perempuan itu menanggung semua penderitaan
Ameera berdiri di tengah ruangan dengan tubuh gemetar. Kening putihnya berkerut, kedua tangan kecilnya meremas erat ujung gamis yang dikenakan, sementara air matanya mulai menggenang di pelupuk mata, menantikan nasib buruk yang sebentar lagi mungkin akan menimpanya. Saat ini, tepat di hadapan-nya, Bianca tengah menatapnya dengan sorot mata penuh amarah.Tidak sendirian, di sekeliling mereka juga terdapat para pelayan yang berdiri dengan kepala menunduk, seolah enggan terlibat dalam persitegangan ini. Namun, sangat disayangkan, tidak satupun dari mereka yang berani menolak perintah Bianca untuk ikut serta dalam menyidang. Semua ini bermula ketika Ameera tanpa sengaja menemukan sebuah miniatur milik Alex saat sedang merapikan ruang penyimpanan di belakang mansion. Bianca yang kebetulan lewat, terkejut dan langsung murka begitu melihat barang milik mediang putranya berada di tangan Ameera. “Kamu tahu apa kesalahanmu, Ameera?” tanya wanita paruh baya itu penuh intimidasi.“Maaf, Ma. Amee
“Daddy bilang, kamu juga setuju untuk menikah denganku. Bukankah itu artinya, kamu berhak atas keputusan dan masa depanku?” ..Setelah sempat terdiam beberapa saat, Alvan melepaskan pelukan Katrine dari tubuhnya. “Maaf, Katrine. Setelah ini, aku ada pertemuan penting. Aku harus pergi.” Bangkit dari tempat duduk, sosok jangkung itu membenarkan sedikit kemeja biru terang yang dikenakan sebelum kemudian berbalik dan beranjak pergi.“Kamu pergi begitu saja?” Pertanyaan Katrine tersebut berhasil menghentikan pergerakan Alvan. “Aku baru sampai dan kamu sudah mau ninggalin aku,” lanjut wanita itu mengiba.Memasuk-kan kedua telapak tangan-nya ke dalam saku celana, Alvan sedikit menelengkan kepalanya ke samping. “Kerjasama Galaxy Grup dengan Star Grup telah berjalan. Banyak hal yang harus dipersiapkan,” terangnya menjelaskan.“Benarkah? Kamu bukan sedang menghindariku?” Katrine menatap Alvan lekat-lekat, seolah tidak percaya dengan alasan yang pria itu buat.Tidak langsung menanggapi, Alvan t
Ameera melangkah keluar dari dapur dengan membawa segelas kopi hitam yang baru saja dibuatnya menggunakan mesin pengekstrak. Aroma pahit yang menguar di udara, memberikan sedikit kehangatan di tengah suasana pagi yang dingin. Di mana hujan yang sejak fajar tadi masih turun, membasahi pekarangan dan tanah di luar sana, menjadikan hari terasa syahdu tanpa panas mentari yang membara. Semalam, Ameera sempat bertanya kepada Jay mengenai minuman apa yang disukai oleh suaminya, dan Jay memberitahu jika Alvan menyukai kopi hitam pekat dengan aroma khas yang kuat. Karena itu, saat ini dia membawa minuman tersebut dan berharap jika segelas kopi buatan-nya itu dapat menyenangkan hati suaminya.Sesampainya di depan kamar, Ameera menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengeluarkan-nya secara perlahan. Mencoba mengendalikan kegugupan. “Semoga Mas Alvan suka sama kopinya,” gumam perempuan itu dengan suara lirih.Setelah berhasil meyakinkan diri, Ameera menyentuh handle pintu dan membukanya. Seket
Di dalam kamar yang sunyi, Ameera duduk di sofa sudut dengan perasaan resah. Matanya terus memandangi daun pintu yang tertutup rapat, seperti tengah menantikan kemunculan seseorang dari balik sana. Jam di dinding sudah menunjuk-kan pukul 01.45 dini hari. Namun, suaminya masih belum juga kembali. Entah apa yang terjadi, sejak meninggalkan restoran beberapa jam lalu, dia terus didera kegelisahan, seolah-olah tanpa ia sadari sesuatu yang buruk telah terjadi.Menoleh ke samping, Ameera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, dan mengeceknya. Raut kecewa seketika menghiasi wajah putihnya begitu mendapati pesan yang dikirim untuk suaminya pada setengah jam lalu masih belum mendapatkan balasan. Jangankan mendapat balasan, bahkan pesan teks tersebut masih menunjuk-kan centang satu yang berarti pesan berhasil dikirim, tetapi belum diterima oleh penerima.“Masih belum dibuka. Sepertinya, Mas Alvan terlalu sibuk sampai-sampai enggak sempat ngecek HP,” monolong perempuan itu, mencoba berpik
Lilin di atas meja bergoyang lembut mengikuti hembusan angin yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Di tempatnya, Ameera menatap kosong hidangan makan malam yang tersaji di atas meja, masih utuh dan sebagian besar belum tersentuh. Sesekali, suara dentingan halus dari alat makan yang tertata rapi terdengar, mempertegas kesunyian yang melingkupi ruangan ekslusif di restoran Bintang lima tersebut.Beberapa saat yang lalu, Alvan mengajak Ameera untuk makan malam bersama di sebuah restoran mewah yang berada di pusat Kota. Bukan hanya itu, Ameera juga sempat merasakan kehangatan serta perhatian dari suaminya yang jarang sekali ditunjukan kepadanya. Namun, sangat disayangkan, suasana indah tersebut dengan cepat berubah ketika Alvan tiba-tiba pergi meninggalkan Ameera setelah menerima telpon sendirian tanpa penjelasan.“Aku pergi. Ada sesuatu yang harus aku urus. Kamu, kembali-lah ke mansion dan jangan menungguku!” Mendadak, Ameera kehilangan selera makan. Ia memandangi kursi kosong di seb
“Dengan siapa kamu datang ke sini?” tanya Alvan setelah menutup sambungan panggilan telpon miliknya.“Ada santi yang menemaniku, Mas,” jawab Ameera seraya memasuk-kan kotak bekal yang telah kosong ke dalam totebag coklat.“Santi?” Satu alis Alvan terangkat tinggi. Seolah-olah bertanya di mana wanita yang ditugaskan sebagai pelayan pribadi Ameera itu berada.“Aah, sekarang Santi sedang menunggu di bawah, Mas,” terang Ameera memberitahu.Alvan manggut-manggut mengerti. “Begitu rupanya.” Bangkit dari tempat duduk, sosok jangkung itu kemudian berjalan mendekati meja kerjanya dan berdiri di sana dengan satu tangan di masuk-kan ke dalam saku celana. “Apa jadwal berikutnya, Jay?” Meskipun suara pria itu terkesan rendah. Namun, cukup untuk dapat di dengar oleh Jay yang sedang berdiri di depan pintu ruangan.“Izinkan saya memberitahu, Tuan Muda. Untuk jadwal berikutnya, Anda meminta saya mengosongkan-nya. Bukankah Anda hendak ke rumah sakit dan membesuk Tuan Besar?” balas Jay terdengar tenang.
Di lantai tertinggi gedung Galaxy Tower, rapat tengah berlangsung. Alvan duduk di sebelah Tuan Abimana, CEO dari Star Grup. Keduanya tengah memandangi layar proyektor yang menampilkan rencana besar mereka—proyek perumahan inovatif yang akan dibangun di jantung kota. Dengan pemandangan skyline kota yang modern sebagai latar belakang, membuat suasana di dalam ruangan itu terasa penuh semangat dan antusiasme.“Harus aku akui, jika kolaborasi ini adalah langkah besar bagi kita, Tuan Alvan. Dengan menggabungkan sumber daya kita, proyek perumahan ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan pasar saja, tetapi juga mengubah wajah pusat kota,” ucap Tuan Abimana dengan nada penuh keyakinan.Alvan mengangguk setuju, sementara matanya terus menelusuri garis-garis rencana di layar. “Galaxy Grup telah mengumpulkan data demografis dan tren urban terkini. Kita akan memanfaatkan setiap informasi itu untuk menciptakan hunian yang bukan hanya modern, tetapi juga fungsional dan berkelanjutan,” pungkasnya deng
Dentingan alat masak terdengar mengiringi Ameera yang tengah berkutat di dapur. Sejak pagi-pagi sekali, ia sudah turun dan sibuk mempersiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvan. Kebetulan hari ini, mereka hanya tinggal berdua saja, karena papa dan mama mertuanya sedang menjaga kakek David di rumah sakit. Sehingga, tidak mengherankan jika hunian yang besar itu terasa lebih sepi dari biasanya.Aroma harum yang khas dari nasi goreng, menguar di udara, membuat siapa saja yang menciumnya akan tergugah oleh selera. Dari banyaknya bahan persediaan yang ada, Ameera memilih nasi goreng sebagai menu pagi mereka. Seperti saat ini, ia terus mengaduk nasi di penggorengan dengan ritme yang teratur, memastikan semua bumbu meresap sempurna.Untuk sentuhan akhir, Ameera menambahkan kecap manis dan sejumput garam, lalu mengaduk nasi goreng sekali lagi hingga semua bumbu benar-benar tercampur merata. Ameera mencicipi sedikit dengan ujung spatula. Senyum tipis terbit di wajahnya ketika mendapati nasi goreng