Di sebuah kamar yang dihias dengan pernak-pernik dekorasi indah, terdapat seorang wanita muda yang tengah menatap nanar dirinya dari pantulan cermin rias yang berada di hadapannya. Semerbak aroma kelopak bunga yang bertaburan menyeruak di indra penciuman, berhasil memberikan kesan rileks bagi siapa saja yang berada di sana.
Kemelut rasa melanda bersama dengan sampainya kabar duka mengenai kecelakan yang menimpa Alex. Perlahan, cairan bening menetes dari kedua sudut mata yang dinaungi bulu-bulu lentik. Bayangan akan kesungguhan Alex dalam melamarnya terus menari-nari di benak Amera. Butuh waktu yang cukup panjang, bagi mereka untuk bisa sampai di tahap ini. Lalu, dalam sekejap mata semua harapan itu pupus tak bersisa.
Sungguh, tidak pernah terbayangkan oleh Ameera bahwa pernikahan indah yang dia impikan harus berakhir bersama dengan duka mendalam. Dalam perjalanan menuju tempat resepsi, sebuah truk besar menabrak mobil yang dikendarai oleh Alex beserta seorang kepercayaannya, Owen. Naasnya, pria yang menjadi calon pengantin itu justru dikabarkan meninggal dunia saat dalam perjalanan ke rumah sakit.
Balutan gaun pengantin berenda berwarna putih bersih, nampak pas membalut tubuh ramping. Di tambah dengan sebuah mahkota dengan satu permata di tengah, terpasang indah membingkai kerudung persegi dengan corak warna senada dengan gaun yang di kenakan. Wanita itu, benar-benar terlihat sangat cantik dan anggun.
"Maa syaa Allah, putri Ibu cantik sekali." Ameera tersenyum getir mendengar pujian yang diberikan oleh Via. Sebelah tangannya tergerak untuk memasang kembali cadar yang sempat ia lepas tadi. Tentu saja, dia tidak ingin ibunya itu mengetahui jika dirinya baru saja menangis.
Dari pantulan cermin, Ameera bisa melihat wanita paruh baya yang baru saja masuk ke dalam kamarnya itu, menutup pintu lalu berjalan menghampirinya. "Apa yang sedang kamu lakukan, Nak?” tanya Via begitu sampai di sebelah Ameera.
Menoleh ke samping, perempuan dalam balutan gaun pengantin itu menggeleng pelan. “Aku masih tidak percaya kalau mas Alex ... mas Alex sudah tidak ada." Suara lembut itu, terdengar tercekat dan bergetar, sementara sorot matanya menyiratkan selaksa duka mendalam.
"Oh, putriku tersayang." Via tidak kuasa hanya berdiam diri dan segera memeluk tubuh ramping Ameera. "Ikhaskan, kepergian Alex, Ameera. Ibu, Ayah dan semua orang juga sama-sama merasa kehilangan. Tapi, percayalah bahwa sepahit apa pun yang terjadi itu adalah ketentuan terbaik dari Allah." Dengan sebelah tangan mengusap punggung Ameera, wanita dengan hiasan melati yang terpasang cantik di kepala berbalut hijab itu mencoba menenangkan.
“Tapi, Bu. Aku tidak bisa menikah dengan laki-laki itu. Kami tidak saling mengenal.”
Melerai pelukannya, sebelah tangan wanita paruh baya itu terulur untuk membelai pipi Ameera yang tertutup kain cadar. Dia tahu betul jika putrinya itu masih tidak rela dengan kepergian Alex. Terlebih menikah tiba-tiba dengan pria yang seharusnya menjadi calon kakak iparnya sendiri, Via bisa mengerti dengan keterkejutan Ameera dan ketidak relaannya atas takdir yang berlaku.
Via tersenyum simpul. “Aku tahu, Ameera. Meski begitu, semua ini sudah diputuskan Tuan Brian. Kita tidak bisa menolak. Apalagi, semua tamu undangan tengah menunggu di luar, kita tidak memiliki pilihan. Keluarga besar David Septihan tidak akan membiarkan nama baik mereka tercoreng apa pun alasannya.” Wanita paruh baya itu mencoba memberi pengertian.
“Oh, kenapa semua ini harus terjadi ....” Ameera menangkupkan wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Dapat Via rasakan, bagaimana putrinya itu terlihat begitu frustrasi atas apa yang tengah terjadi. “Ini terlalu menyakitkan untukku, Bu,” lirihnya terluka.
Benar, baru beberapa menit yang lalu mereka mendapat kabar duka mengenai Alex, calon mempelai yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Alih-alih membatalkan, pernikahan yang telah dipersiapkan dengan sempurna harus tetap dilaksanakan berkat perintah langsung dari Brian, ayah Alex. Pria itu secara lantang meminta Alvan untuk menggantikan posisi adiknya dan menikah dengan Ameera.
Tak memiliki kuasa menolak, Ameera dan keluarga hanya bisa pasrah atas apa yang telah diputuskan. Meski tidak ingin, keluarga David Septihan tidak akan rela nama baik keluarga mereka tercoreng. Terlebih lagi, semua ini berkaitan dengan keputusan Alex dalam menikahi seorang gadis biasa seperti Ameera. Kelak, akan ada banyak rumor tidak sedap yang beredar jika sampai pernikahan ini dibatalkan. Karena itu, Brian memutuskan untuk menutup kabar duka yang terjadi dengan menikahkan Alvan dengan Ameera.
"Semuanya akan baik-baik saja, Ameera. Percaya sama Ibu.” Wanita paruh baya itu mengepuk-nepuk pelan pundak kurus Ameera. Ada secebis kekhawatiran yang terpampang jelas di raut wajahnya melihat kondisi putrinya yang begitu memprihatinkan.
Tok ... tok ... tok ....
Selagi larut dalam suasana, ketukan pintu yang terdengar berhasil mengalihkan perhatian. Menghentikan tepukan pelannya, Via menoleh ke arah daun pintu yang masih tertutup. “Siapa?” tanyanya pada seseorang di balik pintu.
“Maaf, Bu. Saya Dinda. Acara sudah dimulai, Bapak bilang sudah waktunya bagi pengantin wanita keluar,” ujar wanita dari sebalik pintu memberitahu.
Mendongakkan kepalanya, Ameera menatap sang ibu dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ibu ....” Ia tidak kuasa berkata-kata. Ada banyak sekali keraguan yang ia rasakan.
Seakan mengerti dengan kekhawatiran Ameera, Via meraih telapak tangan perempuan itu kemudian mengusapnya lembut. "Kita sudah harus keluar, Sayang.”
“Ameera ... aku takut, Bu.”
“Tenanglah Ameera. Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Meskipun pernikahanmu dengan Alvan di mulai karena sebuah keterpaksaan, Ibu percaya kalau kalian memang ditakdirkan untuk Bersama.” Wanita paruh baya itu berusaha meyakinkan.
Setelah sempat tertegun beberapa saat, ragu-ragu Ameera mengangguk. “Baik, Bu. Aku berharap, ini yang terbaik," ucap Ameera dengan suara bergetar. Air matanya perlahan luruh dan jatuh membasahi kain cadar yang dikenakan.
"Sudahlah jangan nangis lagi. Make up kamu bisa rusak sebelum acara, eh?" kata Via seraya menghapus air mata Ameera.
Perempuan pemilik sepasang mata coklat terang yang indah itu mengangguk patuh. “Eumm. Maaf, Bu. Aku terbawa suasana.” Ameera tidak enakan karena telah membuat sang ibu khawatir.
Kembali, wanita paruh baya itu tersenyum. “Ya sudah, kalau begitu sebaiknya kita segera bersiap-siap. Semua orang sudah menunggu di depan. Kita harus segera bergegas,” tandasnya kemudian segera membantu Ameera bersiap-siap.
Sungguh, Ameera merasa begitu beruntung karena bisa dipertemukan dengan wanita berhati malaikat seperti Via. Meskipun mereka bukanlah sepasang orang tua kandungnya, Via dan Sulistyo selalu memperlakukan dan menyayanginya dengan sepenuh hati. Seandainya saja, dia tidak memutuskan menikah. Mungkin saja, hal seperti ini tidak akan terjadi?
‘Astaghfirullahal ‘adzim, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Ayolah, semua ini sudah Qodarullah, tidak boleh berandai-andai,’ batinnya dalam hati.
***
Resepsi pernikahan tengah berlangsung. Para tamu undangan telah berkumpul untuk menyaksikan momen sakral yang akan diadakan di kediaman Sulistyo. Meskipun tempat yang mereka gunakan tidaklah semegah dan sebesar gedung-gedung di luaran sana, tuan hajat berhasil membuat acara pernikahan berlangsung dengan baik dan tak kalah meriah.
Seorang penghulu menjabat tangan pria dalam stelan jas hitam yang nampak maskulin dan gagah yang ada di hadapannya. “Bisa kita mulai sekarang?” tanyanya memastikan.
Bukannya menjawab, Alvan justru mengkerlingkan kedua matanya malas. “Ck, masih nanya lagi!” ketusnya dengan suara lirih.
Mendapati hal itu, Brian pun segera menyenggol lengan putranya dengan sedikit keras. “Jaga ucapanmu, Alvan!” tegur pria itu dengan tegas.
“Maafkan anak saya, Bapak Penghulu, pak Tiyo,” ucap Brian tidak enakan dengan sikap tidak sopan sang putra.
Sulistyo dan pak penghulu itu tersenyum kemudian mengangguk kecil. “Tidak apa-apa, Tuan. Kalau begitu, kita mulai saja akadnya,” ujar Sulistyo membalas ucapan Brian.
Kembali, pria paruh baya itu menjabat tangan Alvan. "Saya nikahkan engkau Alvano Septihan dengan Ameera Rania Putri binti Alm. Yono dengan maskawin berupa Emas 120 gram, dan sejumlah uang tunai sebesar 250 juta rupiah, dibayar tunai," ucap sang penghulu di hadapan keluarga dan tamu undangan.
Dengan sekali tarikan nafas, Alvan mencoba melafalkan apa yang telah diajarkan oleh sang papa beberapa saat yang lalu. "Saya terima nikahnya, Ameera Rania Putri binti Alm. Yono dengan maskawin berupa emas 120 gram, dan sejumlah uang 250 juta rupiah, dibayar tunai." Tanpa sadar kalimat saklar itu berhasil diucapkan.
Tak pelak, hal tersebut membuat Brian, David dan yang lain terkejut. Pasalnya, baru beberapa menit yang lalu laki-laki itu mengatakan tidak bisa melafaldzkan kalimat sakral itu. Namun, baru saja semua orang dibuat tercengang dengan apa yang Alvan ucapkan.
"Bagaimana para saksi, Sah?" tanya sang penghulu kepada tamu undangan yang hadir di sana.
Seketika, ruangan yang berada di sana menjadi gaduh. "Sah!" Sahut para tamu undangan secara kompak. Setelahnya, ucapan do'a dan selamat terus di ucapkan dengan penuh kekhusyukan.
Alvan tidak pernah menyangka jika pada akhirnya ia akan terjebak dalam sebuah pernikahan seperti ini. Bagaimanapun juga, semua yang dilakukannya semata-mata hanya karena iming-iming dari sang papa yang hendak menyerahkan perusahaan kepadanya. Alvan telah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat pintu hatinya dan bertekad tidak akan mencintai wanita mana pun kecuali Katrine, sang kekasih yang saat ini masaih berada di Amerika. Sementara untuk Ameera, dia menikahinya hanya karena terpaksa dan kelak akan menceraikannya di saat yang tepat.
Setelah proses pertukaran cincin, Ameera diminta untuk menyalami Alvan. Dengan ragu, perempuan itu mulai mengarahkan tangannya meraih telapak tangan pria yang kini telah menjadi suaminya itu. Sementara Alvan, dia menatap sinis wanita yang kini tengah mencium punggung tangannya dengan penuh rasa takzim.
Setelah Ameera menyalimi Alvan, kini gantian Alvan yang di minta untuk mencium kening Ameera. Awalnya Alvan tidak mau. Namun, Brian terus membujuknya. Akhirnya, dengan penuh keterpaksaan, Alvan pun mendekati Ameera dan mulai mengulurkan sebelah tangannya ke arah perempuan itu.
Sebuah desiran hangat Ameera rasakan saat benda kenyal itu menempel sempurna pada kulit dahinya. Bersamaan dengan itu, tepuk tangan meriah dari para tamu undangan terdengar mengiringi proses pengantin baru. Sebenarnya acara pernikahan yang digelar hari itu cukup tertutup karena hanya di hadiri oleh keluarga serta beberapa rekan bisnis saja, meski begitu tatap saja tamu yang datang berjumlah lebih dari yang telah diperkirakan.
Semua orang terlihat begitu bergembira menyaksikan momen indah ini. Berbeda dengan Ameera, dia terus-menerus di rundung rasa takut. Entah kenapa, dia merasa jika suaminya itu tidak menyukainya. Lantas, bagaimana dia akan menjalankan pernikahan tanpa cinta ini? Entahlah, Ameera sendiri tidak tahu dengan apa yang harus dia lakukan kedepannya.
“Bahagia, eh? Akhirnya, kamu resmi juga menjadi pengantin keluarga David Septihan. Aku tidak tahu apa yang sudah kamu perbuat sampai-sampai Alex tergila-gila dan mau menikah sama perempuan modelan kayak kamu ini. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat. Jangan berharap lebih terhadap pernikahan ini. Aku tidak mencintaimu dan tidak akan pernah jatuh cinta padamu. Mengerti!” bisik Alvan berhasil membuat Ameera yang sedang melamun tersentak.
Perlahan, perempuan bercadar itu menoleh. Ditatapnya sosok jangkung yang berdiri di sebelahnya dengan penuh keterkejutan. Tanpa membalas, ia hanya terus menatap Alvan.
Satu hal yang Ameera mengerti, bahwasannya laki-laki yang kini telah berstatus sebagai suaminya itu sangat membencinya. Segera, perempuan itu mengalihkan atensinya ke arah lain. Diam-diam, di bawah sana Ameera mencengkram sisi gaun yang dikenakan guna menyalurkan perasaannya.
“Satu lagi. Malam ini, aku tidak akan tinggal di sini. Aku tidak sudi tinggal di tempat kumuh seperti ini. Sangat jorok dan tidak nyaman.” Alvan menekan setiap kata-katanya. “Aah, satu lagi. Jangan harap aku mau melakukan hal itu bersamamu, wanita aneh dan kolot!” kelakar Alvan lagi semakin membuat Ameera terhenyak.
Gluk
Gemuruh rasa yang melanda. Kedua mata indahnya telah berkaca-kaca. Ameera merasa hatinya tercabik-cabik mendengar penuturan Alvan. Baru saja, suaminya itu memberi peringatan menyakitkan. Menikah tanpa cinta? Oh, apa yang harus ia lakukan?
Bersamaan dengan itu Alvan merasakan ponselnya bergetar. Merogoh saku celananya, ia terbelalak tatkala melihat sebuah pesan masuk dari layar ponsel. Lalu, setelahnya dia segera menekan tombol panggil sambil berjalan pergi.
“Maafkan aku, Sayang. Seharian ini aku sibuk sekali jadi tidak sempat menghubungi kamu ....”
Melirik sekilas ke samping, Ameera mengernyitkan kening. Sebenarnya, dia tidak berniat menguping pembicaraan. Hanya saja, suara Alvan terlalu besar untuk tertutup dari rungu Ameera.
Perempuan pemilik manik mata murni yang indah itu menatap punggung tegap yang sedang berdiri membelakanginya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Sayang? Jangan-jangan ....”
Rintik gerimis membasahi bumi pertiwi. Di bawah langit malam yang memayungi alam semesta, terlihat lautan manusia yang datang berbondong-bondong ke pemakaman guna mengiringi peristirahatan terakhir Alexander Septihan. Siang tadi, kabar duka datang menimpa keluarga besar David Septihan. Pria berusia sekitar 24 tahun yang seharusnya menikah pada hari ini dan akan memulai hidup bahagia bersama dengan wanita yang dicintainya, kini telah pergi untuk selama-lamanya menuju kepangkuan Yang Maha Kuasa.Banyak yang merasa sedih atas kepergian Alex. Kematian, tidak ada yang tahu kapan ia datang menjemput. Kehadirannya tiba-tiba tanpa bisa dicegah, kemunculannya pun menjadi rahasia di antara ribuan nyawa manusia. Bisa jadi, sekarang kita merasa sehat dan baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu satu-dua detik kedepan, raga telah meregang nyawa menyusul mereka yang terlebih dahulu telah pergi.Serangkaian proses pemakaman telah selesai dilaksanakan. Satu-persatu dari orang-orang yang ikut mengantar k
“Mas Alvan ke mana, ya? Kok jam segini belum pulang?” Sembari melipat sajadah, Ameera yang baru selesai dengan ritual shalat malam bergumam.Sejak tadi, perempuan itu tidak bisa tenang lantaran terus menunggu kepulangan Alvan. Namun, sampai lewat tengah malam, suaminya itu masih belum kunjung kembali. Karena tidak kunjung bisaa tidur, Ameera pun memutuskan untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat malam dengan tujuan mencari ketenangan diri.“Apa jangan-jangan, Mas Alvan beneran enggak pulang?” monolog perempuan itu begitu teringat dengan kata-kata Alvan sebelum pergi.“Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa.”Diletakkannya sajadah yang telah dilipat ke atas nakas, pandangan Ameera teralih pada botol air kosong yang juga di atas sana. Tiba-tiba saja, sebuah ide terlintas di kepala Ameera. “Siapa tahu sebentar lagi Mas Alvan pulang. Sebaiknya aku buatkan teh hangat untuknya.” Diraihnya botol tabung berbahan kaca itu lalu membawanya ke dapu
Pagi itu, Ameera sedang berkutat di dapur. Ini adalah hari pertamanya menjadi seorang istri, sebuah peran yang harusnya diisi dengan kebahagiaan dan harapan. Namun, bagi Ameera, ini adalah peran yang dia ambil dengan hati yang berat dan mata yang masih berkabung atas kepergian Alex, cinta pertamanya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis.“Sebaiknya aku membuat sesuatu untuk sarapan pagi.” Sebenarnya, pelayan telah melarang Ameera untuk masuk ke dalam dapur dan membiarkan mereka yang melakukan semua pekerjaan ini. Namun, Ameera bersikeras melakukannya.Di ambilnya beberapa bahan dan sayuran dari dalam lemarai es lalu mencucinya hingga bersih. Dengan lihai perempuan itu memotong sayuran untuk omelet. Ameera tersenyum penuh arti di sela-sela kegiatannya. Meskipun ini bukanlah pernikahan yang diinginkan, dia telah memutuskan untuk tidak menangis lagi dan mengikhlaskan semua yang terjadi. Sekalipun suaminya saat ini masih belum bisa menerima kehadirannya sebagai seorang istri.Ameer
Ameera menghela napas lega, menatap langit biru yang cerah sambil menggantungkan pakaian terakhir di jemuran yang sebelumnya telah dicucinya. Di atas sana, matahari bersinar dengan hangat, tetapi tidak sehangat harapan yang mulai tumbuh di hatinya. Dia mengusap keringat di dahinya, kemudian membawa atensinya memandangi sekeliling mansion megah, yang kini lantainya berkilau dan halamannya bersih tanpa daun yang berserakan.Di mansion yang luas ini, setiap sudut biasanya dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitasnya masing-masing. Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan mereka, melainkan karena ini merupakan perintah khusus dari Bianca, mertuanya yang cukup sulit untuk dihadapi.Bianca, wanita yang tegas dan berwibawa itu, memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan rumah dengannya. Ame
Dinginnya malam, terasa menusuk hingga tulang-belulang. Di atas kasur, Ameera terjaga dari tidurnya. Perlahan, ia mengerjapkan mata tatkala rungunya menangkap deru napas lembut seseorang.“Sshhh.” Perempuan itu meringis tatkala merasakan pening yang teramat sangat di kepalanya. Masih dengan mata berat yang terbuka, Ameera terkejut saat netranya menangkap sosok Alvan yang tengah tertidur dengan posisi terduduk di samping pembaringan. “Mas Alvan? Kenapa Mas Alvan tidur di sini?” gumamnya lirih.Sembari sedikit membenarkan kain cadar yang dikenakan, ruang di antara kedua alis Ameera berkerut tatkala merasakan sesuatu di atas keningnya. Sebelah tangannya tergerak untuk mengambil sesuatu yang mengganjal tersebut. “Handuk kecil?” Ia memandangi handuk di tangannya dengan perasaan bingung.Mengerjapkan matanya beberapa kali, Ameera kembali menatap sosok jangkung yang kini masih terlelap itu dengan tatapan penuh tanda tanya. “Apa yang terjadi? Semalam ….” Ameera mencoba mengingat-ingat kembali
Sinar matahari pagi menyelinap masuk, menerangi ruang makan keluarga Septihan, menciptakan aura yang hangat. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana yang dingin. Bianca, yang sedang duduk di ujung meja memasang wajah tegang, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran untuk melampiaskan kekesalannya.“Melihatmu berjalan seperti itu, aku pikir kamu hanya berpura-pura sakit, Ameera. Ck, Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga,” cibir Bianca saat mendapati Ameera berjalan memasuki ruangan dengan langkah yang masih goyah.Sorot mata Bianca begitu menghunus, seolah siap menguliti menantunya hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-kata tajam.Brian, yang duduk di samping Bianca, menghela napas berat. “Cukup, Ma,” katanya dengan suara rendah. Namun sarat akan ketegasan. “Mama lup
Ameera mengusap keringat di dahinya setelah sebelumnya menyelesaikan pekerjaan di mansion keluarga Septihan yang luas. Kali ini, tubuhnya terasa lebih ringan dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan ia yang telah beristirahat semalaman dan meminum obat.Selagi tertegun di dalam kamar, pikiran Ameera tiba-tiba melayang pada sosok Alvan. Saat ini, suaminya itu pasti sedang sibuk bekerja. Entah apa yang terjadi ia mulai memikirkan sebuah rencana, yakni, ingin membuatkan bekal makan siang spesial untuk Alvan.“Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah ide yang buruk,” monolognya pada dirinya sendiri.Setelah mencoba memantapkan diri, akhirnya Ameera berjalan keluar kamar menuju dapur. Bukan dapur utama yang selalu digunakan oleh para pelayan untuk menyiapkan makanan bagi keluarga mereka, melainkan sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk kegiatan memasa
Ameera berlari sekuat tenaga meninggalkan ruang pribadi Alvan, membuat Jay yang berdiri di depan pintu menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa dicegah, air mata perempuan itu mengalir dengan begitu deras membasahi pipi pucatnya yang tertutup kain cadar. Kekecewaan dan rasa sakit seketika memenuhi relung hatinya begitu bayangan kurang mengenakan yang ia lihat beberapa detik lalu kembali melintas di kepalanya.Napasnya terasa sesak, dadanya panas dan sakit. Ameera tidak pernah menyangka bahwa takdir hidupnya akan membawanya ke titik ini. Titik di mana hatinya hancur berkeping-keping menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya sendiri.“Seharusnya aku menyadarinya. Mas Alvan memang suamiku, tetapi hatinya bukan untukku. Dia sudah memiliki kekasih jauh sebelum kami menikah.” Sembari mengusap air matanya kasar, Ameera terus berlari kencang.Namun, karena dalam keadaan bingung dan sedih, Ameera tidak menyadari ke mana dia pergi. Orang-orang ya