Di dalam kamar yang dihiasi dengan pernak-pernik dekorasi yang indah, terdapat seorang wanita muda yang tengah menatap nanar diri-nya dari pantulan cermin rias yang berada di hadapan-nya. Semerbak aroma kelopak bunga yang bertaburan menyeruak di indra penciuman, berhasil memberikan kesan rileks bagi siapa saja yang berada di sana.
Kemelut rasa melanda bersama dengan sampainya kabar duka mengenai kecelakan yang menimpa Alex. Perlahan, cairan bening menetes dari kedua sudut mata yang dinaungi bulu-bulu lentik. Bayangan akan kesungguhan Alex dalam melamarnya terus menari-nari di benak Amera. Butuh waktu yang cukup panjang, bagi mereka untuk bisa sampai di tahap ini. Lalu, dalam sekejap semua harapan itu pupus tak bersisa.
Sungguh, tidak pernah terbayangkan oleh Ameera bahwa pernikahan indah yang dia impikan harus berakhir bersama dengan duka mendalam. Dalam perjalanan menuju tempat resepsi, sebuah truk besar menabrak mobil yang dikendarai oleh Alex beserta seorang kepercayaannya, Owen. Naasnya, pria yang menjadi calon pengantin itu justru dikabarkan meninggal dunia saat dalam perjalanan ke rumah sakit.
Balutan gaun pengantin berenda berwarna putih bersih, nampak pas membalut tubuh ramping. Sebuah mahkota dengan satu permata di tengah, terpasang indah membingkai kerudung persegi dengan corak warna senada dengan gaun yang di kenakan. Wanita itu, benar-benar terlihat sangat cantik dan anggun.
"Maa syaa Allah, anak Ibu cantik sekali." Ameera tersenyum getir mendengar pujian yang diberikan oleh Via. Sebelah tangan-nya, tergerak untuk memasang kembali cadar yang sempat ia lepas tadi. Tentu saja, dia tidak ingin ibunya itu mengetahui dirinya baru saja menangis.
Dari pantulan cermin, Ameera bisa melihat wanita paruh baya yang baru saja masuk ke dalam kamar. Setelah menutup pintu, lalu berjalan menghampirinya. "Apa yang sedang kamu lakukan, Nak?” tanya Via begitu sampai di sebelah Ameera.
Menoleh ke samping, perempuan dalam balutan gaun pengantin itu menggeleng pelan. “Aku masih tidak percaya kalau mas Alex ... mas Alex sudah tidak ada." Suara lembut Ameera, terdengar tercekat dan bergetar, sementara sorot matanya menyiratkan selaksa duka yang begitu besar.
"Oh, putriku tersayang." Via tidak kuasa hanya berdiam diri dan segera memeluk tubuh ramping Ameera. "Ikhaskan, kepergian Alex, Ameera. Ibu, Ayah dan semua orang juga sama-sama merasa kehilangan. Tapi, percayalah bahwa sepahit apa pun yang terjadi itu adalah ketentuan terbaik dari Allah." Dengan sebelah tangan mengusap punggung Ameera, wanita dengan hiasan melati yang terpasang cantik di kepala berbalut hijab dan mencoba menenangkan.
“Tapi, Bu. Aku tidak bisa menikah dengan laki-laki itu. Kami tidak saling mengenal.”
Melerai pelukannya, sebelah tangan wanita paruh baya itu terulur untuk membelai pipi Ameera yang tertutup kain cadar. Dia tahu betul jika putrinya masih tidak rela dengan kepergian Alex. Terlebih harus menikah tiba-tiba dengan pria yang seharusnya menjadi calon kakak iparnya sendiri. Via bisa mengerti dengan keterkejutan Ameera dan ketidak relaannya atas takdir yang berlaku.
Via tersenyum simpul. “Ibu tahu, Ameera. Meski begitu, semua ini sudah diputuskan Tuan David. Kita tidak bisa menolak. Apalagi, semua tamu undangan tengah menunggu di luar, kita tidak memiliki pilihan. Keluarga besar David Septihan tidak akan membiarkan nama baik mereka tercoreng apa pun alasannya.” Wanita paruh baya itu mencoba memberi pengertian.
“Oh, kenapa semua ini harus terjadi ....” Ameera menangkupkan wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Dapat Via rasakan, bagaimana putri-nya itu terlihat begitu frustrasi atas apa yang tengah terjadi. “Ini terlalu menyakitkan untuk-ku, Bu,” lirihnya terluka.
Benar, baru satu jam yang lalu mereka mendapat kabar duka mengenai Alex, calon mempelai yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Alih-alih membatalkan, pernikahan yang telah dipersiapkan dengan matang, harus tetap dilaksanakan berkat perintah langsung dari David, kakek Alex. Sesepuh di keluarga Septihan itu, secara lantang meminta Alvan untuk menggantikan posisi adiknya dan menikahi Ameera.
Tak memiliki kuasa menolak, Ameera dan keluarga hanya bisa pasrah atas apa yang telah diputuskan. Meski tidak ingin, keluarga David Septihan tidak akan membiarkan reputasi keluarga mereka tercoreng. Terlebih lagi, semua ini berkaitan dengan keputusan Alex dalam menikahi seorang gadis biasa seperti Ameera. Kelak, akan ada banyak rumor tidak sedap yang beredar jika sampai pernikahan ini dibatalkan. Oleh sebab itu, David memutuskan untuk menutup kabar duka yang terjadi dengan menikahkan Alvan dengan Ameera.
"Semua-nya akan baik-baik saja, Ameera. Percaya sama Ibu.” Wanita paruh baya itu mengepuk-nepuk pelan pundak kurus Ameera. Ada secebis kekhawatiran yang terpampang jelas di raut wajah-nya yang sudah mulai mengeriput, melihat kondisi putri-nya yang begitu memprihatinkan.
Tok ... tok ... tok ....
Selagi larut dalam suasana, ketukan pintu yang terdengar berhasil mengalihkan perhatian. Menghentikan tepukan pelannya di bahu Ameera, Via menoleh ke arah daun pintu yang masih tertutup. “Siapa?” tanyanya pada seseorang di balik pintu.
“Maaf, Bu. Saya Dinda. Acara sudah mau dimulai. Bapak bilang sudah waktunya bagi pengantin wanita untuk keluar,” ujar wanita bernama Dinda itu dari sebalik pintu, memberitahu.
Mendongakkan kepalanya, Ameera menatap sang ibu dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ibu ....” Ia tidak kuasa berkata-kata. Ada banyak sekali keraguan yang tengah ia rasakan.
Seakan mengerti dengan kekhawatiran Ameera, Via meraih telapak tangan perempuan itu kemudian mengusap-nya lembut. "Kita sudah harus keluar, Sayang.” Ia mencoba berbicara dari hati ke hati.
“Ameera ... takut, Bu.”
Via tersenyum simpul. “Tenanglah Ameera. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Meskipun pernikahanmu dengan Alvan di mulai karena sebuah keterpaksaan, Ibu percaya kalau kalian memang ditakdirkan untuk bersama.” Wanita paruh baya itu berusaha meyakinkan.
Setelah sempat tertegun selama beberapa saat, ragu-ragu Ameera mengangguk. “Baik, Bu. Aku berharap, ini yang terbaik," ucap Ameera dengan suara bergetar. Air mata-nya perlahan luruh dan jatuh membasahi kain cadar yang dikenakan.
"Sudahlah jangan nangis lagi. Make-up kamu bisa rusak sebelum acara, eh?" kata Via seraya menghapus air mata Ameera dengan penuh kasih sayang.
Perempuan pemilik sepasang mata coklat terang yang indah itu mengangguk patuh. “Eumm. Maaf, Bu. Aku terbawa suasana.” Ameera tidak enakan karena telah membuat sang ibu khawatir.
Kembali, wanita paruh baya itu tersenyum. “Ya sudah, kalau begitu sebaiknya kita segera bersiap-siap. Semua orang sudah menunggu di depan. Kita harus segera bergegas,” tandas Via kemudian segera membantu Ameera bersiap-siap.
Sungguh, Ameera merasa begitu beruntung karena bisa dipertemukan dengan wanita berhati malaikat seperti Via. Meskipun mereka bukan-lah sepasang orang tua kandungnya, Via dan Sulistyo selalu memperlakukan dan menyayanginya dengan sepenuh hati. Seandainya saja, dia tidak memutuskan menikah. Mungkin, hal seperti ini tidak akan terjadi?
‘Astaghfirullahal ‘adzim, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Ayolah, semua ini sudah takdir. Qodarullah, tidak boleh berandai-andai,’ batin Ameera mencoba mengingatkan dirinya agar bersikap menerima takdir yang telah digariskan untuknya.
***
Resepsi pernikahan berlangsung dengan lancar. Para tamu undangan telah berkumpul untuk menyaksikan momen sakral yang akan diadakan di kediaman Sulistyo. Meskipun tempat yang mereka gunakan tidak-lah semegah dan sebesar gedung-gedung di luaran sana, tuan hajat berhasil membuat acara pernikahan berjalan dengan baik dan tak kalah meriah.
Seorang penghulu menjabat tangan pria dalam stelan jas hitam yang nampak maskulin dan gagah yang ada di hadapannya. “Bisa kita mulai sekarang?” tanya pria parauh baya itu memastikan.
Bukannya menjawab, Alvan justru mengkerlingkan kedua matanya malas. “Ck, masih nanya lagi!” ketusnya dengan perasaan gerah.
Mendapati hal itu, Brian yang menemani di samping-nya segera menyenggol lengan putranya dengan sedikit keras. “Jaga ucapanmu, Alvan! Beliau penghulu yang akan menikahkan kamu,” tegur Brian dengan tegas.
Pria paruh baya dalam balutan jas berwarna hitam itu kemudian tersenyum rikuh pada sang penghulu. “Maafkan anak saya, Bapak Penghulu, pak Tiyo,” ucap David tidak enakan dengan sikap tidak sopan putra-nya.
Sulistyo dan pak penghulu itu balas tersenyum kemudian mengangguk kecil. “Tidak apa-apa, Tuan. Kalau begitu, kita mulai saja akad-nya,” ujar Sulistyo membalas ucapan Brian.
Kembali, pria sang penghulu menjabat tangan Alvan. Kali ini, dengan situasi yang sedikit lebih serius dari sebelum-nya. "Baik-lah, kalau begitu, bisa ikuti saya, Tuan Alvan.” Sang penghulu menghela napas, lalu kembali melanjutkan, “Saya nikahkan engkau Alvano Septihan dengan Ameera Rania Putri binti Alm. Hisyam dengan maskawin berupa Emas 120 gram, dan sejumlah uang tunai sebesar 250 juta rupiah, dibayar tunai."
Keheningan mendadak menyelimuti. Di tempatnya, Alvan mencoba mengendalikan diri-nya yang mendadak di serang gugup. Dengan sekali tarikan nafas, Alvan mencoba melafalkan apa yang telah diajarkan oleh sang papa beberapa saat yang lalu. "Saya terima nikah-nya, Ameera Rania Putri binti Alm. Hisyam dengan maskawin berupa emas 120 gram, dan sejumlah uang 250 juta rupiah, dibayar tunai." Tanpa sadar kalimat saklar itu berhasil diucapkan dengan sangat begitu lancar.
Tak pelak, hal tersebut membuat Brian, David dan yang lain terkejut. Pasalnya, baru beberapa menit yang lalu laki-laki itu mengatakan tidak bisa melafaldzkan kalimat sakral itu. Namun, baru saja semua orang dibuat tercengang dengan apa yang Alvan ucapkan.
"Bagaimana para saksi, Sah?" tanya sang penghulu kepada tamu undangan yang hadir di sana.
Seketika, ruangan yang berada di sana menjadi gaduh. "Sah!" Sahutan para tamu undangan terdengar secara kompak. Setelahnya, ucapan do'a dan selamat terus di ucapkan dengan penuh kekhusyukan.
Alvan tidak pernah menyangka jika pada akhirnya ia akan terjebak dalam sebuah pernikahan seperti ini. Bagaimanapun juga, semua yang dilakukan-nya semata-mata hanya karena iming-iming dari sang kakek yang hendak menyerahkan perusahaan kepada-nya. Alvan telah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat pintu hati-nya dan bertekad tidak akan mencintai wanita mana pun kecuali Katrine, sang kekasih yang saat ini masaih berada di Amerika. Sementara untuk Ameera, dia menikahi-nya hanya karena terpaksa dan kelak akan menceraikan-nya di saat dan waktu yang telah ditentukan.
Setelah proses pertukaran cincin, Ameera diminta untuk menyalami Alvan. Dengan ragu, perempuan itu mulai mengarahkan tangan-nya meraih telapak tangan pria yang kini telah menjadi suaminya itu. Sementara Alvan, dia menatap sinis wanita yang kini tengah mencium punggung tangannya dengan penuh rasa takzim. Di mana cinta dan benci tak kasat mata saling bertemu di tengah-tengah, berperang dengan tugas dan suasana.
Setelah Ameera menyalimi Alvan, kini gantian Alvan yang diminta untuk mencium kening Ameera. Awal-nya, Alvan tidak mau. Namun, Brian dan David terus membujuk-nya. Hingga akhir-nya, dengan penuh keterpaksaan, Alvan pun mendekati Ameera dan mulai mengulurkan sebelah tangan-nya ke arah perempuan itu.
Sebuah desiran hangat Ameera rasakan saat benda kenyal itu menempel sempurna pada kulit dahi, mengiringi Vincent yang mengecup-nya singkat. Bersamaan dengan itu, tepuk meriah dari para tamu undangan terdengar menyelamati proses pengantin baru tersebut. Sebenarnya acara pernikahan yang digelar hari itu cukup tertutup karena hanya di hadiri oleh keluarga serta beberapa rekan bisnis. Meski begitu, tetap saja tamu yang datang berjumlah lebih dari yang telah diperkirakan.
Semua orang terlihat begitu bergembira menyaksikan momen indah ini. Berbeda dengan Ameera, dia terus-menerus di rundung rasa takut. Entah kenapa, dia merasa jika suami-nya itu tidak menyukai-nya, dan nyaris seperti membenci-nya. Lantas, bagaimana dia akan menjalankan pernikahan tanpa cinta ini
“Bahagia, eh? Akhirnya, kamu resmi juga menjadi pengantin keluarga David Septihan. Aku tidak tahu apa yang sudah kamu perbuat sampai-sampai Alex tergila-gila dan mau menikah sama perempuan modelan kayak kamu ini. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat. Jangan berharap lebih terhadap pernikahan ini. Aku tidak mencintaimu dan tidak akan pernah jatuh cinta padamu. Mengerti!” bisik Alvan berhasil membuat Ameera yang sedang melamun tersentak.
Perlahan, perempuan bercadar itu menoleh. Ditatapnya sosok jangkung yang berdiri di sebelahnya dengan penuh keterkejutan. Tanpa membalas, ia hanya terus menatap Alvan.
Satu hal yang sekarang Ameera mengerti, bahwasan-nya laki-laki yang kini telah berstatus sebagai suaminya itu sangat membencinya. Segera, perempuan itu mengalihkan atensinya ke arah lain. Diam-diam, di bawah sana Ameera mencengkram sisi gaun yang dikenakan guna menyalurkan keresahan yang bergumul di dalam dada-nya.
“Satu lagi. Malam ini, aku tidak akan tinggal di sini. Aku tidak sudi tinggal di tempat kumuh seperti ini. Sangat jorok dan tidak nyaman.” Alvan menekan setiap kata-katanya, seakan sengaja melakukan-nya agar wanita di sebelah-nya itu tertohok. “Aah, satu lagi. Jangan harap aku mau melakukan hal itu bersamamu, wanita aneh dan kolot!” kelakar Alvan lagi semakin membuat Ameera terhenyak.
Gluk
Gemuruh rasa melanda. Kedua mata indah-nya telah berkaca-kaca. Ameera merasa hati-nya tercabik-cabik mendengar penuturan Alvan. Baru saja, suami-nya itu memberi peringatan menyakitkan. Menikah tanpa cinta? Oh, apa yang harus ia lakukan?
Bersamaan dengan itu Alvan merasakan ponsel-nya bergetar. Merogoh saku celana-nya, ia terbelalak tatkala melihat sebuah pesan masuk dari layar ponsel. Lalu, setelah-nya dia segera menekan tombol panggil sambil berjalan pergi.
“Maafkan aku, Sayang. Seharian ini aku sibuk sekali jadi tidak sempat menghubungi kamu ....”
Melirik sekilas ke samping, Ameera mengernyitkan kening. Sebenarnya, dia tidak berniat menguping pembicaraan. Hanya saja, suara Alvan terlalu besar untuk tertutup dari rungu Ameera.
Perempuan pemilik manik mata murni yang indah itu menatap punggung tegap yang kini sedang berdiri membelakangi-nya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Sayang?” Kedua mata Ameera membola lebar begitu menyadari sesuatu. “Jangan-jangan ....”
Rintik gerimis membasahi bumi pertiwi. Di bawah nungan langit malam yang memayungi alam semesta, terlihat lautan manusia yang datang berbondong-bondong memasuki pemakaman guna mengiringi peristirahatan terakhir Alexander Septihan. Siang tadi, kabar duka datang menimpa keluarga besar David Septihan. Pria berusia sekitar 24 tahun yang seharusnya menikah pada hari ini dan akan memulai hidup bahagia bersama dengan wanita yang dicintainya, kini telah pergi untuk selama-lamanya menuju kepangkuan Yang Maha Kuasa.Banyak yang merasa sedih atas kepergian Alex. Kematian, tidak ada yang tahu kapan ia akan datang menjemput. Kehadiran-nya tiba-tiba tanpa bisa dicegah, kemunculan-nya pun menjadi rahasia di antara ribuan nyawa manusia. Bisa jadi, sekarang kita merasa sehat dan baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu satu-dua detik kedepan, raga telah meregang nyawa menyusul mereka yang terlebih dahulu telah pergi.Sampai pada beberapa saat kemudian, serangkaian proses pemakaman telah selesai dilaksana
“Mas Alvan ke mana, ya? Kok jam segini belum pulang?” Sembari melipat sajadah, Ameera yang baru selesai melakukan ritual shalat malam, bergumam.Sejak pertama kali datang di kediaman baru-nya ini, perempuan itu tidak bisa tenang lantaran terus menunggu kepulangan Alvan. Namun, sampai lewat tengah malam hingga masuk permulaan pagi, suaminya itu masih belum kunjung kembali. Karena tidak tidak juga bisa tidur, Ameera memutuskan untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat dua raka’at dengan tujuan mencari ketenangan diri. Dan terbukti, sekarang dia sudah merasa jauh lebih tenang dari sebelum-nya. “Seperti-nya, Mas Alvan beneran enggak pulang malam ini,” monolog Ameera begitu teringat dengan kata-kata Alvan sebelum pergi tadi.“Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa.”Diletakkan-nya sajadah yang telah dilipat ke atas nakas, pandangan Ameera kemudian teralih pada botol air kosong yang juga berada di atas sana. Tiba-tiba saja, sebuah ide melintas
Dinginnya udara terasa begitu menusuk. Waktu telah menunjukkan pukul 05 pagi, setelah shalat subuh, Ameera berniat keluar kamar. Namun, pandangannya berlabuh pada sosok Alvan yang tengah tertidur di kursi kerja di sudut kamar. Sepulang dari kantor dini hari tadi, ia tidak langsung beristirahat. Alvan kembali berkutaat dengan pekerjaan-nya dan berakhir ketiduran.Menyadari hal tersebut, Ameera menghela napas panjang. Ia meraih selimut tebal yang terlipat rapi di sisi tempat tidur, lalu membawanya menuju tempat di mana suaminya berada. “Kasihan sekali Mas Alvan. Pasti kedinginan ketiduran di situ.” Dibentangkan-nya selimut yang tadi diambil, kemudian digunakan untuk menyelimuti tubuh suaminya, bertujuan menjaganya tetap hangat. “Sebaiknya sekarang aku turun dan membantu membuat sarapan pagi.” Ameera melirik sosok jangkung yang tengah terlelap itu sekilas, sebelum kemudian berjalan keluar kamar menuju dapur.Bagaimanapun juga, ini adalah hari pertamanya menjadi seorang istri. Sebuah peran
Di bawah langit biru yang cerah, Ameera menggantungkan pakaian terakhir yang sebelumnya telah dicuci pada tali jemuran. Sembari mengusap keringat di dahinya, perempuan bercadar itu kemudian membawa atensinya ke sekeliling.Seperti biasa, mansion keluarga Septihan yang luas itu selalu dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitas masing-masing. Lihat saja, betapa lantai marmer di setiap sudut itu nampak berkilau, begitu juga dengan halaman-nya yang bersih tanpa satupun daun yang berserakan.Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih semua tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan para pekerja, melainkan karena merupakan perintah khusus dari Bianca. Mertuanya itu cukup sulit untuk dihadapi. Sosoknya tegas serta memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan tempat tinggal dengan-nya.Ameera tahu betul, untuk mendapatkan sedikit pengakuan
Setelah berganti pakaian, Alvan berjalan menuju sofa panjang. Setelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai, nampak pas membalut tubuh jangkungnya. Sampai di dekat sofa, Alvan hendak berbaring di sana guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mendapati Ameera yang masih terpejam, padahal sudah cukup lama baginya tidak sadarkan diri. Alih-alih memanggilkan doker, ia memilih untuk tidak peduli dan segera berbaring. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun Alvan mencoba untuk tidak menghiraukan, tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.“Masih belum bangun juga.” Kening Alvan berkerut, saat menyadari siklus napas Ameera yang berat. “Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan bernapas. Haruskah aku melepasnya?” Alvan nampak ragu un
Sinar matahari menyelinap masuk, menerangi setiap ruang di kediaman keluarga Septihan. Sekalipun kehangatan menyapa pagi hari. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana dingin di meja makan. Bianca, yang duduk di posisi ujung meja memasang ekspresi masam, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran empuk untuk melampiaskan kekesalan-nya. Sampai pada beberapa saat kemudian, pandangan wanita itu tertuju pada sosok Ameera yang sedang berjalan sedikit tertatih memasuki ruangan.“Melihatmu berjalan seperti itu, hanya akan membuat aku berpikir kalau kamu sedang berpura-pura sakit, Ameera. Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga. Benar-benar akting yang menakjubkan!” cibir Bianca menohok. Sorot matanya yang tajam, seolah siap menguliti Ameera hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-
Ameera berjalan memasuki kamar lalu mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur. Sebelah tangannya tergerak untuk menyeka keringat di keningnya. Baru saja, ia menyelesaikan pekerjaan di mansion, sebagai tugas yang diberikan oleh Bianca. Sekalipun sedikit kelelahan, Ameera merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan semalaman ia telah beristirahat dan meminum obat.Alih-alih membaringkan diri di kasur, pandangan Ameera tanpa sengaja berlabuh pada sebuah handuk kecil yang berada di atas nakas. Senyum tipis terukir di bibir merah muda Ameera begitu teringat dengan Alvan yang telah merawatnya semalam. “Aku masih enggak nyangka, semalam Mas Alvan akan merawatku,” gumamnya pelan.Membahas tentang Alvan, Ameera teringat jika Saat ini, suaminya itu sedang sibuk bekerja dan entah kapan akan kembali. “Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah i
Ameera berlari sekuat tenaga meninggalkan ruangan pribadi Alvan. Sementara Jay yang masih berdiri di depan pintu, hanya bisa menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa dicegah, air mata perempuan itu mengalir dengan begitu deras membasahi pipi pucatnya yang tertutup kain cadar. Kekecewaan dan rasa sakit seketika memenuhi relung hatinya begitu bayangan kurang menyenangkan yang ia lihat beberapa detik lalu kembali melintas di kepalanya.Napasnya terasa sesak, dadanya panas dan sakit. Ameera tidak pernah menyangka bahwa takdir hidupnya akan membawanya sampai ke titik ini. Titik di mana hatinya terasa hancur berkeping-keping menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya sendiri.“Seharusnya aku menyadarinya. Mas Alvan memang suamiku, tetapi hatinya bukan untuk-ku. Dia sudah memiliki kekasih jauh sebelum kami menikah,” gumam Ameera sembari mengusap air matanya dengan sedikit kasar.Dalam keadaan bingung dan sedih, Ameera tidak menyadari ke mana dia
Cahaya lampu kamar temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding berwarna gading. Aroma melati dari diffuser berbaur dengan harum kain yang baru saja disetrika. Ameera berdiri di depan cermin, ujung jarinya dengan luwes merapikan kerudungnya yang menjuntai anggun.“Santi, tolong ambilkan gamis navy di lemari.”Santi yang sejak tadi sibuk menata selimut segera menghampiri lemari kayu jati di sudut kamar. Tangannya meraba lembut kain yang Ameera maksud, lalu mengeluarkannya dengan hati-hati. Gamis itu jatuh dengan anggun, warnanya pekat seperti langit malam tanpa bintang.“Ini, Nyonya Muda.”Ameera menerimanya dengan senyum tipis. Jari-jarinya meraba tekstur kain yang lembut dan sejuk di kulit. Sembari mengenakann-ya, ia mengikat tali kecil di bagian belakang, memastikan baju itu pas membingkai siluetnya tanpa berlebihan.Santi memperhatikan sejenak. “Anda ada janji, Nyonya Muda?” tanyanya sedikit penasaran.“Eum.” Ameera mengangguk. “Mas Alvan bilang ada undangan penting yang harus d
Matahari senja menggantung rendah di ufuk barat, menaburkan cahaya keemasan yang menyelimuti taman rumah sakit dengan kilau lembut. Angin berembus sepoi, membawa serta aroma bunga yang tengah bermekaran. Ameera mendorong kursi roda Alvan dengan penuh kelembutan, membiarkan suaminya menikmati udara segar setelah sekian lama terkurung di dalam kamar perawatan.“Maa syaa Allah, pemandangan di sini indah sekali, ya, Mas,” ujar perempuan bercadar itu riang. Matanya bebinar penuh kekaguman, sementara suaranya terdengar seperti alunan angin yang membelai dedaunan.Alvan tak segera menanggapi. Tatapannya terarah padanya, bukan pada hamparan bunga atau pepohonan rindang di sekeliling mereka. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan.Ameera menghentikan langkah, lalu setengah berlutut di hadapan suaminya dengan dahi berkerut. Tubuhnya merendah seolah ingin menyatu dengan bayangan di tanah. “Kenapa Mas Alvan tersenyum seperti itu? Apa ada yang salah dengan
Ruangan ICU terasa sunyi, hanya suara monitor jantung yang berdetak pelan, menciptakan ritme monoton di antara keheningan. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Alvan terbaring di atas ranjang dengan berbagai kabel sensor menempel di dadanya. Wajahnya pucat, napasnya masih berat, dan kelopak matanya bergerak samar, seolah sedang berjuang di antara kesadaran dan ketidaksadaran.Di sisi ranjang, Ameera duduk dengan jemari menggenggam tangan Alvan yang terasa dingin. “Mas Alvan ….” Ia mengeratkan genggaman tangan-nya, seolah takut kehilangan. “Kapan Mas bangun?” Matanya berkaca-kaca mengamati wajah suaminya yang masih lemah. Setelah sempat mengalami guncangan hebat, akhirya kondisi suaminya kembali stabil. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi perasaan khawatir dan cemas di dada Ameera.Sementara itu, di tempatnya, Alvan merasakan sensasi berat yang menekan sekujur tubuh, seolaah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Perlahan
Di rumah sakit, ketegangan terasa begitu kuat. Alvan tengah berada di dalam ruang operasi. Seperti kata Gled, peluru sangat dekat dengan tulang belakang, sehingga butuh operasi segera untuk mengeluarkan-nya.Ameera terpaksa menunggu di luar ruang operasi. Tangan-nya mencengkeram erat ujung gamis yang dikenakan, dadanya naik turun karena cemas. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya suara langkah dokter dan suara mesin-mesin medis yang sesekali berbunyi. Pikiran-nya dipenuhi ketakutan, bayangan tentang Alvan yang selalu tegas dan dingin, kini terbaring lemah membuat hatinya mencelos.“Aku ikut operasi. Doakan kami berhasil.” Begitu kata-kata Gled sebelum memasuki ruang operasi dengan mengenakan baju bedah. Saat itu, Ameera hanya bisa memandang punggungnya menghilang di balik pintu yang tertutup rapat.Monitor detak jantung Alvan berbunyi dengan cepat saat operasi dimulai, menunjukkan kondisinya yang sangat kritis. Ameera hanya bisaa menahan napas. Dalam diam, ia berdo’a tanpa henti, me
Satu pekan sebelum kejadian …Di luar mansion keluarga Septihan, suasana semakin mencekam. Angin malam berembus dingin, menggugurkan dedaunan kering yang berserakan di jalan setapak. Lampu-lampu jalan yang redup menciptakan bayangan panjang, seakan menambah ketegangan yang telah menggantung di udara.Beberapa waktu lalu, sebelum semua memuncak, Ameera mulai merasakan ada yang aneh. Langkah-langkah samar di kejauhan, tatapan yang seakan menembus punggungnya, dan perasaan seolah-olah setiap gerak-geriknya diawasi. Bayangan itu mengikuti di mana pun ia berada, mengintai dalam kegelapan, menunggunya lengah.Ia tidak ingin Alvan khawatir. Namun, firasat buruk itu terus mengusiknya, merayapi pikirannya seperti racun yang perlahan menyebar. Hingga akhirnya, ia menemui Jay, untuk mencari jawaban."Itu hanya perasaan Anda saja, Nyonya Muda. Anda tidak perlu terlalu memikirkan-nya," kata pria itu santai. Namun, Ameera tidak melewatkan ada sesuatu yang bersembunyi dalam sorot matanya yang menyir
"Cepat berlutut, dan serahkan semua surat kuasa yang kau miliki, juga aset keluarga ini!" ujar Eldome bergema seperti gelegar petir, menciptakan bayangan ketakutan yang menyelinap di antara deretan pilar marmer.Alvan menggeram, kepalan tangan-nya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Pandangan-nya melirik sekilas ke arah Brian, Bianca, dan David yang ditahan di sudut ruangan. Dilema menyayat hatinya. Melepaskan semua yang telah ia bangun dengan susah payah atau menyaksikan keluarganya menderita?Eldome melangkah maju, sorot matanya tajam seperti pisau yang menusuk. "Baiklah, karena kau memilih untuk menentangku, aku akan melenyapkanmu, sekarang!" Dengan satu isyarat tangan, puluhan pria berpakaian hitam muncul dari balik bayangan, mengepung setiap sudut mansion. Senjata berlaras panjang mereka terangkat, siap membidik.Kedua mata Alvan terbelalak. Napasnya memburu menyadari dirinya yang telah kalah telak. Alvan mulai menghubungi sahabatnya guna meminta bantuan. Namun, koneks
Eldome menyandarkan tubuhnya pada kursi tinggi berlapis beludru, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan dengan ritme santai, kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Senyumannya sinis, mata kelamnya menyipit penuh perhitungan. "Ayolah, Alvan," lanjut Eldome, bersenandung ringan seolah menikmati permainan. "Bukankah ini yang kau inginkan? Membalaskan dendam pada orang-orang berdosa ini?"Ia mengedik-kan dagu ke arah Brian dan Bianca yang kini terikat di kursi. "Aku harap kau masih ingat, bagaimana mereka membiarkanmu menderita, menyaksikanmu diusir dari keluarga ini tanpa membela sedikit pun. Dan lihatlah kau sekarang, datang seperti seorang pahlawan."Pria paruh baya dengan sentuhan topi fedora yang melingkar di kepala itu mendekat, setiap ucapan-nya terdengar seperti bisikan yang menggerayangi sisi gelap di hati Alvan. "Jangan lupa, Alvan ... siapa yang selama ini membentukmu, dan membuatmu menjadi kuat sampai kau bisa berada di puncak. Bukankah hanya aku? Aku yang mem
Begitu pintu kamar tertutup, Ameera membuka mata perlahan. Seketika, keheningan menyergap, menciptakan ruang bagi nyeri yang masih bersarang di tubuhnya. Detak jam di dinding terdengar lebih lambat dari biasanya, seakan waktu ikut merasakan kesakitan yang ia derita. Butuh waktu bagi dirinya untuk menahan-nya sampai suaminya pergi.Dengan gerakan hati-hati, Ameera bangkit, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Setiap langkah menuju kursi di dekat jendela terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Begitu punggungnya menyentuh sandaran, rasa perih menyergap kuat."Sshh ...." Desahan lirih lolos dari bibirnya. Jemarinya bergetar saat menyingsingkan lengan bajunya. Saat melihat kulitnya sendiri, Ameera tercekat. Memar ungu kebiruan menghiasi permukaan, luka-luka kecil terbuka di antara lebam, beberapa bahkan masih tampak segar. Bekas amukan Eldome begitu nyata, seolah baru saja terjadi. Gurat luka di sikunya—hasil sayatan pisau—mengingatkannya pada teror yang ia alami saat dalam p
“Kau yakin temanmu itu dokter terbaik, Gled? Kenapa dia begitu lama di dalam?” Alvan melontarkan pertanyaan dengan nada tajam, nyaris mendidih dalam ketidak sabaran-nya.Sosok jangkung itu terus mondar-mandir di depan pintu kamar, langkahnya berat, menggema di lantai marmer yang dingin. Rahangnya mengeras, sorot matanya gelap, menggambarkan badai yang bergejolak di dalam dirinya. Sekujur tubuhnya tegang, setiap urat nadi di lengannya mencerminkan betapa keras ia menahan diri.Di benaknya, kecurigaan perlahan merayap. Dokter wanita yang dibawa Gled—benarkah dia bisa dipercaya? Sesuatu terasa janggal. Mengingat betapa tertutupnya Ameera, ia yang bersikeras agar sahabatnya mencari dokter perempuan untuk memeriksanya. Namun, tetap saja, ini terlalu lama sejak pemeriksaan dimulai.Gled menghela napas panjang, seakan memahami kegelisahan yang menguar dari tubuh Alvan. “Tentu saja. Dia punya segudang sertifikat, dan kemampuannya tak perlu diragukan. Tenanglah, kau tidak perlu khawatir,” ucapn