Dinginnya udara terasa begitu menusuk. Waktu telah menunjukkan pukul 05 pagi, setelah shalat subuh, Ameera berniat keluar kamar. Namun, pandangannya berlabuh pada sosok Alvan yang tengah tertidur di kursi kerja di sudut kamar. Sepulang dari kantor dini hari tadi, ia tidak langsung beristirahat. Alvan kembali berkutaat dengan pekerjaan-nya dan berakhir ketiduran.
Menyadari hal tersebut, Ameera menghela napas panjang. Ia meraih selimut tebal yang terlipat rapi di sisi tempat tidur, lalu membawanya menuju tempat di mana suaminya berada. “Kasihan sekali Mas Alvan. Pasti kedinginan ketiduran di situ.” Dibentangkan-nya selimut yang tadi diambil, kemudian digunakan untuk menyelimuti tubuh suaminya, bertujuan menjaganya tetap hangat. “Sebaiknya sekarang aku turun dan membantu membuat sarapan pagi.” Ameera melirik sosok jangkung yang tengah terlelap itu sekilas, sebelum kemudian berjalan keluar kamar menuju dapur.
Bagaimanapun juga, ini adalah hari pertamanya menjadi seorang istri. Sebuah peran yang harusnya diisi dengan penuh kebahagiaan dan harapan. Namun, bagi Ameera, semua bagai pukulan telak. Ia harus mengambil peran dengan hati yang berat dan mata yang masih berkabung atas kepergian Alex, cinta pertamanya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis. Walau demikian, di sela-sela langkahnya, Ameera menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkan-nya secara perlahan, ia mencoba mengikhlaskan semuanya dan menerima garis takdir yang telah semesta tentukan untuk-nya.
.
.
“Enaknya masak apa, ya, pagi ini?” Di dapur, Ameera tengah memperhatikan isi kulkas, mencoba memilih apa yang harus dibuatnya sebagai menu sarapan pagi keluarga mereka. Sebenarnya, para pelayan telah melarang Ameera untuk masuk ke dalam dapur serta membiarkan mereka melakukan semua pekerjaan ini. Namun, perempuan itu terus memohon dan bersikeras melakukan-nya sendiri. Alasannya, tentu saja dia ingin mencoba kebolehan-nya dalam memasak dan memanjakan perut para penghuni mansion.
Usai mengamati, diambilnya beberapa bahan dan sayuran dari dalam lemarai es lalu mencucinya hingga bersih. Dengan lihai Ameera mulai memotong sayuran yang telah bersih dengan irisan super tipis yang kelak akan dicampurkan dengan 4 butir telur, sebagai omelet. Ia bahkan tersenyum penuh arti di sela-sela kegiatannya. Meskipun saat ini suaminya masih belum bisa menerima kehadiran-nya sebagai seorang istri, Ameera bertekad untuk membuata Alvan jatuh cinta kepadanya.
Dengan kelihaian penuh, Ameera memasukkan setiap bahan yang telah disiapkan ke dalam wajan dengan api sedang. Usai omelet jadi, dia menumis bawang putih yang telah cincang halus disusul irisan bawang bombay hingga harum. Ameera juga menambahkan sedikit daging sapi yang telah dimarinasi lalu memasukkan tofu ke dalam penggorengan. Selain membuat omelet, ia juga membuat tofu saus tiram sebagai menu sarapan.
Ameera memang pandai memasak. Bahkan, orang tua-nya sering memuji-nya setiap kali mencicipi masakan-nya. Beberapa kali, ayah-nya mencoba meminta Ameera untuk mengambil kelas memasak untuk mengasah bakat terpendamnya. Namun, ia menolak lantaran biaya yang mahal. Ameera tidak ingin membebani ayah-nya. Mengingat, cinta kasih orang tuanya yang tulus untuk-nya, membuat perempuan itu ingin membalas jasa mereka daripada menambah beban dengan karir masa depan-nya yang tidak pasti.
Setelah cukup lama berkutat di dapur, akhirnya masakan Ameera jadi juga. Ia segera memindahkan tofu saus tiram ke dalam mangkuk lalu membawanya ke meja makan. Walaupun sempat tidak diizinkan memasak oleh para pelayan, Ameera berhasil membuat mereka semua takjub dengan hasil masakan yang dibuat. Beberapa pelayan bahkan mengungkapkan kekaguman-nya kepada Ameera, dan menilai jika nyonya muda mereka penuh dengan telaten.
Ameera tersenyum simpul melihat hasil kerja kerasnya di dapur tadi, telah tertata rapi di atas meja. Dia tidak menyangka akan memasak selain untuk ayah dan ibunya di rumah. Ameera memang ingin menunjukkan kemampuan-nya dengan begitu, dia mungkin bisa mendapatkan sedikit pengakuan dari keluarga barunya.
Sementara itu, dari arah pintu, Brian berjalan memasuki ruang makan, diikuti oleh David dan Bianca. Kedua pria berbeda usia itu tersenyum lebar mencium aroma masakan Ameera yang begitu menggoda. “Wah, apa yang kamu masak, Ameera? Harum sekali, sangat menggugah selera,” kata Brian kemudian mendudukkan dirinya pada salah satu kursi kosong yang berada di sana.
“Kakek tidak menyangka, ternyata kamu pandai memasak, Ameera,” kekeh David menyahuti.
Tidak diam saja, Ameera segera menarik kursi yang berada di posisi terujung, dan mempersilakan David untuk duduk di sana. “Hati-hati, Kek,” ucap Ameera yang dibalas anggukkan oleh sang empu. Harus Ameera akui, kakek suami-nya itu, walaupun telah lanjut usia tetapi masih terlihat segar dan bijaksana.
“Boleh aku mencicipinya, Ameera?” tanya David tidak sabar.
“Boleh, Kek. Sebentar, biar Ameera ambilkan dulu, ya.” Ameera segera mengambil piring lalu mulai memasuk-kan nasi serta lauk yang telah dimasak dan menyuguhkan-nya untuk kakek David. “Silakan, Kek. Tapi, maaf kalau masakan Ameera enggak enak,” tuturnya cemas.
Sosok senja itu manggut-manggut. “Oh, kenapa kamu tidak percaya diri, Ameera. Baik-lah, biar Kakek coba, ya.” David mulai menyendok tofu di piring dan melahapnya dengan tenang.
“Melihat Papa memakan-nya, aku jadi tidak sabar untuk mencobanya,” ungkap Brian lalu segera mengambil piring bagian-nya yang juga disiapkan oleh Ameera, dan mulai mencicipinya.
Di tempatnya, Ameera nampak tegang. Sekalipun ayah dan ibunya sering memuji masakan-nya, tetapi Ameera menyadari setiap orang memiliki selera yang berbeda-beda. Namun, dengan David dan Brian yang tidak menunjukkan reaksi apa pun, membuat Ameera merasa cukup gugup.
“Apa kamu yakin, ini masakanmu, Ameera?” tanya David terdengar horor.
“Eum.” Ameera mengangguk pelan. “Iya, Kek.”
“Menurutmu apa ada yang aneh dari masakan ini, Brian?”
Ameera menahan napas. “Maaf, Papa, Kakek. Tapi, apa ada yang salah dengan masakan Ameera?” Ia nampak cemas kalau-kalau masakan-nya tidak enak atau tidak sesuai dengan selera kakek dan papa mertuanya.
Kedua pria berbeda usia itu saling berpandangan dan melempar senyum penuh arti. Di mana, hal tersebut membuat Ameera semakin merasa bingung. Tunggu, apa maksud dari senyuman itu? Kenapa kakek dan papa mertuanya hanya diam saja? Ameera semakin dirundung keresahan.
“Kamu salah, Ameera.” Brian menggeleng cepat. “Ini sangat enak! Bukan begitu, Pa?” pekik pria paruh baya itu dengan enskpresi terkejut sekaligus bebinar.
Ameera mengerjap polos. “Maaf?” beonya dengan perasaan bingung.
David tersenyum lalu mengangguk setuju. “Kau benar, Brian. Ini mengingatkanku pada masakan mama dulu.” Di tempatnya, pria senja itu tidak kalah bungah. Setelah sekian lamanya, akhirnya ia menemukan masakan yang mirip dengan mediang sang istri. “Bagaimana kamu bisa membuatnya dengan begitu mirip?”
“Benarkah? Ameera hanya membuatnya sesuai dengan bahan yang ada di dalam kulkas. Tidak ada resep khusus,” cicit Ameera apa adanya. Dia masih canggung dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi keluarga barunya itu.
Di saat semua orang tengah larut dalam nostalgia, Bianca berjalan anggun memasuki ruangan. Namun begitu, dapat Ameera rasakan aura dingin secara perlahan menyelimuti afmosfer. Matanya segera menatap piring-piring yang penuh dengan hidangan buatan Ameera tanpa minat. “Oh, jadi kita tidak menggunakan layanan pelayan hari ini?” tanyanya dengan nada bicara ketus.
Ameera menelan ludah, mencoba untuk tidak terpengaruh oleh sikap Bianca. Dia tahu betul, kepergian Alex merupakan pukulan besar bagi mama mertuanya. Bukan hanya itu, Ameera dapat merasakan kebencian yang mendalam setiap kali Bianca menatapnya, dan tentunya dia memaklumi. “Ameera hanya mencoba memasak sedikit makanan untuk sarapan pagi ini, Ma,” jawab Ameera berusaha tetap tenang.
Tidak menghiraukan Ameera, Bianca segera mendudukkan dirinya di kursi sebelah Brian dan memeriksa setiap hidangan dengan tatapan kritis. “Makanan seperti ini saja, kenapa kalian memujinya berlebihan sekali?” cemoohnya telak.
“Ma, dicoba dulu. Masakan Ameera memang enak, benar begitu, Pa?” Brian yang tidak enakan dengan Ameera, menanggapi sang istri.
Wanita paruh baya itu mendengkus, dan mencicipi omelet yang dibuat Ameera. Sejenak ada kilatan kepuasan di wajahnya, sebelum kemudian kembali menutupinya dengan ekspresi datar. “Biasa saja. Seperti rasa telur pada umumnya, tidak ada yang istimewa,” ketus Bianca sembari meletakkan garpu ke atas tatakan meja.
Tak pelak, sikap Bianca tersebut membuat nyali Ameera menciut. “Omelet memang telur kocok, mau dimasak seperti apapun rasanya tetap sama. Maksud Papa, tofu saus tiramnya, lezat sekali. Mama cobain, deh.” Seolah tidak ingin membuat menantunya sedih, Brian berseloroh sambil mengambil porsi kedua. “Kamu punya bakat, Ameera.”
David mengangguk setuju. “Ini sarapan terbaik yang pernah aku makan dalam waktu lama,” tambahnya, membuat hati Ameera menghangat.
“Ck, kalian hanya membuatnya besar kepala!” keluh Bianca malas.
Di tengah-tengah kegiatan sarapan yang berlangsung, Alvan berjalan menuruni anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Tangannya sibuk mengenakan dasi, sementara matanya sesekali melirik jam di tangan yang berdetak dengan teratur. Pagi ini, dia memiliki rapat penting yang harus dia hadiri dan hampir terlambat karena ketiduran. Sebagai seorang pemimpin, Alvan merasa gagal. Bagaimana bisa, dia begitu teledor sementara masa depan perusahaan kini telah berada di bawah tanggung jawabnya.
Ameera yang melihat kehadiran suaminya segera bangkit dari tempat duduk dan berjalan menghampiru suaminya. Ia berniat menawarinya sarapan bersama. “Sarapan sudah siap, Mas. Siapa tahu Mas Alvan mau mencicipinya dulu sebelum berangkat kerja,” ajak Ameera, ada secebis harapan dari sorot mata indahnya.
Mendengar namanya disebut, Alvan menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Tidak jauh dari tempat dirinya berada, semua orang telah berkumpul bersama mengelilingi meja makan, dengan hidangan makanan di tengah-tengah mereka. Alih-alih menerima ajakan Ameera, laki-laki dalam balutan jas yang gagah itu justru menggeleng singkat. “Aku tidak punya waktu. Ada rapat penting yang harus aku hadiri,” jawabnya singkat, dingin dan tegas.
Sontak, penolakan Alvan tersebut membuat Brian tidak terima. “Hey, Son. Kemarilah. Istrimu telah memasak banyak makanan. Kau sarapan-lan terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantor!” serunya memerintah.
Menghela napas panjang, Alvan kembali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Hal itu langsung membuat Ameera mengerti dengan suaminya yang tengah terburu-buru. “Tidak bisa, waktunya terlalu mepet. Aku sarapan di kantor saja,” tolak Alvan tidak berminat.
“Sedikit saja, Alvan. Hargai istrimu.” David ikut menambahi.
“Enggak apa-apa, Kek. Ameera tahu Mas Alvan lagi buru-buru.” Ameera mencoba berlapang dada dan memaklumi suaminya yang sibuk.
Bergeming sejenak, Alvan mencoba menimbang-nimbang. Namun, pada akhirnya dia tetap menggeleng. “Maaf, Kek. Aku harus berangkat sekarang.” Melirik Ameera sekilas. Alvan segera mengambil tas kerjanya dari tangan Jay, kemudian bergegas pergi meninggalkan Ameera.
Di sela-sela langkahnya menuju pintu keluar, Alvan menghela napas berat. Kehidupan pribadinya cukup kompleks, dia terbelenggu oleh kebencian dan kewajiban. Di matanya, Ameera hanyalah bayangan dari adiknya yang telah meninggal, seseorang yang terpaksa harus dia nikahi. Ya, dia menikahi Ameera bukan karena cinta, melainkan karena tekanan dari kakek-nya yang telah menjanjikan perusahaan utama keluarga mereka sebagai imbalan atas pernikahan ini.
“Tidak apa-apa, Ameera. Mas Alvan sedang buru-buru. Mungkin lain kali, Mas Alvan akan sarapan bersama,” gumam Ameera, mencoba menenangkan diri.
Tak pelak, ada kecewa yang mendera relung hatinya. Sarapan yang telah ia siapkan dengan penuh semangat, perlahan luntur. Mengingat, ia sejak pagi-pagi sekali ia telah turun, hingga memastikan bahwa setiap hidangan dibuat dengan sempurna dan berharap suaminya itu mau sedikit menyisihkan waktu untuk menikmati hasil jerih payahnya, menjadi sia-sia.
Berjalan menghampiri meja makan, Ameera kembali duduk di tempatnya. Nafsu makannya mendadak hilang. Brian yang menyadari hal tersebut, menjadi tidak enakan. Berdeham beberapa kali, pria paruh baya itu mencoba membuka kembali topik pembicaraan yang sempat senyap. “Ayo, Ameera, kamu juga sarapan bersama kami. Lihat, keburu dingin nantinya.”
Sepasang mata indah Ameera menyipit bak bulan sabit. “Iya, Pa.” Ia mengangguk, berpura-pura menyembunyikan kesedihan-nya.
“Terima kasih untuk sarapannya, Ameera. Ini sangat lezat,” ucap David bersungguh-sungguh.
“Sama-sama, Kek,” balas Ameera dengan sopan.
“Entahlah apa yang istimewa. Masakan buatannya biasa saja, kalian terlalu berlebihan!” ketus Bianca menohok.
“Ma, berhentilah bersikap tidak ramah seperti itu. Ameera menantu kita,” tegur Brian.
Memutar bola matanya malas, Bianca melipat kedua tangannya ke depan. “Mustahil bagiku untuk bersikap ramah terhadap seseorang yang telah membunuh putra kita!” kelakarnya bersungut-sungut.
Ucapan Bianca bak belati yang menyayat-nyayat jantung Ameera. Kebencian wanita paruh baya itu terlalu mendalam dan kental. Walaupun kecelakaan itu bukanlah sesuatu yang mereka inginkan. Namun, Ameera tetap merasakan rasa bersalah yang besar.
“M-maafkan Ameera, Ma,” ucap Ameera getir. Napasnya terasa sesak, dan nyaris tercekik.
Deritan kursi terdengar mengiringi David yang bangkit dari duduk. “Berhentilah menyalahkan-nya, Bianca. Semua ini sudah kehendak Tuhan. Brian, sebaiknya kau bawa istrimu beristirahat, dan Ameera, kau lanjutkan sarapanmu. Aku hendak mencari udara segar di taman belakang,” ujar pria senja itu menengahi dengan bijak, sebelum kemudian melenggang pergi meninggalkan meja makan menuju taman belakang mansion.
Tidak membantah, Brian segera mengangguk patuh. “Baik, Pa.” Menoleh ke samping, ia menatap sang istri prihatin. “Sebaiknya kita beristirahat, Ma,” katanya lalu mulai mengajak Bianca beranjak ke kamar untuk beristirahat.
Di tempatnya, Ameera yang tinggal sendiri termenung dalam diam. Ada banyak sekali hal berat yang dialaminya. Mulai dari patah hati, menikah dengan laki-laki yang bukan pilihan-nya, hingga harus menghadapi mertuanya yang sangat membencinya dan menyalahkan kematian Alex padanya. “Seberapa pun lamanya, aku harap bisa melwati semua ini,” gumam Ameera seraya menghela napas panjang.
Di bawah langit biru yang cerah, Ameera menggantungkan pakaian terakhir yang sebelumnya telah dicuci pada tali jemuran. Sembari mengusap keringat di dahinya, perempuan bercadar itu kemudian membawa atensinya ke sekeliling.Seperti biasa, mansion keluarga Septihan yang luas itu selalu dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitas masing-masing. Lihat saja, betapa lantai marmer di setiap sudut itu nampak berkilau, begitu juga dengan halaman-nya yang bersih tanpa satupun daun yang berserakan.Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih semua tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan para pekerja, melainkan karena merupakan perintah khusus dari Bianca. Mertuanya itu cukup sulit untuk dihadapi. Sosoknya tegas serta memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan tempat tinggal dengan-nya.Ameera tahu betul, untuk mendapatkan sedikit pengakuan
Setelah berganti pakaian, Alvan berjalan menuju sofa panjang. Setelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai, nampak pas membalut tubuh jangkungnya. Sampai di dekat sofa, Alvan hendak berbaring di sana guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mendapati Ameera yang masih terpejam, padahal sudah cukup lama baginya tidak sadarkan diri. Alih-alih memanggilkan doker, ia memilih untuk tidak peduli dan segera berbaring. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun Alvan mencoba untuk tidak menghiraukan, tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.“Masih belum bangun juga.” Kening Alvan berkerut, saat menyadari siklus napas Ameera yang berat. “Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan bernapas. Haruskah aku melepasnya?” Alvan nampak ragu un
Sinar matahari menyelinap masuk, menerangi setiap ruang di kediaman keluarga Septihan. Sekalipun kehangatan menyapa pagi hari. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana dingin di meja makan. Bianca, yang duduk di posisi ujung meja memasang ekspresi masam, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran empuk untuk melampiaskan kekesalan-nya. Sampai pada beberapa saat kemudian, pandangan wanita itu tertuju pada sosok Ameera yang sedang berjalan sedikit tertatih memasuki ruangan.“Melihatmu berjalan seperti itu, hanya akan membuat aku berpikir kalau kamu sedang berpura-pura sakit, Ameera. Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga. Benar-benar akting yang menakjubkan!” cibir Bianca menohok. Sorot matanya yang tajam, seolah siap menguliti Ameera hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-
Ameera berjalan memasuki kamar lalu mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur. Sebelah tangannya tergerak untuk menyeka keringat di keningnya. Baru saja, ia menyelesaikan pekerjaan di mansion, sebagai tugas yang diberikan oleh Bianca. Sekalipun sedikit kelelahan, Ameera merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan semalaman ia telah beristirahat dan meminum obat.Alih-alih membaringkan diri di kasur, pandangan Ameera tanpa sengaja berlabuh pada sebuah handuk kecil yang berada di atas nakas. Senyum tipis terukir di bibir merah muda Ameera begitu teringat dengan Alvan yang telah merawatnya semalam. “Aku masih enggak nyangka, semalam Mas Alvan akan merawatku,” gumamnya pelan.Membahas tentang Alvan, Ameera teringat jika Saat ini, suaminya itu sedang sibuk bekerja dan entah kapan akan kembali. “Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah i
Ameera berlari sekuat tenaga meninggalkan ruangan pribadi Alvan. Sementara Jay yang masih berdiri di depan pintu, hanya bisa menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa dicegah, air mata perempuan itu mengalir dengan begitu deras membasahi pipi pucatnya yang tertutup kain cadar. Kekecewaan dan rasa sakit seketika memenuhi relung hatinya begitu bayangan kurang menyenangkan yang ia lihat beberapa detik lalu kembali melintas di kepalanya.Napasnya terasa sesak, dadanya panas dan sakit. Ameera tidak pernah menyangka bahwa takdir hidupnya akan membawanya sampai ke titik ini. Titik di mana hatinya terasa hancur berkeping-keping menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya sendiri.“Seharusnya aku menyadarinya. Mas Alvan memang suamiku, tetapi hatinya bukan untuk-ku. Dia sudah memiliki kekasih jauh sebelum kami menikah,” gumam Ameera sembari mengusap air matanya dengan sedikit kasar.Dalam keadaan bingung dan sedih, Ameera tidak menyadari ke mana dia
“Mas Alvan, lepasin. Mas mau bawa aku ke mana?” pinta Ameera seraya berusaha melepasakan cekalan tangan Alvan yang begitu kuat.Namun, alih-alih segera melepaskan, sosok jangkung itu justru menulikan pendengaran-nya. Ia terus menarik perempuan itu pergi bersamanya. Tidak peduli dengan Ameera yang kesulitan dalam mengimbangi langkah lebarnya hingga terseok.Beberapa orang yang mereka lewati, nampak terkejut melihat kejadian tersebut. Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya mengenai siapakah wanita bercadar yang bersama Alvan itu. Berbagai macam spekulasi mulai bermunculan, menantikan kabar panas yang mungkin akan beredar dikeesokan hari dan tersebar di forum gossip.Walau demikian, Alvan tidak peduli. Saat ini, pikiran-nya kacau, begitu juga dengan perasan-nya yang terasa tidak karuan. Dia terus menarik Ameera, membawanya ke ruangan pribadinya.Jay dan Gled yang masih berada di sana nampak mengernyitkan kening melihat Alvan yang kembali bersama Ameera. Namun, belum sempat keduanya bertan
Semilir angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di pekarangan luas. Di bawah langit senja yang indah, Ameera berjalan lunglai memasuki teras mansion. Pundaknya menurun lesu, pandangan-nya yang kabur, menyiratkan kesenduan, menunjuk-kan jika ia baru saja melewati hari yang kurang menyenangkan.Masih terbayang dengan jelas di benak Ameera bagaimana ia berusaha keras membuatkan bekal makan siang untuk Alvan. Namun, saat mencoba mengantarkan-nya ke kantor, ia justru disambut dengan respon kurang baik oleh suaminya. Persitegangan terjadi, dengan Alvan yang menuding Ameera dengan pernyataan ini dan itu, sehingga membuat perempuan itu berakhir tersinggung dan sakit hati.“Oh, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Sudahlah, semua sudah berlalu.” Menghela napas panjang, Ameera mencoba melupakan beban berat yang sempai bergelayut di hatinya dan fokus kembali dengan tujuan serta rencana masa depan-nya.Ameera berjalan memasuki pintu utama mansion dengan perasaan yang jauh le
Alvan membawa Ameera menuju kamar tidur mereka. Perempuan di dalam gendongan-nya itu terlihat sangat lemah dan tidak berdaya. Bahkan, ketika Alvan mencoba memanggil-manggil namanya, Ameera tetap tidak menanggapinya dengan kedua mata tertutup.“Tolong, buka pintunya. Ameera takut,” rancau perempuan itu dengan suara rendah hingga nyaris tak terdengar kalau saja Alvan tidak memiliki rungu yang tajam.Di sela-sela langkahnya, Alvan menunduk-kan kepalanya sekilas dan terkesiap melihat kondisi Ameera yang semakin memprihatinkan. Tubuhnya gemetar hebat, napasnya tersendat. Sesampainya di dalam kamar, sosok jangkung itu menurunkan Ameera, bermaksud menyuruhnya agar segera beristirahat. Namun, baru saja telapak kaki perempuan itu menyentuh lantai, Ameera kembali tidak sadarkan diri dan jatuh ke dalam pelukan Alvan.“Ameera, Ameera.” Alvan yang terkejut, menepuk-nepuk wajah Ameera yang tertutup kain cadar, mencoba membangunkan-nya. Namun, perempuan itu tetap tidak merespon. “Astaga, ada apa deng
Ameera melangkah keluar dari dapur dengan membawa segelas kopi hitam yang baru saja dibuatnya. Aroma pahit manis yang menguar di udara, memberikan sedikit kehangatan di tengah suasana pagi yang dingin. Di mana hujan yang sejak fajar tadi masih turun, membasahi pekarangan dan tanah di luar sana, menjadikan hari terasa syahdu tanpa panas mentari yang membara. Semalam, Ameera sempat bertanya kepada Jay mengenai minuman apa yang disukai oleh suaminya, dan Jay memberitahu jika Alvan menyukai kopi hitam dengan sedikit tambahan madu. Karena itu, saat ini dia membawa minuman tersebut dan berharap jika segelas kopi buatannya itu dapat menyenangkan hati suaminya.Sesampainya di depan kamar, Ameera menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengeluarkannya secara perlahan, mencoba mengendalikan kegugupan. “Semoga Mas Alvan suka sama kopinya,” gumam perempuan itu dengan suara lirih.Setelah berhasil meyakinkan diri, Ameera menyentuh handle pintu dan membukanya. Seketika itu juga, pandangan matany
Di dalam kamar yang sunyi, Ameera duduk di sofa sudut dengan perasaan resah. Matanya terus memandangi daun pintu yang tertutup rapat, seperti tengah menantikan kemunculan seseorang dari balik sana. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 00.45. Namun, suaminya masih belum juga kembali. Entah kenapa, sejak meninggalkan restoran beberapa jam tadi, dia terus didera kegelisahan, seolah-olah sesuatu yang buruk mungkin saja terjadi.Menoleh ke samping, Ameera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, dan mengeceknya. Raut kecewa seketika menghiasi wajah putihnya begitu mendapati pesan yang dikirim untuk suaminya pada setengah jam lalu, masih belum mendapatkan balasan. Jangankan mendapatkan balasan, bahkan pesan teks tersebut masih menunjukkan centang satu yang berarti pesan berhasil dikirim, tetapi belum diterima oleh penerima.“Masih belum dibuka. Sepertinya, Mas Alvan terlalu sibuk sampai-sampai enggak sempat buka HP,” monolong perempuan itu, mencoba berpikir positif.Membenarkan posi
Lilin di atas meja bergoyang lembut, nyalanya bergerak-gerak mengikuti hembusan angin yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Di tempatnya, Ameera menatap kosong pada hidangan makan malam yang tersaji di hadapannya, masih utuh dan sebagian besar belum tersentuh. Sesekali, suara dentingan halus dari alat makan yang tertata rapi hanya mempertegas kesunyian yang melingkupi ruangan ekslusif di restoran itu.Beberapa saat yang lalu, Alvan mengajaknya untuk makan malam bersama di restoran mewah yang berada di pusat Kota. Bukan hanya itu, Ameera juga sempat merasakan kehangatan serta perhatian suaminya yang jarang sekali ditunjukan kepadanya. Namun, suasana indah tersebut dengan cepat berubah ketika Alvan tiba-tiba pergi meninggalkan Ameera sendirian tanpa penjelasan.“Aku pergi. Ada sesuatu yang harus aku urus. Kamu, kembali-lah ke mansion dan jangan menungguku!” Rasa kecewa dan kehilangan selera makan seketika menyelimuti. Ameera memandangi kursi kosong di seberangnya dengan perasaan be
“Dengan siapa kamu datang ke sini?”“Ada santi yang menemaniku, Mas,” jawab Ameera seraya memasukkan kotak bekal yang telah kosong ke dalam totebag coklat.“Santi?” Satu alis Alvan terangkat tinggi. Seolah-olah bertanya di mana wanita yang ditugaskan sebagai pelayan pribadi Ameera itu berada.“Aah, sekarang Santi sedang menunggu di bawah, Mas.” Ameera menerangkan.Alvan manggut-manggut mengerti. “Begitu rupanya.” Bangkit dari tempat duduk, ia kemudian berjalan mendekati meja kerjanya dan berdiri di sana dengan satu tangan di masukkan ke dalam saku. “Apa jadwal berikutnya, Jay?” Meskipun suara pria itu terkesan rendah. Namun, cukup untuk dapat di dengar oleh Jay yang sedang berdiri di depan pintu ruangan.“Izin memberitahu, Tuan Muda. Untuk jadwal berikutnya, Anda meminta saya untuk mengosongkan. Bukankah Anda hendak ke rumah sakit dan membesuk Tuan Besar?” balas Jay terdengar tenang.Bergeming sejenak, Alvan kemudian menoleh dan menatap lurus ke arah Ameera. “Kau dengar, Ameera? Bersia
Di lantai tertinggi gedung Galaxy Tower, rapat tengah berlangsung. Alvan duduk di sebelah Tuan Abimana, CEO dari Star Grup. Keduanya tengah memandangi layar proyektor yang menampilkan rencana besar mereka—proyek perumahan inovatif yang akan dibangun di jantung kota. Dengan pemandangan skyline kota yang modern sebagai latar belakang, membuat suasana di dalam ruangan itu terasa penuh semangat dan antusiasme.“Harus aku akui, jika kolaborasi ini adalah langkah besar bagi kita, Tuan Alvan. Dengan menggabungkan sumber daya kita, proyek perumahan ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan pasar, tetapi juga mengubah wajah pusat kota,” ucap Tuan Abimana dengan nada penuh keyakinan.Alvan mengangguk setuju, sementara matanya terus menelusuri garis-garis rencana di layar. “Galaxy Grup telah mengumpulkan data demografis dan tren urban terkini. Kita akan memanfaatkan setiap informasi itu untuk menciptakan hunian yang bukan hanya modern, tetapi juga fungsional dan berkelanjutan,” pungkasnya dengan p
Dentingan alat masak terdengar mengiringi Ameera yang tengah berkutat di dapur. Sejak pagi tadi, dia sudah turun dan sibuk mempersiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvan. Kebetulan hari ini, mereka hanya tinggal berdua saja, karena papa dan mama mertuanya sedang tidak berada di mansion lantaran harus menjaga kakek David di rumah sakit. Sehingga, tidak mengherankan jika hunian yang besar itu terasa lebih sepi dari biasanya.Aroma harum yang khas dari nasi goreng, menguar di udara, membuat siapa saja yang menciumnya merasa tergugah oleh selera. Dari banyaknya bahan yang ada, Ameera memilih nasi goreng sebagai menu pagi mereka. Seperti saat ini, ia terus mengaduk nasi di penggorengan dengan ritme yang teratur, memastikan semua bumbu meresap sempurna.Untuk sentuhan akhir, Ameera menambahkan kecap manis dan sejumput garam, lalu mengaduk nasi goreng sekali lagi hingga semua bumbu benar-benar tercampur merata. Ameera mencicipi sedikit dengan ujung spatula. Senyum tipis terbit di wajahnya ket
Ameera melangkah keluar dari kamar mandi dengan aroma segar yang masih melekat di tubuhnya. Sembari membenarkan jarum pentul pada hijab yang dikenakan, ia tercenung melihat Alvan yang masih berada di kamar mereka, seolah sedang menunggunya. ‘Mas Alvan?’ Tidak ingin terlalu percaya diri, Ameera memilih berjalan menuju kasur lalu mendudukkan dirinya di sana dengan gugup. Jujur saja, dia merasa cukup lelah dan ingin segera beristirahat.Menyadari Ameera yang telah selesai, Alvan melangkah mendekat. Di tangannya, ia membawa segelas susu hangat yang mengepul lembut. "Ini, minumlah.” Ameera terkesima saat sosok jangkung itu mengulurkan gelas susu kepadanya. "Susu hangat bisa membuat tubuhmu menjadi lebih rileks,” ujarnya dengan suara datar.Tertegun sejenak, Ameera kemudian menerima gelas susu itu. “Terima kasih, Mas,” ucap perempuan itu yang dibalas anggukkan kecil oleh Alvan. “Hm.”Sedikit menggeser tubuhnya, Ameera mulai meneguk susu di tangannya secara perlahan, merasakan kehangatan yang
Malam itu, langit tampak muram, diselimuti oleh awan mendung yang bergelayut rendah, seolah-olah menutupi dunia dari kehangatan dan kenyamanan malam yang biasa. Bulan menggantung di sana dengan cahayanya yang suram, terhalang oleh lapisan kelabu awan yang bergerak lambat melintasi angkasa. Kilau bintang-bintang tampak redup, seperti berusaha bersinar. Namun, tak mampu menembus kegelapan malam yang mendominasi.Ameera memasuki kamar dengan perasaan lelah usai melewati hari yang panjang. Setelah menutup pintu dengan gerakan berhati-hati, ia terkejut saat mendapati Alvan yang sudah duduk tenang di kursi dekat jendela. Cahaya bulan yang temaram yang menerobos masuk, sedikit menerangi wajahnya yang tampak berpikir dalam, seolah sedang merenungkan sesuatu penting yang tidak terungkapkan.Rasa gugup seketika menyelimuti hati Ameera. Dia berjalan ke tengah ruangan, dan berhenti beberapa langkah di depan Alvan. Di mana, jarang sekali suaminya itu pulang lebih awal seperti ini. Sehingga, kehadi
Dari arah jarum jam 12, Alvan yang baru saja tiba, melangkah tegas memasuki mansion. Saat dalam perjalanan kembali tadi, Jay memberitahunya jika Bianca, sang mama telah menunggu-nunggu kepulangannya untuk membicarakan sesuatu. Entah apa itu, Alvan sendiri tidak peduli. Dia hanya kebetulan datang untuk mengambil sesuatu dan akan kembali pergi.Sesampainya di ruang tamu, Alvan menghentikan langkahnya. Dia mengangguk singkat pada Bianca yang tengah duduk di sofa dengan wajah tegang. “Aku dengar, kau hendak berbicara denganku,” pungkasnya sedingin mungkin.Sedikit membenarkan posisi duduknya, Bianca menatap putranya dengan sorot mata yang tajam. “Kau lihat ini, Son.” Wanita paruh baya itu mengulurkan ponsel dan memperlihatkannya kepada Alvan.Melirik ke arah ponsel, Alvan cukup terkejut saat mendapati laman berita di salah satu jejaring sosial terpampang di layar. Meski begitu, dengan cepat laki-laki itu mengendalikan ekspresinya dan kembali bersikap dingin seperti biasa. “Ada apa dengan