Setelah berganti pakaian, Alvan berjalan menuju sofa panjang. Setelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai, nampak pas membalut tubuh jangkungnya. Sampai di dekat sofa, Alvan hendak berbaring di sana guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.
Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mendapati Ameera yang masih terpejam, padahal sudah cukup lama baginya tidak sadarkan diri. Alih-alih memanggilkan doker, ia memilih untuk tidak peduli dan segera berbaring. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun Alvan mencoba untuk tidak menghiraukan, tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.
“Masih belum bangun juga.” Kening Alvan berkerut, saat menyadari siklus napas Ameera yang berat. “Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan bernapas. Haruskah aku melepasnya?” Alvan nampak ragu untuk melepas kain cadar yang dikenakan Ameera.
“Sudahlah. Anggap saja demi kemanusiaan.” Setelah cukup lama bergelut dengan perasaan-nya, akhirnya Alvan memberanikan diri untuk melepaskan kain cadar yang di kenakan Ameera.
Deg!
Seketika itu juga, Alvan merasakan tubuhnya menegang. Kedua mata tajamnya bahkan membulat sempurna, terkejut dengan pemandangan yang tersuguh di hadapan-nya. Alvan tidak pernah menyangka bahwa akan ada masa di mana tubunya tergugah hanya karena seorang wanita yang tengah tidak sadarkan diri. Ayolah, selama ini dia telah banyak sekali menemui wanita cantik dan sexy di luar sana. Namun, untuk pertama kalinya, Alvan merasa gugup dan itu karena Ameera, wanita yang telah dinikahinya beberapa waktu terakhir ini.
“Astaga, apa yang kau pikirkan, Alvan! Berhentilah menatap perempuan itu!” tegur Alvan pada dirinya sendiri.
Alih-alih kembali hanyut dalam pesona Ameera, sosok jangkung itu dibuat tercenung saat menyadari wajah Ameera yang pucat pasi. Perlahan, sebelah tangan Alvan terulur untuk menyentuh permukaan kening Ameera dan terperanjat. “Ternyata dia demam,” monolog laki-laki itu bagitu merasakan panas yang tidak wajar di kening Ameera.
Alvan bergegas pergi dan tidak lama kembali dengan sebuah baskom dan handuk kecil di tangan-nya. Ia membilas handuk kecil tersebut kemudian meletakkan-nya di kening Ameera sebagai kompres. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dia tiba-tiba pingsan seperti ini?” Sosok jangkung itu bergumam dengan suara rendah. Melihat kondisi Ameera seperti ini, membuat Alvan yang super-duper dingin dan cuek diam-diam didera rasa cemas sekaligus khawatir.
Malam itu, Alvan tidak tidur. Dia duduk di sisi tempat tidur, menjaga Ameera yang terbaring lemah tanpa kata. Sesekali, dia akan membilas handuk kecil kemudian kembali mengompres Ameera, dan memastikan jika suhu tubuh perempuan itu kembali normal seperti sediakala.
Menghela napas panjang, Alvan terus memperhatikan Ameera di pembaringan. Wajah perempuan itu terlihat begitu teduh dan menenangkan untuk dipandang. Tak pelak, Alvan nyaris terpesona olehnya. Namun, sepersekian detik kemudian, laki-laki itu segera mengenyahkan pikiran bodoh-nya begitu teringat dengan status pernikahan mereka. Satu hal yang harus Alvan ingat, bahwa ia menikahi Ameera hanya untuk menggantikan mediang adiknya dan demi perusahaan yang dijanjikan untuknya. Di mana, perasaan tidak boleh tumbuh di tengah-tengah mereka.
Selagi larut dalam pikiran-nya sendiri, Alvan dikejutkan oleh getaran di saku celananya. Sebelah tangan-nya tergerak untuk mengambil ponsel dari dalam sana. “Paman?” gumam Alvan begitu membaca nama di penelpon di layar ponsel. Tanpa berlama-lama, ia segera mengangkat panggilan masuk tersebut dan bangkit dari tempat duduk.
“Halo, Paman.”
“Kau melanggar janjimu, Alvan.”
“Melanggar janji? Apa maksudmu, Paman?”
“….”
Beberapa detik kemudian, ekspresi wajah Alvan seketika berubah menjadi lebih serius. Mata tajamnya terbuka lebar, sementara kedua garis rahangnya mengetat kencang. Bahkan, otot-otot lehernya sampai menyembul ke luar, seolah terkejut denga napa yang baru saja dia dengar dari seberang telpon.
“Baiklah. Aku mengerti, Paman. Aku akan mengurus sisanya,” tandas Alvan sebelum kemudian mematikan sambungan panggilan.
Semilir angin berhembus kencang, membisiki malam yang semakin larut. Sedikit memiringkan tubuhnya, Alvan menatap sosok Ameera yang tengah terlelap dengan pandangan yang sulit diartikan. “Jangan salahkan aku, karena bertindak terlalu jauh. Salahkan dirimu sendiri karena telah menjebak-ku ke dalam situasi rumit ini, Ameera,” gumam Alvan sarat akan makna tersirat.
***
Dinginnya malam, terasa begitu menusuk hingga sampai ke tulang-belulang. Di atas kasur, Ameera terjaga dari tidurnya. Perlahan, ia mengerjapkan mata tatkala rungunya menangkap deru napas lembut seseorang.
“Sshhh.” Perempuan itu meringis merasakan pening yang teramat sangat di kepalanya. Masih dengan mata berat yang terbuka, Ameera dibuat terkejut saat netranya menangkap sosok Alvan yang tengah tertidur dengan posisi terduduk di samping pembaringan. “Mas Alvan? Kenapa Mas Alvan tidur di sini? Sambil duduk lagi.”
Sembari sedikit membenarkan kain cadar yang dikenakan, ruang di antara kedua alis Ameera berkerut saat merasakan sesuatu di atas keningnya. Sebelah tangannya tergerak untuk mengambil sesuatu yang mengganjal tersebut. “Handuk kecil?” Ia memandangi handuk di tangannya dengan perasaan bingung.
Mengerjapkan matanya beberapa kali, Ameera kembali menatap sosok jangkung yang masih terlelap itu dengan tatapan penuh tanda tanya. “Apa yang terjadi? Semalam ….” Ameera mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi tadi malam.
Beberapa detik kemudian, perempuan itu terbelalak tatkala potongan-potongan dari kejadian semalam berputar di kepalanya bak gulungan memori. Saat di mana, dirinya yang baru saja kembali ke dalam kamar dalam kondisi tubuh berat karena kelelahan, tiba-tiba tumbang dan pingsan. “Tunggu, kalau enggak salah, tadi malam aku mendengar suara mobil mas Alvan. Setelah merapikan dapur, mencuci piring, aku ke kamar dan … semuanya jadi gelap.” Ameera menangkupkan sebelah telapak tangannya, menutupi mulutnya yang ternganga. Baru saja, dia menyadari sesuatu yang salah di sini.
“Jangan-jangan, semalaman ini Mas Alvan menjagaku?” pekik Ameera dengan suara tertahan. Takut kalau-kalau suaminya itu akan terbangun. Tentu saja, Ameera tidak ingin terlalu percaya diri dan salah paham. Namun, melihat kondisinya saat ini, membuat Ameera menyadari bahwa suaminya itu memang telah menjaganya.
Pada saat yang sama, Alvan yang sedikit terusik oleh pergerakan Ameera terbangun. Menegakkan tubuhnya, ia menatap Ameera dengan pandangan kabur karena kantuk yang masih mendera. “Kamu sudah bangun rupanya.”
“M-mas Alvan?” panggil Ameera seraya menatap cemas ke arah suaminya.
Seketika itu juga, Alvan terbelalak tatkala menyadari di mana dirinya berada sekarang. Rasa kantuk yang semula masih menyelimuti pun seketika lenyap. Dengan cepat, Alvan mengubah ekspresi wajahnya dan memasangnya sedatar mungkin. Tentu saja, dia tidak ingin membuat Ameera salah paham dan mengira bahwa dirinya peduli padanya.
“Kamu mengganggu tidurku!” ucap Alvan dengan nada dingin.
“Kenapa Mas Alvan tidur di sini? Apa Mas Alvan yang menjagaku semalaman?” terka Ameera ragu-ragu.
Sosok jangkung itu langsung melayangkan tatapan menghunus. Seolah, tidak terima dengan tudingan yang diberikan oleh Ameera. “Siapa yang menjagamu? Aku hanya tidak sengaja ketiduran di sini!” elak Alvan dengan ketus.
Ameera mengerjap polos. “Tapi, aku melihat ada baskom dan handuk kompres. Aku rasa, Mas Alvan telah menolongku semalam.” Ameera menyebutkan baskom di atas nakas serta handuk kecil yang sebelumnya terlampir di keningnya.
Garis rahang Alvan mengetat. Dia paling membenci seseorang yang berlagak sok tahu tentang dirinya. “Sudah aku bilang, kalau aku tidak menolongmu atau menjagamu. Kenapa kamu berisik sekali!” kelakar laki-laki itu, berang. Bahkan, orang bodoh sekalipun akan tahu apa yang terjadi di sana justru sebaliknya. Namun, Alvan terlalu gengsi untuk mengakui.
Di tempatnya, Ameera hanya bisa menatap kemarahan Alvan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa bersalah karena telah menjadi beban bagi laki-laki itu. Namun, di sisi lain, ada rasa hangat yang tumbuh di hatinya, saat mengetahui fakta bahwa Alvan telah menolong dan menjaganya semalaman.
“Terima kasih, Mas.” Alvan yang sempat tersulut, mendadak terdiam. “Meski Mas Alvan enggak bermaksud begitu, tapi nyatanya Mas sudah menjaga dan merawat aku.”
Kata-kata Ameera yang lembut dan tulus, berhasil mengetuk sesuatu di dalam dada Alvan. Belum lagi, ditambah dengan bayangan wajah Ameera yang samar-samar kembali melintas di dalam ingatan-nya, membuat hati Alvan bergetar, seolah ada emosional yang tidak bisa dia jelaskan. Beruntung, sebelum ketiduran tadi dia telah memasangkan kembali kain cadar itu, sehingga Ameera tidak mungkin curiga padanya.
Berdeham beberapa kali, Alvan kemudian mengalihkan pandangan-nya ke arah lain. “Kau terlalu banyak bicara. Kepalaku menjadi pening mendengarnya!” ketus sosok jangkung itu lalu bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan kamar dengan perasaan yang rumit.
Sementara itu di tempatnya, Ameera hanya diam menatap kepergian Alvan. Dia tahu, suaminya itu masih belum bisa menerimanya. Bagaimanapun juga, pernikaham mereka terlalu tiba-tiba, sehingga butuh waktu bagi dua hati yang berbeda untuk bisa bersatu. “Mas Alvan masih bersikap dingin. Sepertinya, butuh banyak usaha bagiku untuk bisa mencairkannya,” gumam Ameera sendu.
Sinar matahari menyelinap masuk, menerangi setiap ruang di kediaman keluarga Septihan. Sekalipun kehangatan menyapa pagi hari. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana dingin di meja makan. Bianca, yang duduk di posisi ujung meja memasang ekspresi masam, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran empuk untuk melampiaskan kekesalan-nya. Sampai pada beberapa saat kemudian, pandangan wanita itu tertuju pada sosok Ameera yang sedang berjalan sedikit tertatih memasuki ruangan.“Melihatmu berjalan seperti itu, hanya akan membuat aku berpikir kalau kamu sedang berpura-pura sakit, Ameera. Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga. Benar-benar akting yang menakjubkan!” cibir Bianca menohok. Sorot matanya yang tajam, seolah siap menguliti Ameera hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-
Ameera berjalan memasuki kamar lalu mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur. Sebelah tangannya tergerak untuk menyeka keringat di keningnya. Baru saja, ia menyelesaikan pekerjaan di mansion, sebagai tugas yang diberikan oleh Bianca. Sekalipun sedikit kelelahan, Ameera merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan semalaman ia telah beristirahat dan meminum obat.Alih-alih membaringkan diri di kasur, pandangan Ameera tanpa sengaja berlabuh pada sebuah handuk kecil yang berada di atas nakas. Senyum tipis terukir di bibir merah muda Ameera begitu teringat dengan Alvan yang telah merawatnya semalam. “Aku masih enggak nyangka, semalam Mas Alvan akan merawatku,” gumamnya pelan.Membahas tentang Alvan, Ameera teringat jika Saat ini, suaminya itu sedang sibuk bekerja dan entah kapan akan kembali. “Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah i
Ameera berlari sekuat tenaga meninggalkan ruangan pribadi Alvan. Sementara Jay yang masih berdiri di depan pintu, hanya bisa menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa dicegah, air mata perempuan itu mengalir dengan begitu deras membasahi pipi pucatnya yang tertutup kain cadar. Kekecewaan dan rasa sakit seketika memenuhi relung hatinya begitu bayangan kurang menyenangkan yang ia lihat beberapa detik lalu kembali melintas di kepalanya.Napasnya terasa sesak, dadanya panas dan sakit. Ameera tidak pernah menyangka bahwa takdir hidupnya akan membawanya sampai ke titik ini. Titik di mana hatinya terasa hancur berkeping-keping menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya sendiri.“Seharusnya aku menyadarinya. Mas Alvan memang suamiku, tetapi hatinya bukan untuk-ku. Dia sudah memiliki kekasih jauh sebelum kami menikah,” gumam Ameera sembari mengusap air matanya dengan sedikit kasar.Dalam keadaan bingung dan sedih, Ameera tidak menyadari ke mana dia
“Mas Alvan, lepasin. Mas mau bawa aku ke mana?” pinta Ameera seraya berusaha melepasakan cekalan tangan Alvan yang begitu kuat.Namun, alih-alih segera melepaskan, sosok jangkung itu justru menulikan pendengaran-nya. Ia terus menarik perempuan itu pergi bersamanya. Tidak peduli dengan Ameera yang kesulitan dalam mengimbangi langkah lebarnya hingga terseok.Beberapa orang yang mereka lewati, nampak terkejut melihat kejadian tersebut. Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya mengenai siapakah wanita bercadar yang bersama Alvan itu. Berbagai macam spekulasi mulai bermunculan, menantikan kabar panas yang mungkin akan beredar dikeesokan hari dan tersebar di forum gossip.Walau demikian, Alvan tidak peduli. Saat ini, pikiran-nya kacau, begitu juga dengan perasan-nya yang terasa tidak karuan. Dia terus menarik Ameera, membawanya ke ruangan pribadinya.Jay dan Gled yang masih berada di sana nampak mengernyitkan kening melihat Alvan yang kembali bersama Ameera. Namun, belum sempat keduanya bertan
Semilir angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di pekarangan luas. Di bawah langit senja yang indah, Ameera berjalan lunglai memasuki teras mansion. Pundaknya menurun lesu, pandangan-nya yang kabur, menyiratkan kesenduan, menunjuk-kan jika ia baru saja melewati hari yang kurang menyenangkan.Masih terbayang dengan jelas di benak Ameera bagaimana ia berusaha keras membuatkan bekal makan siang untuk Alvan. Namun, saat mencoba mengantarkan-nya ke kantor, ia justru disambut dengan respon kurang baik oleh suaminya. Persitegangan terjadi, dengan Alvan yang menuding Ameera dengan pernyataan ini dan itu, sehingga membuat perempuan itu berakhir tersinggung dan sakit hati.“Oh, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Sudahlah, semua sudah berlalu.” Menghela napas panjang, Ameera mencoba melupakan beban berat yang sempai bergelayut di hatinya dan fokus kembali dengan tujuan serta rencana masa depan-nya.Ameera berjalan memasuki pintu utama mansion dengan perasaan yang jauh le
Alvan membawa Ameera menuju kamar tidur mereka. Perempuan di dalam gendongan-nya itu terlihat sangat lemah dan tidak berdaya. Bahkan, ketika Alvan mencoba memanggil-manggil namanya, Ameera tetap tidak menanggapinya dengan kedua mata tertutup.“Tolong, buka pintunya. Ameera takut,” rancau perempuan itu dengan suara rendah hingga nyaris tak terdengar kalau saja Alvan tidak memiliki rungu yang tajam.Di sela-sela langkahnya, Alvan menunduk-kan kepalanya sekilas dan terkesiap melihat kondisi Ameera yang semakin memprihatinkan. Tubuhnya gemetar hebat, napasnya tersendat. Sesampainya di dalam kamar, sosok jangkung itu menurunkan Ameera, bermaksud menyuruhnya agar segera beristirahat. Namun, baru saja telapak kaki perempuan itu menyentuh lantai, Ameera kembali tidak sadarkan diri dan jatuh ke dalam pelukan Alvan.“Ameera, Ameera.” Alvan yang terkejut, menepuk-nepuk wajah Ameera yang tertutup kain cadar, mencoba membangunkan-nya. Namun, perempuan itu tetap tidak merespon. “Astaga, ada apa deng
Ameera terbangun dengan perasaan linglung. Masih dalam kondisi berbaring, sepasang mata indahnya bergerak ke sana-ke mari memperhatikan suasana di sekitar. Betapa terkejutnya ia saat menyadari jika saat ini dirinya telah berada di dalam kamar. Padahal, seingat Ameera dia sedang dikurung oleh ibu mertuanya di gudang bawah karena membuat sang ibu kesal.“Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah Mama mengurungku di gudang?” gumam Ameera di sela-sela kebingungan.Perlahan, Ameera mendudukkan dirinya dan menyandarkan punggung kurusnya pada sandaran kasur. “Sepertinya Mas Alvan masih belum pulang.” Setelah memastikan keadaan kamar benar-benar kosong, sebelah tangan Ameera tergerak untuk membuka kain cadar yang dikenakan, barulah dia bisa bernapas dengan lebih leluasan. “Tubuhku, rasanya sakit sekali,” monolog perempuan itu seraya merenggangkan otot-otot tubuhnya yang menegang.Di sela-sela kegiatan-nya, pergerakan Ameera tiba-tiba terhenti tatkala sekelebat ingatan samar melintas di kepalany
Pagi menjelang siang itu, Ameera sedang duduk sendirian di kursi santai. Matanya terpaku pada kolam renang di hadapan-nya yang airnya tenang. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya melalui sela-sela kain cadar yang dikenakan, mengusir panas dan sesak yang sempat bergumul di dalam dadanya. Sekalipun dia berada di Mansion megah nan luas. Namun, tidak cukup menutupi kesepian di hatinya.Ameera merenungi nasib hidupnya yang pahit. Masa lalunya tidak seindah yang dibayangkan. Kenangan-kenangan menyakitkan terus menggelayuti pikiran-nya. Masih teringat dengan jelas bagaimana ibu Panti menceritakan tentang dirinya yang saat bayi ditemukan di depan pintu panti asuhan dan tumbuh di sana. Pengalaman berpindah tempat tinggal dengan orang tua asuh yang berbeda, mendapatkan perlakuan kurang mengenakan, seperti dipukuli, di siksa dengan berat di usianya yang masih terlalu kecil, tidak terlewatkan. Sampai pada saat di mana dia dipertemukan dengan Via dan Sulistyo, orang tuanya yang sekarang, barulah Ame
Matahari senja menggantung rendah di ufuk barat, menaburkan cahaya keemasan yang menyelimuti taman rumah sakit dengan kilau lembut. Angin berembus sepoi, membawa serta aroma bunga yang tengah bermekaran. Ameera mendorong kursi roda Alvan dengan penuh kelembutan, membiarkan suaminya menikmati udara segar setelah sekian lama terkurung di dalam kamar perawatan.“Maa syaa Allah, pemandangan di sini indah sekali, ya, Mas,” ujar perempuan bercadar itu riang. Matanya bebinar penuh kekaguman, sementara suaranya terdengar seperti alunan angin yang membelai dedaunan.Alvan tak segera menanggapi. Tatapannya terarah padanya, bukan pada hamparan bunga atau pepohonan rindang di sekeliling mereka. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan.Ameera menghentikan langkah, lalu setengah berlutut di hadapan suaminya dengan dahi berkerut. Tubuhnya merendah seolah ingin menyatu dengan bayangan di tanah. “Kenapa Mas Alvan tersenyum seperti itu? Apa ada yang salah dengan
Ruangan ICU terasa sunyi, hanya suara monitor jantung yang berdetak pelan, menciptakan ritme monoton di antara keheningan. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Alvan terbaring di atas ranjang dengan berbagai kabel sensor menempel di dadanya. Wajahnya pucat, napasnya masih berat, dan kelopak matanya bergerak samar, seolah sedang berjuang di antara kesadaran dan ketidaksadaran.Di sisi ranjang, Ameera duduk dengan jemari menggenggam tangan Alvan yang terasa dingin. “Mas Alvan ….” Ia mengeratkan genggaman tangan-nya, seolah takut kehilangan. “Kapan Mas bangun?” Matanya berkaca-kaca mengamati wajah suaminya yang masih lemah. Setelah sempat mengalami guncangan hebat, akhirya kondisi suaminya kembali stabil. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi perasaan khawatir dan cemas di dada Ameera.Sementara itu, di tempatnya, Alvan merasakan sensasi berat yang menekan sekujur tubuh, seolaah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Perlahan
Di rumah sakit, ketegangan terasa begitu kuat. Alvan tengah berada di dalam ruang operasi. Seperti kata Gled, peluru sangat dekat dengan tulang belakang, sehingga butuh operasi segera untuk mengeluarkan-nya.Ameera terpaksa menunggu di luar ruang operasi. Tangan-nya mencengkeram erat ujung gamis yang dikenakan, dadanya naik turun karena cemas. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya suara langkah dokter dan suara mesin-mesin medis yang sesekali berbunyi. Pikiran-nya dipenuhi ketakutan, bayangan tentang Alvan yang selalu tegas dan dingin, kini terbaring lemah membuat hatinya mencelos.“Aku ikut operasi. Doakan kami berhasil.” Begitu kata-kata Gled sebelum memasuki ruang operasi dengan mengenakan baju bedah. Saat itu, Ameera hanya bisa memandang punggungnya menghilang di balik pintu yang tertutup rapat.Monitor detak jantung Alvan berbunyi dengan cepat saat operasi dimulai, menunjukkan kondisinya yang sangat kritis. Ameera hanya bisaa menahan napas. Dalam diam, ia berdo’a tanpa henti, me
Satu pekan sebelum kejadian …Di luar mansion keluarga Septihan, suasana semakin mencekam. Angin malam berembus dingin, menggugurkan dedaunan kering yang berserakan di jalan setapak. Lampu-lampu jalan yang redup menciptakan bayangan panjang, seakan menambah ketegangan yang telah menggantung di udara.Beberapa waktu lalu, sebelum semua memuncak, Ameera mulai merasakan ada yang aneh. Langkah-langkah samar di kejauhan, tatapan yang seakan menembus punggungnya, dan perasaan seolah-olah setiap gerak-geriknya diawasi. Bayangan itu mengikuti di mana pun ia berada, mengintai dalam kegelapan, menunggunya lengah.Ia tidak ingin Alvan khawatir. Namun, firasat buruk itu terus mengusiknya, merayapi pikirannya seperti racun yang perlahan menyebar. Hingga akhirnya, ia menemui Jay, untuk mencari jawaban."Itu hanya perasaan Anda saja, Nyonya Muda. Anda tidak perlu terlalu memikirkan-nya," kata pria itu santai. Namun, Ameera tidak melewatkan ada sesuatu yang bersembunyi dalam sorot matanya yang menyir
"Cepat berlutut, dan serahkan semua surat kuasa yang kau miliki, juga aset keluarga ini!" ujar Eldome bergema seperti gelegar petir, menciptakan bayangan ketakutan yang menyelinap di antara deretan pilar marmer.Alvan menggeram, kepalan tangan-nya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Pandangan-nya melirik sekilas ke arah Brian, Bianca, dan David yang ditahan di sudut ruangan. Dilema menyayat hatinya. Melepaskan semua yang telah ia bangun dengan susah payah atau menyaksikan keluarganya menderita?Eldome melangkah maju, sorot matanya tajam seperti pisau yang menusuk. "Baiklah, karena kau memilih untuk menentangku, aku akan melenyapkanmu, sekarang!" Dengan satu isyarat tangan, puluhan pria berpakaian hitam muncul dari balik bayangan, mengepung setiap sudut mansion. Senjata berlaras panjang mereka terangkat, siap membidik.Kedua mata Alvan terbelalak. Napasnya memburu menyadari dirinya yang telah kalah telak. Alvan mulai menghubungi sahabatnya guna meminta bantuan. Namun, koneks
Eldome menyandarkan tubuhnya pada kursi tinggi berlapis beludru, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan dengan ritme santai, kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Senyumannya sinis, mata kelamnya menyipit penuh perhitungan. "Ayolah, Alvan," lanjut Eldome, bersenandung ringan seolah menikmati permainan. "Bukankah ini yang kau inginkan? Membalaskan dendam pada orang-orang berdosa ini?"Ia mengedik-kan dagu ke arah Brian dan Bianca yang kini terikat di kursi. "Aku harap kau masih ingat, bagaimana mereka membiarkanmu menderita, menyaksikanmu diusir dari keluarga ini tanpa membela sedikit pun. Dan lihatlah kau sekarang, datang seperti seorang pahlawan."Pria paruh baya dengan sentuhan topi fedora yang melingkar di kepala itu mendekat, setiap ucapan-nya terdengar seperti bisikan yang menggerayangi sisi gelap di hati Alvan. "Jangan lupa, Alvan ... siapa yang selama ini membentukmu, dan membuatmu menjadi kuat sampai kau bisa berada di puncak. Bukankah hanya aku? Aku yang mem
Begitu pintu kamar tertutup, Ameera membuka mata perlahan. Seketika, keheningan menyergap, menciptakan ruang bagi nyeri yang masih bersarang di tubuhnya. Detak jam di dinding terdengar lebih lambat dari biasanya, seakan waktu ikut merasakan kesakitan yang ia derita. Butuh waktu bagi dirinya untuk menahan-nya sampai suaminya pergi.Dengan gerakan hati-hati, Ameera bangkit, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Setiap langkah menuju kursi di dekat jendela terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Begitu punggungnya menyentuh sandaran, rasa perih menyergap kuat."Sshh ...." Desahan lirih lolos dari bibirnya. Jemarinya bergetar saat menyingsingkan lengan bajunya. Saat melihat kulitnya sendiri, Ameera tercekat. Memar ungu kebiruan menghiasi permukaan, luka-luka kecil terbuka di antara lebam, beberapa bahkan masih tampak segar. Bekas amukan Eldome begitu nyata, seolah baru saja terjadi. Gurat luka di sikunya—hasil sayatan pisau—mengingatkannya pada teror yang ia alami saat dalam p
“Kau yakin temanmu itu dokter terbaik, Gled? Kenapa dia begitu lama di dalam?” Alvan melontarkan pertanyaan dengan nada tajam, nyaris mendidih dalam ketidak sabaran-nya.Sosok jangkung itu terus mondar-mandir di depan pintu kamar, langkahnya berat, menggema di lantai marmer yang dingin. Rahangnya mengeras, sorot matanya gelap, menggambarkan badai yang bergejolak di dalam dirinya. Sekujur tubuhnya tegang, setiap urat nadi di lengannya mencerminkan betapa keras ia menahan diri.Di benaknya, kecurigaan perlahan merayap. Dokter wanita yang dibawa Gled—benarkah dia bisa dipercaya? Sesuatu terasa janggal. Mengingat betapa tertutupnya Ameera, ia yang bersikeras agar sahabatnya mencari dokter perempuan untuk memeriksanya. Namun, tetap saja, ini terlalu lama sejak pemeriksaan dimulai.Gled menghela napas panjang, seakan memahami kegelisahan yang menguar dari tubuh Alvan. “Tentu saja. Dia punya segudang sertifikat, dan kemampuannya tak perlu diragukan. Tenanglah, kau tidak perlu khawatir,” ucapn
Usai menakut-nakutinya di atas rooftop Tower Galaxy Group, Eldome menyeret Ameera ke ruang isolasi ini—bukan sekadar tempat penyekapan, melainkan saksi bisu penderitaan manusia yang tidak terhitung jumlahnya. Noda darah kering menghiasi dinding seperti seni horor yang tak pernah selesai. Goresan-goresan kuku tertinggal di permukaan kasar, menceritakan kisah mereka yang berusaha melawan takdir, hanya untuk menemui kehancuran yang sama.Namun, Eldome tidak bekerja sendiri. Ia juga menghubungi putrinya, Katrine. Dengan suara yang tenang tetapi sarat akan racun mematikan, ia menanamkan benih kebencian yang semakin berakar di dalam diri gadis itu. "Aku sudah menangkap wanita itu," ucapnya, seperti bisikan angin malam yang membawa ancaman. "Sekarang, kamu yang menentukan nasibnya, Baby."Katrine, yang selama ini membiarkan bara dendam membakar jiwanya, akhirnya memutuskan untuk menuangkan kemarahan dengan tangan-nya sendiri. Sepasang sepatu hak tinggi mengetuk