Setelah berganti pakaian, Alvan berjalan menuju sofa panjang. Setelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai, nampak pas membalut tubuh jangkungnya. Sampai di dekat sofa, Alvan hendak berbaring di sana guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.
Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mendapati Ameera yang masih terpejam, padahal sudah cukup lama baginya tidak sadarkan diri. Alih-alih memanggilkan doker, ia memilih untuk tidak peduli dan segera berbaring. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun Alvan mencoba untuk tidak menghiraukan, tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.
“Masih belum bangun juga.” Kening Alvan berkerut, saat menyadari siklus napas Ameera yang berat. “Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan bernapas. Haruskah aku melepasnya?” Alvan nampak ragu untuk melepas kain cadar yang dikenakan Ameera.
“Sudahlah. Anggap saja demi kemanusiaan.” Setelah cukup lama bergelut dengan perasaan-nya, akhirnya Alvan memberanikan diri untuk melepaskan kain cadar yang di kenakan Ameera.
Deg!
Seketika itu juga, Alvan merasakan tubuhnya menegang. Kedua mata tajamnya bahkan membulat sempurna, terkejut dengan pemandangan yang tersuguh di hadapan-nya. Alvan tidak pernah menyangka bahwa akan ada masa di mana tubunya tergugah hanya karena seorang wanita yang tengah tidak sadarkan diri. Ayolah, selama ini dia telah banyak sekali menemui wanita cantik dan sexy di luar sana. Namun, untuk pertama kalinya, Alvan merasa gugup dan itu karena Ameera, wanita yang telah dinikahinya beberapa waktu terakhir ini.
“Astaga, apa yang kau pikirkan, Alvan! Berhentilah menatap perempuan itu!” tegur Alvan pada dirinya sendiri.
Alih-alih kembali hanyut dalam pesona Ameera, sosok jangkung itu dibuat tercenung saat menyadari wajah Ameera yang pucat pasi. Perlahan, sebelah tangan Alvan terulur untuk menyentuh permukaan kening Ameera dan terperanjat. “Ternyata dia demam,” monolog laki-laki itu bagitu merasakan panas yang tidak wajar di kening Ameera.
Alvan bergegas pergi dan tidak lama kembali dengan sebuah baskom dan handuk kecil di tangan-nya. Ia membilas handuk kecil tersebut kemudian meletakkan-nya di kening Ameera sebagai kompres. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dia tiba-tiba pingsan seperti ini?” Sosok jangkung itu bergumam dengan suara rendah. Melihat kondisi Ameera seperti ini, membuat Alvan yang super-duper dingin dan cuek diam-diam didera rasa cemas sekaligus khawatir.
Malam itu, Alvan tidak tidur. Dia duduk di sisi tempat tidur, menjaga Ameera yang terbaring lemah tanpa kata. Sesekali, dia akan membilas handuk kecil kemudian kembali mengompres Ameera, dan memastikan jika suhu tubuh perempuan itu kembali normal seperti sediakala.
Menghela napas panjang, Alvan terus memperhatikan Ameera di pembaringan. Wajah perempuan itu terlihat begitu teduh dan menenangkan untuk dipandang. Tak pelak, Alvan nyaris terpesona olehnya. Namun, sepersekian detik kemudian, laki-laki itu segera mengenyahkan pikiran bodoh-nya begitu teringat dengan status pernikahan mereka. Satu hal yang harus Alvan ingat, bahwa ia menikahi Ameera hanya untuk menggantikan mediang adiknya dan demi perusahaan yang dijanjikan untuknya. Di mana, perasaan tidak boleh tumbuh di tengah-tengah mereka.
Selagi larut dalam pikiran-nya sendiri, Alvan dikejutkan oleh getaran di saku celananya. Sebelah tangan-nya tergerak untuk mengambil ponsel dari dalam sana. “Paman?” gumam Alvan begitu membaca nama di penelpon di layar ponsel. Tanpa berlama-lama, ia segera mengangkat panggilan masuk tersebut dan bangkit dari tempat duduk.
“Halo, Paman.”
“Kau melanggar janjimu, Alvan.”
“Melanggar janji? Apa maksudmu, Paman?”
“….”
Beberapa detik kemudian, ekspresi wajah Alvan seketika berubah menjadi lebih serius. Mata tajamnya terbuka lebar, sementara kedua garis rahangnya mengetat kencang. Bahkan, otot-otot lehernya sampai menyembul ke luar, seolah terkejut denga napa yang baru saja dia dengar dari seberang telpon.
“Baiklah. Aku mengerti, Paman. Aku akan mengurus sisanya,” tandas Alvan sebelum kemudian mematikan sambungan panggilan.
Semilir angin berhembus kencang, membisiki malam yang semakin larut. Sedikit memiringkan tubuhnya, Alvan menatap sosok Ameera yang tengah terlelap dengan pandangan yang sulit diartikan. “Jangan salahkan aku, karena bertindak terlalu jauh. Salahkan dirimu sendiri karena telah menjebak-ku ke dalam situasi rumit ini, Ameera,” gumam Alvan sarat akan makna tersirat.
***
Dinginnya malam, terasa begitu menusuk hingga sampai ke tulang-belulang. Di atas kasur, Ameera terjaga dari tidurnya. Perlahan, ia mengerjapkan mata tatkala rungunya menangkap deru napas lembut seseorang.
“Sshhh.” Perempuan itu meringis merasakan pening yang teramat sangat di kepalanya. Masih dengan mata berat yang terbuka, Ameera dibuat terkejut saat netranya menangkap sosok Alvan yang tengah tertidur dengan posisi terduduk di samping pembaringan. “Mas Alvan? Kenapa Mas Alvan tidur di sini? Sambil duduk lagi.”
Sembari sedikit membenarkan kain cadar yang dikenakan, ruang di antara kedua alis Ameera berkerut saat merasakan sesuatu di atas keningnya. Sebelah tangannya tergerak untuk mengambil sesuatu yang mengganjal tersebut. “Handuk kecil?” Ia memandangi handuk di tangannya dengan perasaan bingung.
Mengerjapkan matanya beberapa kali, Ameera kembali menatap sosok jangkung yang masih terlelap itu dengan tatapan penuh tanda tanya. “Apa yang terjadi? Semalam ….” Ameera mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi tadi malam.
Beberapa detik kemudian, perempuan itu terbelalak tatkala potongan-potongan dari kejadian semalam berputar di kepalanya bak gulungan memori. Saat di mana, dirinya yang baru saja kembali ke dalam kamar dalam kondisi tubuh berat karena kelelahan, tiba-tiba tumbang dan pingsan. “Tunggu, kalau enggak salah, tadi malam aku mendengar suara mobil mas Alvan. Setelah merapikan dapur, mencuci piring, aku ke kamar dan … semuanya jadi gelap.” Ameera menangkupkan sebelah telapak tangannya, menutupi mulutnya yang ternganga. Baru saja, dia menyadari sesuatu yang salah di sini.
“Jangan-jangan, semalaman ini Mas Alvan menjagaku?” pekik Ameera dengan suara tertahan. Takut kalau-kalau suaminya itu akan terbangun. Tentu saja, Ameera tidak ingin terlalu percaya diri dan salah paham. Namun, melihat kondisinya saat ini, membuat Ameera menyadari bahwa suaminya itu memang telah menjaganya.
Pada saat yang sama, Alvan yang sedikit terusik oleh pergerakan Ameera terbangun. Menegakkan tubuhnya, ia menatap Ameera dengan pandangan kabur karena kantuk yang masih mendera. “Kamu sudah bangun rupanya.”
“M-mas Alvan?” panggil Ameera seraya menatap cemas ke arah suaminya.
Seketika itu juga, Alvan terbelalak tatkala menyadari di mana dirinya berada sekarang. Rasa kantuk yang semula masih menyelimuti pun seketika lenyap. Dengan cepat, Alvan mengubah ekspresi wajahnya dan memasangnya sedatar mungkin. Tentu saja, dia tidak ingin membuat Ameera salah paham dan mengira bahwa dirinya peduli padanya.
“Kamu mengganggu tidurku!” ucap Alvan dengan nada dingin.
“Kenapa Mas Alvan tidur di sini? Apa Mas Alvan yang menjagaku semalaman?” terka Ameera ragu-ragu.
Sosok jangkung itu langsung melayangkan tatapan menghunus. Seolah, tidak terima dengan tudingan yang diberikan oleh Ameera. “Siapa yang menjagamu? Aku hanya tidak sengaja ketiduran di sini!” elak Alvan dengan ketus.
Ameera mengerjap polos. “Tapi, aku melihat ada baskom dan handuk kompres. Aku rasa, Mas Alvan telah menolongku semalam.” Ameera menyebutkan baskom di atas nakas serta handuk kecil yang sebelumnya terlampir di keningnya.
Garis rahang Alvan mengetat. Dia paling membenci seseorang yang berlagak sok tahu tentang dirinya. “Sudah aku bilang, kalau aku tidak menolongmu atau menjagamu. Kenapa kamu berisik sekali!” kelakar laki-laki itu, berang. Bahkan, orang bodoh sekalipun akan tahu apa yang terjadi di sana justru sebaliknya. Namun, Alvan terlalu gengsi untuk mengakui.
Di tempatnya, Ameera hanya bisa menatap kemarahan Alvan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa bersalah karena telah menjadi beban bagi laki-laki itu. Namun, di sisi lain, ada rasa hangat yang tumbuh di hatinya, saat mengetahui fakta bahwa Alvan telah menolong dan menjaganya semalaman.
“Terima kasih, Mas.” Alvan yang sempat tersulut, mendadak terdiam. “Meski Mas Alvan enggak bermaksud begitu, tapi nyatanya Mas sudah menjaga dan merawat aku.”
Kata-kata Ameera yang lembut dan tulus, berhasil mengetuk sesuatu di dalam dada Alvan. Belum lagi, ditambah dengan bayangan wajah Ameera yang samar-samar kembali melintas di dalam ingatan-nya, membuat hati Alvan bergetar, seolah ada emosional yang tidak bisa dia jelaskan. Beruntung, sebelum ketiduran tadi dia telah memasangkan kembali kain cadar itu, sehingga Ameera tidak mungkin curiga padanya.
Berdeham beberapa kali, Alvan kemudian mengalihkan pandangan-nya ke arah lain. “Kau terlalu banyak bicara. Kepalaku menjadi pening mendengarnya!” ketus sosok jangkung itu lalu bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan kamar dengan perasaan yang rumit.
Sementara itu di tempatnya, Ameera hanya diam menatap kepergian Alvan. Dia tahu, suaminya itu masih belum bisa menerimanya. Bagaimanapun juga, pernikaham mereka terlalu tiba-tiba, sehingga butuh waktu bagi dua hati yang berbeda untuk bisa bersatu. “Mas Alvan masih bersikap dingin. Sepertinya, butuh banyak usaha bagiku untuk bisa mencairkannya,” gumam Ameera sendu.
Sinar matahari menyelinap masuk, menerangi setiap ruang di kediaman keluarga Septihan. Sekalipun kehangatan menyapa pagi hari. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana dingin di meja makan. Bianca, yang duduk di posisi ujung meja memasang ekspresi masam, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran empuk untuk melampiaskan kekesalan-nya. Sampai pada beberapa saat kemudian, pandangan wanita itu tertuju pada sosok Ameera yang sedang berjalan sedikit tertatih memasuki ruangan.“Melihatmu berjalan seperti itu, hanya akan membuat aku berpikir kalau kamu sedang berpura-pura sakit, Ameera. Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga. Benar-benar akting yang menakjubkan!” cibir Bianca menohok. Sorot matanya yang tajam, seolah siap menguliti Ameera hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-
Ameera berjalan memasuki kamar lalu mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur. Sebelah tangannya tergerak untuk menyeka keringat di keningnya. Baru saja, ia menyelesaikan pekerjaan di mansion, sebagai tugas yang diberikan oleh Bianca. Sekalipun sedikit kelelahan, Ameera merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan semalaman ia telah beristirahat dan meminum obat.Alih-alih membaringkan diri di kasur, pandangan Ameera tanpa sengaja berlabuh pada sebuah handuk kecil yang berada di atas nakas. Senyum tipis terukir di bibir merah muda Ameera begitu teringat dengan Alvan yang telah merawatnya semalam. “Aku masih enggak nyangka, semalam Mas Alvan akan merawatku,” gumamnya pelan.Membahas tentang Alvan, Ameera teringat jika Saat ini, suaminya itu sedang sibuk bekerja dan entah kapan akan kembali. “Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah i
Ameera berlari sekuat tenaga meninggalkan ruangan pribadi Alvan. Sementara Jay yang masih berdiri di depan pintu, hanya bisa menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa dicegah, air mata perempuan itu mengalir dengan begitu deras membasahi pipi pucatnya yang tertutup kain cadar. Kekecewaan dan rasa sakit seketika memenuhi relung hatinya begitu bayangan kurang menyenangkan yang ia lihat beberapa detik lalu kembali melintas di kepalanya.Napasnya terasa sesak, dadanya panas dan sakit. Ameera tidak pernah menyangka bahwa takdir hidupnya akan membawanya sampai ke titik ini. Titik di mana hatinya terasa hancur berkeping-keping menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya sendiri.“Seharusnya aku menyadarinya. Mas Alvan memang suamiku, tetapi hatinya bukan untuk-ku. Dia sudah memiliki kekasih jauh sebelum kami menikah,” gumam Ameera sembari mengusap air matanya dengan sedikit kasar.Dalam keadaan bingung dan sedih, Ameera tidak menyadari ke mana dia
“Mas Alvan, lepasin. Mas mau bawa aku ke mana?” pinta Ameera seraya berusaha melepasakan cekalan tangan Alvan yang begitu kuat.Namun, alih-alih segera melepaskan, sosok jangkung itu justru menulikan pendengaran-nya. Ia terus menarik perempuan itu pergi bersamanya. Tidak peduli dengan Ameera yang kesulitan dalam mengimbangi langkah lebarnya hingga terseok.Beberapa orang yang mereka lewati, nampak terkejut melihat kejadian tersebut. Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya mengenai siapakah wanita bercadar yang bersama Alvan itu. Berbagai macam spekulasi mulai bermunculan, menantikan kabar panas yang mungkin akan beredar dikeesokan hari dan tersebar di forum gossip.Walau demikian, Alvan tidak peduli. Saat ini, pikiran-nya kacau, begitu juga dengan perasan-nya yang terasa tidak karuan. Dia terus menarik Ameera, membawanya ke ruangan pribadinya.Jay dan Gled yang masih berada di sana nampak mengernyitkan kening melihat Alvan yang kembali bersama Ameera. Namun, belum sempat keduanya bertan
Semilir angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di pekarangan luas. Di bawah langit senja yang indah, Ameera berjalan lunglai memasuki teras mansion. Pundaknya menurun lesu, pandangan-nya yang kabur, menyiratkan kesenduan, menunjuk-kan jika ia baru saja melewati hari yang kurang menyenangkan.Masih terbayang dengan jelas di benak Ameera bagaimana ia berusaha keras membuatkan bekal makan siang untuk Alvan. Namun, saat mencoba mengantarkan-nya ke kantor, ia justru disambut dengan respon kurang baik oleh suaminya. Persitegangan terjadi, dengan Alvan yang menuding Ameera dengan pernyataan ini dan itu, sehingga membuat perempuan itu berakhir tersinggung dan sakit hati.“Oh, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Sudahlah, semua sudah berlalu.” Menghela napas panjang, Ameera mencoba melupakan beban berat yang sempai bergelayut di hatinya dan fokus kembali dengan tujuan serta rencana masa depan-nya.Ameera berjalan memasuki pintu utama mansion dengan perasaan yang jauh le
Alvan membawa Ameera menuju kamar tidur mereka. Perempuan di dalam gendongan-nya itu terlihat sangat lemah dan tidak berdaya. Bahkan, ketika Alvan mencoba memanggil-manggil namanya, Ameera tetap tidak menanggapinya dengan kedua mata tertutup.“Tolong, buka pintunya. Ameera takut,” rancau perempuan itu dengan suara rendah hingga nyaris tak terdengar kalau saja Alvan tidak memiliki rungu yang tajam.Di sela-sela langkahnya, Alvan menunduk-kan kepalanya sekilas dan terkesiap melihat kondisi Ameera yang semakin memprihatinkan. Tubuhnya gemetar hebat, napasnya tersendat. Sesampainya di dalam kamar, sosok jangkung itu menurunkan Ameera, bermaksud menyuruhnya agar segera beristirahat. Namun, baru saja telapak kaki perempuan itu menyentuh lantai, Ameera kembali tidak sadarkan diri dan jatuh ke dalam pelukan Alvan.“Ameera, Ameera.” Alvan yang terkejut, menepuk-nepuk wajah Ameera yang tertutup kain cadar, mencoba membangunkan-nya. Namun, perempuan itu tetap tidak merespon. “Astaga, ada apa deng
Ameera terbangun dengan perasaan linglung. Masih dalam kondisi berbaring, sepasang mata indahnya bergerak ke sana-ke mari memperhatikan suasana di sekitar. Betapa terkejutnya ia saat menyadari jika saat ini dirinya telah berada di dalam kamar. Padahal, seingat Ameera dia sedang dikurung oleh ibu mertuanya di gudang bawah karena membuat sang ibu kesal.“Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah Mama mengurungku di gudang?” gumam Ameera di sela-sela kebingungan.Perlahan, Ameera mendudukkan dirinya dan menyandarkan punggung kurusnya pada sandaran kasur. “Sepertinya Mas Alvan masih belum pulang.” Setelah memastikan keadaan kamar benar-benar kosong, sebelah tangan Ameera tergerak untuk membuka kain cadar yang dikenakan, barulah dia bisa bernapas dengan lebih leluasan. “Tubuhku, rasanya sakit sekali,” monolog perempuan itu seraya merenggangkan otot-otot tubuhnya yang menegang.Di sela-sela kegiatan-nya, pergerakan Ameera tiba-tiba terhenti tatkala sekelebat ingatan samar melintas di kepalany
Pagi menjelang siang itu, Ameera sedang duduk sendirian di kursi santai. Matanya terpaku pada kolam renang di hadapan-nya yang airnya tenang. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya melalui sela-sela kain cadar yang dikenakan, mengusir panas dan sesak yang sempat bergumul di dalam dadanya. Sekalipun dia berada di Mansion megah nan luas. Namun, tidak cukup menutupi kesepian di hatinya.Ameera merenungi nasib hidupnya yang pahit. Masa lalunya tidak seindah yang dibayangkan. Kenangan-kenangan menyakitkan terus menggelayuti pikiran-nya. Masih teringat dengan jelas bagaimana ibu Panti menceritakan tentang dirinya yang saat bayi ditemukan di depan pintu panti asuhan dan tumbuh di sana. Pengalaman berpindah tempat tinggal dengan orang tua asuh yang berbeda, mendapatkan perlakuan kurang mengenakan, seperti dipukuli, di siksa dengan berat di usianya yang masih terlalu kecil, tidak terlewatkan. Sampai pada saat di mana dia dipertemukan dengan Via dan Sulistyo, orang tuanya yang sekarang, barulah Ame
Ameera melangkah keluar dari dapur dengan membawa segelas kopi hitam yang baru saja dibuatnya. Aroma pahit manis yang menguar di udara, memberikan sedikit kehangatan di tengah suasana pagi yang dingin. Di mana hujan yang sejak fajar tadi masih turun, membasahi pekarangan dan tanah di luar sana, menjadikan hari terasa syahdu tanpa panas mentari yang membara. Semalam, Ameera sempat bertanya kepada Jay mengenai minuman apa yang disukai oleh suaminya, dan Jay memberitahu jika Alvan menyukai kopi hitam dengan sedikit tambahan madu. Karena itu, saat ini dia membawa minuman tersebut dan berharap jika segelas kopi buatannya itu dapat menyenangkan hati suaminya.Sesampainya di depan kamar, Ameera menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengeluarkannya secara perlahan, mencoba mengendalikan kegugupan. “Semoga Mas Alvan suka sama kopinya,” gumam perempuan itu dengan suara lirih.Setelah berhasil meyakinkan diri, Ameera menyentuh handle pintu dan membukanya. Seketika itu juga, pandangan matany
Di dalam kamar yang sunyi, Ameera duduk di sofa sudut dengan perasaan resah. Matanya terus memandangi daun pintu yang tertutup rapat, seperti tengah menantikan kemunculan seseorang dari balik sana. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 00.45. Namun, suaminya masih belum juga kembali. Entah kenapa, sejak meninggalkan restoran beberapa jam tadi, dia terus didera kegelisahan, seolah-olah sesuatu yang buruk mungkin saja terjadi.Menoleh ke samping, Ameera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, dan mengeceknya. Raut kecewa seketika menghiasi wajah putihnya begitu mendapati pesan yang dikirim untuk suaminya pada setengah jam lalu, masih belum mendapatkan balasan. Jangankan mendapatkan balasan, bahkan pesan teks tersebut masih menunjukkan centang satu yang berarti pesan berhasil dikirim, tetapi belum diterima oleh penerima.“Masih belum dibuka. Sepertinya, Mas Alvan terlalu sibuk sampai-sampai enggak sempat buka HP,” monolong perempuan itu, mencoba berpikir positif.Membenarkan posi
Lilin di atas meja bergoyang lembut, nyalanya bergerak-gerak mengikuti hembusan angin yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Di tempatnya, Ameera menatap kosong pada hidangan makan malam yang tersaji di hadapannya, masih utuh dan sebagian besar belum tersentuh. Sesekali, suara dentingan halus dari alat makan yang tertata rapi hanya mempertegas kesunyian yang melingkupi ruangan ekslusif di restoran itu.Beberapa saat yang lalu, Alvan mengajaknya untuk makan malam bersama di restoran mewah yang berada di pusat Kota. Bukan hanya itu, Ameera juga sempat merasakan kehangatan serta perhatian suaminya yang jarang sekali ditunjukan kepadanya. Namun, suasana indah tersebut dengan cepat berubah ketika Alvan tiba-tiba pergi meninggalkan Ameera sendirian tanpa penjelasan.“Aku pergi. Ada sesuatu yang harus aku urus. Kamu, kembali-lah ke mansion dan jangan menungguku!” Rasa kecewa dan kehilangan selera makan seketika menyelimuti. Ameera memandangi kursi kosong di seberangnya dengan perasaan be
“Dengan siapa kamu datang ke sini?”“Ada santi yang menemaniku, Mas,” jawab Ameera seraya memasukkan kotak bekal yang telah kosong ke dalam totebag coklat.“Santi?” Satu alis Alvan terangkat tinggi. Seolah-olah bertanya di mana wanita yang ditugaskan sebagai pelayan pribadi Ameera itu berada.“Aah, sekarang Santi sedang menunggu di bawah, Mas.” Ameera menerangkan.Alvan manggut-manggut mengerti. “Begitu rupanya.” Bangkit dari tempat duduk, ia kemudian berjalan mendekati meja kerjanya dan berdiri di sana dengan satu tangan di masukkan ke dalam saku. “Apa jadwal berikutnya, Jay?” Meskipun suara pria itu terkesan rendah. Namun, cukup untuk dapat di dengar oleh Jay yang sedang berdiri di depan pintu ruangan.“Izin memberitahu, Tuan Muda. Untuk jadwal berikutnya, Anda meminta saya untuk mengosongkan. Bukankah Anda hendak ke rumah sakit dan membesuk Tuan Besar?” balas Jay terdengar tenang.Bergeming sejenak, Alvan kemudian menoleh dan menatap lurus ke arah Ameera. “Kau dengar, Ameera? Bersia
Di lantai tertinggi gedung Galaxy Tower, rapat tengah berlangsung. Alvan duduk di sebelah Tuan Abimana, CEO dari Star Grup. Keduanya tengah memandangi layar proyektor yang menampilkan rencana besar mereka—proyek perumahan inovatif yang akan dibangun di jantung kota. Dengan pemandangan skyline kota yang modern sebagai latar belakang, membuat suasana di dalam ruangan itu terasa penuh semangat dan antusiasme.“Harus aku akui, jika kolaborasi ini adalah langkah besar bagi kita, Tuan Alvan. Dengan menggabungkan sumber daya kita, proyek perumahan ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan pasar, tetapi juga mengubah wajah pusat kota,” ucap Tuan Abimana dengan nada penuh keyakinan.Alvan mengangguk setuju, sementara matanya terus menelusuri garis-garis rencana di layar. “Galaxy Grup telah mengumpulkan data demografis dan tren urban terkini. Kita akan memanfaatkan setiap informasi itu untuk menciptakan hunian yang bukan hanya modern, tetapi juga fungsional dan berkelanjutan,” pungkasnya dengan p
Dentingan alat masak terdengar mengiringi Ameera yang tengah berkutat di dapur. Sejak pagi tadi, dia sudah turun dan sibuk mempersiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvan. Kebetulan hari ini, mereka hanya tinggal berdua saja, karena papa dan mama mertuanya sedang tidak berada di mansion lantaran harus menjaga kakek David di rumah sakit. Sehingga, tidak mengherankan jika hunian yang besar itu terasa lebih sepi dari biasanya.Aroma harum yang khas dari nasi goreng, menguar di udara, membuat siapa saja yang menciumnya merasa tergugah oleh selera. Dari banyaknya bahan yang ada, Ameera memilih nasi goreng sebagai menu pagi mereka. Seperti saat ini, ia terus mengaduk nasi di penggorengan dengan ritme yang teratur, memastikan semua bumbu meresap sempurna.Untuk sentuhan akhir, Ameera menambahkan kecap manis dan sejumput garam, lalu mengaduk nasi goreng sekali lagi hingga semua bumbu benar-benar tercampur merata. Ameera mencicipi sedikit dengan ujung spatula. Senyum tipis terbit di wajahnya ket
Ameera melangkah keluar dari kamar mandi dengan aroma segar yang masih melekat di tubuhnya. Sembari membenarkan jarum pentul pada hijab yang dikenakan, ia tercenung melihat Alvan yang masih berada di kamar mereka, seolah sedang menunggunya. ‘Mas Alvan?’ Tidak ingin terlalu percaya diri, Ameera memilih berjalan menuju kasur lalu mendudukkan dirinya di sana dengan gugup. Jujur saja, dia merasa cukup lelah dan ingin segera beristirahat.Menyadari Ameera yang telah selesai, Alvan melangkah mendekat. Di tangannya, ia membawa segelas susu hangat yang mengepul lembut. "Ini, minumlah.” Ameera terkesima saat sosok jangkung itu mengulurkan gelas susu kepadanya. "Susu hangat bisa membuat tubuhmu menjadi lebih rileks,” ujarnya dengan suara datar.Tertegun sejenak, Ameera kemudian menerima gelas susu itu. “Terima kasih, Mas,” ucap perempuan itu yang dibalas anggukkan kecil oleh Alvan. “Hm.”Sedikit menggeser tubuhnya, Ameera mulai meneguk susu di tangannya secara perlahan, merasakan kehangatan yang
Malam itu, langit tampak muram, diselimuti oleh awan mendung yang bergelayut rendah, seolah-olah menutupi dunia dari kehangatan dan kenyamanan malam yang biasa. Bulan menggantung di sana dengan cahayanya yang suram, terhalang oleh lapisan kelabu awan yang bergerak lambat melintasi angkasa. Kilau bintang-bintang tampak redup, seperti berusaha bersinar. Namun, tak mampu menembus kegelapan malam yang mendominasi.Ameera memasuki kamar dengan perasaan lelah usai melewati hari yang panjang. Setelah menutup pintu dengan gerakan berhati-hati, ia terkejut saat mendapati Alvan yang sudah duduk tenang di kursi dekat jendela. Cahaya bulan yang temaram yang menerobos masuk, sedikit menerangi wajahnya yang tampak berpikir dalam, seolah sedang merenungkan sesuatu penting yang tidak terungkapkan.Rasa gugup seketika menyelimuti hati Ameera. Dia berjalan ke tengah ruangan, dan berhenti beberapa langkah di depan Alvan. Di mana, jarang sekali suaminya itu pulang lebih awal seperti ini. Sehingga, kehadi
Dari arah jarum jam 12, Alvan yang baru saja tiba, melangkah tegas memasuki mansion. Saat dalam perjalanan kembali tadi, Jay memberitahunya jika Bianca, sang mama telah menunggu-nunggu kepulangannya untuk membicarakan sesuatu. Entah apa itu, Alvan sendiri tidak peduli. Dia hanya kebetulan datang untuk mengambil sesuatu dan akan kembali pergi.Sesampainya di ruang tamu, Alvan menghentikan langkahnya. Dia mengangguk singkat pada Bianca yang tengah duduk di sofa dengan wajah tegang. “Aku dengar, kau hendak berbicara denganku,” pungkasnya sedingin mungkin.Sedikit membenarkan posisi duduknya, Bianca menatap putranya dengan sorot mata yang tajam. “Kau lihat ini, Son.” Wanita paruh baya itu mengulurkan ponsel dan memperlihatkannya kepada Alvan.Melirik ke arah ponsel, Alvan cukup terkejut saat mendapati laman berita di salah satu jejaring sosial terpampang di layar. Meski begitu, dengan cepat laki-laki itu mengendalikan ekspresinya dan kembali bersikap dingin seperti biasa. “Ada apa dengan