Share

Bab 07 || Perasaan Rumit

Setelah berganti pakaian, Alvan berjalan menuju sofa panjang. Setelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai, nampak pas membalut tubuh jangkungnya. Sampai di dekat sofa, Alvan hendak berbaring di sana guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.

Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mendapati Ameera yang masih terpejam, padahal sudah cukup lama baginya tidak sadarkan diri. Alih-alih memanggilkan doker, ia memilih untuk tidak peduli dan segera berbaring. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun Alvan mencoba untuk tidak menghiraukan, tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.

“Masih belum bangun juga.” Kening Alvan berkerut, saat menyadari siklus napas Ameera yang berat. “Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan bernapas. Haruskah aku melepasnya?” Alvan nampak ragu untuk melepas kain cadar yang dikenakan Ameera.

“Sudahlah. Anggap saja demi kemanusiaan.” Setelah cukup lama bergelut dengan perasaan-nya, akhirnya Alvan memberanikan diri untuk melepaskan kain cadar yang di kenakan Ameera.  

Deg!

Seketika itu juga, Alvan merasakan tubuhnya menegang. Kedua mata tajamnya bahkan membulat sempurna, terkejut dengan pemandangan yang tersuguh di hadapan-nya. Alvan tidak pernah menyangka bahwa akan ada masa di mana tubunya tergugah hanya karena seorang wanita yang tengah tidak sadarkan diri. Ayolah, selama ini dia telah banyak sekali menemui wanita cantik dan sexy di luar sana. Namun, untuk pertama kalinya, Alvan merasa gugup dan itu karena Ameera, wanita yang telah dinikahinya beberapa waktu terakhir ini.   

“Astaga, apa yang kau pikirkan, Alvan! Berhentilah menatap perempuan itu!” tegur Alvan pada dirinya sendiri.

Alih-alih kembali hanyut dalam pesona Ameera, sosok jangkung itu dibuat tercenung saat menyadari wajah Ameera yang pucat pasi. Perlahan, sebelah tangan Alvan terulur untuk menyentuh permukaan kening Ameera dan terperanjat. “Ternyata dia demam,” monolog laki-laki itu bagitu merasakan panas yang tidak wajar di kening Ameera.

Alvan bergegas pergi dan tidak lama kembali dengan sebuah baskom dan handuk kecil di tangan-nya. Ia membilas handuk kecil tersebut kemudian meletakkan-nya di kening Ameera sebagai kompres. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dia tiba-tiba pingsan seperti ini?” Sosok jangkung itu bergumam dengan suara rendah. Melihat kondisi Ameera seperti ini, membuat Alvan yang super-duper dingin dan cuek diam-diam didera rasa cemas sekaligus khawatir.

Malam itu, Alvan tidak tidur. Dia duduk di sisi tempat tidur, menjaga Ameera yang terbaring lemah tanpa kata. Sesekali, dia akan membilas handuk kecil kemudian kembali mengompres Ameera, dan memastikan jika suhu tubuh perempuan itu kembali normal seperti sediakala.

Menghela napas panjang, Alvan terus memperhatikan Ameera di pembaringan. Wajah perempuan itu terlihat begitu teduh dan menenangkan untuk dipandang. Tak pelak, Alvan nyaris terpesona olehnya. Namun, sepersekian detik kemudian, laki-laki itu segera mengenyahkan pikiran bodoh-nya begitu teringat dengan status pernikahan mereka. Satu hal yang harus Alvan ingat, bahwa ia menikahi Ameera hanya untuk menggantikan mediang adiknya dan demi perusahaan yang dijanjikan untuknya. Di mana, perasaan tidak boleh tumbuh di tengah-tengah mereka.

Selagi larut dalam pikiran-nya sendiri, Alvan dikejutkan oleh getaran di saku celananya. Sebelah tangan-nya tergerak untuk mengambil ponsel dari dalam sana. “Paman?” gumam Alvan begitu membaca nama di penelpon di layar ponsel. Tanpa berlama-lama, ia segera mengangkat panggilan masuk tersebut dan bangkit dari tempat duduk.

“Halo, Paman.”

“Kau melanggar janjimu, Alvan.”

“Melanggar janji? Apa maksudmu, Paman?”

“….”

Beberapa detik kemudian, ekspresi wajah Alvan seketika berubah menjadi lebih serius. Mata tajamnya terbuka lebar, sementara kedua garis rahangnya mengetat kencang. Bahkan, otot-otot lehernya sampai menyembul ke luar, seolah terkejut denga napa yang baru saja dia dengar dari seberang telpon.

“Baiklah. Aku mengerti, Paman. Aku akan mengurus sisanya,” tandas Alvan sebelum kemudian mematikan sambungan panggilan.

Semilir angin berhembus kencang, membisiki malam yang semakin larut. Sedikit memiringkan tubuhnya, Alvan menatap sosok Ameera yang tengah terlelap dengan pandangan yang sulit diartikan. “Jangan salahkan aku, karena bertindak terlalu jauh. Salahkan dirimu sendiri karena telah menjebak-ku ke dalam situasi rumit ini, Ameera,” gumam Alvan sarat akan makna tersirat.

***

Dinginnya malam, terasa begitu menusuk hingga sampai ke tulang-belulang. Di atas kasur, Ameera terjaga dari tidurnya. Perlahan, ia mengerjapkan mata tatkala rungunya menangkap deru napas lembut seseorang.

Sshhh.” Perempuan itu meringis merasakan pening yang teramat sangat di kepalanya. Masih dengan mata berat yang terbuka, Ameera dibuat terkejut saat netranya menangkap sosok Alvan yang tengah tertidur dengan posisi terduduk di samping pembaringan. “Mas Alvan? Kenapa Mas Alvan tidur di sini? Sambil duduk lagi.”

Sembari sedikit membenarkan kain cadar yang dikenakan, ruang di antara kedua alis Ameera berkerut saat merasakan sesuatu di atas keningnya. Sebelah tangannya tergerak untuk mengambil sesuatu yang mengganjal tersebut. “Handuk kecil?” Ia memandangi handuk di tangannya dengan perasaan bingung.

Mengerjapkan matanya beberapa kali, Ameera kembali menatap sosok jangkung yang masih terlelap itu dengan tatapan penuh tanda tanya. “Apa yang terjadi? Semalam ….” Ameera mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi tadi malam.

Beberapa detik kemudian, perempuan itu terbelalak tatkala potongan-potongan dari kejadian semalam berputar di kepalanya bak gulungan memori. Saat di mana, dirinya yang baru saja kembali ke dalam kamar dalam kondisi tubuh berat karena kelelahan, tiba-tiba tumbang dan pingsan. “Tunggu, kalau enggak salah, tadi malam aku mendengar suara mobil mas Alvan. Setelah merapikan dapur, mencuci piring, aku ke kamar dan … semuanya jadi gelap.” Ameera menangkupkan sebelah telapak tangannya, menutupi mulutnya yang ternganga. Baru saja, dia menyadari sesuatu yang salah di sini.

“Jangan-jangan, semalaman ini Mas Alvan menjagaku?” pekik Ameera dengan suara tertahan. Takut kalau-kalau suaminya itu akan terbangun. Tentu saja, Ameera tidak ingin terlalu percaya diri dan salah paham. Namun, melihat kondisinya saat ini, membuat Ameera menyadari bahwa suaminya itu memang telah menjaganya.

Pada saat yang sama, Alvan yang sedikit terusik oleh pergerakan Ameera terbangun. Menegakkan tubuhnya, ia menatap Ameera dengan pandangan kabur karena kantuk yang masih mendera. “Kamu sudah bangun rupanya.”

“M-mas Alvan?” panggil Ameera seraya menatap cemas ke arah suaminya.

Seketika itu juga, Alvan terbelalak tatkala menyadari di mana dirinya berada sekarang. Rasa kantuk yang semula masih menyelimuti pun seketika lenyap. Dengan cepat, Alvan mengubah ekspresi wajahnya dan memasangnya sedatar mungkin. Tentu saja, dia tidak ingin membuat Ameera salah paham dan mengira bahwa dirinya peduli padanya.

“Kamu mengganggu tidurku!” ucap Alvan dengan nada dingin.

“Kenapa Mas Alvan tidur di sini? Apa Mas Alvan yang menjagaku semalaman?” terka Ameera ragu-ragu.

Sosok jangkung itu langsung melayangkan tatapan menghunus. Seolah, tidak terima dengan tudingan yang diberikan oleh Ameera. “Siapa yang menjagamu? Aku hanya tidak sengaja ketiduran di sini!” elak Alvan dengan ketus.

Ameera mengerjap polos. “Tapi, aku melihat ada baskom dan handuk kompres. Aku rasa, Mas Alvan telah menolongku semalam.” Ameera menyebutkan baskom di atas nakas serta handuk kecil yang sebelumnya terlampir di keningnya.

Garis rahang Alvan mengetat. Dia paling membenci seseorang yang berlagak sok tahu tentang dirinya. “Sudah aku bilang, kalau aku tidak menolongmu atau menjagamu. Kenapa kamu berisik sekali!” kelakar laki-laki itu, berang. Bahkan, orang bodoh sekalipun akan tahu apa yang terjadi di sana justru sebaliknya. Namun, Alvan terlalu gengsi untuk mengakui.

Di tempatnya, Ameera hanya bisa menatap kemarahan Alvan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa bersalah karena telah menjadi beban bagi laki-laki itu. Namun, di sisi lain, ada rasa hangat yang tumbuh di hatinya, saat mengetahui fakta bahwa Alvan telah menolong dan menjaganya semalaman.

“Terima kasih, Mas.” Alvan yang sempat tersulut, mendadak terdiam. “Meski Mas Alvan enggak bermaksud begitu, tapi nyatanya Mas sudah menjaga dan merawat aku.”

Kata-kata Ameera yang lembut dan tulus, berhasil mengetuk sesuatu di dalam dada Alvan. Belum lagi, ditambah dengan bayangan wajah Ameera yang samar-samar kembali melintas di dalam ingatan-nya, membuat hati Alvan bergetar, seolah ada emosional yang tidak bisa dia jelaskan. Beruntung, sebelum ketiduran tadi dia telah memasangkan kembali kain cadar itu, sehingga Ameera tidak mungkin curiga padanya.

Berdeham beberapa kali, Alvan kemudian mengalihkan pandangan-nya ke arah lain. “Kau terlalu banyak bicara. Kepalaku menjadi pening mendengarnya!” ketus sosok jangkung itu lalu bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan kamar dengan perasaan yang rumit.

Sementara itu di tempatnya, Ameera hanya diam menatap kepergian Alvan. Dia tahu, suaminya itu masih belum bisa menerimanya. Bagaimanapun juga, pernikaham mereka terlalu tiba-tiba, sehingga butuh waktu bagi dua hati yang berbeda untuk bisa bersatu. “Mas Alvan masih bersikap dingin. Sepertinya, butuh banyak usaha bagiku untuk bisa mencairkannya,” gumam Ameera sendu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status