Di bawah langit biru yang cerah, Ameera menggantungkan pakaian terakhir yang sebelumnya telah dicuci pada tali jemuran. Sembari mengusap keringat di dahinya, perempuan bercadar itu kemudian membawa atensinya ke sekeliling.
Seperti biasa, mansion keluarga Septihan yang luas itu selalu dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitas masing-masing. Lihat saja, betapa lantai marmer di setiap sudut itu nampak berkilau, begitu juga dengan halaman-nya yang bersih tanpa satupun daun yang berserakan.
Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih semua tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan para pekerja, melainkan karena merupakan perintah khusus dari Bianca. Mertuanya itu cukup sulit untuk dihadapi. Sosoknya tegas serta memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan tempat tinggal dengan-nya.
Ameera tahu betul, untuk mendapatkan sedikit pengakuan dari mama mertuanya itu, dia harus melakukan lebih dari sekadar menjadi istri yang baik bagi anaknya. Karenanya, Ameera berusaha membuktikan, bahwa dirinya layak berada di mansion ini, layak menjadi bagian dari keluarga Septihan yang terkenal dan sangat dihormati itu. Dia berharap bahwa suatu hari, Bianca akan melihat lebih dari sekadar usahanya dan merasakan ketulusan hatinya.
“Alhamdulillah, akhirnya satu-persatu kerjaan selesai juga,” gumam Ameera seraya meletakkan keranjang baju kotor di tempatnya.
Membalikkan tubuhnya, Ameera tiba-tiba merasa kepalanya geliengan. Dengan cepat ia berpegangan pada dinding yang berada di dekatnya agar tidak terjatuh. “Kenapa rasanya kayak gempa, ya?” Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali guna mengendalikan kesadarannya.
Selain itu, Ameera juga merasakan tubuhnya berat dan lelah. Mungkin semua ini dia dapatkan karena terlalu banyak bekerja keras. Menarik napas dalam-dalam kemudian, mengeluarkannya secara perlahan, Ameera mencoba menenangkan diri. Setelah merasa baikan, ia kemudian berjalan keluar dari tempat laundry dan hendak menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Namun, kurang dua langkah dari anak tangga berada, seseorang kembali menyeruinya.
“Mau ke mana kamu?”
Menoleh ke arah sumber suara, tubuh Ameera menegang saat mendapati Bianca yang sedang duduk santai di atas sofa ruang tengah sambil dengan televisi di depan-nya yang menyala. “Ameera mau istirahat, Ma,” cicit Ameera dengan suara pelan. Namun, masih dapat di dengar oleh Bianca.
Bianca yang sedang mengupas kuaci sebagai camilan menghentikan kegiatan-nya. “Apa? Mau istirahat!” sengitnya seraya melayangkan tatapan menghunus ke arah Ameera, seolah tidak suka dengan jawaban yang Ameera berikan.
“Ameera sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Jadi, Ameera mau istirahat sebentar. Boleh, ‘kan, Ma?”
Wanita paruh baya itu menopang sebelah kakinya pada satu kaki yang lain. Aura menegangkan dan panas seketika menyelimuti atmosfer ruangan di sana. “Baru kerja begitu saja sudah kecapekan? Dasar pemalas! Buatkan aku teh chamomile. Sekarang!” perintah Bianca dengan nada yang tidak bisa ditolak.
Meski tubuhnya terasa remuk dan kepalanya berdenyut, Ameera tetap tersenyum tipis kemudian mengangguk patuh. “Baik, Ma. Kalau begitu biar Ameera buatkan dulu,” balasnya yang tidak dihiraukan oleh Bianca.
Perempuan bercadar itu kemudian berbergegas menuju dapur untuk membuat teh. Dengan tangan sedikit gemetar ia mulai memanaskan air dan memastikan suhunya pas. Namun, ketika Ameera menyajikan cangkir teh itu kehadapan Bianca, ia hanya menatapnya dengan ekspresi tidak puas.
“Teh-nya sudah jadi, Ma. Silakan diminum,” kata Ameera mempersilakan.
Dengan angkuh, Bianca meraih cangkir teh lalu meneguknya sedikit dan memuntahkannya kembali. “Cuih! Teh ini terlalu manis,” keluh Bianca setelah mencicipi dengan raut wajah muak.
Sontak, pengakuan Bianca tersebut membuat Ameera terkejut. Menurutnya ia telah menakar gula secukupnya tadi. Namun, mengapa mertuanya itu baru saja mengatakan kalau teh buatannya kemanisan?
“Benarkah? Kalau begitu, biar Ameera buatkan yang baru, Ma.”
Tidak menghiraukan, Bianca hanya mengibaskan telapak tangan-nya ke udara, bermaksud menyuruh agar Ameera pergi dari hadapan-nya. Mengerti dengan kode yang diberikan, Ameera segera kembali ke dapur untuk membuatkan teh yang baru. Mungkinkah, dia perlu mengurangi takaran gula dari sebelumnya?
“Ini, Ma. Ameera sudah buatkan teh baru. Silakan diminum.” ucap Ameera seraya meletakkan secangkir teh baru yang sudah dibuat ke atas meja.
Sangat disayangkan, lagi-lagi Bianca menemukan alasan untuk tidak menyukai teh buatan Ameera. “Kurang manis.” Ia berceloteh dengan enggan.
Ameera mencengkram kedua sisi gamis yang dikenakan, berusaha memperkuat kesabaran-nya yang perlahan goyah. “Ameera buatkan lagi, Ma.” Ia mengambil cangkir teh di meja kemudian kembali lagi ke dapur untuk membuatkan teh yang baru.
“Kurang kental.”
“Terlalu kebanyakan air.”
“Kurang panas.”
Untuk kesekian kalinya, Ameera bolak-balik ke dapur dan ruang tengah, untuk mengambilkan teh. Akan tetapi, tidak ada satu pun dari teh yang dibawa, bisa diterima oleh mertuanya. Sebenarnya, Ameera menyadari, jika mertuanya itu sengaja mencari-cari alasan untuk terus menolaknya. Sebab, dari tadi Ameera memberikan teh yang sama dari teh yang pertama menurut resep yang ia pelajari dari Bi Juminah, kepala pelayan di mansion, tidak terlalu manis, suhu air yang pas, serta penyeduhan teh sesuai dengan takaran. Oleh karena itu, perubahan rasa hingga suhu seperti yang disebutkan oleh Bianca tadi adalah tidak benar.
Sampai pada beberapa saat kemudian, dari arah dapur, Ameera berjalan sedikit tergopoh menghampiri Bianca yang masih stay di ruang tengah. “Ini, teh-nya, Ma. Kali ini, enggak terlalu manis dan enggak terlalu pahit. Takaran airnya pun pas, in syaa Allah enggak kekentalan atau terlalu banyak,” kata perempuan itu dengan napas sedikit tersengal karena kelelahan bolak-balik.
Mengacuhkan ucapan Ameera, Bianca meraih cangkir teh dan mulai meneguknya. Yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Bianca melempar cangkir teh ke lantai hingga membuat benda berbadan keramik itu pecah menjadi beberapa keping.
Prang!
“Apa-apaan, Ameera? Ini sangat panas! Kamu sengaja ingin membunuhku, hah?!” maki Bianca bersungut-sungut. Setiap cangkir teh yang dibuat Ameera, seolah tidak pernah memuaskan hatinya.
Meneguk salivanya susah payah, Ameera menundukkan kepalanya dalam-dalam. “M-maaf, Ma. Ameera menaikkan sedikit suhu panasnya tadi,” ungkapanya menyesal.
“Maaf-maaf. Kamu pikir, semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan permintaan maaf, hah?!” sentak Bianca berang.
Perempuan bercadar itu menggeleng. Sementara di bawah sana, diam-diam ia meremas ujung gamisnya. Bahkan, ketika Bi Juminah—kepala pelayan di mansion mendatanginya dan menawarkan bantuan membuat teh, Ameera menolak dengan sopan. Tentu saja, semua itu ia lakukan semata-mata agar bisa mendapatkan sedikit pengakuan dari Bianca. Namun, sangat disayangkan, usahanya tersebut sia-sia, karena nyatanya wanita paruh baya itu tidak cukup puas dengan teh hasil buatannya dan berakhir murka.
“Inilah alasan kenapa aku begitu membencimu. Kamu penuh dengan kesialan! Putraku menjadi korbannya. Kamu tahu, Ameera, kalau saja Alex tidak bersikeras menikahi kamu, mungkin saat ini dia masih hidup!” kelakar Bianca bak guntur yang menggelegar di malam hari.
Kata-kata yang diucapkan Bianca seperti pisau yang mengiris hati Ameera. Seolah-olah semua usahanya hanya akan berakhir sia-sia, atau mungkin dia tidak akan pernah bisa mendapatkan cinta serta penerimaan dari wanita yang sekarang telah menjadi keluarganya itu. Kebencian Bianca telah mengakar, sehingga apapun yang Ameera lakukan mustahil bisa menghancurkan dinding kebencian di hatinya.
“M-maaf, Ma ….” Suara Ameera terdengar bergetar. Cairan bening, mulai menggenang di pelupuk matanya yang lentik. Ameera mencoba menahan diri agar tidak menangis, sekalipun dadanya terasa begitu sesak. “Ameera benar-benar minta maaf, Ma.” Walau sebenarnya musibah yang terjadi bukanlah kesalahannya. Namun, Ameera tetap merasa bersalah.
Mendengkus kasar, Bianca membuang wajahnya ke samping. “Jangan berharap aku bisa memaafkan kamu, Ameera. Selamanya, aku akan membencimu!” ketus wanita paruh baya itu, kemudian bangkit dari atas sofa dan berlalu pergi meninggalkan Ameera dengan segudang luka dan penyesalan.
Ameera memegangi dadanya yang terasa sesak dan nyeri. “Ya Allah, kenapa rasanya sesakit ini.” Kali ini, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Air matanya mengalir deras membasahi kedua pipinyaa yang tertutup kain cadar. “Mama begitu membenciku. Akankah aku bisa menembus hati Mama dan mendapatkan maafnya?” Ameera menangis pilu. Matanya menyiratkan keputus asaan, seakan tidak menyangka jika takdir hidupnya akan serumit dan seberat ini.
***
Malam telah tiba. Langit yang semula cerah berubah menjadi gelap gulita. Di atas sana, terlihat bintang-bintang berkelipan dan bulan purnama yang bersinar terang. Suara jangkrik yang sesekali terdengar, berhasil menambah keindahan dari malam yang syahdu.
Di antara kesunyian yang tengah berlangsung, sebuah mobil melaju dengan kecepatan rata-rata memasuki pelataran luas dan berhenti tepat di depan mansion. Setelah mematikan mesin mobil, Jay yang sebelumnya mengemudi turun sebelum kemudian segera membukakan pintu samping mobil. “Silakan, Tuan,” ucap pria muda itu mempersilakan tuan-nya.
Sembari memasang kancing jas yang dikenakan, Alvan turun dari mobil. Seketika itu juga, angin sepoi-sepoi yang membawa kesejukan menyambutnya, seolah menggantikan hiruk pikuk siang hari dengan ketenangan yang mendalam. Tanpa berkata-kata, sosok jangkung itu kemudian berjalan memasuki mansion.
Langkah lebarnya terasa berat. Sebenarnya, Alvan sendiri tidak berniat untuk kembali. Sebagai pemimpin perusahaan yang baru, Alvan memiliki beban serta tanggung jawab yang semakin berat. Di mana, pikiran-nya telah dipenuhi dengan berbagai macam strategi dan rencana, sehingga dia tidak memiliki ruang untuk hal-hal lain yang menurutnya tidak bermanfaat.
Sesampainya di kamar, Alvan mengernyitkan kening tatkala mendapati ruangan yang gelap gulita. “Gelap sekali.” Alvan menekan saklar lampu, dan seketika itu juga ruangan di tempatnya menjadi terang-benderang.
Sosok jangkung itu seraya mengedarkan atensinya ke sekeliling, seakan tengah mencari-cari keberadaan dari wanita yang telah dinikahinya. “Di mana perempuan aneh itu?” Namun, sepersekian detik kemudian, Alvan segera menggelengkan kepalanya begitu menyadari perbuatan-nya. “Oh, ayolah, ngapain aku mencari perempuan itu? Tidak ada kerjaan saja!” Menggedikkan kedua bahunya ringan, Alvan memilih mengabaikan ketiadaan Ameera dan memutuskan untuk mandi dan membersihkan diri.
.
.
Ameera baru saja kembali ke dalam kamarnya setelah sebelumnya merapikan dapur dan mencuci piring bekas makan malam. Menghela napas berat, ia menutup daun pintu kemudian berjalan menghampiri kasur besar yang berada di sudut kamar. “Oh, hari ini rasanya lelah sekali,” gumamnya dengan sorot mata letih. Ingin sekali, ia segera membaringkan tubuhnya di sana. Namun, Ameera cukup tahu diri untuk tidak teledor dan kelak keringatnya akan mengotori seprai baru yang masih wangi itu.
“Apa sebaiknya aku mandi terlebih dulu, ya?” monolog Ameera, menimbang-nimbang.
Bersamaan dengan itu, deritan pintu terdengar mengiringi Alvan yang keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggang. Baru saja, dia menyelesaikan ritual mandinya, membuat tubuhnya terasa jauh lebih segar dan ringan dari sebelumnya. Saat hendak menuju ruang ganti, Alvan dikejutkan oleh pemandangan yang tidak pernah dia duga.
Tidak jauh dari tempat dirinya berada, Alvan mendapati Ameera tengah berdiri lunglai di dekat tempat tidur. Bukan hanya itu, Alvan juga dibuat salah fokus dengan penampilan Ameera yang terlihat buruk, sorot matanya sendu, dan napasnya tersengal-sengal. Entah apa yang telah perempuan itu lakukan. Dia benar-benar berantakan layaknya seseorang yang baru saja kembali dari bekerja keras.
Di tengah kebingungan yang melanda, Alvan kemudian berjalan menghampiri Ameera. Namun, belum sempat laki-laki itu bertanya atau memarahinya, Ameera yang kelelahan, tiba-tiba tumbang. “Astaga, ada apa ini?!” pekik Alvan dengan kedua mata terbelalak, terkejut.
Insting Alvan sebagai suami langsung terpicu, melupakan segala rasa benci yang tersemat di relung hatinya, sosok jangkung itu bergegas menghampiri Ameera yang tergeletak di bawah. “Hey, kamu … bangunlah. Kenapa diam saja?” Alvan menggoyang-goyangkan tubuh Ameera.
Tidak kunjung ada pergerakan ataupun sahutan dari Ameera, membuat Alvan yang sebelumnya tidak peduli mendadak diserang panik. “Sial! Dia pingsan,” umpat laki-laki itu kemudian segera mengangkat tubuh kurus Ameera dengan hati-hati lalu meletakkannya di atas tempat tidur.
“Oh, apa-apaan ini? Menyusahkan saja!” Alvan mendesah berat kemudian beranjak pergi untuk berganti pakaian.
Setelah berganti pakaian, Alvan berjalan menuju sofa panjang. Setelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai, nampak pas membalut tubuh jangkungnya. Sampai di dekat sofa, Alvan hendak berbaring di sana guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mendapati Ameera yang masih terpejam, padahal sudah cukup lama baginya tidak sadarkan diri. Alih-alih memanggilkan doker, ia memilih untuk tidak peduli dan segera berbaring. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun Alvan mencoba untuk tidak menghiraukan, tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.“Masih belum bangun juga.” Kening Alvan berkerut, saat menyadari siklus napas Ameera yang berat. “Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan bernapas. Haruskah aku melepasnya?” Alvan nampak ragu un
Sinar matahari pagi menyelinap masuk, menerangi ruang makan keluarga Septihan, menciptakan aura yang hangat. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana yang dingin. Bianca, yang sedang duduk di ujung meja memasang wajah tegang, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran untuk melampiaskan kekesalannya.“Melihatmu berjalan seperti itu, aku pikir kamu hanya berpura-pura sakit, Ameera. Ck, Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga,” cibir Bianca saat mendapati Ameera berjalan memasuki ruangan dengan langkah yang masih goyah.Sorot mata Bianca begitu menghunus, seolah siap menguliti menantunya hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-kata tajam.Brian, yang duduk di samping Bianca, menghela napas berat. “Cukup, Ma,” katanya dengan suara rendah. Namun sarat akan ketegasan. “Mama lup
Ameera mengusap keringat di dahinya setelah sebelumnya menyelesaikan pekerjaan di mansion keluarga Septihan yang luas. Kali ini, tubuhnya terasa lebih ringan dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan ia yang telah beristirahat semalaman dan meminum obat.Selagi tertegun di dalam kamar, pikiran Ameera tiba-tiba melayang pada sosok Alvan. Saat ini, suaminya itu pasti sedang sibuk bekerja. Entah apa yang terjadi ia mulai memikirkan sebuah rencana, yakni, ingin membuatkan bekal makan siang spesial untuk Alvan.“Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah ide yang buruk,” monolognya pada dirinya sendiri.Setelah mencoba memantapkan diri, akhirnya Ameera berjalan keluar kamar menuju dapur. Bukan dapur utama yang selalu digunakan oleh para pelayan untuk menyiapkan makanan bagi keluarga mereka, melainkan sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk kegiatan memasa
Ameera berlari sekuat tenaga meninggalkan ruang pribadi Alvan, membuat Jay yang berdiri di depan pintu menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa dicegah, air mata perempuan itu mengalir dengan begitu deras membasahi pipi pucatnya yang tertutup kain cadar. Kekecewaan dan rasa sakit seketika memenuhi relung hatinya begitu bayangan kurang mengenakan yang ia lihat beberapa detik lalu kembali melintas di kepalanya.Napasnya terasa sesak, dadanya panas dan sakit. Ameera tidak pernah menyangka bahwa takdir hidupnya akan membawanya ke titik ini. Titik di mana hatinya hancur berkeping-keping menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya sendiri.“Seharusnya aku menyadarinya. Mas Alvan memang suamiku, tetapi hatinya bukan untukku. Dia sudah memiliki kekasih jauh sebelum kami menikah.” Sembari mengusap air matanya kasar, Ameera terus berlari kencang.Namun, karena dalam keadaan bingung dan sedih, Ameera tidak menyadari ke mana dia pergi. Orang-orang ya
“Mas Alvan, lepasin. Mas mau bawa aku ke mana?” Ameera meronta, berusaha melepaskan cekalan tangan Alvan yang kuat.Alih-alih mendengarkan ucapan Ameera dan melepaskannya, sosok jangkung itu justru menulikan pendengarkannya dan terus menarik perempuan itu pergi. Tak pelak, langkah Alvan yang lebar, membuat Ameera kesulitan dalam mengimbangi. Bahkan, tak jarang ia sampai terseok-seok, lantaran cepatnya laki-laki itu berjalan.Beberapa orang yang mereka lewati, nampak terkejut melihat kejadian tersebut. Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya mengenai siapakah wanita bercadar yang bersama Alvan itu. Berbagai macam spekulasi mulai bermunculan, menantikan kabar panas yang mungkin akan beredar dikeesokan hari.Meski begitu, Alvan tidak peduli. Saat ini, pikirannya tengah kacau dan perasannya tidak karuan. Dia terus menarik Ameera dan membawanya ke ruangan pribadinya.Jay dan Gled yang berada di sana nampak mengernyitkan kening melihat Alvan kembali bersama Ameera. “Kalian berdua keluar dari
Semilir angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di pekarangan luas. Di bawah langit senja yang indah, Ameera berjalan lunglai memasuki teras mansion. Pundaknya menurun lesu, pandangannya yang kabur, menyiratkan kesenduan. Seolah-olah ia baru saja melewati hari yang kurang menyenangkan. Masih terbayang di benak Ameera bagaimana ia berusaha keras membuatkan bekal makan siang untuk Alvan. Namun, saat mencoba mengantarkannya ke kantor, ia justru disambut dengan respon kurang baik oleh suaminya. Persitegangan terjadi, dengan Alvan yang menuding Ameera dengan pernyataan ini dan itu, sehingga membuat perempuan itu berakhir merasa sakit hati.“Oh, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Sudahlah, semua sudah berlalu,” monolognya pada diri sendiri.Menghela napas panjang, Ameera mencoba melupakan beban berat di hatinya dan fokus kembali dengan tujuan serta rencana masa depan. Ia melanjutkan langkahnya, berjalan memasuki pintu utama mansion dengan perasaan yang jauh lebih r
Alvan membawa Ameera menuju kamar. Perempuan di dalam gendongannya itu terlihat sangat lemah dan tidak berdaya. Bahkan, ketika Alvan mencoba memanggil-manggil namanya, Ameera tetap tidak menghiraukannya dan merancau lirih dengan kedua mata tertutup.“Tolong, buka pintunya. Ameera takut,” bisik Ameera dengan suara rendah hingga nyaris tak terdengar kalau saja Alvan tidak memiliki rungu yang tajam.Menundukkan kepalanya sekilas, Alvan terkesiap melihat kondisi Ameera yang semakin memprihatinkan kemudian mempercepat langkah kakinya. Sesampainya di dalam kamar, sosok jangkung itu menurunkan Ameera, bermaksud menyuruhnya agar segera beristirahat. Namun, baru saja telapak kaki perempuan itu menyentuh lantai, Ameera tiba-tiba tidak sadarkan diri dan jatuh ke dalam pelukan Alvan.“Ameera, Ameera.” Alvan yang terkejut, menepuk-nepuk wajah Ameera yang tertutup kain cadar, mencoba membangunkannya. Namun, perempuan itu tetap tidak merespon. “Astaga, ada apa dengannya?” Dengan segera, Alvan mengang
Ameera terbangun dengan perasaan linglung. Membawa atensinya ke sekeliling, dia terkejut tatkala menyadari jika saat ini, ia telah berada di dalam kamar. Padahal, seingat Ameera ia sedang dikurung oleh ibu mertuanya di gudang bawah sore tadi. “Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah Mama mengurungku di gudang?” gumamnya di sela-sela kebingungan.Mendudukkan dirinya, Ameera menyandarkan punggung kurusnya ke sandaran kasur. “Sepertinya Mas Alvan tidak ada.” Sebelah tangan Ameera tergerak untuk membuka kain cadar yang dikenakan, sehingga dia bisa bernapas dengan lebih leluasan. “Tubuhku, rasanya sakit sekali,” monolog perempuan itu seraya merenggangkan otot-otot pundaknya yang menegang.Di sela-sela kegiatannya, pergerakan Ameera tiba-tiba terhenti tatkala teringat sesuatu. “Mas Alvan? Dia yang menyelamatkanku dari gudang?” lirihnya tak yakin. Bayangan akan Alvan yang membuka pintu dan menghampirinya di gudang, remang-remang terputar di dalam memorinya.Ameera tersenyum tipis. Hatinya me