Di bawah langit biru yang cerah, Ameera menggantungkan pakaian terakhir yang sebelumnya telah dicuci pada tali jemuran. Sembari mengusap keringat di dahinya, perempuan bercadar itu kemudian membawa atensinya ke sekeliling.
Seperti biasa, mansion keluarga Septihan yang luas itu selalu dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitas masing-masing. Lihat saja, betapa lantai marmer di setiap sudut itu nampak berkilau, begitu juga dengan halaman-nya yang bersih tanpa satupun daun yang berserakan.
Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih semua tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan para pekerja, melainkan karena merupakan perintah khusus dari Bianca. Mertuanya itu cukup sulit untuk dihadapi. Sosoknya tegas serta memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan tempat tinggal dengan-nya.
Ameera tahu betul, untuk mendapatkan sedikit pengakuan dari mama mertuanya itu, dia harus melakukan lebih dari sekadar menjadi istri yang baik bagi anaknya. Karenanya, Ameera berusaha membuktikan, bahwa dirinya layak berada di mansion ini, layak menjadi bagian dari keluarga Septihan yang terkenal dan sangat dihormati itu. Dia berharap bahwa suatu hari, Bianca akan melihat lebih dari sekadar usahanya dan merasakan ketulusan hatinya.
“Alhamdulillah, akhirnya satu-persatu kerjaan selesai juga,” gumam Ameera seraya meletakkan keranjang baju kotor di tempatnya.
Membalikkan tubuhnya, Ameera tiba-tiba merasa kepalanya geliengan. Dengan cepat ia berpegangan pada dinding yang berada di dekatnya agar tidak terjatuh. “Kenapa rasanya kayak gempa, ya?” Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali guna mengendalikan kesadarannya.
Selain itu, Ameera juga merasakan tubuhnya berat dan lelah. Mungkin semua ini dia dapatkan karena terlalu banyak bekerja keras. Menarik napas dalam-dalam kemudian, mengeluarkannya secara perlahan, Ameera mencoba menenangkan diri. Setelah merasa baikan, ia kemudian berjalan keluar dari tempat laundry dan hendak menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Namun, kurang dua langkah dari anak tangga berada, seseorang kembali menyeruinya.
“Mau ke mana kamu?”
Menoleh ke arah sumber suara, tubuh Ameera menegang saat mendapati Bianca yang sedang duduk santai di atas sofa ruang tengah sambil dengan televisi di depan-nya yang menyala. “Ameera mau istirahat, Ma,” cicit Ameera dengan suara pelan. Namun, masih dapat di dengar oleh Bianca.
Bianca yang sedang mengupas kuaci sebagai camilan menghentikan kegiatan-nya. “Apa? Mau istirahat!” sengitnya seraya melayangkan tatapan menghunus ke arah Ameera, seolah tidak suka dengan jawaban yang Ameera berikan.
“Ameera sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Jadi, Ameera mau istirahat sebentar. Boleh, ‘kan, Ma?”
Wanita paruh baya itu menopang sebelah kakinya pada satu kaki yang lain. Aura menegangkan dan panas seketika menyelimuti atmosfer ruangan di sana. “Baru kerja begitu saja sudah kecapekan? Dasar pemalas! Buatkan aku teh chamomile. Sekarang!” perintah Bianca dengan nada yang tidak bisa ditolak.
Meski tubuhnya terasa remuk dan kepalanya berdenyut, Ameera tetap tersenyum tipis kemudian mengangguk patuh. “Baik, Ma. Kalau begitu biar Ameera buatkan dulu,” balasnya yang tidak dihiraukan oleh Bianca.
Perempuan bercadar itu kemudian berbergegas menuju dapur untuk membuat teh. Dengan tangan sedikit gemetar ia mulai memanaskan air dan memastikan suhunya pas. Namun, ketika Ameera menyajikan cangkir teh itu kehadapan Bianca, ia hanya menatapnya dengan ekspresi tidak puas.
“Teh-nya sudah jadi, Ma. Silakan diminum,” kata Ameera mempersilakan.
Dengan angkuh, Bianca meraih cangkir teh lalu meneguknya sedikit dan memuntahkannya kembali. “Cuih! Teh ini terlalu manis,” keluh Bianca setelah mencicipi dengan raut wajah muak.
Sontak, pengakuan Bianca tersebut membuat Ameera terkejut. Menurutnya ia telah menakar gula secukupnya tadi. Namun, mengapa mertuanya itu baru saja mengatakan kalau teh buatannya kemanisan?
“Benarkah? Kalau begitu, biar Ameera buatkan yang baru, Ma.”
Tidak menghiraukan, Bianca hanya mengibaskan telapak tangan-nya ke udara, bermaksud menyuruh agar Ameera pergi dari hadapan-nya. Mengerti dengan kode yang diberikan, Ameera segera kembali ke dapur untuk membuatkan teh yang baru. Mungkinkah, dia perlu mengurangi takaran gula dari sebelumnya?
“Ini, Ma. Ameera sudah buatkan teh baru. Silakan diminum.” ucap Ameera seraya meletakkan secangkir teh baru yang sudah dibuat ke atas meja.
Sangat disayangkan, lagi-lagi Bianca menemukan alasan untuk tidak menyukai teh buatan Ameera. “Kurang manis.” Ia berceloteh dengan enggan.
Ameera mencengkram kedua sisi gamis yang dikenakan, berusaha memperkuat kesabaran-nya yang perlahan goyah. “Ameera buatkan lagi, Ma.” Ia mengambil cangkir teh di meja kemudian kembali lagi ke dapur untuk membuatkan teh yang baru.
“Kurang kental.”
“Terlalu kebanyakan air.”
“Kurang panas.”
Untuk kesekian kalinya, Ameera bolak-balik ke dapur dan ruang tengah, untuk mengambilkan teh. Akan tetapi, tidak ada satu pun dari teh yang dibawa, bisa diterima oleh mertuanya. Sebenarnya, Ameera menyadari, jika mertuanya itu sengaja mencari-cari alasan untuk terus menolaknya. Sebab, dari tadi Ameera memberikan teh yang sama dari teh yang pertama menurut resep yang ia pelajari dari Bi Juminah, kepala pelayan di mansion, tidak terlalu manis, suhu air yang pas, serta penyeduhan teh sesuai dengan takaran. Oleh karena itu, perubahan rasa hingga suhu seperti yang disebutkan oleh Bianca tadi adalah tidak benar.
Sampai pada beberapa saat kemudian, dari arah dapur, Ameera berjalan sedikit tergopoh menghampiri Bianca yang masih stay di ruang tengah. “Ini, teh-nya, Ma. Kali ini, enggak terlalu manis dan enggak terlalu pahit. Takaran airnya pun pas, in syaa Allah enggak kekentalan atau terlalu banyak,” kata perempuan itu dengan napas sedikit tersengal karena kelelahan bolak-balik.
Mengacuhkan ucapan Ameera, Bianca meraih cangkir teh dan mulai meneguknya. Yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Bianca melempar cangkir teh ke lantai hingga membuat benda berbadan keramik itu pecah menjadi beberapa keping.
Prang!
“Apa-apaan, Ameera? Ini sangat panas! Kamu sengaja ingin membunuhku, hah?!” maki Bianca bersungut-sungut. Setiap cangkir teh yang dibuat Ameera, seolah tidak pernah memuaskan hatinya.
Meneguk salivanya susah payah, Ameera menundukkan kepalanya dalam-dalam. “M-maaf, Ma. Ameera menaikkan sedikit suhu panasnya tadi,” ungkapanya menyesal.
“Maaf-maaf. Kamu pikir, semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan permintaan maaf, hah?!” sentak Bianca berang.
Perempuan bercadar itu menggeleng. Sementara di bawah sana, diam-diam ia meremas ujung gamisnya. Bahkan, ketika Bi Juminah—kepala pelayan di mansion mendatanginya dan menawarkan bantuan membuat teh, Ameera menolak dengan sopan. Tentu saja, semua itu ia lakukan semata-mata agar bisa mendapatkan sedikit pengakuan dari Bianca. Namun, sangat disayangkan, usahanya tersebut sia-sia, karena nyatanya wanita paruh baya itu tidak cukup puas dengan teh hasil buatannya dan berakhir murka.
“Inilah alasan kenapa aku begitu membencimu. Kamu penuh dengan kesialan! Putraku menjadi korbannya. Kamu tahu, Ameera, kalau saja Alex tidak bersikeras menikahi kamu, mungkin saat ini dia masih hidup!” kelakar Bianca bak guntur yang menggelegar di malam hari.
Kata-kata yang diucapkan Bianca seperti pisau yang mengiris hati Ameera. Seolah-olah semua usahanya hanya akan berakhir sia-sia, atau mungkin dia tidak akan pernah bisa mendapatkan cinta serta penerimaan dari wanita yang sekarang telah menjadi keluarganya itu. Kebencian Bianca telah mengakar, sehingga apapun yang Ameera lakukan mustahil bisa menghancurkan dinding kebencian di hatinya.
“M-maaf, Ma ….” Suara Ameera terdengar bergetar. Cairan bening, mulai menggenang di pelupuk matanya yang lentik. Ameera mencoba menahan diri agar tidak menangis, sekalipun dadanya terasa begitu sesak. “Ameera benar-benar minta maaf, Ma.” Walau sebenarnya musibah yang terjadi bukanlah kesalahannya. Namun, Ameera tetap merasa bersalah.
Mendengkus kasar, Bianca membuang wajahnya ke samping. “Jangan berharap aku bisa memaafkan kamu, Ameera. Selamanya, aku akan membencimu!” ketus wanita paruh baya itu, kemudian bangkit dari atas sofa dan berlalu pergi meninggalkan Ameera dengan segudang luka dan penyesalan.
Ameera memegangi dadanya yang terasa sesak dan nyeri. “Ya Allah, kenapa rasanya sesakit ini.” Kali ini, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Air matanya mengalir deras membasahi kedua pipinyaa yang tertutup kain cadar. “Mama begitu membenciku. Akankah aku bisa menembus hati Mama dan mendapatkan maafnya?” Ameera menangis pilu. Matanya menyiratkan keputus asaan, seakan tidak menyangka jika takdir hidupnya akan serumit dan seberat ini.
***
Malam telah tiba. Langit yang semula cerah berubah menjadi gelap gulita. Di atas sana, terlihat bintang-bintang berkelipan dan bulan purnama yang bersinar terang. Suara jangkrik yang sesekali terdengar, berhasil menambah keindahan dari malam yang syahdu.
Di antara kesunyian yang tengah berlangsung, sebuah mobil melaju dengan kecepatan rata-rata memasuki pelataran luas dan berhenti tepat di depan mansion. Setelah mematikan mesin mobil, Jay yang sebelumnya mengemudi turun sebelum kemudian segera membukakan pintu samping mobil. “Silakan, Tuan,” ucap pria muda itu mempersilakan tuan-nya.
Sembari memasang kancing jas yang dikenakan, Alvan turun dari mobil. Seketika itu juga, angin sepoi-sepoi yang membawa kesejukan menyambutnya, seolah menggantikan hiruk pikuk siang hari dengan ketenangan yang mendalam. Tanpa berkata-kata, sosok jangkung itu kemudian berjalan memasuki mansion.
Langkah lebarnya terasa berat. Sebenarnya, Alvan sendiri tidak berniat untuk kembali. Sebagai pemimpin perusahaan yang baru, Alvan memiliki beban serta tanggung jawab yang semakin berat. Di mana, pikiran-nya telah dipenuhi dengan berbagai macam strategi dan rencana, sehingga dia tidak memiliki ruang untuk hal-hal lain yang menurutnya tidak bermanfaat.
Sesampainya di kamar, Alvan mengernyitkan kening tatkala mendapati ruangan yang gelap gulita. “Gelap sekali.” Alvan menekan saklar lampu, dan seketika itu juga ruangan di tempatnya menjadi terang-benderang.
Sosok jangkung itu seraya mengedarkan atensinya ke sekeliling, seakan tengah mencari-cari keberadaan dari wanita yang telah dinikahinya. “Di mana perempuan aneh itu?” Namun, sepersekian detik kemudian, Alvan segera menggelengkan kepalanya begitu menyadari perbuatan-nya. “Oh, ayolah, ngapain aku mencari perempuan itu? Tidak ada kerjaan saja!” Menggedikkan kedua bahunya ringan, Alvan memilih mengabaikan ketiadaan Ameera dan memutuskan untuk mandi dan membersihkan diri.
.
.
Ameera baru saja kembali ke dalam kamarnya setelah sebelumnya merapikan dapur dan mencuci piring bekas makan malam. Menghela napas berat, ia menutup daun pintu kemudian berjalan menghampiri kasur besar yang berada di sudut kamar. “Oh, hari ini rasanya lelah sekali,” gumamnya dengan sorot mata letih. Ingin sekali, ia segera membaringkan tubuhnya di sana. Namun, Ameera cukup tahu diri untuk tidak teledor dan kelak keringatnya akan mengotori seprai baru yang masih wangi itu.
“Apa sebaiknya aku mandi terlebih dulu, ya?” monolog Ameera, menimbang-nimbang.
Bersamaan dengan itu, deritan pintu terdengar mengiringi Alvan yang keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggang. Baru saja, dia menyelesaikan ritual mandinya, membuat tubuhnya terasa jauh lebih segar dan ringan dari sebelumnya. Saat hendak menuju ruang ganti, Alvan dikejutkan oleh pemandangan yang tidak pernah dia duga.
Tidak jauh dari tempat dirinya berada, Alvan mendapati Ameera tengah berdiri lunglai di dekat tempat tidur. Bukan hanya itu, Alvan juga dibuat salah fokus dengan penampilan Ameera yang terlihat buruk, sorot matanya sendu, dan napasnya tersengal-sengal. Entah apa yang telah perempuan itu lakukan. Dia benar-benar berantakan layaknya seseorang yang baru saja kembali dari bekerja keras.
Di tengah kebingungan yang melanda, Alvan kemudian berjalan menghampiri Ameera. Namun, belum sempat laki-laki itu bertanya atau memarahinya, Ameera yang kelelahan, tiba-tiba tumbang. “Astaga, ada apa ini?!” pekik Alvan dengan kedua mata terbelalak, terkejut.
Insting Alvan sebagai suami langsung terpicu, melupakan segala rasa benci yang tersemat di relung hatinya, sosok jangkung itu bergegas menghampiri Ameera yang tergeletak di bawah. “Hey, kamu … bangunlah. Kenapa diam saja?” Alvan menggoyang-goyangkan tubuh Ameera.
Tidak kunjung ada pergerakan ataupun sahutan dari Ameera, membuat Alvan yang sebelumnya tidak peduli mendadak diserang panik. “Sial! Dia pingsan,” umpat laki-laki itu kemudian segera mengangkat tubuh kurus Ameera dengan hati-hati lalu meletakkannya di atas tempat tidur.
“Oh, apa-apaan ini? Menyusahkan saja!” Alvan mendesah berat kemudian beranjak pergi untuk berganti pakaian.
Setelah berganti pakaian, Alvan berjalan menuju sofa panjang. Setelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai, nampak pas membalut tubuh jangkungnya. Sampai di dekat sofa, Alvan hendak berbaring di sana guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mendapati Ameera yang masih terpejam, padahal sudah cukup lama baginya tidak sadarkan diri. Alih-alih memanggilkan doker, ia memilih untuk tidak peduli dan segera berbaring. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun Alvan mencoba untuk tidak menghiraukan, tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.“Masih belum bangun juga.” Kening Alvan berkerut, saat menyadari siklus napas Ameera yang berat. “Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan bernapas. Haruskah aku melepasnya?” Alvan nampak ragu un
Sinar matahari menyelinap masuk, menerangi setiap ruang di kediaman keluarga Septihan. Sekalipun kehangatan menyapa pagi hari. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana dingin di meja makan. Bianca, yang duduk di posisi ujung meja memasang ekspresi masam, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran empuk untuk melampiaskan kekesalan-nya. Sampai pada beberapa saat kemudian, pandangan wanita itu tertuju pada sosok Ameera yang sedang berjalan sedikit tertatih memasuki ruangan.“Melihatmu berjalan seperti itu, hanya akan membuat aku berpikir kalau kamu sedang berpura-pura sakit, Ameera. Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga. Benar-benar akting yang menakjubkan!” cibir Bianca menohok. Sorot matanya yang tajam, seolah siap menguliti Ameera hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-
Ameera berjalan memasuki kamar lalu mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur. Sebelah tangannya tergerak untuk menyeka keringat di keningnya. Baru saja, ia menyelesaikan pekerjaan di mansion, sebagai tugas yang diberikan oleh Bianca. Sekalipun sedikit kelelahan, Ameera merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan semalaman ia telah beristirahat dan meminum obat.Alih-alih membaringkan diri di kasur, pandangan Ameera tanpa sengaja berlabuh pada sebuah handuk kecil yang berada di atas nakas. Senyum tipis terukir di bibir merah muda Ameera begitu teringat dengan Alvan yang telah merawatnya semalam. “Aku masih enggak nyangka, semalam Mas Alvan akan merawatku,” gumamnya pelan.Membahas tentang Alvan, Ameera teringat jika Saat ini, suaminya itu sedang sibuk bekerja dan entah kapan akan kembali. “Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah i
Ameera berlari sekuat tenaga meninggalkan ruangan pribadi Alvan. Sementara Jay yang masih berdiri di depan pintu, hanya bisa menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa dicegah, air mata perempuan itu mengalir dengan begitu deras membasahi pipi pucatnya yang tertutup kain cadar. Kekecewaan dan rasa sakit seketika memenuhi relung hatinya begitu bayangan kurang menyenangkan yang ia lihat beberapa detik lalu kembali melintas di kepalanya.Napasnya terasa sesak, dadanya panas dan sakit. Ameera tidak pernah menyangka bahwa takdir hidupnya akan membawanya sampai ke titik ini. Titik di mana hatinya terasa hancur berkeping-keping menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya sendiri.“Seharusnya aku menyadarinya. Mas Alvan memang suamiku, tetapi hatinya bukan untuk-ku. Dia sudah memiliki kekasih jauh sebelum kami menikah,” gumam Ameera sembari mengusap air matanya dengan sedikit kasar.Dalam keadaan bingung dan sedih, Ameera tidak menyadari ke mana dia
“Mas Alvan, lepasin. Mas mau bawa aku ke mana?” pinta Ameera seraya berusaha melepasakan cekalan tangan Alvan yang begitu kuat.Namun, alih-alih segera melepaskan, sosok jangkung itu justru menulikan pendengaran-nya. Ia terus menarik perempuan itu pergi bersamanya. Tidak peduli dengan Ameera yang kesulitan dalam mengimbangi langkah lebarnya hingga terseok.Beberapa orang yang mereka lewati, nampak terkejut melihat kejadian tersebut. Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya mengenai siapakah wanita bercadar yang bersama Alvan itu. Berbagai macam spekulasi mulai bermunculan, menantikan kabar panas yang mungkin akan beredar dikeesokan hari dan tersebar di forum gossip.Walau demikian, Alvan tidak peduli. Saat ini, pikiran-nya kacau, begitu juga dengan perasan-nya yang terasa tidak karuan. Dia terus menarik Ameera, membawanya ke ruangan pribadinya.Jay dan Gled yang masih berada di sana nampak mengernyitkan kening melihat Alvan yang kembali bersama Ameera. Namun, belum sempat keduanya bertan
Semilir angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di pekarangan luas. Di bawah langit senja yang indah, Ameera berjalan lunglai memasuki teras mansion. Pundaknya menurun lesu, pandangan-nya yang kabur, menyiratkan kesenduan, menunjuk-kan jika ia baru saja melewati hari yang kurang menyenangkan.Masih terbayang dengan jelas di benak Ameera bagaimana ia berusaha keras membuatkan bekal makan siang untuk Alvan. Namun, saat mencoba mengantarkan-nya ke kantor, ia justru disambut dengan respon kurang baik oleh suaminya. Persitegangan terjadi, dengan Alvan yang menuding Ameera dengan pernyataan ini dan itu, sehingga membuat perempuan itu berakhir tersinggung dan sakit hati.“Oh, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Sudahlah, semua sudah berlalu.” Menghela napas panjang, Ameera mencoba melupakan beban berat yang sempai bergelayut di hatinya dan fokus kembali dengan tujuan serta rencana masa depan-nya.Ameera berjalan memasuki pintu utama mansion dengan perasaan yang jauh le
Alvan membawa Ameera menuju kamar tidur mereka. Perempuan di dalam gendongan-nya itu terlihat sangat lemah dan tidak berdaya. Bahkan, ketika Alvan mencoba memanggil-manggil namanya, Ameera tetap tidak menanggapinya dengan kedua mata tertutup.“Tolong, buka pintunya. Ameera takut,” rancau perempuan itu dengan suara rendah hingga nyaris tak terdengar kalau saja Alvan tidak memiliki rungu yang tajam.Di sela-sela langkahnya, Alvan menunduk-kan kepalanya sekilas dan terkesiap melihat kondisi Ameera yang semakin memprihatinkan. Tubuhnya gemetar hebat, napasnya tersendat. Sesampainya di dalam kamar, sosok jangkung itu menurunkan Ameera, bermaksud menyuruhnya agar segera beristirahat. Namun, baru saja telapak kaki perempuan itu menyentuh lantai, Ameera kembali tidak sadarkan diri dan jatuh ke dalam pelukan Alvan.“Ameera, Ameera.” Alvan yang terkejut, menepuk-nepuk wajah Ameera yang tertutup kain cadar, mencoba membangunkan-nya. Namun, perempuan itu tetap tidak merespon. “Astaga, ada apa deng
Ameera terbangun dengan perasaan linglung. Masih dalam kondisi berbaring, sepasang mata indahnya bergerak ke sana-ke mari memperhatikan suasana di sekitar. Betapa terkejutnya ia saat menyadari jika saat ini dirinya telah berada di dalam kamar. Padahal, seingat Ameera dia sedang dikurung oleh ibu mertuanya di gudang bawah karena membuat sang ibu kesal.“Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah Mama mengurungku di gudang?” gumam Ameera di sela-sela kebingungan.Perlahan, Ameera mendudukkan dirinya dan menyandarkan punggung kurusnya pada sandaran kasur. “Sepertinya Mas Alvan masih belum pulang.” Setelah memastikan keadaan kamar benar-benar kosong, sebelah tangan Ameera tergerak untuk membuka kain cadar yang dikenakan, barulah dia bisa bernapas dengan lebih leluasan. “Tubuhku, rasanya sakit sekali,” monolog perempuan itu seraya merenggangkan otot-otot tubuhnya yang menegang.Di sela-sela kegiatan-nya, pergerakan Ameera tiba-tiba terhenti tatkala sekelebat ingatan samar melintas di kepalany
Gelapnya malam menyelimuti, menyisakan samar-samar sinar rembulan yang menembus tirai jendela dan menerangi wajah Ameera yang terlelap tenang dalam tidur. Di antara keheningan yang ada, Alvan duduk di tepi ranjang, mengamati perempuan di pembaringan dengan tatapan lembut. Selepas menghadiri rapat dan menyelesaikan urusan pentingnya, Alvan memutuskan untuk kembali ke mansion. Bukan tanpa sebab, di tengah persitegangan yang terjadi siang tadi, diam-diam Alvan terkejut saat tanpa sengaja melihat tangan Ameera yang terluka. Namun, karena situasi saat itu cukup panas, Alvan memilih menahan egonya dan bersikap seolah-olah tidak peduli. Dan, sekarang, dia datang untuk memastikan keadaan perempuan itu.“Terluka sampai seperti ini, dan dia sama sekali tidak mengadukan-nya padaku.” Alvan menatap garis luka di tangan Ameera dengan sedikit ngilu. Rasa bersalah dan khawatir, seketika merayapi relung hatinya, membuat Alvan semakin terpukul. Bagaimana bisa, perempuan itu menanggung semua penderitaan
Ameera berdiri di tengah ruangan dengan tubuh gemetar. Kening putihnya berkerut, kedua tangan kecilnya meremas erat ujung gamis yang dikenakan, sementara air matanya mulai menggenang di pelupuk mata, menantikan nasib buruk yang sebentar lagi mungkin akan menimpanya. Saat ini, tepat di hadapan-nya, Bianca tengah menatapnya dengan sorot mata penuh amarah.Tidak sendirian, di sekeliling mereka juga terdapat para pelayan yang berdiri dengan kepala menunduk, seolah enggan terlibat dalam persitegangan ini. Namun, sangat disayangkan, tidak satupun dari mereka yang berani menolak perintah Bianca untuk ikut serta dalam menyidang. Semua ini bermula ketika Ameera tanpa sengaja menemukan sebuah miniatur milik Alex saat sedang merapikan ruang penyimpanan di belakang mansion. Bianca yang kebetulan lewat, terkejut dan langsung murka begitu melihat barang milik mediang putranya berada di tangan Ameera. “Kamu tahu apa kesalahanmu, Ameera?” tanya wanita paruh baya itu penuh intimidasi.“Maaf, Ma. Amee
“Daddy bilang, kamu juga setuju untuk menikah denganku. Bukankah itu artinya, kamu berhak atas keputusan dan masa depanku?” ..Setelah sempat terdiam beberapa saat, Alvan melepaskan pelukan Katrine dari tubuhnya. “Maaf, Katrine. Setelah ini, aku ada pertemuan penting. Aku harus pergi.” Bangkit dari tempat duduk, sosok jangkung itu membenarkan sedikit kemeja biru terang yang dikenakan sebelum kemudian berbalik dan beranjak pergi.“Kamu pergi begitu saja?” Pertanyaan Katrine tersebut berhasil menghentikan pergerakan Alvan. “Aku baru sampai dan kamu sudah mau ninggalin aku,” lanjut wanita itu mengiba.Memasuk-kan kedua telapak tangan-nya ke dalam saku celana, Alvan sedikit menelengkan kepalanya ke samping. “Kerjasama Galaxy Grup dengan Star Grup telah berjalan. Banyak hal yang harus dipersiapkan,” terangnya menjelaskan.“Benarkah? Kamu bukan sedang menghindariku?” Katrine menatap Alvan lekat-lekat, seolah tidak percaya dengan alasan yang pria itu buat.Tidak langsung menanggapi, Alvan t
Ameera melangkah keluar dari dapur dengan membawa segelas kopi hitam yang baru saja dibuatnya menggunakan mesin pengekstrak. Aroma pahit yang menguar di udara, memberikan sedikit kehangatan di tengah suasana pagi yang dingin. Di mana hujan yang sejak fajar tadi masih turun, membasahi pekarangan dan tanah di luar sana, menjadikan hari terasa syahdu tanpa panas mentari yang membara. Semalam, Ameera sempat bertanya kepada Jay mengenai minuman apa yang disukai oleh suaminya, dan Jay memberitahu jika Alvan menyukai kopi hitam pekat dengan aroma khas yang kuat. Karena itu, saat ini dia membawa minuman tersebut dan berharap jika segelas kopi buatan-nya itu dapat menyenangkan hati suaminya.Sesampainya di depan kamar, Ameera menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengeluarkan-nya secara perlahan. Mencoba mengendalikan kegugupan. “Semoga Mas Alvan suka sama kopinya,” gumam perempuan itu dengan suara lirih.Setelah berhasil meyakinkan diri, Ameera menyentuh handle pintu dan membukanya. Seket
Di dalam kamar yang sunyi, Ameera duduk di sofa sudut dengan perasaan resah. Matanya terus memandangi daun pintu yang tertutup rapat, seperti tengah menantikan kemunculan seseorang dari balik sana. Jam di dinding sudah menunjuk-kan pukul 01.45 dini hari. Namun, suaminya masih belum juga kembali. Entah apa yang terjadi, sejak meninggalkan restoran beberapa jam lalu, dia terus didera kegelisahan, seolah-olah tanpa ia sadari sesuatu yang buruk telah terjadi.Menoleh ke samping, Ameera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, dan mengeceknya. Raut kecewa seketika menghiasi wajah putihnya begitu mendapati pesan yang dikirim untuk suaminya pada setengah jam lalu masih belum mendapatkan balasan. Jangankan mendapat balasan, bahkan pesan teks tersebut masih menunjuk-kan centang satu yang berarti pesan berhasil dikirim, tetapi belum diterima oleh penerima.“Masih belum dibuka. Sepertinya, Mas Alvan terlalu sibuk sampai-sampai enggak sempat ngecek HP,” monolong perempuan itu, mencoba berpik
Lilin di atas meja bergoyang lembut mengikuti hembusan angin yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Di tempatnya, Ameera menatap kosong hidangan makan malam yang tersaji di atas meja, masih utuh dan sebagian besar belum tersentuh. Sesekali, suara dentingan halus dari alat makan yang tertata rapi terdengar, mempertegas kesunyian yang melingkupi ruangan ekslusif di restoran Bintang lima tersebut.Beberapa saat yang lalu, Alvan mengajak Ameera untuk makan malam bersama di sebuah restoran mewah yang berada di pusat Kota. Bukan hanya itu, Ameera juga sempat merasakan kehangatan serta perhatian dari suaminya yang jarang sekali ditunjukan kepadanya. Namun, sangat disayangkan, suasana indah tersebut dengan cepat berubah ketika Alvan tiba-tiba pergi meninggalkan Ameera setelah menerima telpon sendirian tanpa penjelasan.“Aku pergi. Ada sesuatu yang harus aku urus. Kamu, kembali-lah ke mansion dan jangan menungguku!” Mendadak, Ameera kehilangan selera makan. Ia memandangi kursi kosong di seb
“Dengan siapa kamu datang ke sini?” tanya Alvan setelah menutup sambungan panggilan telpon miliknya.“Ada santi yang menemaniku, Mas,” jawab Ameera seraya memasuk-kan kotak bekal yang telah kosong ke dalam totebag coklat.“Santi?” Satu alis Alvan terangkat tinggi. Seolah-olah bertanya di mana wanita yang ditugaskan sebagai pelayan pribadi Ameera itu berada.“Aah, sekarang Santi sedang menunggu di bawah, Mas,” terang Ameera memberitahu.Alvan manggut-manggut mengerti. “Begitu rupanya.” Bangkit dari tempat duduk, sosok jangkung itu kemudian berjalan mendekati meja kerjanya dan berdiri di sana dengan satu tangan di masuk-kan ke dalam saku celana. “Apa jadwal berikutnya, Jay?” Meskipun suara pria itu terkesan rendah. Namun, cukup untuk dapat di dengar oleh Jay yang sedang berdiri di depan pintu ruangan.“Izinkan saya memberitahu, Tuan Muda. Untuk jadwal berikutnya, Anda meminta saya mengosongkan-nya. Bukankah Anda hendak ke rumah sakit dan membesuk Tuan Besar?” balas Jay terdengar tenang.
Di lantai tertinggi gedung Galaxy Tower, rapat tengah berlangsung. Alvan duduk di sebelah Tuan Abimana, CEO dari Star Grup. Keduanya tengah memandangi layar proyektor yang menampilkan rencana besar mereka—proyek perumahan inovatif yang akan dibangun di jantung kota. Dengan pemandangan skyline kota yang modern sebagai latar belakang, membuat suasana di dalam ruangan itu terasa penuh semangat dan antusiasme.“Harus aku akui, jika kolaborasi ini adalah langkah besar bagi kita, Tuan Alvan. Dengan menggabungkan sumber daya kita, proyek perumahan ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan pasar saja, tetapi juga mengubah wajah pusat kota,” ucap Tuan Abimana dengan nada penuh keyakinan.Alvan mengangguk setuju, sementara matanya terus menelusuri garis-garis rencana di layar. “Galaxy Grup telah mengumpulkan data demografis dan tren urban terkini. Kita akan memanfaatkan setiap informasi itu untuk menciptakan hunian yang bukan hanya modern, tetapi juga fungsional dan berkelanjutan,” pungkasnya deng
Dentingan alat masak terdengar mengiringi Ameera yang tengah berkutat di dapur. Sejak pagi-pagi sekali, ia sudah turun dan sibuk mempersiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvan. Kebetulan hari ini, mereka hanya tinggal berdua saja, karena papa dan mama mertuanya sedang menjaga kakek David di rumah sakit. Sehingga, tidak mengherankan jika hunian yang besar itu terasa lebih sepi dari biasanya.Aroma harum yang khas dari nasi goreng, menguar di udara, membuat siapa saja yang menciumnya akan tergugah oleh selera. Dari banyaknya bahan persediaan yang ada, Ameera memilih nasi goreng sebagai menu pagi mereka. Seperti saat ini, ia terus mengaduk nasi di penggorengan dengan ritme yang teratur, memastikan semua bumbu meresap sempurna.Untuk sentuhan akhir, Ameera menambahkan kecap manis dan sejumput garam, lalu mengaduk nasi goreng sekali lagi hingga semua bumbu benar-benar tercampur merata. Ameera mencicipi sedikit dengan ujung spatula. Senyum tipis terbit di wajahnya ketika mendapati nasi goreng