Semilir angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di pekarangan luas. Di bawah langit senja yang indah, Ameera berjalan lunglai memasuki teras mansion. Pundaknya menurun lesu, pandangan-nya yang kabur, menyiratkan kesenduan, menunjuk-kan jika ia baru saja melewati hari yang kurang menyenangkan.Masih terbayang dengan jelas di benak Ameera bagaimana ia berusaha keras membuatkan bekal makan siang untuk Alvan. Namun, saat mencoba mengantarkan-nya ke kantor, ia justru disambut dengan respon kurang baik oleh suaminya. Persitegangan terjadi, dengan Alvan yang menuding Ameera dengan pernyataan ini dan itu, sehingga membuat perempuan itu berakhir tersinggung dan sakit hati.“Oh, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Sudahlah, semua sudah berlalu.” Menghela napas panjang, Ameera mencoba melupakan beban berat yang sempai bergelayut di hatinya dan fokus kembali dengan tujuan serta rencana masa depan-nya.Ameera berjalan memasuki pintu utama mansion dengan perasaan yang jauh le
Alvan membawa Ameera menuju kamar tidur mereka. Perempuan di dalam gendongan-nya itu terlihat sangat lemah dan tidak berdaya. Bahkan, ketika Alvan mencoba memanggil-manggil namanya, Ameera tetap tidak menanggapinya dengan kedua mata tertutup.“Tolong, buka pintunya. Ameera takut,” rancau perempuan itu dengan suara rendah hingga nyaris tak terdengar kalau saja Alvan tidak memiliki rungu yang tajam.Di sela-sela langkahnya, Alvan menunduk-kan kepalanya sekilas dan terkesiap melihat kondisi Ameera yang semakin memprihatinkan. Tubuhnya gemetar hebat, napasnya tersendat. Sesampainya di dalam kamar, sosok jangkung itu menurunkan Ameera, bermaksud menyuruhnya agar segera beristirahat. Namun, baru saja telapak kaki perempuan itu menyentuh lantai, Ameera kembali tidak sadarkan diri dan jatuh ke dalam pelukan Alvan.“Ameera, Ameera.” Alvan yang terkejut, menepuk-nepuk wajah Ameera yang tertutup kain cadar, mencoba membangunkan-nya. Namun, perempuan itu tetap tidak merespon. “Astaga, ada apa deng
Ameera terbangun dengan perasaan linglung. Masih dalam kondisi berbaring, sepasang mata indahnya bergerak ke sana-ke mari memperhatikan suasana di sekitar. Betapa terkejutnya ia saat menyadari jika saat ini dirinya telah berada di dalam kamar. Padahal, seingat Ameera dia sedang dikurung oleh ibu mertuanya di gudang bawah karena membuat sang ibu kesal.“Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah Mama mengurungku di gudang?” gumam Ameera di sela-sela kebingungan.Perlahan, Ameera mendudukkan dirinya dan menyandarkan punggung kurusnya pada sandaran kasur. “Sepertinya Mas Alvan masih belum pulang.” Setelah memastikan keadaan kamar benar-benar kosong, sebelah tangan Ameera tergerak untuk membuka kain cadar yang dikenakan, barulah dia bisa bernapas dengan lebih leluasan. “Tubuhku, rasanya sakit sekali,” monolog perempuan itu seraya merenggangkan otot-otot tubuhnya yang menegang.Di sela-sela kegiatan-nya, pergerakan Ameera tiba-tiba terhenti tatkala sekelebat ingatan samar melintas di kepalany
Pagi menjelang siang itu, Ameera sedang duduk sendirian di kursi santai. Matanya terpaku pada kolam renang di hadapan-nya yang airnya tenang. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya melalui sela-sela kain cadar yang dikenakan, mengusir panas dan sesak yang sempat bergumul di dalam dadanya. Sekalipun dia berada di Mansion megah nan luas. Namun, tidak cukup menutupi kesepian di hatinya.Ameera merenungi nasib hidupnya yang pahit. Masa lalunya tidak seindah yang dibayangkan. Kenangan-kenangan menyakitkan terus menggelayuti pikiran-nya. Masih teringat dengan jelas bagaimana ibu Panti menceritakan tentang dirinya yang saat bayi ditemukan di depan pintu panti asuhan dan tumbuh di sana. Pengalaman berpindah tempat tinggal dengan orang tua asuh yang berbeda, mendapatkan perlakuan kurang mengenakan, seperti dipukuli, di siksa dengan berat di usianya yang masih terlalu kecil, tidak terlewatkan. Sampai pada saat di mana dia dipertemukan dengan Via dan Sulistyo, orang tuanya yang sekarang, barulah Ame
Di sudut ruangan dengan pencahayaan yang redup, Alvan berdiri menghadap jendela sembari memandangi ponsel di tangan kirinya. Langit di luar sana sudah mulai memutih, menampak-kan keindahan bangunan menjulang di perkotaan. Setelah keresahan yang dialaminya semalam, laki-laki pemilik tubuh jangkung itu benar-benar menghubungi Eldome, paman-nya yang berada di Amerika untuk meminta saran. Akhir-akhir ini, emosinya menjadi tidak stabil. Alvan merasa seolah ada bagian di dalam dirinya yang telah berubah, karena itu ia merasa perlu membagikan masalah yang dimiliki dengan sang paman guna mendapatkan solusi.“Ada apa, Alvan? Tidak biasanya kau menghubungiku terlebih dahulu?” Suara berat seseorang terdengar melalui sambungan telpon.“Ada sesuatu yang ingin aku diskusikan denganmu, Paman. Ini tentang ….” Kata-kata Alvan tiba-tiba tercekat. Dia nampak ragu untuk mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan kepada satu-satunya orang yang dia percayai.“Aku dengar, sekarang kau telah menikah, Alvan,” sa
“Di mana Ameera? Kenapa dia lama sekali!” gerutu Alvan sembari mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan-nya.Lima belas menit sudah berlalu sejak dia memberikan baju baru untuk Ameera dan menunggu di bawah. Namun, sampai saat ini, perempuan itu masih belum kunjung turun juga. Sudah merupakan sebuah rahasia umum, jika Alvan merupakan sosok yang sangat tidak sabaran. Dia selalu tepat waktu serta tanggap dalam melakukan sesuatu, di mana menunggu adalah salah satu dari sekian banyak hal yang paling dia benci.Sampai pada beberapa saat kemudian, derap langkah tenang terdengar pelan dari kejauhan. Semakin lama semakin mendekat. “Mas Alvan?” Suara lembut seseorang yang mengalun, berhasil mengalihkan perhatian Alvan.Menoleh ke arah sumber suara, sosok jangkung itu dibuat terkesima menyaksikan penampilan Ameera. Di bawah pencahayaan lampu yang bersinar terang, perempuan itu berjalan menuruni anak tangga dengan balutan dres hitam panjang elegan. Di tambah dengan sentuhan kain hij
Jay mengemudi dengan tenang, membawa kendaraan beroda empat yang ditumpaki membelah jalanan malam. Di antara keheningan yang tercipta, terdapat Ameera dan Alvan yang duduk tenang di kursi belakang. Keduanya saling terdiam, seolah-olah tidak ada yang berniat untuk memulai pembicaraan serta larut dalam pikiran masing-masing.Akibat kejadian di pesta beberapa saat lalu, Alvan memutuskan untuk kembali ke mansion, meninggalkan acara pesta yang masih berlangsung. Sikap serta tindakan Zico pada Ameera tadi cukup mengganggunya. Bagaimanapun juga, Alvan tahu betul bagaimana sosoknya. Mengingat masa lalu mereka serta hubungan baik yang dahulu sempat terjalin, sampai kemudian permasalahan muncul di tengah-tengah mereka, membuat Alvan merasa jika ada yang tidak beres dengan pria itu.‘Apa yang dia pikirkan? Sudah dua kali, Zico berusaha mendekati Ameera,’ gumam Alvan dalam hati.Selagi larut dalam pikiran-nya sendiri, sayup-sayup dengkuran halus menggelitik indra pendengaran Alvan. Menoleh ke samp
Ameera menuangkan teh ke dalam cangkir putih dengan gerakan berhati-hati. Seketika itu juga, aroma harum, menyeruak indra penciuman mengiringi Ameera yang menyajikan-nya di atas meja. “Silakan diminum teh-nya, Nona, Madam.” Ameera mempersilakan Katrine dan Bianca yang tengah asyik mengobrol dengan ramah.“Terima kasih, Ameera. Maaf, karena sudah merepotkan kamu,” kata Katrine berbasa-basi. Tentu saja, dia melakukan-nya hanya untuk menjaga kesan dan menarik perhatian Ameera. Sejak melihat kebersamaan-nya dengan Alvan di kantor tempo hari, Katrine mulai tertarik dengan sosok Ameera serta berencana menyelidikinya secara diam-diam.Perempuan bercadar itu tersenyum lalu mengangguk kecil. “Sama-sama, Nona. Tenang saja, Nona. Saya enggak merasa direpotkan,” balas Ameera dengan sopan, sementara matanya tetap mengawasi situasi di sekitar.Di tempatnya, Bianca memperhatikan Ameera yang hendak beranjak pergi. “Mau kemana kamu, Ameera?” tanyanya berhasil menyentak sang empunya nama.Menghentikan l
Cahaya lampu kamar temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding berwarna gading. Aroma melati dari diffuser berbaur dengan harum kain yang baru saja disetrika. Ameera berdiri di depan cermin, ujung jarinya dengan luwes merapikan kerudungnya yang menjuntai anggun.“Santi, tolong ambilkan gamis navy di lemari.”Santi yang sejak tadi sibuk menata selimut segera menghampiri lemari kayu jati di sudut kamar. Tangannya meraba lembut kain yang Ameera maksud, lalu mengeluarkannya dengan hati-hati. Gamis itu jatuh dengan anggun, warnanya pekat seperti langit malam tanpa bintang.“Ini, Nyonya Muda.”Ameera menerimanya dengan senyum tipis. Jari-jarinya meraba tekstur kain yang lembut dan sejuk di kulit. Sembari mengenakann-ya, ia mengikat tali kecil di bagian belakang, memastikan baju itu pas membingkai siluetnya tanpa berlebihan.Santi memperhatikan sejenak. “Anda ada janji, Nyonya Muda?” tanyanya sedikit penasaran.“Eum.” Ameera mengangguk. “Mas Alvan bilang ada undangan penting yang harus d
Matahari senja menggantung rendah di ufuk barat, menaburkan cahaya keemasan yang menyelimuti taman rumah sakit dengan kilau lembut. Angin berembus sepoi, membawa serta aroma bunga yang tengah bermekaran. Ameera mendorong kursi roda Alvan dengan penuh kelembutan, membiarkan suaminya menikmati udara segar setelah sekian lama terkurung di dalam kamar perawatan.“Maa syaa Allah, pemandangan di sini indah sekali, ya, Mas,” ujar perempuan bercadar itu riang. Matanya bebinar penuh kekaguman, sementara suaranya terdengar seperti alunan angin yang membelai dedaunan.Alvan tak segera menanggapi. Tatapannya terarah padanya, bukan pada hamparan bunga atau pepohonan rindang di sekeliling mereka. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan.Ameera menghentikan langkah, lalu setengah berlutut di hadapan suaminya dengan dahi berkerut. Tubuhnya merendah seolah ingin menyatu dengan bayangan di tanah. “Kenapa Mas Alvan tersenyum seperti itu? Apa ada yang salah dengan
Ruangan ICU terasa sunyi, hanya suara monitor jantung yang berdetak pelan, menciptakan ritme monoton di antara keheningan. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Alvan terbaring di atas ranjang dengan berbagai kabel sensor menempel di dadanya. Wajahnya pucat, napasnya masih berat, dan kelopak matanya bergerak samar, seolah sedang berjuang di antara kesadaran dan ketidaksadaran.Di sisi ranjang, Ameera duduk dengan jemari menggenggam tangan Alvan yang terasa dingin. “Mas Alvan ….” Ia mengeratkan genggaman tangan-nya, seolah takut kehilangan. “Kapan Mas bangun?” Matanya berkaca-kaca mengamati wajah suaminya yang masih lemah. Setelah sempat mengalami guncangan hebat, akhirya kondisi suaminya kembali stabil. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi perasaan khawatir dan cemas di dada Ameera.Sementara itu, di tempatnya, Alvan merasakan sensasi berat yang menekan sekujur tubuh, seolaah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Perlahan
Di rumah sakit, ketegangan terasa begitu kuat. Alvan tengah berada di dalam ruang operasi. Seperti kata Gled, peluru sangat dekat dengan tulang belakang, sehingga butuh operasi segera untuk mengeluarkan-nya.Ameera terpaksa menunggu di luar ruang operasi. Tangan-nya mencengkeram erat ujung gamis yang dikenakan, dadanya naik turun karena cemas. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya suara langkah dokter dan suara mesin-mesin medis yang sesekali berbunyi. Pikiran-nya dipenuhi ketakutan, bayangan tentang Alvan yang selalu tegas dan dingin, kini terbaring lemah membuat hatinya mencelos.“Aku ikut operasi. Doakan kami berhasil.” Begitu kata-kata Gled sebelum memasuki ruang operasi dengan mengenakan baju bedah. Saat itu, Ameera hanya bisa memandang punggungnya menghilang di balik pintu yang tertutup rapat.Monitor detak jantung Alvan berbunyi dengan cepat saat operasi dimulai, menunjukkan kondisinya yang sangat kritis. Ameera hanya bisaa menahan napas. Dalam diam, ia berdo’a tanpa henti, me
Satu pekan sebelum kejadian …Di luar mansion keluarga Septihan, suasana semakin mencekam. Angin malam berembus dingin, menggugurkan dedaunan kering yang berserakan di jalan setapak. Lampu-lampu jalan yang redup menciptakan bayangan panjang, seakan menambah ketegangan yang telah menggantung di udara.Beberapa waktu lalu, sebelum semua memuncak, Ameera mulai merasakan ada yang aneh. Langkah-langkah samar di kejauhan, tatapan yang seakan menembus punggungnya, dan perasaan seolah-olah setiap gerak-geriknya diawasi. Bayangan itu mengikuti di mana pun ia berada, mengintai dalam kegelapan, menunggunya lengah.Ia tidak ingin Alvan khawatir. Namun, firasat buruk itu terus mengusiknya, merayapi pikirannya seperti racun yang perlahan menyebar. Hingga akhirnya, ia menemui Jay, untuk mencari jawaban."Itu hanya perasaan Anda saja, Nyonya Muda. Anda tidak perlu terlalu memikirkan-nya," kata pria itu santai. Namun, Ameera tidak melewatkan ada sesuatu yang bersembunyi dalam sorot matanya yang menyir
"Cepat berlutut, dan serahkan semua surat kuasa yang kau miliki, juga aset keluarga ini!" ujar Eldome bergema seperti gelegar petir, menciptakan bayangan ketakutan yang menyelinap di antara deretan pilar marmer.Alvan menggeram, kepalan tangan-nya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Pandangan-nya melirik sekilas ke arah Brian, Bianca, dan David yang ditahan di sudut ruangan. Dilema menyayat hatinya. Melepaskan semua yang telah ia bangun dengan susah payah atau menyaksikan keluarganya menderita?Eldome melangkah maju, sorot matanya tajam seperti pisau yang menusuk. "Baiklah, karena kau memilih untuk menentangku, aku akan melenyapkanmu, sekarang!" Dengan satu isyarat tangan, puluhan pria berpakaian hitam muncul dari balik bayangan, mengepung setiap sudut mansion. Senjata berlaras panjang mereka terangkat, siap membidik.Kedua mata Alvan terbelalak. Napasnya memburu menyadari dirinya yang telah kalah telak. Alvan mulai menghubungi sahabatnya guna meminta bantuan. Namun, koneks
Eldome menyandarkan tubuhnya pada kursi tinggi berlapis beludru, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan dengan ritme santai, kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Senyumannya sinis, mata kelamnya menyipit penuh perhitungan. "Ayolah, Alvan," lanjut Eldome, bersenandung ringan seolah menikmati permainan. "Bukankah ini yang kau inginkan? Membalaskan dendam pada orang-orang berdosa ini?"Ia mengedik-kan dagu ke arah Brian dan Bianca yang kini terikat di kursi. "Aku harap kau masih ingat, bagaimana mereka membiarkanmu menderita, menyaksikanmu diusir dari keluarga ini tanpa membela sedikit pun. Dan lihatlah kau sekarang, datang seperti seorang pahlawan."Pria paruh baya dengan sentuhan topi fedora yang melingkar di kepala itu mendekat, setiap ucapan-nya terdengar seperti bisikan yang menggerayangi sisi gelap di hati Alvan. "Jangan lupa, Alvan ... siapa yang selama ini membentukmu, dan membuatmu menjadi kuat sampai kau bisa berada di puncak. Bukankah hanya aku? Aku yang mem
Begitu pintu kamar tertutup, Ameera membuka mata perlahan. Seketika, keheningan menyergap, menciptakan ruang bagi nyeri yang masih bersarang di tubuhnya. Detak jam di dinding terdengar lebih lambat dari biasanya, seakan waktu ikut merasakan kesakitan yang ia derita. Butuh waktu bagi dirinya untuk menahan-nya sampai suaminya pergi.Dengan gerakan hati-hati, Ameera bangkit, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Setiap langkah menuju kursi di dekat jendela terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Begitu punggungnya menyentuh sandaran, rasa perih menyergap kuat."Sshh ...." Desahan lirih lolos dari bibirnya. Jemarinya bergetar saat menyingsingkan lengan bajunya. Saat melihat kulitnya sendiri, Ameera tercekat. Memar ungu kebiruan menghiasi permukaan, luka-luka kecil terbuka di antara lebam, beberapa bahkan masih tampak segar. Bekas amukan Eldome begitu nyata, seolah baru saja terjadi. Gurat luka di sikunya—hasil sayatan pisau—mengingatkannya pada teror yang ia alami saat dalam p
“Kau yakin temanmu itu dokter terbaik, Gled? Kenapa dia begitu lama di dalam?” Alvan melontarkan pertanyaan dengan nada tajam, nyaris mendidih dalam ketidak sabaran-nya.Sosok jangkung itu terus mondar-mandir di depan pintu kamar, langkahnya berat, menggema di lantai marmer yang dingin. Rahangnya mengeras, sorot matanya gelap, menggambarkan badai yang bergejolak di dalam dirinya. Sekujur tubuhnya tegang, setiap urat nadi di lengannya mencerminkan betapa keras ia menahan diri.Di benaknya, kecurigaan perlahan merayap. Dokter wanita yang dibawa Gled—benarkah dia bisa dipercaya? Sesuatu terasa janggal. Mengingat betapa tertutupnya Ameera, ia yang bersikeras agar sahabatnya mencari dokter perempuan untuk memeriksanya. Namun, tetap saja, ini terlalu lama sejak pemeriksaan dimulai.Gled menghela napas panjang, seakan memahami kegelisahan yang menguar dari tubuh Alvan. “Tentu saja. Dia punya segudang sertifikat, dan kemampuannya tak perlu diragukan. Tenanglah, kau tidak perlu khawatir,” ucapn