Jay mengemudi dengan tenang, membawa kendaraan beroda empat yang ditumpaki membelah jalanan malam. Di antara keheningan yang tercipta, terdapat Ameera dan Alvan yang duduk tenang di kursi belakang. Keduanya saling terdiam, seolah-olah tidak ada yang berniat untuk memulai pembicaraan serta larut dalam pikiran masing-masing.Akibat kejadian di pesta beberapa saat lalu, Alvan memutuskan untuk kembali ke mansion, meninggalkan acara pesta yang masih berlangsung. Sikap serta tindakan Zico pada Ameera tadi cukup mengganggunya. Bagaimanapun juga, Alvan tahu betul bagaimana sosoknya. Mengingat masa lalu mereka serta hubungan baik yang dahulu sempat terjalin, sampai kemudian permasalahan muncul di tengah-tengah mereka, membuat Alvan merasa jika ada yang tidak beres dengan pria itu.‘Apa yang dia pikirkan? Sudah dua kali, Zico berusaha mendekati Ameera,’ gumam Alvan dalam hati.Selagi larut dalam pikiran-nya sendiri, sayup-sayup dengkuran halus menggelitik indra pendengaran Alvan. Menoleh ke samp
Ameera menuangkan teh ke dalam cangkir putih dengan gerakan berhati-hati. Seketika itu juga, aroma harum, menyeruak indra penciuman mengiringi Ameera yang menyajikan-nya di atas meja. “Silakan diminum teh-nya, Nona, Madam.” Ameera mempersilakan Katrine dan Bianca yang tengah asyik mengobrol dengan ramah.“Terima kasih, Ameera. Maaf, karena sudah merepotkan kamu,” kata Katrine berbasa-basi. Tentu saja, dia melakukan-nya hanya untuk menjaga kesan dan menarik perhatian Ameera. Sejak melihat kebersamaan-nya dengan Alvan di kantor tempo hari, Katrine mulai tertarik dengan sosok Ameera serta berencana menyelidikinya secara diam-diam.Perempuan bercadar itu tersenyum lalu mengangguk kecil. “Sama-sama, Nona. Tenang saja, Nona. Saya enggak merasa direpotkan,” balas Ameera dengan sopan, sementara matanya tetap mengawasi situasi di sekitar.Di tempatnya, Bianca memperhatikan Ameera yang hendak beranjak pergi. “Mau kemana kamu, Ameera?” tanyanya berhasil menyentak sang empunya nama.Menghentikan l
Usai menutup pintu, Ameera yang baru saja sampai di dalam kamar menyandarkan punggung kurusnya pada daun pintu ber-cat coklat. “Akhirnya, aku sampai juga di kamar,” monolog Ameera dengan deru napas memburu.Memejamkan matanya rapat-rapat, ia mencoba menyatu dalam keheningan ruangan. Bayangan akan kebersamaan Alvan, Katrine, dan Bianca di ruang tamu tadi, terputar jelas di dalam ingatan-nya. Belum lagi gelak tawa serta kehangatan yang masih membekas, cukup membuat suasana hati Ameera terasa seperti diaduk-aduk. Tidak karuan.Memenarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengeluarkan-nya secara perlahan, Ameera mencoba melepas penat yang terus bergelayut mengisi hati dan pikiran-nya. “Kira-kira apa, ya, jawaban Mas Alvan?” Mengulum tipis bibir bawahnya, tiba-tiba saja, Ameera merasa penasaran dengan jawaban Alvan atas pertanyaan yang diberikan oleh Katrine tadi.Namun, dengan cepat, Ameera menggelengkan kepalanya, seakan menyadarkan dirinya untuk tidak memikirkan sesuatu yang kelak hanya
Tidak terasa akhir pekan telah tiba. Di dalam kamar, Ameera yang telah lengkap dengan pakaian syar’inya, sedang bersiap-siap untuk pergi. Sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya, hari ini ia memutuskan untuk pulang ke rumah kedua orang tuanya. Kebetulan dua hari yang lalu, ayahnya menelpon dan memberitahu Ameera bahwa ibunya sangat merindukan-nya dan meminta agar ia datang dan mengunjungi mereka. Itulah sebabnya, Ameera sengaja meluangkan waktunya di akhir pekan ini serta meminta izin kepada Alvan untuk pergi menemui ayah dan ibunya.Berjalan menghampiri tempat tidur, Ameera meraih tas ransel berukuran sedang miliknya yang tergeletak di atas sana sebelum kemudian mengenakan-nya di belakang punggung. “Sudah siap semua. Saatnya berangkat.” Dengan senyum mengembang, Ameera memperhatikan dirinya melalui pantulan cermin rias yang berada di sebelah nakas.Setelah dirasa cukup, Ameera berjalan keluar dari kamar dengan langkah ringan. Cahaya matahari pagi, menerobos masuk menerangi seti
Jay menghentikan mobil yang dikendarai di depan halaman sebuah rumah berukuran minimalis. Setelah memakan waktu cukup lama dengan perjalanan panjang sekaligus melelahkan. Akhirnya, mereka tiba juga tiba di rumah orang tua Ameera.Usai mematikan mesin mobil, Jay segera turun lalu memutari sisi kendaraan. “Silakan, Tuan Muda.” Dengan sigap, pria muda itu membukakan pintu mobil dan mempersilakan tuan mudanya untuk turun.Sembari mengancingkan jas yang dikenakan, Alvan turun dari mobil. Hembusan angin, seketika menyambut, mengibaskan rambut hitam legamnya yang sudah sedikit memanjang, membuat sosok jangkung itu terlihat semakin tampan. Alih-alih melenggang pergi, Alvan justru berjalan memutari mobil dan berhenti di sebelah sisi yang lain. Tak pelak, perbuatan Alvan tersebut membuat Jay yang melihatnya mengernyitkan keningnya bingung.“Turun. Kenapa diam saja?” ketus laki-laki itu, ditunjukkan pada Ameera yang masih bergeming seorang diri di dalam mobil.Terkesiap, Ameera yang sebelumnya la
“Tolong bawakan mangkuk di dekat kompor itu, Nduk,” pinta Via seraya menyiapkan piring bersih dan menatanya dengan rapi di atas meja makan.“Baik, Bu.” Ameera yang berada di dapur, tersenyum melihat mangkuk bening yang dimaksud ibunya, lalu segera membawanya keluar dapur. “Ini, Bu, mangkuknya,” kata Ameera seraya meletak-kan mangkuk berisi tumis kangkung dengan asap yang masih mengepul karena baru turun dari penggorengan itu ke atas meja makan.Mengingat rumah mereka yang tidak terlalu besar, membuat dapur dan ruang makan berada di satu ruangan yang sama. Hanya saja, Via sengaja memberi sedikit jarak untuk memisahkan keduanya, dengan meletakkan sebuah rak kayu disertai tanaman hias di tengah-tengah. Memberikan kesan terpisah namun tetap terhubung.“Alhamdulillah, semuanya sudah siap. Ayo, Ayah, Ameera, Nak Alvan. Kita makan malam dulu,” ajak Via kepada semua ahli keluarganya.Ameera segera meraih kursi kosong di depan-nya. Namun, sebelum menduduk-kan dirinya di sana, perhatian perempua
Malam semakin larut. Alvan yang baru saja selesai melakukan ritual mandi berjalan memasuki kamar. Sosok jangkung itu cukup terkejut, bahkan sempat mengalami kesulitan saat mandi tadi. Pasalnya, kamar mandi di rumah Ameera terbilang sangat kecil tanpa ada bathtub atau shower air sebagai fasilitas umum yang biasa ia gunakan, sehingga Alvan harus berakhir membuang-buang tenaganya untuk menyiduk air menggunakan gayung sebelum kemudian mengguyurkan-nya ke seluruh anggota tubuh.“Oh, setidaknya aku sudah merasa jauh lebih segar sekarang,” monolog laki-laki itu seraya berjalan lurus ke tengah ruangan. Meski merasa kesal, Alvan memilih meredamnya dan melupakan masalah yang sempat dihadapinya tadi.Derap langkah tenang Alvan, berhasil menarik perhatian Ameera yang sedang duduk di tepi ranjang. “Sudah selesai, Mas?” tanya perempuan itu dengan ramah.Menoleh sekilas ke arah Ameera, Alvan mengangguk singkat. “Hm.” Laki-laki dengan balutan kaos putih polos dan celana hitam selutut itu kemudian ber
Keheningan datang menyelimuti ruang kamar yang tidak terlalu luas. Setelah adegan melepas cadar untuk pertama kalinya di depan Alvan, Ameera justru dibuat bingung dengan suaminya yang tidak kunjung memberikan reaksi apa pun. Karena penasaran, akhirnya, Ameera pun memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, guna melihat apa yang terjadi.Garis-garis halus di kening perempuan itu berkerut tatkala mendapati Alvan yang tengah menatapnya tanpa berkedip. “Mas Alvan, Mas?” Ameera melambaikan tangan-nya ke depan, mencoba mengalihkan perhatian suaminya. “Ada apa, Mas? Apa wajahku terlihat aneh?” tanyanya cemas.Alvan yang tersentak, berdeham beberapa kali guna menetralkan kegugupan. Baru saja, dalam keremangan sinar lampu yang temaram, ia dibuat terkesima oleh kecantikan wajah Ameera. Manik coklat terang milik perempuan itu, terlihat begitu indah, seperti cahaya bintang di langit malam. Selain itu, hidung kecil nan tinggi, alis tebal teratur, serta sepasang bibir tipis berwarna merah muda alam
Ruangan ICU terasa sunyi, hanya suara monitor jantung yang berdetak pelan, menciptakan ritme monoton di antara keheningan. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Alvan terbaring di atas ranjang dengan berbagai kabel sensor menempel di dadanya. Wajahnya pucat, napasnya masih berat, dan kelopak matanya bergerak samar, seolah sedang berjuang di antara kesadaran dan ketidaksadaran.Di sisi ranjang, Ameera duduk dengan jemari menggenggam tangan Alvan yang terasa dingin. “Mas Alvan ….” Ia mengeratkan genggaman tangan-nya, seolah takut kehilangan. “Kapan Mas bangun?” Matanya berkaca-kaca mengamati wajah suaminya yang masih lemah. Setelah sempat mengalami guncangan hebat, akhirya kondisi suaminya kembali stabil. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi perasaan khawatir dan cemas di dada Ameera.Sementara itu, di tempatnya, Alvan merasakan sensasi berat yang menekan sekujur tubuh, seolaah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Perlahan
Di rumah sakit, ketegangan terasa begitu kuat. Alvan tengah berada di dalam ruang operasi. Seperti kata Gled, peluru sangat dekat dengan tulang belakang, sehingga butuh operasi segera untuk mengeluarkan-nya.Ameera terpaksa menunggu di luar ruang operasi. Tangan-nya mencengkeram erat ujung gamis yang dikenakan, dadanya naik turun karena cemas. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya suara langkah dokter dan suara mesin-mesin medis yang sesekali berbunyi. Pikiran-nya dipenuhi ketakutan, bayangan tentang Alvan yang selalu tegas dan dingin, kini terbaring lemah membuat hatinya mencelos.“Aku ikut operasi. Doakan kami berhasil.” Begitu kata-kata Gled sebelum memasuki ruang operasi dengan mengenakan baju bedah. Saat itu, Ameera hanya bisa memandang punggungnya menghilang di balik pintu yang tertutup rapat.Monitor detak jantung Alvan berbunyi dengan cepat saat operasi dimulai, menunjukkan kondisinya yang sangat kritis. Ameera hanya bisaa menahan napas. Dalam diam, ia berdo’a tanpa henti, me
Satu pekan sebelum kejadian …Di luar mansion keluarga Septihan, suasana semakin mencekam. Angin malam berembus dingin, menggugurkan dedaunan kering yang berserakan di jalan setapak. Lampu-lampu jalan yang redup menciptakan bayangan panjang, seakan menambah ketegangan yang telah menggantung di udara.Beberapa waktu lalu, sebelum semua memuncak, Ameera mulai merasakan ada yang aneh. Langkah-langkah samar di kejauhan, tatapan yang seakan menembus punggungnya, dan perasaan seolah-olah setiap gerak-geriknya diawasi. Bayangan itu mengikuti di mana pun ia berada, mengintai dalam kegelapan, menunggunya lengah.Ia tidak ingin Alvan khawatir. Namun, firasat buruk itu terus mengusiknya, merayapi pikirannya seperti racun yang perlahan menyebar. Hingga akhirnya, ia menemui Jay, untuk mencari jawaban."Itu hanya perasaan Anda saja, Nyonya Muda. Anda tidak perlu terlalu memikirkan-nya," kata pria itu santai. Namun, Ameera tidak melewatkan ada sesuatu yang bersembunyi dalam sorot matanya yang menyir
"Cepat berlutut, dan serahkan semua surat kuasa yang kau miliki, juga aset keluarga ini!" ujar Eldome bergema seperti gelegar petir, menciptakan bayangan ketakutan yang menyelinap di antara deretan pilar marmer.Alvan menggeram, kepalan tangan-nya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Pandangan-nya melirik sekilas ke arah Brian, Bianca, dan David yang ditahan di sudut ruangan. Dilema menyayat hatinya. Melepaskan semua yang telah ia bangun dengan susah payah atau menyaksikan keluarganya menderita?Eldome melangkah maju, sorot matanya tajam seperti pisau yang menusuk. "Baiklah, karena kau memilih untuk menentangku, aku akan melenyapkanmu, sekarang!" Dengan satu isyarat tangan, puluhan pria berpakaian hitam muncul dari balik bayangan, mengepung setiap sudut mansion. Senjata berlaras panjang mereka terangkat, siap membidik.Kedua mata Alvan terbelalak. Napasnya memburu menyadari dirinya yang telah kalah telak. Alvan mulai menghubungi sahabatnya guna meminta bantuan. Namun, koneks
Eldome menyandarkan tubuhnya pada kursi tinggi berlapis beludru, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan dengan ritme santai, kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Senyumannya sinis, mata kelamnya menyipit penuh perhitungan. "Ayolah, Alvan," lanjut Eldome, bersenandung ringan seolah menikmati permainan. "Bukankah ini yang kau inginkan? Membalaskan dendam pada orang-orang berdosa ini?"Ia mengedik-kan dagu ke arah Brian dan Bianca yang kini terikat di kursi. "Aku harap kau masih ingat, bagaimana mereka membiarkanmu menderita, menyaksikanmu diusir dari keluarga ini tanpa membela sedikit pun. Dan lihatlah kau sekarang, datang seperti seorang pahlawan."Pria paruh baya dengan sentuhan topi fedora yang melingkar di kepala itu mendekat, setiap ucapan-nya terdengar seperti bisikan yang menggerayangi sisi gelap di hati Alvan. "Jangan lupa, Alvan ... siapa yang selama ini membentukmu, dan membuatmu menjadi kuat sampai kau bisa berada di puncak. Bukankah hanya aku? Aku yang mem
Begitu pintu kamar tertutup, Ameera membuka mata perlahan. Seketika, keheningan menyergap, menciptakan ruang bagi nyeri yang masih bersarang di tubuhnya. Detak jam di dinding terdengar lebih lambat dari biasanya, seakan waktu ikut merasakan kesakitan yang ia derita. Butuh waktu bagi dirinya untuk menahan-nya sampai suaminya pergi.Dengan gerakan hati-hati, Ameera bangkit, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Setiap langkah menuju kursi di dekat jendela terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Begitu punggungnya menyentuh sandaran, rasa perih menyergap kuat."Sshh ...." Desahan lirih lolos dari bibirnya. Jemarinya bergetar saat menyingsingkan lengan bajunya. Saat melihat kulitnya sendiri, Ameera tercekat. Memar ungu kebiruan menghiasi permukaan, luka-luka kecil terbuka di antara lebam, beberapa bahkan masih tampak segar. Bekas amukan Eldome begitu nyata, seolah baru saja terjadi. Gurat luka di sikunya—hasil sayatan pisau—mengingatkannya pada teror yang ia alami saat dalam p
“Kau yakin temanmu itu dokter terbaik, Gled? Kenapa dia begitu lama di dalam?” Alvan melontarkan pertanyaan dengan nada tajam, nyaris mendidih dalam ketidak sabaran-nya.Sosok jangkung itu terus mondar-mandir di depan pintu kamar, langkahnya berat, menggema di lantai marmer yang dingin. Rahangnya mengeras, sorot matanya gelap, menggambarkan badai yang bergejolak di dalam dirinya. Sekujur tubuhnya tegang, setiap urat nadi di lengannya mencerminkan betapa keras ia menahan diri.Di benaknya, kecurigaan perlahan merayap. Dokter wanita yang dibawa Gled—benarkah dia bisa dipercaya? Sesuatu terasa janggal. Mengingat betapa tertutupnya Ameera, ia yang bersikeras agar sahabatnya mencari dokter perempuan untuk memeriksanya. Namun, tetap saja, ini terlalu lama sejak pemeriksaan dimulai.Gled menghela napas panjang, seakan memahami kegelisahan yang menguar dari tubuh Alvan. “Tentu saja. Dia punya segudang sertifikat, dan kemampuannya tak perlu diragukan. Tenanglah, kau tidak perlu khawatir,” ucapn
Usai menakut-nakutinya di atas rooftop Tower Galaxy Group, Eldome menyeret Ameera ke ruang isolasi ini—bukan sekadar tempat penyekapan, melainkan saksi bisu penderitaan manusia yang tidak terhitung jumlahnya. Noda darah kering menghiasi dinding seperti seni horor yang tak pernah selesai. Goresan-goresan kuku tertinggal di permukaan kasar, menceritakan kisah mereka yang berusaha melawan takdir, hanya untuk menemui kehancuran yang sama.Namun, Eldome tidak bekerja sendiri. Ia juga menghubungi putrinya, Katrine. Dengan suara yang tenang tetapi sarat akan racun mematikan, ia menanamkan benih kebencian yang semakin berakar di dalam diri gadis itu. "Aku sudah menangkap wanita itu," ucapnya, seperti bisikan angin malam yang membawa ancaman. "Sekarang, kamu yang menentukan nasibnya, Baby."Katrine, yang selama ini membiarkan bara dendam membakar jiwanya, akhirnya memutuskan untuk menuangkan kemarahan dengan tangan-nya sendiri. Sepasang sepatu hak tinggi mengetuk
"Cepat tanda tangani surat kuasa itu!" Suara Eldome menggema, mengguncang udara malam yang dingin. Angin berembus liar, membawa serta aroma hujan yang tertahan di langit mendung. Kilatan petir di kejauhan sesekali menerangi wajah pria paruh baya yang penuh kelicikan itu.Alvan menoleh ke samping, matanya menangkap benerapa map hitam yang telah disiapkan di atas meja besi, lengkap dengan bolpoin perak yang mengilap di bawah sorot bulan. Dinginnya logam terasa menusuk saat ia menyentuhnya."Entah kau percaya atau tidak, tetapi waktumu hanya tersisa sepuluh menit dari sekarang," lanjut Eldome, setajam belati yang menusuk gendang telinga.Jantung Alvan mencelos ketika matanya menangkap pemandangan yang membuat darahnya mendidih—bom waktu terpasang erat di tubuh Ameera. Kedipan lampu merah di perangkat itu seolah menertawakan ketidakberdayaan-nya. Napasnya memburu, dadanya naik turun dalam irama liar yang dipenuhi amarah."Kau benar-benar bermain kotor!" desis sosok jangkung itu diiringi g