Keheningan datang menyelimuti. Setelah adegan melepas cadar untuk pertama kalinya di hadapan Alvan, Ameera justru dibuat bingung dengan suaminya yang tidak kunjung memberikan reaksi apa pun. Karena penasaran, akhirnya, Ameera memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, dan menatap lurus ke depan.Ruang di antara kedua alis perempuan itu berkerut tatkala mendapati Alvan yang tengah menatapnya tanpa berkedip. Dengan perasaan bingung, Ameera mencoba memanggil suaminya beberapa kali. “Mas Alvan, Mas?” Ia melambaikan tangannya ke depan, mencoba mengalihkan perhatian Alvan. “Ada apa, Mas? Apa wajahku terlihat aneh?” tanyanya.Alvan yang tersentak, berdeham beberapa kali guna menetralkan kegugupan. Baru saja, dalam keremangan sinar lampu yang temaram, laki-laki itu dibuat terkesima dengan kecantikan wajah Ameera. Manik coklat terang milik perempuan itu, terlihat begitu indah, seperti cahaya bintang di langit malam. Tidak bisa dipungkiri, Alvan merasakan detak jantungnya semakin cepat. Di ma
Kegiatan rapat dengan para petinggi perusahaan sedang berlangsung. Suasana di ruangan yang megah tersebut, terasa semakin panas seiring berjalannya waktu. Alvan yang duduk di ujung meja, terus mengamati setiap gerakan dan ekspresi wajah para peserta rapat. Sementara di seberang laki-laki itu, terdapat Brian yang duduk dengan sikap tenang. Namun, penuh kewaspadaan.“Ini tidak bisa diterima!” Suara berat Brian menggema di ruangan, memecah keheningan yang tegang. “Strategi ini akan membawa kita ke jurang kehancuran. Aku tidak setuju,” tandasnya mengomentari rencana yang baru saja disampaikan oleh Alvan. Sebagai seorang pemimpin yang baru, bagaimana bisa putranya itu tidak sedikit pun merasa ragu ketika memutuskan sesuatu dan mengambil resiko yang tinggi?Di tempatnya, Alvan menatap Brian dengan pandangan penuh kemarahan. Nampaknya, dendam yang terpendam selama bertahun-tahun di antara keduanya cukup menjadi pemicu dari persengketaan ini. “Kita tidak bisa terus-menerus bermain aman, Pa. Pe
Dalam perjalanan pulang, Alvan duduk termangu dalam diam. Memejamkan matanya, kemudian menyandarkan punggung tegapnya pada sandaran kursi, ia mencoba melupakan keresahan yang sedari tadi menghantui hati dan pikirannya. Setelah berhasil memenangkan keputusan di ruang rapat siang tadi, masalah justru datang bersama dengan kekasihnya yang mengetahui kabar mengenai pernikahannya. Bukan hanya itu, Katrine bahkan terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya serta menuntut penjelasan darinya.Tak pelak, apa yang terjadi saat ini, mengingatkan Alvan pada kejadian sepuluh tahun yang lalu. Yakni, saat di mana, Katrine yang masih mengenakan seragam sekolah menengah akhir mendatanginya sambil menangis tersedu-sedu tepat di hari kedua orang tuanya resmi bercerai. Alvan yang merasa prihatin hanya bisa memeluk Katrine dan mencoba menenangkannya. Namun, yang terjadi selanjutnya, Katrine justru menyatakan perasaannya secara tiba-tiba.Sebenarnya, itu bukanlah pertama kalinya gadis itu mengungkapkan pera
Di tengah dentuman musik yang menggema, Alvan duduk di meja bar dengan tatapan kosong. Di sebelahnya, Jay, yang berdiri tegap, memandang dengan cemas. Tuan Mudanya itu, meneguk wiski dengan ekspresi wajah lelah, seolah-olah minuman itu adalah satu-satunya pelarian dari beban hidupnya.“Anda baik-baik saja, Tuan Muda?” tanya Jay dengan khawatir.Tidak membalas, Alvan memilih kembali menuang wiski dari botol ke gelas kaca yang dipegang, lalu meneguknya sekaligus. “Habis?” monolognya, seraya mengangangkat botol di tangannya yang telah kosong, “beri aku satu botol lagi. Tidak, beri aku tiga botol lagi,” pintanya kepada seorang bartender.“Sebaiknya, kita kembali, Tuan Muda. Sepertinya, Anda sudah cukup mabuk.” Jay hendak menghentikan Alvan, dan mengajaknya pergi. Namun, sosok jangkung itu menepis tangan Jay lalu meraih botol wiski yang baru saja di suguhkan di mejanya.Tidak memiliki pilihan, Jay hanya bisa menghela napas pasrah, melihat tuan mudanya yang kembali larut dalam kekalutan. Pri
Ketegangan menyelimuti suasana malam di depan hotel menjulang. Lampu-lampu jalan yang redup, menambah kesan suram pada malam yang semakin larut. Di tempatnya, Jay menunduk dalam, merasa takut sekaligus bersalah atas kejadian yang baru saja menimpa tuan mudanya. Keringat dingin mengalir membasahi kedua pelipis, sementara hatinya berdebar kencang menantikan kemurkaan yang menghantui.Sementara di hadapannya, Alvan melipat kedua tangannya ke depan, memandang Jay dengan penuh intimidasi. Mata tajam laki-laki itu, seolah menembus jiwa Jay, membuatnya semakin merasa terpojok. “Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi, Jay?” Suara berat Alvan, terdengar dingin dan tajam, seperti pisau yang menusuk hati Jay.Pria muda yang berdiri di sebelah mobil yang terparkir itu merasa seluruh tubuhnya menegang. “Maafkan saya, Tuan Muda,” cicit Jay bergetar, “Saya tidak tahu hal seperti ini akan terjadi. Saya benar-benar menyesal.”Sebenarnya, Jay sempat merasa ragu ketika Katrine memintanya untuk pergi. Nam
Dentingan alat masak, terdengar mengiringi Ameera yang sedang membuat bubur di dapur. Aroma harum dari bawang goreng dan santan, menyeruak mengisi seluruh ruangan dengan kehangatan yang menggugah selera. Setiap kali ia mengaduk bubur dengan gerakan lembut, uap panas naik dari panci, dan menari-nari di udara.Sejak pagi-pagi sekali, Ameera sudah keluar dari kamar dan berkutat di dapur. Semalam, suaminya yang beberapa hari lalu sudah kembali ke Ibu Kota, tiba-tiba datang. Dari apa yang terjadi, Ameera merasa jika suaminya itu sedang tidak baik-baik saja.Bahkan, setelah mendadak memeluknya tanpa berkata-kata, Alvan jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri. Beruntung saat itu, Jay, masih berada di halaman rumah Ameera. Sehingga, pria muda itu bisa membantu Ameera membawa suaminya masuk ke dalam dan mengistirahatkannya di kamar.Sebelum pergi, Jay sempat berpesan agar Ameera menjaga Alvan dengan baik. Bukan hanya itu, Jay juga memberi pengertian kepada Ameera untuk tidak membahas hal ini sete
Ameera melangkah perlahan memasuki mansion besar. Setelah dua hari mengunjungi rumah kedua orang tuanya dan menginap di sana, akhirnya ia kembali ke kediaman keluarga Septihan. Suasana di dalam setiap ruangan megah tersebut terasa begitu tegang, seolah ada badai yang selalu siap meledak kapan saja.Siapa sangka, keluarga yang kerap digandang-gandangkan sebagai keluarga paling sempurna sejagat raya, hanyalah omong kosong belaka. Pada kenyataannya, kediaman keluarga Septihan selalu seperti ini, hampa dan sesak. Seakan kehangatan dan kasih sayang, hanya sebatas fatamorgana yang semu.“Hati-hati, Nyonya Muda.” Dengan sigap, Santi menahan tubuh Ameera yang hampir tersandung ujung gamis menjuntai yang dikenakan. Kebetulan, seluruh lantai di mansion dibersihkan hingga mengkilap, di mana jika tidak berhati-hati bisa membuat siapa pun yang berjalan di atasnya tergelincir, karena licin.“Terima kasih, Santi,” ucap Ameera dengan suara lembut. “Aku tidak apa-apa.” “Syukurlah, kalau Nyonya Muda
“Saya datang, Nyonya ....” Santi masuk ke kamar dengan langkah ringan. Untuk beberapa saat, ia terkesima melihat Ameera yang sedang duduk di depan cermin rias yang berada di sisi ruangan. “Cantik sekali,” puji Santi dengan penuh kagum. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak terpukau melihat kecantikan alami Ameera yang selalu ditutupi jika berada di luar kamar.Menoleh ke samping, Ameera tersenyum dengan begitu indah, seolah sepasang sorot mata itu adalah sebuah lampion malam yang bersinar terang. “Saya sedang mencoba kerudung baru, Santi. Coba lihat, apa kerudung ini cocok untuk-ku?” tanyanya seraya menunjukkan kerudung baru yang tengah dikenakan.Wanita muda yang telah dipercaya sebagai pelayan pribadi Ameera itu mengangguk cepat. “Bagus, Nyonya. Anda cantik sekali pakai kerudung itu!” balas Santi antusias.Membawa pandangannya ke depan, Ameera memperhatikan dirinya lagi melalui pantulan cermin. Sebuah kerudung kain berwarna peach, membingkai wajahnya. “Benarkah? Kerudung ini cocok