Di tengah dentuman musik yang menggema, Alvan duduk di meja bar dengan tatapan kosong. Di sebelahnya, Jay, yang berdiri tegap, memandang dengan cemas. Tuan Mudanya itu, meneguk wiski dengan ekspresi wajah lelah, seolah-olah minuman itu adalah satu-satunya pelarian dari beban hidupnya.“Anda baik-baik saja, Tuan Muda?” tanya Jay dengan khawatir.Tidak membalas, Alvan memilih kembali menuang wiski dari botol ke gelas kaca yang dipegang, lalu meneguknya sekaligus. “Habis?” monolognya, seraya mengangangkat botol di tangannya yang telah kosong, “beri aku satu botol lagi. Tidak, beri aku tiga botol lagi,” pintanya kepada seorang bartender.“Sebaiknya, kita kembali, Tuan Muda. Sepertinya, Anda sudah cukup mabuk.” Jay hendak menghentikan Alvan, dan mengajaknya pergi. Namun, sosok jangkung itu menepis tangan Jay lalu meraih botol wiski yang baru saja di suguhkan di mejanya.Tidak memiliki pilihan, Jay hanya bisa menghela napas pasrah, melihat tuan mudanya yang kembali larut dalam kekalutan. Pri
Ketegangan menyelimuti suasana malam di depan hotel menjulang. Lampu-lampu jalan yang redup, menambah kesan suram pada malam yang semakin larut. Di tempatnya, Jay menunduk dalam, merasa takut sekaligus bersalah atas kejadian yang baru saja menimpa tuan mudanya. Keringat dingin mengalir membasahi kedua pelipis, sementara hatinya berdebar kencang menantikan kemurkaan yang menghantui.Sementara di hadapannya, Alvan melipat kedua tangannya ke depan, memandang Jay dengan penuh intimidasi. Mata tajam laki-laki itu, seolah menembus jiwa Jay, membuatnya semakin merasa terpojok. “Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi, Jay?” Suara berat Alvan, terdengar dingin dan tajam, seperti pisau yang menusuk hati Jay.Pria muda yang berdiri di sebelah mobil yang terparkir itu merasa seluruh tubuhnya menegang. “Maafkan saya, Tuan Muda,” cicit Jay bergetar, “Saya tidak tahu hal seperti ini akan terjadi. Saya benar-benar menyesal.”Sebenarnya, Jay sempat merasa ragu ketika Katrine memintanya untuk pergi. Nam
Dentingan alat masak, terdengar mengiringi Ameera yang sedang membuat bubur di dapur. Aroma harum dari bawang goreng dan santan, menyeruak mengisi seluruh ruangan dengan kehangatan yang menggugah selera. Setiap kali ia mengaduk bubur dengan gerakan lembut, uap panas naik dari panci, dan menari-nari di udara.Sejak pagi-pagi sekali, Ameera sudah keluar dari kamar dan berkutat di dapur. Semalam, suaminya yang beberapa hari lalu sudah kembali ke Ibu Kota, tiba-tiba datang. Dari apa yang terjadi, Ameera merasa jika suaminya itu sedang tidak baik-baik saja.Bahkan, setelah mendadak memeluknya tanpa berkata-kata, Alvan jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri. Beruntung saat itu, Jay, masih berada di halaman rumah Ameera. Sehingga, pria muda itu bisa membantu Ameera membawa suaminya masuk ke dalam dan mengistirahatkannya di kamar.Sebelum pergi, Jay sempat berpesan agar Ameera menjaga Alvan dengan baik. Bukan hanya itu, Jay juga memberi pengertian kepada Ameera untuk tidak membahas hal ini sete
Ameera melangkah perlahan memasuki mansion besar. Setelah dua hari mengunjungi rumah kedua orang tuanya dan menginap di sana, akhirnya ia kembali ke kediaman keluarga Septihan. Suasana di dalam setiap ruangan megah tersebut terasa begitu tegang, seolah ada badai yang selalu siap meledak kapan saja.Siapa sangka, keluarga yang kerap digandang-gandangkan sebagai keluarga paling sempurna sejagat raya, hanyalah omong kosong belaka. Pada kenyataannya, kediaman keluarga Septihan selalu seperti ini, hampa dan sesak. Seakan kehangatan dan kasih sayang, hanya sebatas fatamorgana yang semu.“Hati-hati, Nyonya Muda.” Dengan sigap, Santi menahan tubuh Ameera yang hampir tersandung ujung gamis menjuntai yang dikenakan. Kebetulan, seluruh lantai di mansion dibersihkan hingga mengkilap, di mana jika tidak berhati-hati bisa membuat siapa pun yang berjalan di atasnya tergelincir, karena licin.“Terima kasih, Santi,” ucap Ameera dengan suara lembut. “Aku tidak apa-apa.” “Syukurlah, kalau Nyonya Muda
“Saya datang, Nyonya ....” Santi masuk ke kamar dengan langkah ringan. Untuk beberapa saat, ia terkesima melihat Ameera yang sedang duduk di depan cermin rias yang berada di sisi ruangan. “Cantik sekali,” puji Santi dengan penuh kagum. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak terpukau melihat kecantikan alami Ameera yang selalu ditutupi jika berada di luar kamar.Menoleh ke samping, Ameera tersenyum dengan begitu indah, seolah sepasang sorot mata itu adalah sebuah lampion malam yang bersinar terang. “Saya sedang mencoba kerudung baru, Santi. Coba lihat, apa kerudung ini cocok untuk-ku?” tanyanya seraya menunjukkan kerudung baru yang tengah dikenakan.Wanita muda yang telah dipercaya sebagai pelayan pribadi Ameera itu mengangguk cepat. “Bagus, Nyonya. Anda cantik sekali pakai kerudung itu!” balas Santi antusias.Membawa pandangannya ke depan, Ameera memperhatikan dirinya lagi melalui pantulan cermin. Sebuah kerudung kain berwarna peach, membingkai wajahnya. “Benarkah? Kerudung ini cocok
Di sebuah ballroom mewah, acara pesta anniversary perusahaan Galaxy Grup yang ke-61, tengah berlangsung meriah. Rekan kerja serta tamu penting lainnya turut hadir untuk merayakan pencapaian luar biasa ini. Perusahaan yang telah bertahan selama lebih dari setengah abad itu, terus berkembang pesat dengan berbagai inovasi yang mengesankan.Alvan berdiri di pintu masuk, menyambut tamu dengan pakaian rapi. Pria muda itu tampak gagah dan tampan, dengan kacamata yang bertengger menawan di hidung mancungnya. Setiap tamu yang datang, disambut dengan senyum hangat dan jabat tangan yang kuat.Di tengah keramaian, Bianca yang semula sedang mengobrol dengan beberapa teman sosialitanya berjalan mendekati Alvan. Dia menatap putranya dengan senyuman penuh bangga. “Pesta malam ini, meriah sekali, Son. Kau juga tampil rapi dan tampan,” ucapnya memulai pembicaraan di antara mereka.Tersenyum simpul pada tamu dan berjabat tangan, Alvan kemudian menoleh. Ekspresi wajahnya seketika berubah menjadi datar dan
Di tengah gemerlap lampu dan dendangan musik klasik yang mengalun indah, Ameera berjalan dengan langkah sedikit tertatih memasuki ruangan. Sepasang mutiara coklat indahnya, menyapu pandang sekeliling, mengabsen setiap objek di sana lekat-lekat, sementara keningnya berkerut menyadari dirinya berada di tengah-tengah situasi asing. “Mas Alvan di mana, ya? Katanya tadi mau nungguin, tapi kok enggak ada?” gumam Ameera sambil berjinjit, mencari-cari keberadaan suaminya di antara keramaian massa.Sampai pada beberapa saat kemudian, senyum Ameera mengembang begitu netranya menangkap siluet jangkung yang sedang berdiri bersandar di dekat pintu masuk dengan kondisi kedua tangan terlipat ke depan. “Itu dia Mas Alvan! Ternyata ada di sana.” Bak seseorang yang menemukan cahaya di tengah kegelapan, Ameera bergegas menyusul suaminya dengan perasaan berdebar-debar.Cukup lama, Alvan menunggu Ameera di depan pintu masuk. Istrinya itu masih belum kunjung terlihat juga. Padahal, dia sudah meminta agar S
Masih dengan deru napas yang memburu, Ameera menatap Alvan dengan ekspresi penuh kejut. Sesuatu yang tak terduga baru saja terjadi dan berhasil mengguncangkan dunianya. Sampai-sampai, Ameera yang terlewat shock, kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh kalau saja Alvan tidak dengan sigap menahan tubuhnya. “T-terima kasih, M-mas,” ucap perempuan itu dengan suara tergagap.Sedikit menelengkan kepalanya ke samping, Alvan menatap Ameera dengan dingin. Ekspresi wajahnya, kembali datar seperti semula. Meski begitu, tidak serta merta melenyapkan kegugupan di hati Ameera. “Terkejut, hm?” Satu sudut bibir Alvan terangkat, begitu mengetahui terkaannya yang tepat sasaran.Susah payah Ameera meneguk salivanya. “Itu ....” Perempuan itu hendak berdiri tegak dan melepaskan diri dari pelukan Alvan. Namun, keningnya berkerut tatkala menyadari Alvan yang menahan pergerakan tubuhnya hingga ia tidak bisa beranjak barang sedikit saja.“Bukankah tidak salah seorang suami mencium istrinya sendiri?” Suara