“Permisi, Nyonya Muda.”“Ada apa, Santi? Masuklah.” Setelah mendapat izin, Santi yang berdiri di depan pintu berjalan masuk ke dalam kamar Ameera dengan membawakan segelas susu hangat untuk diberikan-nya kepada Nyonya Mudanya.“Nyonya Muda, ini saya bawakan susu hangat untuk Anda ….” Ucapan Santi terhenti, begitu netranya berlabuh pada sosok Ameera yang sedang duduk di depan cermin rias. “Cantik sekali,” decak wanita muda itu penuh kagum.Meskipun ini bukan pertama kalinya bagi Santi melihat langsung wajah Ameera. Namun, ia tetap tidak bisa menahan diri untuk tidak terpukau oleh kecantikan alami Nyonya Mudanya yang selalu ditutupi jika berada di luar kamar itu. “O iya, Tuan Besar meminta saya mengantarkan susu ini untuk Anda, Nyonya muda,” papar Santi begitu teringat dengan tujuan kedatangan-nya kemari.Menoleh ke samping, senyum Ameera mengembang dengan begitu indah, seolah sepasang sorot mata jernih miliknya adalah pantulan cahaya lampion yang bersinar di kegelapan malam. “Taruh saja
Di sebuah ballroom mewah, acara pesta anniversary perusahaan Galaxy Grup yang ke-61 tengah berlangsung meriah. Rekan kerja serta tamu penting lain-nya turut hadir untuk merayakan pencapaian luar biasa ini. Perusahaan yang telah bertahan selama lebih dari setengah abad itu, terus berkembang pesat dengan berbagai inovasi yang mengesankan.Alvan berdiri di pintu masuk, menyambut tamu dengan pakaian rapi. Pria muda itu tampak gagah dan tampan, dengan kacamata yang bertengger menawan di hidung mancungnya. Setiap tamu yang datang, disambut dengan senyum hangat dan jabat tangan yang kuat.Di tengah keramaian, Bianca yang semula sedang mengobrol dengan beberapa teman sosialitanya berjalan mendekati Alvan. Dia menatap putra sulungnya dengan senyuman penuh bangga. “Pesta malam ini, meriah sekali, Son. Kau juga tampil rapi dan tampan,” ucapnya memulai pembicaraan di antara mereka.Tersenyum simpul pada tamu dan mengakhirinya dengan berjabat tangan, Alvan kemudian menoleh. Ekspresi wajahnya seketi
Di tengah gemerlap lampu dan dendangan musik klasik yang mengalun, Ameera berjalan memasuki ruangan dengan langkah sedikit tertatih. Sepasang mutiara coklat indah miliknya, menyapu pandang ke sekeliling, mengabsen setiap objek di sana dan memperhatikan-nya lekat-lekat. “Mas Alvan di mana, ya? Katanya tadi mau nungguin, tapi kok dicariin dari tadi enggak ketemu?” gumam perempuan bercadar itu sambil berjinjit, mencari-cari keberadaan suaminya di antara keramaian massa.“Jay juga ke mana? Di sini ramai sekali.” Kening Ameera berkerut menyadari dirinya berada di tengah-tengah situasi asing. Sebelumnya, dia datang ke sini bersama Jay. Namun, karena terlalu gugup Ameera memutuskan untuk mencuci muka dan menenangkan diri di toilet, sehingga Jay masuk terlebih dahulu.Sampai pada beberapa saat kemudian, senyum Ameera mengembang tatkala netranya menangkap siluet jangkung yang sedang berdiri bersandar pada pilar yang dikelilingi rangkaian bunga dengan kondisi kedua tangan terlipat ke depan. “Itu
Masih dengan deru napas yang memburu, Ameera menatap Alvan dengan ekspresi penuh kejut. Sesuatu yang tak terduga baru saja terjadi dan berhasil mengguncangkan dunianya. Sampai-sampai, Ameera yang terlewat shock, kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh kalau saja Alvan tidak dengan sigap menahan tubuhnya. “T-terima kasih, M-mas,” ucap perempuan itu dengan suara tergagap.Sedikit menelengkan kepalanya ke samping, Alvan menatap Ameera dengan dingin. Ekspresi wajahnya, kembali datar seperti semula. Meski begitu, tidak serta merta melenyapkan kegugupan di hati Ameera. “Terkejut, hm?” Satu sudut bibir Alvan terangkat, begitu mengetahui terkaannya yang tepat sasaran.Susah payah Ameera meneguk salivanya. “Itu ....” Perempuan itu hendak berdiri tegak dan melepaskan diri dari pelukan Alvan. Namun, keningnya berkerut tatkala menyadari Alvan yang menahan pergerakan tubuhnya hingga ia tidak bisa beranjak barang sedikit saja.“Bukankah tidak salah seorang suami mencium istrinya sendiri?” Suara
Di sebuah ruang pertemuan yang mewah, dengan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota yang ramai, Alvan duduk berhadapan dengan Tuan Abimana, pemilik sekaligus pemimpin dari Star Grup. Ruangan itu berkilau dengan ornamen emas dan kaca yang memantulkan cahaya dari lampu gantung kristal di atas meja. Alvan berusaha menjaga ekspresinya dan bersikap tenang meski perasaannya bergemuruh di dalam. Bagaimanapun juga, pertemuan ini bisa menjadi langkah penting bagi Galaxy Grup."Terima kasih telah meluangkan waktunya. Suatu kehormatan besar bagi saya dan Galaxy Grup bisa bertemu dan berbicara dengan Anda, Tuan Abimana, " ujar Alvan, suaranya tegas tetapi penuh rasa hormat. Bertemu dengan pemilik salah satu perusahaan paling berpengaruh di industri adalah kehormatan besar baginya.Tuan Abimana, seorang pria paruh baya dengan penampilan rapi dan sikap tenang, mengangguk sambil tersenyum tipis. “Senang bertemu dengan Anda juga, Tuan Alvan. Saya sudah mendengar banyak hal baik tentang Galax
Dari arah jarum jam 12, Alvan yang baru saja tiba, melangkah tegas memasuki mansion. Saat dalam perjalanan kembali tadi, Jay memberitahunya jika Bianca, sang mama telah menunggu-nunggu kepulangannya untuk membicarakan sesuatu. Entah apa itu, Alvan sendiri tidak peduli. Dia hanya kebetulan datang untuk mengambil sesuatu dan akan kembali pergi.Sesampainya di ruang tamu, Alvan menghentikan langkahnya. Dia mengangguk singkat pada Bianca yang tengah duduk di sofa dengan wajah tegang. “Aku dengar, kau hendak berbicara denganku,” pungkasnya sedingin mungkin.Sedikit membenarkan posisi duduknya, Bianca menatap putranya dengan sorot mata yang tajam. “Kau lihat ini, Son.” Wanita paruh baya itu mengulurkan ponsel dan memperlihatkannya kepada Alvan.Melirik ke arah ponsel, Alvan cukup terkejut saat mendapati laman berita di salah satu jejaring sosial terpampang di layar. Meski begitu, dengan cepat laki-laki itu mengendalikan ekspresinya dan kembali bersikap dingin seperti biasa. “Ada apa dengan
Malam itu, langit tampak muram, diselimuti oleh awan mendung yang bergelayut rendah, seolah-olah menutupi dunia dari kehangatan dan kenyamanan malam yang biasa. Bulan menggantung di sana dengan cahayanya yang suram, terhalang oleh lapisan kelabu awan yang bergerak lambat melintasi angkasa. Kilau bintang-bintang tampak redup, seperti berusaha bersinar. Namun, tak mampu menembus kegelapan malam yang mendominasi.Ameera memasuki kamar dengan perasaan lelah usai melewati hari yang panjang. Setelah menutup pintu dengan gerakan berhati-hati, ia terkejut saat mendapati Alvan yang sudah duduk tenang di kursi dekat jendela. Cahaya bulan yang temaram yang menerobos masuk, sedikit menerangi wajahnya yang tampak berpikir dalam, seolah sedang merenungkan sesuatu penting yang tidak terungkapkan.Rasa gugup seketika menyelimuti hati Ameera. Dia berjalan ke tengah ruangan, dan berhenti beberapa langkah di depan Alvan. Di mana, jarang sekali suaminya itu pulang lebih awal seperti ini. Sehingga, kehadi
Ameera melangkah keluar dari kamar mandi dengan aroma segar yang masih melekat di tubuhnya. Sembari membenarkan jarum pentul pada hijab yang dikenakan, ia tercenung melihat Alvan yang masih berada di kamar mereka, seolah sedang menunggunya. ‘Mas Alvan?’ Tidak ingin terlalu percaya diri, Ameera memilih berjalan menuju kasur lalu mendudukkan dirinya di sana dengan gugup. Jujur saja, dia merasa cukup lelah dan ingin segera beristirahat.Menyadari Ameera yang telah selesai, Alvan melangkah mendekat. Di tangannya, ia membawa segelas susu hangat yang mengepul lembut. "Ini, minumlah.” Ameera terkesima saat sosok jangkung itu mengulurkan gelas susu kepadanya. "Susu hangat bisa membuat tubuhmu menjadi lebih rileks,” ujarnya dengan suara datar.Tertegun sejenak, Ameera kemudian menerima gelas susu itu. “Terima kasih, Mas,” ucap perempuan itu yang dibalas anggukkan kecil oleh Alvan. “Hm.”Sedikit menggeser tubuhnya, Ameera mulai meneguk susu di tangannya secara perlahan, merasakan kehangatan yang
Ameera melangkah keluar dari dapur dengan membawa segelas kopi hitam yang baru saja dibuatnya. Aroma pahit manis yang menguar di udara, memberikan sedikit kehangatan di tengah suasana pagi yang dingin. Di mana hujan yang sejak fajar tadi masih turun, membasahi pekarangan dan tanah di luar sana, menjadikan hari terasa syahdu tanpa panas mentari yang membara. Semalam, Ameera sempat bertanya kepada Jay mengenai minuman apa yang disukai oleh suaminya, dan Jay memberitahu jika Alvan menyukai kopi hitam dengan sedikit tambahan madu. Karena itu, saat ini dia membawa minuman tersebut dan berharap jika segelas kopi buatannya itu dapat menyenangkan hati suaminya.Sesampainya di depan kamar, Ameera menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengeluarkannya secara perlahan, mencoba mengendalikan kegugupan. “Semoga Mas Alvan suka sama kopinya,” gumam perempuan itu dengan suara lirih.Setelah berhasil meyakinkan diri, Ameera menyentuh handle pintu dan membukanya. Seketika itu juga, pandangan matany
Di dalam kamar yang sunyi, Ameera duduk di sofa sudut dengan perasaan resah. Matanya terus memandangi daun pintu yang tertutup rapat, seperti tengah menantikan kemunculan seseorang dari balik sana. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 00.45. Namun, suaminya masih belum juga kembali. Entah kenapa, sejak meninggalkan restoran beberapa jam tadi, dia terus didera kegelisahan, seolah-olah sesuatu yang buruk mungkin saja terjadi.Menoleh ke samping, Ameera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, dan mengeceknya. Raut kecewa seketika menghiasi wajah putihnya begitu mendapati pesan yang dikirim untuk suaminya pada setengah jam lalu, masih belum mendapatkan balasan. Jangankan mendapatkan balasan, bahkan pesan teks tersebut masih menunjukkan centang satu yang berarti pesan berhasil dikirim, tetapi belum diterima oleh penerima.“Masih belum dibuka. Sepertinya, Mas Alvan terlalu sibuk sampai-sampai enggak sempat buka HP,” monolong perempuan itu, mencoba berpikir positif.Membenarkan posi
Lilin di atas meja bergoyang lembut, nyalanya bergerak-gerak mengikuti hembusan angin yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Di tempatnya, Ameera menatap kosong pada hidangan makan malam yang tersaji di hadapannya, masih utuh dan sebagian besar belum tersentuh. Sesekali, suara dentingan halus dari alat makan yang tertata rapi hanya mempertegas kesunyian yang melingkupi ruangan ekslusif di restoran itu.Beberapa saat yang lalu, Alvan mengajaknya untuk makan malam bersama di restoran mewah yang berada di pusat Kota. Bukan hanya itu, Ameera juga sempat merasakan kehangatan serta perhatian suaminya yang jarang sekali ditunjukan kepadanya. Namun, suasana indah tersebut dengan cepat berubah ketika Alvan tiba-tiba pergi meninggalkan Ameera sendirian tanpa penjelasan.“Aku pergi. Ada sesuatu yang harus aku urus. Kamu, kembali-lah ke mansion dan jangan menungguku!” Rasa kecewa dan kehilangan selera makan seketika menyelimuti. Ameera memandangi kursi kosong di seberangnya dengan perasaan be
“Dengan siapa kamu datang ke sini?”“Ada santi yang menemaniku, Mas,” jawab Ameera seraya memasukkan kotak bekal yang telah kosong ke dalam totebag coklat.“Santi?” Satu alis Alvan terangkat tinggi. Seolah-olah bertanya di mana wanita yang ditugaskan sebagai pelayan pribadi Ameera itu berada.“Aah, sekarang Santi sedang menunggu di bawah, Mas.” Ameera menerangkan.Alvan manggut-manggut mengerti. “Begitu rupanya.” Bangkit dari tempat duduk, ia kemudian berjalan mendekati meja kerjanya dan berdiri di sana dengan satu tangan di masukkan ke dalam saku. “Apa jadwal berikutnya, Jay?” Meskipun suara pria itu terkesan rendah. Namun, cukup untuk dapat di dengar oleh Jay yang sedang berdiri di depan pintu ruangan.“Izin memberitahu, Tuan Muda. Untuk jadwal berikutnya, Anda meminta saya untuk mengosongkan. Bukankah Anda hendak ke rumah sakit dan membesuk Tuan Besar?” balas Jay terdengar tenang.Bergeming sejenak, Alvan kemudian menoleh dan menatap lurus ke arah Ameera. “Kau dengar, Ameera? Bersia
Di lantai tertinggi gedung Galaxy Tower, rapat tengah berlangsung. Alvan duduk di sebelah Tuan Abimana, CEO dari Star Grup. Keduanya tengah memandangi layar proyektor yang menampilkan rencana besar mereka—proyek perumahan inovatif yang akan dibangun di jantung kota. Dengan pemandangan skyline kota yang modern sebagai latar belakang, membuat suasana di dalam ruangan itu terasa penuh semangat dan antusiasme.“Harus aku akui, jika kolaborasi ini adalah langkah besar bagi kita, Tuan Alvan. Dengan menggabungkan sumber daya kita, proyek perumahan ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan pasar, tetapi juga mengubah wajah pusat kota,” ucap Tuan Abimana dengan nada penuh keyakinan.Alvan mengangguk setuju, sementara matanya terus menelusuri garis-garis rencana di layar. “Galaxy Grup telah mengumpulkan data demografis dan tren urban terkini. Kita akan memanfaatkan setiap informasi itu untuk menciptakan hunian yang bukan hanya modern, tetapi juga fungsional dan berkelanjutan,” pungkasnya dengan p
Dentingan alat masak terdengar mengiringi Ameera yang tengah berkutat di dapur. Sejak pagi tadi, dia sudah turun dan sibuk mempersiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvan. Kebetulan hari ini, mereka hanya tinggal berdua saja, karena papa dan mama mertuanya sedang tidak berada di mansion lantaran harus menjaga kakek David di rumah sakit. Sehingga, tidak mengherankan jika hunian yang besar itu terasa lebih sepi dari biasanya.Aroma harum yang khas dari nasi goreng, menguar di udara, membuat siapa saja yang menciumnya merasa tergugah oleh selera. Dari banyaknya bahan yang ada, Ameera memilih nasi goreng sebagai menu pagi mereka. Seperti saat ini, ia terus mengaduk nasi di penggorengan dengan ritme yang teratur, memastikan semua bumbu meresap sempurna.Untuk sentuhan akhir, Ameera menambahkan kecap manis dan sejumput garam, lalu mengaduk nasi goreng sekali lagi hingga semua bumbu benar-benar tercampur merata. Ameera mencicipi sedikit dengan ujung spatula. Senyum tipis terbit di wajahnya ket
Ameera melangkah keluar dari kamar mandi dengan aroma segar yang masih melekat di tubuhnya. Sembari membenarkan jarum pentul pada hijab yang dikenakan, ia tercenung melihat Alvan yang masih berada di kamar mereka, seolah sedang menunggunya. ‘Mas Alvan?’ Tidak ingin terlalu percaya diri, Ameera memilih berjalan menuju kasur lalu mendudukkan dirinya di sana dengan gugup. Jujur saja, dia merasa cukup lelah dan ingin segera beristirahat.Menyadari Ameera yang telah selesai, Alvan melangkah mendekat. Di tangannya, ia membawa segelas susu hangat yang mengepul lembut. "Ini, minumlah.” Ameera terkesima saat sosok jangkung itu mengulurkan gelas susu kepadanya. "Susu hangat bisa membuat tubuhmu menjadi lebih rileks,” ujarnya dengan suara datar.Tertegun sejenak, Ameera kemudian menerima gelas susu itu. “Terima kasih, Mas,” ucap perempuan itu yang dibalas anggukkan kecil oleh Alvan. “Hm.”Sedikit menggeser tubuhnya, Ameera mulai meneguk susu di tangannya secara perlahan, merasakan kehangatan yang
Malam itu, langit tampak muram, diselimuti oleh awan mendung yang bergelayut rendah, seolah-olah menutupi dunia dari kehangatan dan kenyamanan malam yang biasa. Bulan menggantung di sana dengan cahayanya yang suram, terhalang oleh lapisan kelabu awan yang bergerak lambat melintasi angkasa. Kilau bintang-bintang tampak redup, seperti berusaha bersinar. Namun, tak mampu menembus kegelapan malam yang mendominasi.Ameera memasuki kamar dengan perasaan lelah usai melewati hari yang panjang. Setelah menutup pintu dengan gerakan berhati-hati, ia terkejut saat mendapati Alvan yang sudah duduk tenang di kursi dekat jendela. Cahaya bulan yang temaram yang menerobos masuk, sedikit menerangi wajahnya yang tampak berpikir dalam, seolah sedang merenungkan sesuatu penting yang tidak terungkapkan.Rasa gugup seketika menyelimuti hati Ameera. Dia berjalan ke tengah ruangan, dan berhenti beberapa langkah di depan Alvan. Di mana, jarang sekali suaminya itu pulang lebih awal seperti ini. Sehingga, kehadi
Dari arah jarum jam 12, Alvan yang baru saja tiba, melangkah tegas memasuki mansion. Saat dalam perjalanan kembali tadi, Jay memberitahunya jika Bianca, sang mama telah menunggu-nunggu kepulangannya untuk membicarakan sesuatu. Entah apa itu, Alvan sendiri tidak peduli. Dia hanya kebetulan datang untuk mengambil sesuatu dan akan kembali pergi.Sesampainya di ruang tamu, Alvan menghentikan langkahnya. Dia mengangguk singkat pada Bianca yang tengah duduk di sofa dengan wajah tegang. “Aku dengar, kau hendak berbicara denganku,” pungkasnya sedingin mungkin.Sedikit membenarkan posisi duduknya, Bianca menatap putranya dengan sorot mata yang tajam. “Kau lihat ini, Son.” Wanita paruh baya itu mengulurkan ponsel dan memperlihatkannya kepada Alvan.Melirik ke arah ponsel, Alvan cukup terkejut saat mendapati laman berita di salah satu jejaring sosial terpampang di layar. Meski begitu, dengan cepat laki-laki itu mengendalikan ekspresinya dan kembali bersikap dingin seperti biasa. “Ada apa dengan