Di sebuah ruang pertemuan bernuansa mewah dengan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota nan ramai, Alvan duduk berhadapan dengan Tuan Abimana, pemilik sekaligus pemimpin dari Star Grup. Ruangan di sana berkilau dengan ornamen emas dan kaca yang memantulkan cahaya dari lampu gantung kristal di atas meja. Alvan berusaha keras dalam menjaga ekspresinya dan bersikap tenang meski perasaan di dalam dadanya sedikit bergemuruh. Bagaimanapun juga, pertemuan ini merupakan langkah penting bagi masa depan Galaxy Grup."Terima kasih telah meluangkan waktunya. Suatu kehormatan besar bagi saya dan Galaxy Grup bisa bertemu dan berbicara dengan Anda, Tuan Abimana, " ujar Alvan dengan suara tegas. Namun, penuh rasa hormat. Bertemu dengan pemilik salah satu pemilik perusahaan paling berpengaruh di industry bisnis adalah kehormatan besar baginya. Karena itu, Alvan berusaha tampil sebaik mungkin.Pria paruh baya dengan penampilan rapi yang sedari tadi duduk tenang itu mengangguk sambil tersenyum t
Dari arah jarum jam 12, Alvan melangkah memasuki mansion keluarga Septihan. Saat dalam perjalanan kembali tadi, Jay memberitahunya jika sang mama telah menunggu-nunggu kepulangan-nya untuk membicarakan sesuatu. Adapun apa yang hendak dibicarakan, Alvan sendiri tidak peduli. Dia hanya kebetulan datang untuk mengambil sesuatu dan akan kembali pergi.Sesampainya di ruang tamu, Alvan menghentikan langkahnya. Dia mengangguk singkat pada Bianca yang tengah duduk di sofa dengan wajah tegang. “Aku dengar, Mama hendak berbicara denganku,” pungkasnya sedingin mungkin.Sedikit membenarkan posisi duduknya, Bianca menatap Alvan dengan sorot mata menuntut. “Kau lihat ini, Son.” Wanita paruh baya itu mengulurkan ponsel dan memperlihatkan-nya kepada Alvan.Melirik ke arah ponsel, Alvan cukup terkejut saat mendapati laman berita di salah satu jejaring sosial terpampang di layar. Meski begitu, dengan cepat laki-laki itu mengendalikan ekspresinya dan kembali bersikap dingin seperti semula. “Apa yang sala
Langit malam nampak muram. Diselimuti oleh awan mendung yang bergelayut rendah, seolah sengaja menutupi dunia dari kehangatan dan kenyamanan. Bulan menggantung di sana dengan cahayanya yang suram, terhalang oleh lapisan kelabu kabut yang bergerak lambat melintasi angkasa. Kilau bintang-bintang tampak redup, seperti berusaha untuk tetap bersinar. Namun begitu, tidak mampu menembus kegelapan malam yang mendominasi.Ameera memasuki kamar dengan perasaan lelah usai melewati hari yang panjang. Setelah menutup pintu dengan gerakan berhati-hati, ia terkejut saat mendapati Alvan yang tengah duduk tenang di kursi dekat jendela. Cahaya bulan yang temaram menerobos masuk, sedikit menerangi permukaan wajahnya yang tampan. Sementara itu, ruang di antara kedua alis tebalnya berkerut, seperti sedang merenungkan sesuatu penting yang tidak terungkapkan.‘Mas Alvan?’ Ameera berjalan ke tengah ruangan, dan berhenti beberapa langkah di depan Alvan. Jarang sekali suaminya itu pulang lebih awal seperti ini.
Ameera melangkah keluar dari kamar mandi dengan aroma segar yang melekat di tubuhnya. Sembari membenarkan jarum pentul pada hijab yang dikenakan, ia tercenung sesaat melihat Alvan yang masih berada di kamar mereka dan sedang berdiri memunggunginya, seolah sedang menunggunya. Tidak ingin terlalu percaya diri, Ameera memilih berjalan menuju kasur lalu menduduk-kan dirinya di sana dengan gugup. Jujur saja, dia merasa cukup lelah dan ingin segera beristirahat. Adapun Alvan, Ameera tidak ingin mengganggunya.Menyadari Ameera yang telah selesai, Alvan melangkah mendekat. Di tangan-nya, ia membawa segelas susu hangat yang mengepul lembut. "Ini, minumlah.” Ameera terkesima saat sosok jangkung itu mengulurkan gelas susu kepadanya. "Susu hangat bisa membuat tubuhmu menjadi lebih rileks,” ujarnya dengan suara rendah.Tertegun sejenak, Ameera kemudian menerima gelas susu itu. “Terima kasih, Mas,” ucap perempuan itu yang dibalas angguk-kan kecil oleh Alvan. “Hm.”Sedikit menggeser tubuhnya ke sampi
Dentingan alat masak terdengar mengiringi Ameera yang tengah berkutat di dapur. Sejak pagi-pagi sekali, ia sudah turun dan sibuk mempersiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvan. Kebetulan hari ini, mereka hanya tinggal berdua saja, karena papa dan mama mertuanya sedang menjaga kakek David di rumah sakit. Sehingga, tidak mengherankan jika hunian yang besar itu terasa lebih sepi dari biasanya.Aroma harum yang khas dari nasi goreng, menguar di udara, membuat siapa saja yang menciumnya akan tergugah oleh selera. Dari banyaknya bahan persediaan yang ada, Ameera memilih nasi goreng sebagai menu pagi mereka. Seperti saat ini, ia terus mengaduk nasi di penggorengan dengan ritme yang teratur, memastikan semua bumbu meresap sempurna.Untuk sentuhan akhir, Ameera menambahkan kecap manis dan sejumput garam, lalu mengaduk nasi goreng sekali lagi hingga semua bumbu benar-benar tercampur merata. Ameera mencicipi sedikit dengan ujung spatula. Senyum tipis terbit di wajahnya ketika mendapati nasi goreng
Di lantai tertinggi gedung Galaxy Tower, rapat tengah berlangsung. Alvan duduk di sebelah Tuan Abimana, CEO dari Star Grup. Keduanya tengah memandangi layar proyektor yang menampilkan rencana besar mereka—proyek perumahan inovatif yang akan dibangun di jantung kota. Dengan pemandangan skyline kota yang modern sebagai latar belakang, membuat suasana di dalam ruangan itu terasa penuh semangat dan antusiasme.“Harus aku akui, jika kolaborasi ini adalah langkah besar bagi kita, Tuan Alvan. Dengan menggabungkan sumber daya kita, proyek perumahan ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan pasar saja, tetapi juga mengubah wajah pusat kota,” ucap Tuan Abimana dengan nada penuh keyakinan.Alvan mengangguk setuju, sementara matanya terus menelusuri garis-garis rencana di layar. “Galaxy Grup telah mengumpulkan data demografis dan tren urban terkini. Kita akan memanfaatkan setiap informasi itu untuk menciptakan hunian yang bukan hanya modern, tetapi juga fungsional dan berkelanjutan,” pungkasnya deng
“Dengan siapa kamu datang ke sini?” tanya Alvan setelah menutup sambungan panggilan telpon miliknya.“Ada santi yang menemaniku, Mas,” jawab Ameera seraya memasuk-kan kotak bekal yang telah kosong ke dalam totebag coklat.“Santi?” Satu alis Alvan terangkat tinggi. Seolah-olah bertanya di mana wanita yang ditugaskan sebagai pelayan pribadi Ameera itu berada.“Aah, sekarang Santi sedang menunggu di bawah, Mas,” terang Ameera memberitahu.Alvan manggut-manggut mengerti. “Begitu rupanya.” Bangkit dari tempat duduk, sosok jangkung itu kemudian berjalan mendekati meja kerjanya dan berdiri di sana dengan satu tangan di masuk-kan ke dalam saku celana. “Apa jadwal berikutnya, Jay?” Meskipun suara pria itu terkesan rendah. Namun, cukup untuk dapat di dengar oleh Jay yang sedang berdiri di depan pintu ruangan.“Izinkan saya memberitahu, Tuan Muda. Untuk jadwal berikutnya, Anda meminta saya mengosongkan-nya. Bukankah Anda hendak ke rumah sakit dan membesuk Tuan Besar?” balas Jay terdengar tenang.
Lilin di atas meja bergoyang lembut mengikuti hembusan angin yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Di tempatnya, Ameera menatap kosong hidangan makan malam yang tersaji di atas meja, masih utuh dan sebagian besar belum tersentuh. Sesekali, suara dentingan halus dari alat makan yang tertata rapi terdengar, mempertegas kesunyian yang melingkupi ruangan ekslusif di restoran Bintang lima tersebut.Beberapa saat yang lalu, Alvan mengajak Ameera untuk makan malam bersama di sebuah restoran mewah yang berada di pusat Kota. Bukan hanya itu, Ameera juga sempat merasakan kehangatan serta perhatian dari suaminya yang jarang sekali ditunjukan kepadanya. Namun, sangat disayangkan, suasana indah tersebut dengan cepat berubah ketika Alvan tiba-tiba pergi meninggalkan Ameera setelah menerima telpon sendirian tanpa penjelasan.“Aku pergi. Ada sesuatu yang harus aku urus. Kamu, kembali-lah ke mansion dan jangan menungguku!” Mendadak, Ameera kehilangan selera makan. Ia memandangi kursi kosong di seb
Ruangan ICU terasa sunyi, hanya suara monitor jantung yang berdetak pelan, menciptakan ritme monoton di antara keheningan. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Alvan terbaring di atas ranjang dengan berbagai kabel sensor menempel di dadanya. Wajahnya pucat, napasnya masih berat, dan kelopak matanya bergerak samar, seolah sedang berjuang di antara kesadaran dan ketidaksadaran.Di sisi ranjang, Ameera duduk dengan jemari menggenggam tangan Alvan yang terasa dingin. “Mas Alvan ….” Ia mengeratkan genggaman tangan-nya, seolah takut kehilangan. “Kapan Mas bangun?” Matanya berkaca-kaca mengamati wajah suaminya yang masih lemah. Setelah sempat mengalami guncangan hebat, akhirya kondisi suaminya kembali stabil. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi perasaan khawatir dan cemas di dada Ameera.Sementara itu, di tempatnya, Alvan merasakan sensasi berat yang menekan sekujur tubuh, seolaah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Perlahan
Di rumah sakit, ketegangan terasa begitu kuat. Alvan tengah berada di dalam ruang operasi. Seperti kata Gled, peluru sangat dekat dengan tulang belakang, sehingga butuh operasi segera untuk mengeluarkan-nya.Ameera terpaksa menunggu di luar ruang operasi. Tangan-nya mencengkeram erat ujung gamis yang dikenakan, dadanya naik turun karena cemas. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya suara langkah dokter dan suara mesin-mesin medis yang sesekali berbunyi. Pikiran-nya dipenuhi ketakutan, bayangan tentang Alvan yang selalu tegas dan dingin, kini terbaring lemah membuat hatinya mencelos.“Aku ikut operasi. Doakan kami berhasil.” Begitu kata-kata Gled sebelum memasuki ruang operasi dengan mengenakan baju bedah. Saat itu, Ameera hanya bisa memandang punggungnya menghilang di balik pintu yang tertutup rapat.Monitor detak jantung Alvan berbunyi dengan cepat saat operasi dimulai, menunjukkan kondisinya yang sangat kritis. Ameera hanya bisaa menahan napas. Dalam diam, ia berdo’a tanpa henti, me
Satu pekan sebelum kejadian …Di luar mansion keluarga Septihan, suasana semakin mencekam. Angin malam berembus dingin, menggugurkan dedaunan kering yang berserakan di jalan setapak. Lampu-lampu jalan yang redup menciptakan bayangan panjang, seakan menambah ketegangan yang telah menggantung di udara.Beberapa waktu lalu, sebelum semua memuncak, Ameera mulai merasakan ada yang aneh. Langkah-langkah samar di kejauhan, tatapan yang seakan menembus punggungnya, dan perasaan seolah-olah setiap gerak-geriknya diawasi. Bayangan itu mengikuti di mana pun ia berada, mengintai dalam kegelapan, menunggunya lengah.Ia tidak ingin Alvan khawatir. Namun, firasat buruk itu terus mengusiknya, merayapi pikirannya seperti racun yang perlahan menyebar. Hingga akhirnya, ia menemui Jay, untuk mencari jawaban."Itu hanya perasaan Anda saja, Nyonya Muda. Anda tidak perlu terlalu memikirkan-nya," kata pria itu santai. Namun, Ameera tidak melewatkan ada sesuatu yang bersembunyi dalam sorot matanya yang menyir
"Cepat berlutut, dan serahkan semua surat kuasa yang kau miliki, juga aset keluarga ini!" ujar Eldome bergema seperti gelegar petir, menciptakan bayangan ketakutan yang menyelinap di antara deretan pilar marmer.Alvan menggeram, kepalan tangan-nya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Pandangan-nya melirik sekilas ke arah Brian, Bianca, dan David yang ditahan di sudut ruangan. Dilema menyayat hatinya. Melepaskan semua yang telah ia bangun dengan susah payah atau menyaksikan keluarganya menderita?Eldome melangkah maju, sorot matanya tajam seperti pisau yang menusuk. "Baiklah, karena kau memilih untuk menentangku, aku akan melenyapkanmu, sekarang!" Dengan satu isyarat tangan, puluhan pria berpakaian hitam muncul dari balik bayangan, mengepung setiap sudut mansion. Senjata berlaras panjang mereka terangkat, siap membidik.Kedua mata Alvan terbelalak. Napasnya memburu menyadari dirinya yang telah kalah telak. Alvan mulai menghubungi sahabatnya guna meminta bantuan. Namun, koneks
Eldome menyandarkan tubuhnya pada kursi tinggi berlapis beludru, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan dengan ritme santai, kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Senyumannya sinis, mata kelamnya menyipit penuh perhitungan. "Ayolah, Alvan," lanjut Eldome, bersenandung ringan seolah menikmati permainan. "Bukankah ini yang kau inginkan? Membalaskan dendam pada orang-orang berdosa ini?"Ia mengedik-kan dagu ke arah Brian dan Bianca yang kini terikat di kursi. "Aku harap kau masih ingat, bagaimana mereka membiarkanmu menderita, menyaksikanmu diusir dari keluarga ini tanpa membela sedikit pun. Dan lihatlah kau sekarang, datang seperti seorang pahlawan."Pria paruh baya dengan sentuhan topi fedora yang melingkar di kepala itu mendekat, setiap ucapan-nya terdengar seperti bisikan yang menggerayangi sisi gelap di hati Alvan. "Jangan lupa, Alvan ... siapa yang selama ini membentukmu, dan membuatmu menjadi kuat sampai kau bisa berada di puncak. Bukankah hanya aku? Aku yang mem
Begitu pintu kamar tertutup, Ameera membuka mata perlahan. Seketika, keheningan menyergap, menciptakan ruang bagi nyeri yang masih bersarang di tubuhnya. Detak jam di dinding terdengar lebih lambat dari biasanya, seakan waktu ikut merasakan kesakitan yang ia derita. Butuh waktu bagi dirinya untuk menahan-nya sampai suaminya pergi.Dengan gerakan hati-hati, Ameera bangkit, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Setiap langkah menuju kursi di dekat jendela terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Begitu punggungnya menyentuh sandaran, rasa perih menyergap kuat."Sshh ...." Desahan lirih lolos dari bibirnya. Jemarinya bergetar saat menyingsingkan lengan bajunya. Saat melihat kulitnya sendiri, Ameera tercekat. Memar ungu kebiruan menghiasi permukaan, luka-luka kecil terbuka di antara lebam, beberapa bahkan masih tampak segar. Bekas amukan Eldome begitu nyata, seolah baru saja terjadi. Gurat luka di sikunya—hasil sayatan pisau—mengingatkannya pada teror yang ia alami saat dalam p
“Kau yakin temanmu itu dokter terbaik, Gled? Kenapa dia begitu lama di dalam?” Alvan melontarkan pertanyaan dengan nada tajam, nyaris mendidih dalam ketidak sabaran-nya.Sosok jangkung itu terus mondar-mandir di depan pintu kamar, langkahnya berat, menggema di lantai marmer yang dingin. Rahangnya mengeras, sorot matanya gelap, menggambarkan badai yang bergejolak di dalam dirinya. Sekujur tubuhnya tegang, setiap urat nadi di lengannya mencerminkan betapa keras ia menahan diri.Di benaknya, kecurigaan perlahan merayap. Dokter wanita yang dibawa Gled—benarkah dia bisa dipercaya? Sesuatu terasa janggal. Mengingat betapa tertutupnya Ameera, ia yang bersikeras agar sahabatnya mencari dokter perempuan untuk memeriksanya. Namun, tetap saja, ini terlalu lama sejak pemeriksaan dimulai.Gled menghela napas panjang, seakan memahami kegelisahan yang menguar dari tubuh Alvan. “Tentu saja. Dia punya segudang sertifikat, dan kemampuannya tak perlu diragukan. Tenanglah, kau tidak perlu khawatir,” ucapn
Usai menakut-nakutinya di atas rooftop Tower Galaxy Group, Eldome menyeret Ameera ke ruang isolasi ini—bukan sekadar tempat penyekapan, melainkan saksi bisu penderitaan manusia yang tidak terhitung jumlahnya. Noda darah kering menghiasi dinding seperti seni horor yang tak pernah selesai. Goresan-goresan kuku tertinggal di permukaan kasar, menceritakan kisah mereka yang berusaha melawan takdir, hanya untuk menemui kehancuran yang sama.Namun, Eldome tidak bekerja sendiri. Ia juga menghubungi putrinya, Katrine. Dengan suara yang tenang tetapi sarat akan racun mematikan, ia menanamkan benih kebencian yang semakin berakar di dalam diri gadis itu. "Aku sudah menangkap wanita itu," ucapnya, seperti bisikan angin malam yang membawa ancaman. "Sekarang, kamu yang menentukan nasibnya, Baby."Katrine, yang selama ini membiarkan bara dendam membakar jiwanya, akhirnya memutuskan untuk menuangkan kemarahan dengan tangan-nya sendiri. Sepasang sepatu hak tinggi mengetuk
"Cepat tanda tangani surat kuasa itu!" Suara Eldome menggema, mengguncang udara malam yang dingin. Angin berembus liar, membawa serta aroma hujan yang tertahan di langit mendung. Kilatan petir di kejauhan sesekali menerangi wajah pria paruh baya yang penuh kelicikan itu.Alvan menoleh ke samping, matanya menangkap benerapa map hitam yang telah disiapkan di atas meja besi, lengkap dengan bolpoin perak yang mengilap di bawah sorot bulan. Dinginnya logam terasa menusuk saat ia menyentuhnya."Entah kau percaya atau tidak, tetapi waktumu hanya tersisa sepuluh menit dari sekarang," lanjut Eldome, setajam belati yang menusuk gendang telinga.Jantung Alvan mencelos ketika matanya menangkap pemandangan yang membuat darahnya mendidih—bom waktu terpasang erat di tubuh Ameera. Kedipan lampu merah di perangkat itu seolah menertawakan ketidakberdayaan-nya. Napasnya memburu, dadanya naik turun dalam irama liar yang dipenuhi amarah."Kau benar-benar bermain kotor!" desis sosok jangkung itu diiringi g