“Tolong bawakan mangkuk di dekat kompor itu, Nduk,” pinta Via seraya menyiapkan piring bersih dan menatanya dengan rapi di atas meja makan.“Baik, Bu.” Ameera yang berada di dapur, tersenyum melihat mangkuk bening yang dimaksud ibunya, lalu segera membawanya keluar dapur. “Ini, Bu, mangkuknya,” kata Ameera seraya meletak-kan mangkuk berisi tumis kangkung dengan asap yang masih mengepul karena baru turun dari penggorengan itu ke atas meja makan.Mengingat rumah mereka yang tidak terlalu besar, membuat dapur dan ruang makan berada di satu ruangan yang sama. Hanya saja, Via sengaja memberi sedikit jarak untuk memisahkan keduanya, dengan meletakkan sebuah rak kayu disertai tanaman hias di tengah-tengah. Memberikan kesan terpisah namun tetap terhubung.“Alhamdulillah, semuanya sudah siap. Ayo, Ayah, Ameera, Nak Alvan. Kita makan malam dulu,” ajak Via kepada semua ahli keluarganya.Ameera segera meraih kursi kosong di depan-nya. Namun, sebelum menduduk-kan dirinya di sana, perhatian perempua
Malam semakin larut. Alvan yang baru saja selesai melakukan ritual mandi berjalan memasuki kamar. Sosok jangkung itu cukup terkejut, bahkan sempat mengalami kesulitan saat mandi tadi. Pasalnya, kamar mandi di rumah Ameera terbilang sangat kecil tanpa ada bathtub atau shower air sebagai fasilitas umum yang biasa ia gunakan, sehingga Alvan harus berakhir membuang-buang tenaganya untuk menyiduk air menggunakan gayung sebelum kemudian mengguyurkan-nya ke seluruh anggota tubuh.“Oh, setidaknya aku sudah merasa jauh lebih segar sekarang,” monolog laki-laki itu seraya berjalan lurus ke tengah ruangan. Meski merasa kesal, Alvan memilih meredamnya dan melupakan masalah yang sempat dihadapinya tadi.Derap langkah tenang Alvan, berhasil menarik perhatian Ameera yang sedang duduk di tepi ranjang. “Sudah selesai, Mas?” tanya perempuan itu dengan ramah.Menoleh sekilas ke arah Ameera, Alvan mengangguk singkat. “Hm.” Laki-laki dengan balutan kaos putih polos dan celana hitam selutut itu kemudian ber
Keheningan datang menyelimuti ruang kamar yang tidak terlalu luas. Setelah adegan melepas cadar untuk pertama kalinya di depan Alvan, Ameera justru dibuat bingung dengan suaminya yang tidak kunjung memberikan reaksi apa pun. Karena penasaran, akhirnya, Ameera pun memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, guna melihat apa yang terjadi.Garis-garis halus di kening perempuan itu berkerut tatkala mendapati Alvan yang tengah menatapnya tanpa berkedip. “Mas Alvan, Mas?” Ameera melambaikan tangan-nya ke depan, mencoba mengalihkan perhatian suaminya. “Ada apa, Mas? Apa wajahku terlihat aneh?” tanyanya cemas.Alvan yang tersentak, berdeham beberapa kali guna menetralkan kegugupan. Baru saja, dalam keremangan sinar lampu yang temaram, ia dibuat terkesima oleh kecantikan wajah Ameera. Manik coklat terang milik perempuan itu, terlihat begitu indah, seperti cahaya bintang di langit malam. Selain itu, hidung kecil nan tinggi, alis tebal teratur, serta sepasang bibir tipis berwarna merah muda alam
Kegiatan rapat dengan para petinggi perusahaan sedang berlangsung. Seiring berjalan-nya waktu, suasana di dalam ruangan megah tersebut terasa semakin panas. Alvan yang duduk di ujung meja, terus mengamati setiap gerakan dan ekspresi wajah dari para peserta rapat. Sementara di seberang laki-laki itu, terdapat Brian yang duduk dengan sikap tenang. Namun, penuh kewaspadaan.“Ini tidak bisa diterima!” Suara berat Brian menggema di ruangan, memecah keheningan yang tegang. “Strategi ini akan membawa kita ke jurang kehancuran. Aku tidak setuju,” tandasnya mengomentari rencana yang baru saja disampaikan oleh Alvan. Sebagai seorang pemimpin yang baru, bagaimana bisa putranya itu tidak sedikit pun merasa ragu ketika memutuskan sesuatu dan mengambil resiko yang tinggi?Di tempatnya, Alvan menatap Brian dengan aura penuh kemarahan. Nampaknya, dendam terpendam selama bertahun-tahun di antara keduanya yang menjadi pemicu dari persengketaan ini. “Kita tidak bisa terus-menerus bermain aman, Pa. Perusa
Dalam perjalanan pulang, Alvan duduk termangu dalam diam. Memejamkan matanya, kemudian menyandarkan punggung tegapnya pada sandaran kursi, ia mencoba melupakan keresahan yang sedari tadi menghantui hati dan pikiran-nya. Setelah berhasil memenangkan keputusan di ruang rapat siang tadi, masalah justru datang bersama dengan kekasihnya yang mengetahui kabar mengenai pernikahan-nya. Bukan hanya itu, Katrine juga terang-terangan mengungkapkan kekecewaan-nya serta menuntut penjelasan darinya.Tak pelak, apa yang terjadi saat ini, mengingatkan Alvan pada kejadian sepuluh tahun yang lalu. Yakni, saat di mana, Katrine yang masih mengenakan seragam sekolah menengah akhir mendatanginya sambil menangis tersedu-sedu tepat di hari kedua orang tuanya resmi bercerai. Alvan yang merasa prihatin hanya bisa memeluk Katrine dan mencoba menenangkan-nya. Namun, yang terjadi selanjutnya, Katrine justru menyatakan perasaan-nya secara tiba-tiba.Sebenarnya, itu bukanlah pertama kalinya gadis itu mengungkapkan p
Dentuman musik terdengar menggema, mengisi kesunyian dalam ruangan dengan lampu warna-warni yang menyala. Di tengah kebisingan yang berlangsung, Alvan duduk termangu di depan meja bar. Di sampingnya, Jay berdiri tegap sambil memandangi dengan cemas. Bagaimana tidak? Untuk yang kesekian kalinya, tuan mudanya itu meneguk wiski, seolah-olah minuman itu adalah satu-satunya pelarian dari beban hidupnya yang berat.“Anda baik-baik saja, Tuan Muda?” tanya Jay berhati-hati. Tatapan Alvan begitu kosong, sementara ekspresi lelah tercetak jelas di wajahnya yang tampan.Tidak membalas, Alvan memilih kembali menuang wiski dari botol ke dalam gelas kaca yang dipegang, lalu meneguknya sekaligus. “Habis?” monolognya, seraya mengangangkat botol di tangan-nya yang telah kosong, “beri aku satu botol lagi. Tidak, beri aku tiga botol lagi,” pintanya kepada seorang bartender.“Sebaiknya, kita kembali, Tuan Muda. Sepertinya, Anda sudah cukup mabuk.” Jay mencoba menghentikan Alvan, dan hendak mengajaknya perg
Ketegangan menyelimuti suasana malam di depan sebuah hotel Bintang lima. Di seberang hotel dengan pencahayaan terang benderang, lampu-lampu jalan terlihat redup dan menambah kesan suram pada malam yang semakin larut. Di tempatnya, Jay menunduk dalam, merasa takut sekaligus bersalah atas kejadian yang baru saja menimpa tuan mudanya.Keringat dingin mengalir deras membasahi kedua pelipis, diiringi dengan jantung yang berdebar kencang, Jay menantikan kemurkaan yang sebentar lagi akan menimpanya. Sementara tepat di hadapan-nya sekarang, Alvan melipat kedua tangan-nya ke depan, memandanginya dengan penuh intimidasi.Mata tajam laki-laki itu, seolah menembus jiwa Jay, membuatnya semakin merasa terpojok. “Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi, Jay?” Suara berat Alvan, terdengar sangat dingin, seperti pisau mengkilap yang menusuk langsung ke jantunng Jay.Pria muda yang berdiri di sebelah mobil yang terparkir di pelataran hotel itu merasakan seluruh tubuhnya menegang. “Maafkan saya, Tuan Muda
Dentingan alat masak, terdengar mengiringi Ameera yang sedang membuat bubur di dapur. Aroma harum dari bawang goreng dan santan, menyeruak mengisi seluruh ruangan dengan kehangatan yang menggugah selera. Setiap kali ia mengaduk bubur dengan gerakan lembut, uap panas naik dari panci, dan menari-nari di udara.Sejak pagi-pagi sekali, Ameera sudah keluar dari kamar dan berkutat di dapur. Semalam, suaminya yang beberapa hari lalu telah kembali ke Ibu Kota, tiba-tiba datang. Dari apa yang terjadi, Ameera merasa jika suaminya itu sedang tidak baik-baik saja.Tidak lama setelah mendadak memeluknya tanpa berkata-kata, Alvan jatuh tiba-tiba pingsan dan tidak sadarkan diri. Beruntung saat itu, Jay, masih berada di halaman rumah Ameera. Sehingga, pria muda itu bisa membantu Ameera membawa suaminya masuk ke dalam dan mengistirahatkan-nya di kamar.Sebelum pergi, Jay sempat berpesan agar Ameera menjaga Alvan dengan baik. Bukan hanya itu, Jay juga meminta Ameera agar tidak membahas permasalahan sema
Gelapnya malam menyelimuti, menyisakan samar-samar sinar rembulan yang menembus tirai jendela dan menerangi wajah Ameera yang terlelap tenang dalam tidur. Di antara keheningan yang ada, Alvan duduk di tepi ranjang, mengamati perempuan di pembaringan dengan tatapan lembut. Selepas menghadiri rapat dan menyelesaikan urusan pentingnya, Alvan memutuskan untuk kembali ke mansion. Bukan tanpa sebab, di tengah persitegangan yang terjadi siang tadi, diam-diam Alvan terkejut saat tanpa sengaja melihat tangan Ameera yang terluka. Namun, karena situasi saat itu cukup panas, Alvan memilih menahan egonya dan bersikap seolah-olah tidak peduli. Dan, sekarang, dia datang untuk memastikan keadaan perempuan itu.“Terluka sampai seperti ini, dan dia sama sekali tidak mengadukan-nya padaku.” Alvan menatap garis luka di tangan Ameera dengan sedikit ngilu. Rasa bersalah dan khawatir, seketika merayapi relung hatinya, membuat Alvan semakin terpukul. Bagaimana bisa, perempuan itu menanggung semua penderitaan
Ameera berdiri di tengah ruangan dengan tubuh gemetar. Kening putihnya berkerut, kedua tangan kecilnya meremas erat ujung gamis yang dikenakan, sementara air matanya mulai menggenang di pelupuk mata, menantikan nasib buruk yang sebentar lagi mungkin akan menimpanya. Saat ini, tepat di hadapan-nya, Bianca tengah menatapnya dengan sorot mata penuh amarah.Tidak sendirian, di sekeliling mereka juga terdapat para pelayan yang berdiri dengan kepala menunduk, seolah enggan terlibat dalam persitegangan ini. Namun, sangat disayangkan, tidak satupun dari mereka yang berani menolak perintah Bianca untuk ikut serta dalam menyidang. Semua ini bermula ketika Ameera tanpa sengaja menemukan sebuah miniatur milik Alex saat sedang merapikan ruang penyimpanan di belakang mansion. Bianca yang kebetulan lewat, terkejut dan langsung murka begitu melihat barang milik mediang putranya berada di tangan Ameera. “Kamu tahu apa kesalahanmu, Ameera?” tanya wanita paruh baya itu penuh intimidasi.“Maaf, Ma. Amee
“Daddy bilang, kamu juga setuju untuk menikah denganku. Bukankah itu artinya, kamu berhak atas keputusan dan masa depanku?” ..Setelah sempat terdiam beberapa saat, Alvan melepaskan pelukan Katrine dari tubuhnya. “Maaf, Katrine. Setelah ini, aku ada pertemuan penting. Aku harus pergi.” Bangkit dari tempat duduk, sosok jangkung itu membenarkan sedikit kemeja biru terang yang dikenakan sebelum kemudian berbalik dan beranjak pergi.“Kamu pergi begitu saja?” Pertanyaan Katrine tersebut berhasil menghentikan pergerakan Alvan. “Aku baru sampai dan kamu sudah mau ninggalin aku,” lanjut wanita itu mengiba.Memasuk-kan kedua telapak tangan-nya ke dalam saku celana, Alvan sedikit menelengkan kepalanya ke samping. “Kerjasama Galaxy Grup dengan Star Grup telah berjalan. Banyak hal yang harus dipersiapkan,” terangnya menjelaskan.“Benarkah? Kamu bukan sedang menghindariku?” Katrine menatap Alvan lekat-lekat, seolah tidak percaya dengan alasan yang pria itu buat.Tidak langsung menanggapi, Alvan t
Ameera melangkah keluar dari dapur dengan membawa segelas kopi hitam yang baru saja dibuatnya menggunakan mesin pengekstrak. Aroma pahit yang menguar di udara, memberikan sedikit kehangatan di tengah suasana pagi yang dingin. Di mana hujan yang sejak fajar tadi masih turun, membasahi pekarangan dan tanah di luar sana, menjadikan hari terasa syahdu tanpa panas mentari yang membara. Semalam, Ameera sempat bertanya kepada Jay mengenai minuman apa yang disukai oleh suaminya, dan Jay memberitahu jika Alvan menyukai kopi hitam pekat dengan aroma khas yang kuat. Karena itu, saat ini dia membawa minuman tersebut dan berharap jika segelas kopi buatan-nya itu dapat menyenangkan hati suaminya.Sesampainya di depan kamar, Ameera menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengeluarkan-nya secara perlahan. Mencoba mengendalikan kegugupan. “Semoga Mas Alvan suka sama kopinya,” gumam perempuan itu dengan suara lirih.Setelah berhasil meyakinkan diri, Ameera menyentuh handle pintu dan membukanya. Seket
Di dalam kamar yang sunyi, Ameera duduk di sofa sudut dengan perasaan resah. Matanya terus memandangi daun pintu yang tertutup rapat, seperti tengah menantikan kemunculan seseorang dari balik sana. Jam di dinding sudah menunjuk-kan pukul 01.45 dini hari. Namun, suaminya masih belum juga kembali. Entah apa yang terjadi, sejak meninggalkan restoran beberapa jam lalu, dia terus didera kegelisahan, seolah-olah tanpa ia sadari sesuatu yang buruk telah terjadi.Menoleh ke samping, Ameera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, dan mengeceknya. Raut kecewa seketika menghiasi wajah putihnya begitu mendapati pesan yang dikirim untuk suaminya pada setengah jam lalu masih belum mendapatkan balasan. Jangankan mendapat balasan, bahkan pesan teks tersebut masih menunjuk-kan centang satu yang berarti pesan berhasil dikirim, tetapi belum diterima oleh penerima.“Masih belum dibuka. Sepertinya, Mas Alvan terlalu sibuk sampai-sampai enggak sempat ngecek HP,” monolong perempuan itu, mencoba berpik
Lilin di atas meja bergoyang lembut mengikuti hembusan angin yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Di tempatnya, Ameera menatap kosong hidangan makan malam yang tersaji di atas meja, masih utuh dan sebagian besar belum tersentuh. Sesekali, suara dentingan halus dari alat makan yang tertata rapi terdengar, mempertegas kesunyian yang melingkupi ruangan ekslusif di restoran Bintang lima tersebut.Beberapa saat yang lalu, Alvan mengajak Ameera untuk makan malam bersama di sebuah restoran mewah yang berada di pusat Kota. Bukan hanya itu, Ameera juga sempat merasakan kehangatan serta perhatian dari suaminya yang jarang sekali ditunjukan kepadanya. Namun, sangat disayangkan, suasana indah tersebut dengan cepat berubah ketika Alvan tiba-tiba pergi meninggalkan Ameera setelah menerima telpon sendirian tanpa penjelasan.“Aku pergi. Ada sesuatu yang harus aku urus. Kamu, kembali-lah ke mansion dan jangan menungguku!” Mendadak, Ameera kehilangan selera makan. Ia memandangi kursi kosong di seb
“Dengan siapa kamu datang ke sini?” tanya Alvan setelah menutup sambungan panggilan telpon miliknya.“Ada santi yang menemaniku, Mas,” jawab Ameera seraya memasuk-kan kotak bekal yang telah kosong ke dalam totebag coklat.“Santi?” Satu alis Alvan terangkat tinggi. Seolah-olah bertanya di mana wanita yang ditugaskan sebagai pelayan pribadi Ameera itu berada.“Aah, sekarang Santi sedang menunggu di bawah, Mas,” terang Ameera memberitahu.Alvan manggut-manggut mengerti. “Begitu rupanya.” Bangkit dari tempat duduk, sosok jangkung itu kemudian berjalan mendekati meja kerjanya dan berdiri di sana dengan satu tangan di masuk-kan ke dalam saku celana. “Apa jadwal berikutnya, Jay?” Meskipun suara pria itu terkesan rendah. Namun, cukup untuk dapat di dengar oleh Jay yang sedang berdiri di depan pintu ruangan.“Izinkan saya memberitahu, Tuan Muda. Untuk jadwal berikutnya, Anda meminta saya mengosongkan-nya. Bukankah Anda hendak ke rumah sakit dan membesuk Tuan Besar?” balas Jay terdengar tenang.
Di lantai tertinggi gedung Galaxy Tower, rapat tengah berlangsung. Alvan duduk di sebelah Tuan Abimana, CEO dari Star Grup. Keduanya tengah memandangi layar proyektor yang menampilkan rencana besar mereka—proyek perumahan inovatif yang akan dibangun di jantung kota. Dengan pemandangan skyline kota yang modern sebagai latar belakang, membuat suasana di dalam ruangan itu terasa penuh semangat dan antusiasme.“Harus aku akui, jika kolaborasi ini adalah langkah besar bagi kita, Tuan Alvan. Dengan menggabungkan sumber daya kita, proyek perumahan ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan pasar saja, tetapi juga mengubah wajah pusat kota,” ucap Tuan Abimana dengan nada penuh keyakinan.Alvan mengangguk setuju, sementara matanya terus menelusuri garis-garis rencana di layar. “Galaxy Grup telah mengumpulkan data demografis dan tren urban terkini. Kita akan memanfaatkan setiap informasi itu untuk menciptakan hunian yang bukan hanya modern, tetapi juga fungsional dan berkelanjutan,” pungkasnya deng
Dentingan alat masak terdengar mengiringi Ameera yang tengah berkutat di dapur. Sejak pagi-pagi sekali, ia sudah turun dan sibuk mempersiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvan. Kebetulan hari ini, mereka hanya tinggal berdua saja, karena papa dan mama mertuanya sedang menjaga kakek David di rumah sakit. Sehingga, tidak mengherankan jika hunian yang besar itu terasa lebih sepi dari biasanya.Aroma harum yang khas dari nasi goreng, menguar di udara, membuat siapa saja yang menciumnya akan tergugah oleh selera. Dari banyaknya bahan persediaan yang ada, Ameera memilih nasi goreng sebagai menu pagi mereka. Seperti saat ini, ia terus mengaduk nasi di penggorengan dengan ritme yang teratur, memastikan semua bumbu meresap sempurna.Untuk sentuhan akhir, Ameera menambahkan kecap manis dan sejumput garam, lalu mengaduk nasi goreng sekali lagi hingga semua bumbu benar-benar tercampur merata. Ameera mencicipi sedikit dengan ujung spatula. Senyum tipis terbit di wajahnya ketika mendapati nasi goreng