Tidak terasa akhir pekan telah tiba. Di dalam kamar, Ameera yang telah lengkap dengan pakaian syar’inya, sedang bersiap-siap untuk pergi. Sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya, hari ini Ameera memutuskan untuk pulang ke rumah kedua orang tuanya. Kebetulan dua hari yang lalu, ayahnya menelpon dan memberitahu Ameera bahwa ibunya sangat merindukannya dan meminta agar ia datang dan mengunjungi mereka. Itulah sebabnya, Ameera sengaja meluangkan waktunya di akhir pekan ini serta meminta izin kepada Alvan untuk pergi menemui ayah dan ibunya.Berjalan menghampiri nakas, Ameera meraih tas ransel berukuran sedang miliknya yang berada di atas sana sebelum kemudian mengenakannya di belakang punggung. “Sudah siap semua. Saatnya berangkat.” Menghela napas panjang, Ameera memperhatikan dirinya melalui pantulan cermin rias yang berada di sebelah nakas.Setelah dirasa cukup, Ameera berjalan keluar dari kamar dengan langkah ringan. Cahaya matahari pagi, menerobos masuk dan menerangi setiap sudu
Jay menghentikan mobil yang dikendarai di depan halaman sebuah rumah berukuran minimalis. Setelah memakan waktu cukup lama dengan perjalanan panjang sekaligus melelahkan. Akhirnya, Alvan dan Ameera tiba di rumah orang tua Ameera.Usai mematikan mesin mobil, Jay segera turun lalu berjalan menuju sisi kanan kendaraan beroda empat tersebut. “Silakan, Tuan.” Dengan sigap, pria muda itu membukakan pintu samping mobil, mempersilakan tuan mudanya untuk turun.Sembari mengancingkan jas yang dikenakan, Alvan turun dan keluar dari mobil. Bersamaan dengan itu, hembusan angin menyambut, mengibaskan rambut hitam legamnya, membuat sosok jangkung itu terlihat semakin tampan. Alih-alih melenggang pergi, Alvan justru berjalan memutari mobil dan berhenti di sisi sebelah kiri. Di mana, perbuatan Alvan tersebut membuat Jay yang melihatnya mengernyitkan keningnya bingung.“Turun. Kenapa diam saja?” ketus laki-laki itu, ditunjukkan pada Ameera yang masih bergeming seorang diri di dalam mobil.Terkesiap, Ame
“Tolong bawakan mangkuk di dekat kompor itu, Nduk,” pinta Via kepada sang putri.“Baik, Bu.” Ameera yang berada di dapur, tersenyum melihat mangkuk bening yang dimaksud ibunya, lalu membawanya keluar dapur. “Ini, Bu, mangkuknya,” kata Ameera seraya meletakkan mangkuk berisi tumis kangkung tersebut ke atas meja makan.Mengingat rumah mereka yang tidak terlalu besar, membuat dapur dan ruang makan berada di satu ruangan yang sama. Hanya saja, Via sengaja memberi sedikit jarak untuk memisahkan keduanya, dengan meletakkan sebuah rak kayu dengan tanaman hias di tengah-tengah. Memberikan kesan terpisah namun tetap terhubung.“Alhamdulillah, semuanya sudah siap. Ayo, Ayah, Ameera, Nak Alvan. Kita makan malam bersama-sama,” ajak Via kepada semua ahli keluarga.Ameera segera meraih kursi kosong di depannya. Namun, sebelum mendudukkan dirinya di sana, perhatian perempuan itu teralih pada Alvan yang masih bergeming di tempatnya. Tanpa berpikir panjang, dengan sigap Ameera menarik serta kursi di s
Malam semakin larut. Di kamar, Alvan baru saja keluar dari dalam bilik mandi, setelah sebelumnya melakukan ritual pembersihan diri dari segala kotoran serta debu yang menempel di tubuh. Sosok jangkung itu cukup terkejut, bahkan sempat mengalami kesulitan saat mandi tadi. Pasalnya, kamar mandi di rumah Ameera terbilang sangat kecil tanpa ada bathtub atau shower air, sebagai fasilitas umum yang biasa ia gunakan, sehingga Alvan harus berakhir membuang-buang tenaganya untuk menyiduk air menggunakan gayung sebelum kemudian mengguyurkannya ke seluruh anggota tubuh.“Oh, setidaknya aku sudah merasa jauh lebih segar dari sebelumnya,” monolog laki-laki itu seraya berjalan lurus memasuki kamar tidur. Meski sempat merasa kesal, Alvan memilih meredamnya dan melupakan masalah yang sempat dihadapinya tadi.Derap langkah tenang Alvan, berhasil menarik perhatian Ameera yang sedang duduk di tepi ranjang. “Sudah selesai, Mas?” tanyanya dengan ramah.Menoleh sekilas, Alvan mengangguk singkat. “Hm.” Laki
Keheningan datang menyelimuti. Setelah adegan melepas cadar untuk pertama kalinya di hadapan Alvan, Ameera justru dibuat bingung dengan suaminya yang tidak kunjung memberikan reaksi apa pun. Karena penasaran, akhirnya, Ameera memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, dan menatap lurus ke depan.Ruang di antara kedua alis perempuan itu berkerut tatkala mendapati Alvan yang tengah menatapnya tanpa berkedip. Dengan perasaan bingung, Ameera mencoba memanggil suaminya beberapa kali. “Mas Alvan, Mas?” Ia melambaikan tangannya ke depan, mencoba mengalihkan perhatian Alvan. “Ada apa, Mas? Apa wajahku terlihat aneh?” tanyanya.Alvan yang tersentak, berdeham beberapa kali guna menetralkan kegugupan. Baru saja, dalam keremangan sinar lampu yang temaram, laki-laki itu dibuat terkesima dengan kecantikan wajah Ameera. Manik coklat terang milik perempuan itu, terlihat begitu indah, seperti cahaya bintang di langit malam. Tidak bisa dipungkiri, Alvan merasakan detak jantungnya semakin cepat. Di ma
Kegiatan rapat dengan para petinggi perusahaan sedang berlangsung. Suasana di ruangan yang megah tersebut, terasa semakin panas seiring berjalannya waktu. Alvan yang duduk di ujung meja, terus mengamati setiap gerakan dan ekspresi wajah para peserta rapat. Sementara di seberang laki-laki itu, terdapat Brian yang duduk dengan sikap tenang. Namun, penuh kewaspadaan.“Ini tidak bisa diterima!” Suara berat Brian menggema di ruangan, memecah keheningan yang tegang. “Strategi ini akan membawa kita ke jurang kehancuran. Aku tidak setuju,” tandasnya mengomentari rencana yang baru saja disampaikan oleh Alvan. Sebagai seorang pemimpin yang baru, bagaimana bisa putranya itu tidak sedikit pun merasa ragu ketika memutuskan sesuatu dan mengambil resiko yang tinggi?Di tempatnya, Alvan menatap Brian dengan pandangan penuh kemarahan. Nampaknya, dendam yang terpendam selama bertahun-tahun di antara keduanya cukup menjadi pemicu dari persengketaan ini. “Kita tidak bisa terus-menerus bermain aman, Pa. Pe
Dalam perjalanan pulang, Alvan duduk termangu dalam diam. Memejamkan matanya, kemudian menyandarkan punggung tegapnya pada sandaran kursi, ia mencoba melupakan keresahan yang sedari tadi menghantui hati dan pikirannya. Setelah berhasil memenangkan keputusan di ruang rapat siang tadi, masalah justru datang bersama dengan kekasihnya yang mengetahui kabar mengenai pernikahannya. Bukan hanya itu, Katrine bahkan terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya serta menuntut penjelasan darinya.Tak pelak, apa yang terjadi saat ini, mengingatkan Alvan pada kejadian sepuluh tahun yang lalu. Yakni, saat di mana, Katrine yang masih mengenakan seragam sekolah menengah akhir mendatanginya sambil menangis tersedu-sedu tepat di hari kedua orang tuanya resmi bercerai. Alvan yang merasa prihatin hanya bisa memeluk Katrine dan mencoba menenangkannya. Namun, yang terjadi selanjutnya, Katrine justru menyatakan perasaannya secara tiba-tiba.Sebenarnya, itu bukanlah pertama kalinya gadis itu mengungkapkan pera
Di tengah dentuman musik yang menggema, Alvan duduk di meja bar dengan tatapan kosong. Di sebelahnya, Jay, yang berdiri tegap, memandang dengan cemas. Tuan Mudanya itu, meneguk wiski dengan ekspresi wajah lelah, seolah-olah minuman itu adalah satu-satunya pelarian dari beban hidupnya.“Anda baik-baik saja, Tuan Muda?” tanya Jay dengan khawatir.Tidak membalas, Alvan memilih kembali menuang wiski dari botol ke gelas kaca yang dipegang, lalu meneguknya sekaligus. “Habis?” monolognya, seraya mengangangkat botol di tangannya yang telah kosong, “beri aku satu botol lagi. Tidak, beri aku tiga botol lagi,” pintanya kepada seorang bartender.“Sebaiknya, kita kembali, Tuan Muda. Sepertinya, Anda sudah cukup mabuk.” Jay hendak menghentikan Alvan, dan mengajaknya pergi. Namun, sosok jangkung itu menepis tangan Jay lalu meraih botol wiski yang baru saja di suguhkan di mejanya.Tidak memiliki pilihan, Jay hanya bisa menghela napas pasrah, melihat tuan mudanya yang kembali larut dalam kekalutan. Pri