Ameera berdiri di tengah-tengah keramaian. Hiruk-pikuk ruangan yang seharusnya dipenuhi tawa dan kebahagiaan, kini terasa penuh dengan kesesakan. Belum lagi gaun pengantin indah yang dikenakan terasa berat. Namun, tidak sebanding dengan beban yang menghimpit dada-nya. Di tangannya, terdapat sebuah ponsel, di mana baru saja ia menerima pesan singkat yang berhasil mengubah segalanya.
Uknow
|Maaf, Ameera. Saya Brian, Papa Alex. Baru saja, Alex mengalami kecelakaan. Saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, dia menghembuskan napas terakhirnya.
Perempuan itu menangkup mulutnya penuh kejut. “Inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Alex ....” Ameera kehilangan keseimbangan tubuhnya kalau saja dia tidak dengan cepat berpegangan pada pinggiran meja yang berada di dekatnya.
Ameera merasa separuh dunianya seakan runtuh. Calon suaminya, yang saat ini seharusnya berada di sampingnya, telah terbujur kaku di rumah sakit. Ia mencoba menahan tangis-nya. Namun, tidak mampu. Seketika itu juga, air matanya luruh. Dadanya terasa begitu sesak lantaran kepahitan yang baru saja menimpanya.
“Aku tidak menyangka, kamu akan pergi secepat ini, Alex.” Ameera mengusap air matanya pelan. Semua mimpi dan rencana yang telah ia dan calon suaminya rangkai, hancur dalam sekejap.
Alex, lelaki yang akan menjadi pendampingnya seumur hidup, kini telah berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Rasa sedih dan menyesakkan bagai ombak yang tak henti-hentinya menerjang pantai hati-nya. Di mana, Ameera harus menerima kenyataan pahit bahwa Alex, cinta sejatinya, kini hanya tinggal nama yang terukir di undangan pernikahan yang belum sempat terlaksana.
Digenggamnya bunga mawar putih yang seharusnya diberikan oleh calon suaminya. Bunga itu nampak layu, tidak seindah saat pertama kali ia memilih-nya. Ameera merasa seperti bunga itu, layu dan hancur.
Berjalan menuju jendela, Ameera memandangi langit yang mendung. Rintik hujan turun dengan lembut, seolah-olah alam turut merasakan dukanya. Masih Ameera ingat saat-saat indah bersama Alex, pertemuan pertama mereka di taman kota, tawa bahagia yang tak terhitung jumlahnya, serta janji-janji yang pernah mereka ucapkan satu sama lain.
Bahkan, matahari yang seharusnya menerangi semesta dengan cerah, bersembunyi malu-malu di sebalik gumpalan awan gelap, seakan enggan menyaksikan hari yang seharusnya bersejarah bagi Ameera. Sebuah kabar yang tiba-tiba itu seperti hujan badai yang menghancurkan segalanya, Alex sang calon suami, telah berpulang ke rahmatullah tepat di hari yang seharusnya menjadi saksi bisu dua hati yang bersatu.
Di tengah keheningan yang menyelimuti, David, kakek Alex, mengambil langkah berat menghampiri Ameera. Di sebelah perempuan itu telah berdiri Sulistyo-Via, orang tua angkat Ameera yang sedang berusaha menghibur keponakan mereka yang sedang bersedih. “Yang sabar, ya, Nduk. Ini ujian untuk kamu,” ucap Via seraya mengusap bahu kanan Ameera yang tertutup kain hijab dengan penuh kasih.
“Kami yakin, kamu bisa melewatinya, Ameera,” kata Sulistyo menambahi.
Menghela napas berat, David mengernyitkan kening, seakan tengah memikirkan sesuatu. “Karena acara sudah tersusun seperti ini. Aku pikir, kita harus tetap melaksanakan pernikahan. Kami ingin kamu tetap menjadi bagian dari keluarga kami, Ameera.” Sontak, ucapan pria senja tersebut, membuat semua yang berada di sana terkesiap.
Ameera menatap David dengan mata berkaca-kaca. Apa maksud calon kakek mertuanya itu? Tetap menikah? Bukankah, Alex sudah tiada? Banyak sekali pertanyaan kenapa dan mengapa yang muncul di dalam hati Ameera.
Namun, belum sempat perempuan itu mengungkapkannya, suara berat lain telah lebih dahulu menyahuti, “Apa-apaan ini, Pa? Melanjutkan? Melanjutkan bagaimana maksudmu?” cecar Brian Septihan pada sang papa.
Tidak menanggapi kebingungan Brian, David menatap keluarga di sekitar-nya dengan seksama. “Aku ingin, Alvan menggantikan Alex dan menikahi Ameera,” putus pria paruh senja itu seketika mengejutkan semua orang.
Bak guntur yang menggelegar di siang hari, Ameera merasakan pertempuran emosi berkecamuk. Bagaimana mungkin ia bisa menerima Alvan, sementara bayangan Alex masih begitu kuat menghantui setiap sudut hatinya? Ingin sekali dia berteriak dan menolak keputusan ini. Akan tetapi, Ameera terlalu takut untuk bersuara. Bagimanapun juga, dia hanya-lah seorang gadis biasa yang beruntung bisa menikah dengan keluarga Septihan, keluarga kaya raya, terpandang yang sangat dihormati. Adapun menerima atau tidak, di tengah situasinya saat ini, Ameera tidak memiliki suara untuk memutuskan.
“Aku tidak mau!” tolak seseorang dengan suara lantang.
Menoleh ke arah sumber suara, Ameera terkesima tatkala mendapati seorang pria gagah nan tampan berjalan keluar dari kerumunan. Tampang sosok itu begitu dingin dan keras. Di mana, kedua sorot matanya menghunus dengan sangat tajam, seolah-olah siap menghabisi siapa pun yang berani menghalangi jalannya.
“Dia ... Alvan, Kakak Alex?” pekik Ameera dengan suara tertahan.
David mendesah napas berat. “Kau harus mau, Alvan! Apa kau tidak kasihan melihat keluarga Ameera telah mengeluarkan banyak uang untuk menyiapkan semua ini? Belum lagi, menurut perhitungan Kakek, keluarga kita akan mendapatkan peruntungan. Pokoknya, kamu harus menikah dengan Ameera,” pungkas pria senja itu dengan tegas.
Sulistyo dan Via saling berpandangan bingung. Sementara Brian dan yang lain terlihat pasrah dengan apa yang sedang terjadi di tengah-tengah mereka. Semua bukan soal uang, melainkan tentang harga diri. David tidak ingin, mempermalukan keluarga-nya ataupun keluarga Ameera. Mengingat ada cukup banyak tamu undangan yang telah hadir dan turut menyaksikan moment di sana.
“Maaf, Pa. Tapi, kenapa harus tetap menikah? Kita belum membicarakan hal ini dengan Alvan.” Bianca mencoba berbicara untuk mewakili putra sulung-nya.
“Papa sudah hitung. Tanggal dan bulan lahir Alvan sama Alex sama. Jadi, ini juga bisa menjadi peruntungan bagi kita semua,” papar David yakin.
“Tapi, Pa—“
“Cukup, Bianca. Jangan potong pembicaraanku dengan Alvan. Bagaimana, apa kamu setuju untuk menikah?” tegas David, lalu menatap cucu laki-laki-nya dengan lekat.
Selama ini David dikenal mempercayai ramalan jodoh. Di mana, dalam budaya terutama dalam tradisi masyarakat Jawa, percaya bahwa kecocokan atau nasib kehidupan rumah tangga ditentukan oleh weton kelahiran masing-masing pasangan hidup yang merupakan salah satu primbon yang dianggap penting. Selain mencoba mencocokkan Alex, ia juga sempat mencocokkan peruntungan Alvan, sehingga menikahkan cucunya dengan Ameera bukan-lah suatu masalah.
Sedikit menelengkan kepala-nya ke samping, Alvan menatap kakek-nya datar. “Bagaimana kalau aku menolaknya, Kek?” desis laki-laki itu sedingin mungkin.
“Kau yakin akan menolak, Alvan?” David manggut-manggut kecil. Sementara Brian dan Bianca, saling berpandangan, seolah bertanya-tanya dengan apa yang kelak akan sesepuh di keluarga mereka itu putuskan. “Baiklah, kalau kau menolak, nama-mu akan dicoret dari daftar ahli waris!” tandas pria senja itu telak.
Kedua mata Alvan terbelalak. “Kek! Ini keterlaluan!” Ia tidak terima dengan ancaman sang kakek. Ayolah, selama ini dirinya telah berjuang mati-matian di luar negeri untuk membangun bisnisnya sendiri. Lalu, baru saja dengan mudahnya kakek-nya itu justru mengatakan kendak menghapus-nya dari daftar ahli waris. Yang benar saja!
“Menikah dengan Ameera, atau aku menelpon pengacaraku sekarang juga.” David semakin gencar menekan Alvan. Yang mana, sikap pria itu membuat sang empu menggeram penuh kebencian.
“Astaga, apa kau gila, Kek? Mana mungkin aku mau menikahi gadis yang aku sendiri tidak mengenalinya!” sengit Alvan bersungut-sungut. Selain karena Ameera yang bukan tipenya, Alvan sudah memiliki kekasih di luar negeri.
Brian mengangguk beberapa kali. “Baiklah, kalau kau menikahi Ameera. Aku akan memberikan perusahaan kepadamu.” Laksana seekor kucing yang disodorkan ikan segar, tawaran yang Brian berikan berhasil membuat pertahanan Alvan menjadi goyah.
“Kau tidak sedang main-main dengan ucapan-mu, bukan, Kek?” tanya pria itu dengan kedua mata menyipit penuh menyelidik. Selama ini, Alvan terus mengincar perusahaan keluarga-nya. Menurut-nya, satu-satu-nya orang yang berhak mengendalikan perusahaan tersebut adalah diri-nya. Karena itu, Alvan merasa tergugah ketika David mempertaruhkan satu-satu-nya harta yang paling ia jaga.
“Tentu saja tidak. Selama kau menikah dengan Ameera. Aku menjamin, perusahaan akan berada di bawah kekuasaanmu,” terang Brian dengan santai
Tidak langsung menjawab, Alvan memilih bergeming selama beberapa saat. Sementara di tempatnya, diam-diam Ameera berdo’a dan berharap agar laki-laki itu menolaknya. Namun, nampaknya takdir baik belum berpihak kepadanya, sosok jangkung itu justru mengangguk singkat. “Baiklah. Aku bersedia.”
Sontak, jawaban Alvan tersebut membuat Ameera memejamkan matanya pasrah. Entah kenapa, dia merasa tidak yakin dengan keputusan ini. Namun, dalam tradisi dan budaya yang kuat, keputusan David adalah final. Bagaimanapun juga dia hanyalah seorang yatim-piyatu yang berasal dari panti asuhan dan dibesarkan oleh kedua orang tua angkat-nya. Di mana hal tersebut tidak sebanding dengan kuat dan terhormat-nya keluarga Septihan.
Di tempatnya, Brian nampak tersenyum penuh kepuasan. “Baiklah, kita mulai akad nikahnya sekarang!” putusnya kemudian menyuruh semua orang bersiap-siap untuk segera menyelesaikan pernikahan.
Ameera menatap kembali undangan pernikahan di tangannya. Perasaan sedih dan kecewa mulai menggelayuti relung hatinya. Mau tidak mau, Ameera harus menerima kenyataan bahwa kelak ia akan berjalan menuju singgahsana pelaminan bukan dengan Alex, melainkan dengan Alvan, bayang-bayang yang kini harus ia hadapi sebagai realita hidupnya yang baru. “Semoga ini pilihan terbaik. Pada akhir-nya, takdir bermain dengan penuh kejutan,” gumam gadis itu dengan sorot mata sendu.
Di dalam kamar yang dihiasi dengan pernak-pernik dekorasi yang indah, terdapat seorang wanita muda yang tengah menatap nanar diri-nya dari pantulan cermin rias yang berada di hadapan-nya. Semerbak aroma kelopak bunga yang bertaburan menyeruak di indra penciuman, berhasil memberikan kesan rileks bagi siapa saja yang berada di sana.Kemelut rasa melanda bersama dengan sampainya kabar duka mengenai kecelakan yang menimpa Alex. Perlahan, cairan bening menetes dari kedua sudut mata yang dinaungi bulu-bulu lentik. Bayangan akan kesungguhan Alex dalam melamarnya terus menari-nari di benak Amera. Butuh waktu yang cukup panjang, bagi mereka untuk bisa sampai di tahap ini. Lalu, dalam sekejap semua harapan itu pupus tak bersisa. Sungguh, tidak pernah terbayangkan oleh Ameera bahwa pernikahan indah yang dia impikan harus berakhir bersama dengan duka mendalam. Dalam perjalanan menuju tempat resepsi, sebuah truk besar menabrak mobil yang dikendarai oleh Alex beserta seorang kepercayaannya, Owen. N
Rintik gerimis membasahi bumi pertiwi. Di bawah nungan langit malam yang memayungi alam semesta, terlihat lautan manusia yang datang berbondong-bondong memasuki pemakaman guna mengiringi peristirahatan terakhir Alexander Septihan. Siang tadi, kabar duka datang menimpa keluarga besar David Septihan. Pria berusia sekitar 24 tahun yang seharusnya menikah pada hari ini dan akan memulai hidup bahagia bersama dengan wanita yang dicintainya, kini telah pergi untuk selama-lamanya menuju kepangkuan Yang Maha Kuasa.Banyak yang merasa sedih atas kepergian Alex. Kematian, tidak ada yang tahu kapan ia akan datang menjemput. Kehadiran-nya tiba-tiba tanpa bisa dicegah, kemunculan-nya pun menjadi rahasia di antara ribuan nyawa manusia. Bisa jadi, sekarang kita merasa sehat dan baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu satu-dua detik kedepan, raga telah meregang nyawa menyusul mereka yang terlebih dahulu telah pergi.Sampai pada beberapa saat kemudian, serangkaian proses pemakaman telah selesai dilaksana
“Mas Alvan ke mana, ya? Kok jam segini belum pulang?” Sembari melipat sajadah, Ameera yang baru selesai melakukan ritual shalat malam, bergumam.Sejak pertama kali datang di kediaman baru-nya ini, perempuan itu tidak bisa tenang lantaran terus menunggu kepulangan Alvan. Namun, sampai lewat tengah malam hingga masuk permulaan pagi, suaminya itu masih belum kunjung kembali. Karena tidak tidak juga bisa tidur, Ameera memutuskan untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat dua raka’at dengan tujuan mencari ketenangan diri. Dan terbukti, sekarang dia sudah merasa jauh lebih tenang dari sebelum-nya. “Seperti-nya, Mas Alvan beneran enggak pulang malam ini,” monolog Ameera begitu teringat dengan kata-kata Alvan sebelum pergi tadi.“Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa.”Diletakkan-nya sajadah yang telah dilipat ke atas nakas, pandangan Ameera kemudian teralih pada botol air kosong yang juga berada di atas sana. Tiba-tiba saja, sebuah ide melintas
Dinginnya udara terasa begitu menusuk. Waktu telah menunjukkan pukul 05 pagi, setelah shalat subuh, Ameera berniat keluar kamar. Namun, pandangannya berlabuh pada sosok Alvan yang tengah tertidur di kursi kerja di sudut kamar. Sepulang dari kantor dini hari tadi, ia tidak langsung beristirahat. Alvan kembali berkutaat dengan pekerjaan-nya dan berakhir ketiduran.Menyadari hal tersebut, Ameera menghela napas panjang. Ia meraih selimut tebal yang terlipat rapi di sisi tempat tidur, lalu membawanya menuju tempat di mana suaminya berada. “Kasihan sekali Mas Alvan. Pasti kedinginan ketiduran di situ.” Dibentangkan-nya selimut yang tadi diambil, kemudian digunakan untuk menyelimuti tubuh suaminya, bertujuan menjaganya tetap hangat. “Sebaiknya sekarang aku turun dan membantu membuat sarapan pagi.” Ameera melirik sosok jangkung yang tengah terlelap itu sekilas, sebelum kemudian berjalan keluar kamar menuju dapur.Bagaimanapun juga, ini adalah hari pertamanya menjadi seorang istri. Sebuah peran
Di bawah langit biru yang cerah, Ameera menggantungkan pakaian terakhir yang sebelumnya telah dicuci pada tali jemuran. Sembari mengusap keringat di dahinya, perempuan bercadar itu kemudian membawa atensinya ke sekeliling.Seperti biasa, mansion keluarga Septihan yang luas itu selalu dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitas masing-masing. Lihat saja, betapa lantai marmer di setiap sudut itu nampak berkilau, begitu juga dengan halaman-nya yang bersih tanpa satupun daun yang berserakan.Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih semua tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan para pekerja, melainkan karena merupakan perintah khusus dari Bianca. Mertuanya itu cukup sulit untuk dihadapi. Sosoknya tegas serta memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan tempat tinggal dengan-nya.Ameera tahu betul, untuk mendapatkan sedikit pengakuan
Setelah berganti pakaian, Alvan berjalan menuju sofa panjang. Setelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai, nampak pas membalut tubuh jangkungnya. Sampai di dekat sofa, Alvan hendak berbaring di sana guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mendapati Ameera yang masih terpejam, padahal sudah cukup lama baginya tidak sadarkan diri. Alih-alih memanggilkan doker, ia memilih untuk tidak peduli dan segera berbaring. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun Alvan mencoba untuk tidak menghiraukan, tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.“Masih belum bangun juga.” Kening Alvan berkerut, saat menyadari siklus napas Ameera yang berat. “Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan bernapas. Haruskah aku melepasnya?” Alvan nampak ragu un
Sinar matahari menyelinap masuk, menerangi setiap ruang di kediaman keluarga Septihan. Sekalipun kehangatan menyapa pagi hari. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana dingin di meja makan. Bianca, yang duduk di posisi ujung meja memasang ekspresi masam, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran empuk untuk melampiaskan kekesalan-nya. Sampai pada beberapa saat kemudian, pandangan wanita itu tertuju pada sosok Ameera yang sedang berjalan sedikit tertatih memasuki ruangan.“Melihatmu berjalan seperti itu, hanya akan membuat aku berpikir kalau kamu sedang berpura-pura sakit, Ameera. Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga. Benar-benar akting yang menakjubkan!” cibir Bianca menohok. Sorot matanya yang tajam, seolah siap menguliti Ameera hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-
Ameera berjalan memasuki kamar lalu mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur. Sebelah tangannya tergerak untuk menyeka keringat di keningnya. Baru saja, ia menyelesaikan pekerjaan di mansion, sebagai tugas yang diberikan oleh Bianca. Sekalipun sedikit kelelahan, Ameera merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan semalaman ia telah beristirahat dan meminum obat.Alih-alih membaringkan diri di kasur, pandangan Ameera tanpa sengaja berlabuh pada sebuah handuk kecil yang berada di atas nakas. Senyum tipis terukir di bibir merah muda Ameera begitu teringat dengan Alvan yang telah merawatnya semalam. “Aku masih enggak nyangka, semalam Mas Alvan akan merawatku,” gumamnya pelan.Membahas tentang Alvan, Ameera teringat jika Saat ini, suaminya itu sedang sibuk bekerja dan entah kapan akan kembali. “Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah i
Ameera melangkah keluar dari dapur dengan membawa segelas kopi hitam yang baru saja dibuatnya. Aroma pahit manis yang menguar di udara, memberikan sedikit kehangatan di tengah suasana pagi yang dingin. Di mana hujan yang sejak fajar tadi masih turun, membasahi pekarangan dan tanah di luar sana, menjadikan hari terasa syahdu tanpa panas mentari yang membara. Semalam, Ameera sempat bertanya kepada Jay mengenai minuman apa yang disukai oleh suaminya, dan Jay memberitahu jika Alvan menyukai kopi hitam dengan sedikit tambahan madu. Karena itu, saat ini dia membawa minuman tersebut dan berharap jika segelas kopi buatannya itu dapat menyenangkan hati suaminya.Sesampainya di depan kamar, Ameera menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengeluarkannya secara perlahan, mencoba mengendalikan kegugupan. “Semoga Mas Alvan suka sama kopinya,” gumam perempuan itu dengan suara lirih.Setelah berhasil meyakinkan diri, Ameera menyentuh handle pintu dan membukanya. Seketika itu juga, pandangan matany
Di dalam kamar yang sunyi, Ameera duduk di sofa sudut dengan perasaan resah. Matanya terus memandangi daun pintu yang tertutup rapat, seperti tengah menantikan kemunculan seseorang dari balik sana. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 00.45. Namun, suaminya masih belum juga kembali. Entah kenapa, sejak meninggalkan restoran beberapa jam tadi, dia terus didera kegelisahan, seolah-olah sesuatu yang buruk mungkin saja terjadi.Menoleh ke samping, Ameera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, dan mengeceknya. Raut kecewa seketika menghiasi wajah putihnya begitu mendapati pesan yang dikirim untuk suaminya pada setengah jam lalu, masih belum mendapatkan balasan. Jangankan mendapatkan balasan, bahkan pesan teks tersebut masih menunjukkan centang satu yang berarti pesan berhasil dikirim, tetapi belum diterima oleh penerima.“Masih belum dibuka. Sepertinya, Mas Alvan terlalu sibuk sampai-sampai enggak sempat buka HP,” monolong perempuan itu, mencoba berpikir positif.Membenarkan posi
Lilin di atas meja bergoyang lembut, nyalanya bergerak-gerak mengikuti hembusan angin yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Di tempatnya, Ameera menatap kosong pada hidangan makan malam yang tersaji di hadapannya, masih utuh dan sebagian besar belum tersentuh. Sesekali, suara dentingan halus dari alat makan yang tertata rapi hanya mempertegas kesunyian yang melingkupi ruangan ekslusif di restoran itu.Beberapa saat yang lalu, Alvan mengajaknya untuk makan malam bersama di restoran mewah yang berada di pusat Kota. Bukan hanya itu, Ameera juga sempat merasakan kehangatan serta perhatian suaminya yang jarang sekali ditunjukan kepadanya. Namun, suasana indah tersebut dengan cepat berubah ketika Alvan tiba-tiba pergi meninggalkan Ameera sendirian tanpa penjelasan.“Aku pergi. Ada sesuatu yang harus aku urus. Kamu, kembali-lah ke mansion dan jangan menungguku!” Rasa kecewa dan kehilangan selera makan seketika menyelimuti. Ameera memandangi kursi kosong di seberangnya dengan perasaan be
“Dengan siapa kamu datang ke sini?”“Ada santi yang menemaniku, Mas,” jawab Ameera seraya memasukkan kotak bekal yang telah kosong ke dalam totebag coklat.“Santi?” Satu alis Alvan terangkat tinggi. Seolah-olah bertanya di mana wanita yang ditugaskan sebagai pelayan pribadi Ameera itu berada.“Aah, sekarang Santi sedang menunggu di bawah, Mas.” Ameera menerangkan.Alvan manggut-manggut mengerti. “Begitu rupanya.” Bangkit dari tempat duduk, ia kemudian berjalan mendekati meja kerjanya dan berdiri di sana dengan satu tangan di masukkan ke dalam saku. “Apa jadwal berikutnya, Jay?” Meskipun suara pria itu terkesan rendah. Namun, cukup untuk dapat di dengar oleh Jay yang sedang berdiri di depan pintu ruangan.“Izin memberitahu, Tuan Muda. Untuk jadwal berikutnya, Anda meminta saya untuk mengosongkan. Bukankah Anda hendak ke rumah sakit dan membesuk Tuan Besar?” balas Jay terdengar tenang.Bergeming sejenak, Alvan kemudian menoleh dan menatap lurus ke arah Ameera. “Kau dengar, Ameera? Bersia
Di lantai tertinggi gedung Galaxy Tower, rapat tengah berlangsung. Alvan duduk di sebelah Tuan Abimana, CEO dari Star Grup. Keduanya tengah memandangi layar proyektor yang menampilkan rencana besar mereka—proyek perumahan inovatif yang akan dibangun di jantung kota. Dengan pemandangan skyline kota yang modern sebagai latar belakang, membuat suasana di dalam ruangan itu terasa penuh semangat dan antusiasme.“Harus aku akui, jika kolaborasi ini adalah langkah besar bagi kita, Tuan Alvan. Dengan menggabungkan sumber daya kita, proyek perumahan ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan pasar, tetapi juga mengubah wajah pusat kota,” ucap Tuan Abimana dengan nada penuh keyakinan.Alvan mengangguk setuju, sementara matanya terus menelusuri garis-garis rencana di layar. “Galaxy Grup telah mengumpulkan data demografis dan tren urban terkini. Kita akan memanfaatkan setiap informasi itu untuk menciptakan hunian yang bukan hanya modern, tetapi juga fungsional dan berkelanjutan,” pungkasnya dengan p
Dentingan alat masak terdengar mengiringi Ameera yang tengah berkutat di dapur. Sejak pagi tadi, dia sudah turun dan sibuk mempersiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvan. Kebetulan hari ini, mereka hanya tinggal berdua saja, karena papa dan mama mertuanya sedang tidak berada di mansion lantaran harus menjaga kakek David di rumah sakit. Sehingga, tidak mengherankan jika hunian yang besar itu terasa lebih sepi dari biasanya.Aroma harum yang khas dari nasi goreng, menguar di udara, membuat siapa saja yang menciumnya merasa tergugah oleh selera. Dari banyaknya bahan yang ada, Ameera memilih nasi goreng sebagai menu pagi mereka. Seperti saat ini, ia terus mengaduk nasi di penggorengan dengan ritme yang teratur, memastikan semua bumbu meresap sempurna.Untuk sentuhan akhir, Ameera menambahkan kecap manis dan sejumput garam, lalu mengaduk nasi goreng sekali lagi hingga semua bumbu benar-benar tercampur merata. Ameera mencicipi sedikit dengan ujung spatula. Senyum tipis terbit di wajahnya ket
Ameera melangkah keluar dari kamar mandi dengan aroma segar yang masih melekat di tubuhnya. Sembari membenarkan jarum pentul pada hijab yang dikenakan, ia tercenung melihat Alvan yang masih berada di kamar mereka, seolah sedang menunggunya. ‘Mas Alvan?’ Tidak ingin terlalu percaya diri, Ameera memilih berjalan menuju kasur lalu mendudukkan dirinya di sana dengan gugup. Jujur saja, dia merasa cukup lelah dan ingin segera beristirahat.Menyadari Ameera yang telah selesai, Alvan melangkah mendekat. Di tangannya, ia membawa segelas susu hangat yang mengepul lembut. "Ini, minumlah.” Ameera terkesima saat sosok jangkung itu mengulurkan gelas susu kepadanya. "Susu hangat bisa membuat tubuhmu menjadi lebih rileks,” ujarnya dengan suara datar.Tertegun sejenak, Ameera kemudian menerima gelas susu itu. “Terima kasih, Mas,” ucap perempuan itu yang dibalas anggukkan kecil oleh Alvan. “Hm.”Sedikit menggeser tubuhnya, Ameera mulai meneguk susu di tangannya secara perlahan, merasakan kehangatan yang
Malam itu, langit tampak muram, diselimuti oleh awan mendung yang bergelayut rendah, seolah-olah menutupi dunia dari kehangatan dan kenyamanan malam yang biasa. Bulan menggantung di sana dengan cahayanya yang suram, terhalang oleh lapisan kelabu awan yang bergerak lambat melintasi angkasa. Kilau bintang-bintang tampak redup, seperti berusaha bersinar. Namun, tak mampu menembus kegelapan malam yang mendominasi.Ameera memasuki kamar dengan perasaan lelah usai melewati hari yang panjang. Setelah menutup pintu dengan gerakan berhati-hati, ia terkejut saat mendapati Alvan yang sudah duduk tenang di kursi dekat jendela. Cahaya bulan yang temaram yang menerobos masuk, sedikit menerangi wajahnya yang tampak berpikir dalam, seolah sedang merenungkan sesuatu penting yang tidak terungkapkan.Rasa gugup seketika menyelimuti hati Ameera. Dia berjalan ke tengah ruangan, dan berhenti beberapa langkah di depan Alvan. Di mana, jarang sekali suaminya itu pulang lebih awal seperti ini. Sehingga, kehadi
Dari arah jarum jam 12, Alvan yang baru saja tiba, melangkah tegas memasuki mansion. Saat dalam perjalanan kembali tadi, Jay memberitahunya jika Bianca, sang mama telah menunggu-nunggu kepulangannya untuk membicarakan sesuatu. Entah apa itu, Alvan sendiri tidak peduli. Dia hanya kebetulan datang untuk mengambil sesuatu dan akan kembali pergi.Sesampainya di ruang tamu, Alvan menghentikan langkahnya. Dia mengangguk singkat pada Bianca yang tengah duduk di sofa dengan wajah tegang. “Aku dengar, kau hendak berbicara denganku,” pungkasnya sedingin mungkin.Sedikit membenarkan posisi duduknya, Bianca menatap putranya dengan sorot mata yang tajam. “Kau lihat ini, Son.” Wanita paruh baya itu mengulurkan ponsel dan memperlihatkannya kepada Alvan.Melirik ke arah ponsel, Alvan cukup terkejut saat mendapati laman berita di salah satu jejaring sosial terpampang di layar. Meski begitu, dengan cepat laki-laki itu mengendalikan ekspresinya dan kembali bersikap dingin seperti biasa. “Ada apa dengan