Ameera berdiri di tengah-tengah keramaian. Hiruk-pikuk ruangan yang seharusnya dipenuhi tawa dan kebahagiaan, kini terasa penuh dengan kesesakan. Belum lagi gaun pengantin indah yang dikenakan terasa berat. Namun, tidak sebanding dengan beban yang menghimpit dada-nya. Di tangannya, terdapat sebuah ponsel, di mana baru saja ia menerima pesan singkat yang berhasil mengubah segalanya.
Uknow
|Maaf, Ameera. Saya Brian, Papa Alex. Baru saja, Alex mengalami kecelakaan. Saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, dia menghembuskan napas terakhirnya.
Perempuan itu menangkup mulutnya penuh kejut. “Inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Alex ....” Ameera kehilangan keseimbangan tubuhnya kalau saja dia tidak dengan cepat berpegangan pada pinggiran meja yang berada di dekatnya.
Ameera merasa separuh dunianya seakan runtuh. Calon suaminya, yang saat ini seharusnya berada di sampingnya, telah terbujur kaku di rumah sakit. Ia mencoba menahan tangis-nya. Namun, tidak mampu. Seketika itu juga, air matanya luruh. Dadanya terasa begitu sesak lantaran kepahitan yang baru saja menimpanya.
“Aku tidak menyangka, kamu akan pergi secepat ini, Alex.” Ameera mengusap air matanya pelan. Semua mimpi dan rencana yang telah ia dan calon suaminya rangkai, hancur dalam sekejap.
Alex, lelaki yang akan menjadi pendampingnya seumur hidup, kini telah berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Rasa sedih dan menyesakkan bagai ombak yang tak henti-hentinya menerjang pantai hati-nya. Di mana, Ameera harus menerima kenyataan pahit bahwa Alex, cinta sejatinya, kini hanya tinggal nama yang terukir di undangan pernikahan yang belum sempat terlaksana.
Digenggamnya bunga mawar putih yang seharusnya diberikan oleh calon suaminya. Bunga itu nampak layu, tidak seindah saat pertama kali ia memilih-nya. Ameera merasa seperti bunga itu, layu dan hancur.
Berjalan menuju jendela, Ameera memandangi langit yang mendung. Rintik hujan turun dengan lembut, seolah-olah alam turut merasakan dukanya. Masih Ameera ingat saat-saat indah bersama Alex, pertemuan pertama mereka di taman kota, tawa bahagia yang tak terhitung jumlahnya, serta janji-janji yang pernah mereka ucapkan satu sama lain.
Bahkan, matahari yang seharusnya menerangi semesta dengan cerah, bersembunyi malu-malu di sebalik gumpalan awan gelap, seakan enggan menyaksikan hari yang seharusnya bersejarah bagi Ameera. Sebuah kabar yang tiba-tiba itu seperti hujan badai yang menghancurkan segalanya, Alex sang calon suami, telah berpulang ke rahmatullah tepat di hari yang seharusnya menjadi saksi bisu dua hati yang bersatu.
Di tengah keheningan yang menyelimuti, David, kakek Alex, mengambil langkah berat menghampiri Ameera. Di sebelah perempuan itu telah berdiri Sulistyo-Via, orang tua angkat Ameera yang sedang berusaha menghibur keponakan mereka yang sedang bersedih. “Yang sabar, ya, Nduk. Ini ujian untuk kamu,” ucap Via seraya mengusap bahu kanan Ameera yang tertutup kain hijab dengan penuh kasih.
“Kami yakin, kamu bisa melewatinya, Ameera,” kata Sulistyo menambahi.
Menghela napas berat, David mengernyitkan kening, seakan tengah memikirkan sesuatu. “Karena acara sudah tersusun seperti ini. Aku pikir, kita harus tetap melaksanakan pernikahan. Kami ingin kamu tetap menjadi bagian dari keluarga kami, Ameera.” Sontak, ucapan pria senja tersebut, membuat semua yang berada di sana terkesiap.
Ameera menatap David dengan mata berkaca-kaca. Apa maksud calon kakek mertuanya itu? Tetap menikah? Bukankah, Alex sudah tiada? Banyak sekali pertanyaan kenapa dan mengapa yang muncul di dalam hati Ameera.
Namun, belum sempat perempuan itu mengungkapkannya, suara berat lain telah lebih dahulu menyahuti, “Apa-apaan ini, Pa? Melanjutkan? Melanjutkan bagaimana maksudmu?” cecar Brian Septihan pada sang papa.
Tidak menanggapi kebingungan Brian, David menatap keluarga di sekitar-nya dengan seksama. “Aku ingin, Alvan menggantikan Alex dan menikahi Ameera,” putus pria paruh senja itu seketika mengejutkan semua orang.
Bak guntur yang menggelegar di siang hari, Ameera merasakan pertempuran emosi berkecamuk. Bagaimana mungkin ia bisa menerima Alvan, sementara bayangan Alex masih begitu kuat menghantui setiap sudut hatinya? Ingin sekali dia berteriak dan menolak keputusan ini. Akan tetapi, Ameera terlalu takut untuk bersuara. Bagimanapun juga, dia hanya-lah seorang gadis biasa yang beruntung bisa menikah dengan keluarga Septihan, keluarga kaya raya, terpandang yang sangat dihormati. Adapun menerima atau tidak, di tengah situasinya saat ini, Ameera tidak memiliki suara untuk memutuskan.
“Aku tidak mau!” tolak seseorang dengan suara lantang.
Menoleh ke arah sumber suara, Ameera terkesima tatkala mendapati seorang pria gagah nan tampan berjalan keluar dari kerumunan. Tampang sosok itu begitu dingin dan keras. Di mana, kedua sorot matanya menghunus dengan sangat tajam, seolah-olah siap menghabisi siapa pun yang berani menghalangi jalannya.
“Dia ... Alvan, Kakak Alex?” pekik Ameera dengan suara tertahan.
David mendesah napas berat. “Kau harus mau, Alvan! Apa kau tidak kasihan melihat keluarga Ameera telah mengeluarkan banyak uang untuk menyiapkan semua ini? Belum lagi, menurut perhitungan Kakek, keluarga kita akan mendapatkan peruntungan. Pokoknya, kamu harus menikah dengan Ameera,” pungkas pria senja itu dengan tegas.
Sulistyo dan Via saling berpandangan bingung. Sementara Brian dan yang lain terlihat pasrah dengan apa yang sedang terjadi di tengah-tengah mereka. Semua bukan soal uang, melainkan tentang harga diri. David tidak ingin, mempermalukan keluarga-nya ataupun keluarga Ameera. Mengingat ada cukup banyak tamu undangan yang telah hadir dan turut menyaksikan moment di sana.
“Maaf, Pa. Tapi, kenapa harus tetap menikah? Kita belum membicarakan hal ini dengan Alvan.” Bianca mencoba berbicara untuk mewakili putra sulung-nya.
“Papa sudah hitung. Tanggal dan bulan lahir Alvan sama Alex sama. Jadi, ini juga bisa menjadi peruntungan bagi kita semua,” papar David yakin.
“Tapi, Pa—“
“Cukup, Bianca. Jangan potong pembicaraanku dengan Alvan. Bagaimana, apa kamu setuju untuk menikah?” tegas David, lalu menatap cucu laki-laki-nya dengan lekat.
Selama ini David dikenal mempercayai ramalan jodoh. Di mana, dalam budaya terutama dalam tradisi masyarakat Jawa, percaya bahwa kecocokan atau nasib kehidupan rumah tangga ditentukan oleh weton kelahiran masing-masing pasangan hidup yang merupakan salah satu primbon yang dianggap penting. Selain mencoba mencocokkan Alex, ia juga sempat mencocokkan peruntungan Alvan, sehingga menikahkan cucunya dengan Ameera bukan-lah suatu masalah.
Sedikit menelengkan kepala-nya ke samping, Alvan menatap kakek-nya datar. “Bagaimana kalau aku menolaknya, Kek?” desis laki-laki itu sedingin mungkin.
“Kau yakin akan menolak, Alvan?” David manggut-manggut kecil. Sementara Brian dan Bianca, saling berpandangan, seolah bertanya-tanya dengan apa yang kelak akan sesepuh di keluarga mereka itu putuskan. “Baiklah, kalau kau menolak, nama-mu akan dicoret dari daftar ahli waris!” tandas pria senja itu telak.
Kedua mata Alvan terbelalak. “Kek! Ini keterlaluan!” Ia tidak terima dengan ancaman sang kakek. Ayolah, selama ini dirinya telah berjuang mati-matian di luar negeri untuk membangun bisnisnya sendiri. Lalu, baru saja dengan mudahnya kakek-nya itu justru mengatakan kendak menghapus-nya dari daftar ahli waris. Yang benar saja!
“Menikah dengan Ameera, atau aku menelpon pengacaraku sekarang juga.” David semakin gencar menekan Alvan. Yang mana, sikap pria itu membuat sang empu menggeram penuh kebencian.
“Astaga, apa kau gila, Kek? Mana mungkin aku mau menikahi gadis yang aku sendiri tidak mengenalinya!” sengit Alvan bersungut-sungut. Selain karena Ameera yang bukan tipenya, Alvan sudah memiliki kekasih di luar negeri.
Brian mengangguk beberapa kali. “Baiklah, kalau kau menikahi Ameera. Aku akan memberikan perusahaan kepadamu.” Laksana seekor kucing yang disodorkan ikan segar, tawaran yang Brian berikan berhasil membuat pertahanan Alvan menjadi goyah.
“Kau tidak sedang main-main dengan ucapan-mu, bukan, Kek?” tanya pria itu dengan kedua mata menyipit penuh menyelidik. Selama ini, Alvan terus mengincar perusahaan keluarga-nya. Menurut-nya, satu-satu-nya orang yang berhak mengendalikan perusahaan tersebut adalah diri-nya. Karena itu, Alvan merasa tergugah ketika David mempertaruhkan satu-satu-nya harta yang paling ia jaga.
“Tentu saja tidak. Selama kau menikah dengan Ameera. Aku menjamin, perusahaan akan berada di bawah kekuasaanmu,” terang Brian dengan santai
Tidak langsung menjawab, Alvan memilih bergeming selama beberapa saat. Sementara di tempatnya, diam-diam Ameera berdo’a dan berharap agar laki-laki itu menolaknya. Namun, nampaknya takdir baik belum berpihak kepadanya, sosok jangkung itu justru mengangguk singkat. “Baiklah. Aku bersedia.”
Sontak, jawaban Alvan tersebut membuat Ameera memejamkan matanya pasrah. Entah kenapa, dia merasa tidak yakin dengan keputusan ini. Namun, dalam tradisi dan budaya yang kuat, keputusan David adalah final. Bagaimanapun juga dia hanyalah seorang yatim-piyatu yang berasal dari panti asuhan dan dibesarkan oleh kedua orang tua angkat-nya. Di mana hal tersebut tidak sebanding dengan kuat dan terhormat-nya keluarga Septihan.
Di tempatnya, Brian nampak tersenyum penuh kepuasan. “Baiklah, kita mulai akad nikahnya sekarang!” putusnya kemudian menyuruh semua orang bersiap-siap untuk segera menyelesaikan pernikahan.
Ameera menatap kembali undangan pernikahan di tangannya. Perasaan sedih dan kecewa mulai menggelayuti relung hatinya. Mau tidak mau, Ameera harus menerima kenyataan bahwa kelak ia akan berjalan menuju singgahsana pelaminan bukan dengan Alex, melainkan dengan Alvan, bayang-bayang yang kini harus ia hadapi sebagai realita hidupnya yang baru. “Semoga ini pilihan terbaik. Pada akhir-nya, takdir bermain dengan penuh kejutan,” gumam gadis itu dengan sorot mata sendu.
Di dalam kamar yang dihiasi dengan pernak-pernik dekorasi yang indah, terdapat seorang wanita muda yang tengah menatap nanar diri-nya dari pantulan cermin rias yang berada di hadapan-nya. Semerbak aroma kelopak bunga yang bertaburan menyeruak di indra penciuman, berhasil memberikan kesan rileks bagi siapa saja yang berada di sana.Kemelut rasa melanda bersama dengan sampainya kabar duka mengenai kecelakan yang menimpa Alex. Perlahan, cairan bening menetes dari kedua sudut mata yang dinaungi bulu-bulu lentik. Bayangan akan kesungguhan Alex dalam melamarnya terus menari-nari di benak Amera. Butuh waktu yang cukup panjang, bagi mereka untuk bisa sampai di tahap ini. Lalu, dalam sekejap semua harapan itu pupus tak bersisa. Sungguh, tidak pernah terbayangkan oleh Ameera bahwa pernikahan indah yang dia impikan harus berakhir bersama dengan duka mendalam. Dalam perjalanan menuju tempat resepsi, sebuah truk besar menabrak mobil yang dikendarai oleh Alex beserta seorang kepercayaannya, Owen. N
Rintik gerimis membasahi bumi pertiwi. Di bawah nungan langit malam yang memayungi alam semesta, terlihat lautan manusia yang datang berbondong-bondong memasuki pemakaman guna mengiringi peristirahatan terakhir Alexander Septihan. Siang tadi, kabar duka datang menimpa keluarga besar David Septihan. Pria berusia sekitar 24 tahun yang seharusnya menikah pada hari ini dan akan memulai hidup bahagia bersama dengan wanita yang dicintainya, kini telah pergi untuk selama-lamanya menuju kepangkuan Yang Maha Kuasa.Banyak yang merasa sedih atas kepergian Alex. Kematian, tidak ada yang tahu kapan ia akan datang menjemput. Kehadiran-nya tiba-tiba tanpa bisa dicegah, kemunculan-nya pun menjadi rahasia di antara ribuan nyawa manusia. Bisa jadi, sekarang kita merasa sehat dan baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu satu-dua detik kedepan, raga telah meregang nyawa menyusul mereka yang terlebih dahulu telah pergi.Sampai pada beberapa saat kemudian, serangkaian proses pemakaman telah selesai dilaksana
“Mas Alvan ke mana, ya? Kok jam segini belum pulang?” Sembari melipat sajadah, Ameera yang baru selesai melakukan ritual shalat malam, bergumam.Sejak pertama kali datang di kediaman baru-nya ini, perempuan itu tidak bisa tenang lantaran terus menunggu kepulangan Alvan. Namun, sampai lewat tengah malam hingga masuk permulaan pagi, suaminya itu masih belum kunjung kembali. Karena tidak tidak juga bisa tidur, Ameera memutuskan untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat dua raka’at dengan tujuan mencari ketenangan diri. Dan terbukti, sekarang dia sudah merasa jauh lebih tenang dari sebelum-nya. “Seperti-nya, Mas Alvan beneran enggak pulang malam ini,” monolog Ameera begitu teringat dengan kata-kata Alvan sebelum pergi tadi.“Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa.”Diletakkan-nya sajadah yang telah dilipat ke atas nakas, pandangan Ameera kemudian teralih pada botol air kosong yang juga berada di atas sana. Tiba-tiba saja, sebuah ide melintas
Dinginnya udara terasa begitu menusuk. Waktu telah menunjukkan pukul 05 pagi, setelah shalat subuh, Ameera berniat keluar kamar. Namun, pandangannya berlabuh pada sosok Alvan yang tengah tertidur di kursi kerja di sudut kamar. Sepulang dari kantor dini hari tadi, ia tidak langsung beristirahat. Alvan kembali berkutaat dengan pekerjaan-nya dan berakhir ketiduran.Menyadari hal tersebut, Ameera menghela napas panjang. Ia meraih selimut tebal yang terlipat rapi di sisi tempat tidur, lalu membawanya menuju tempat di mana suaminya berada. “Kasihan sekali Mas Alvan. Pasti kedinginan ketiduran di situ.” Dibentangkan-nya selimut yang tadi diambil, kemudian digunakan untuk menyelimuti tubuh suaminya, bertujuan menjaganya tetap hangat. “Sebaiknya sekarang aku turun dan membantu membuat sarapan pagi.” Ameera melirik sosok jangkung yang tengah terlelap itu sekilas, sebelum kemudian berjalan keluar kamar menuju dapur.Bagaimanapun juga, ini adalah hari pertamanya menjadi seorang istri. Sebuah peran
Di bawah langit biru yang cerah, Ameera menggantungkan pakaian terakhir yang sebelumnya telah dicuci pada tali jemuran. Sembari mengusap keringat di dahinya, perempuan bercadar itu kemudian membawa atensinya ke sekeliling.Seperti biasa, mansion keluarga Septihan yang luas itu selalu dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitas masing-masing. Lihat saja, betapa lantai marmer di setiap sudut itu nampak berkilau, begitu juga dengan halaman-nya yang bersih tanpa satupun daun yang berserakan.Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih semua tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan para pekerja, melainkan karena merupakan perintah khusus dari Bianca. Mertuanya itu cukup sulit untuk dihadapi. Sosoknya tegas serta memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan tempat tinggal dengan-nya.Ameera tahu betul, untuk mendapatkan sedikit pengakuan
Setelah berganti pakaian, Alvan berjalan menuju sofa panjang. Setelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai, nampak pas membalut tubuh jangkungnya. Sampai di dekat sofa, Alvan hendak berbaring di sana guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mendapati Ameera yang masih terpejam, padahal sudah cukup lama baginya tidak sadarkan diri. Alih-alih memanggilkan doker, ia memilih untuk tidak peduli dan segera berbaring. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun Alvan mencoba untuk tidak menghiraukan, tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.“Masih belum bangun juga.” Kening Alvan berkerut, saat menyadari siklus napas Ameera yang berat. “Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan bernapas. Haruskah aku melepasnya?” Alvan nampak ragu un
Sinar matahari menyelinap masuk, menerangi setiap ruang di kediaman keluarga Septihan. Sekalipun kehangatan menyapa pagi hari. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana dingin di meja makan. Bianca, yang duduk di posisi ujung meja memasang ekspresi masam, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran empuk untuk melampiaskan kekesalan-nya. Sampai pada beberapa saat kemudian, pandangan wanita itu tertuju pada sosok Ameera yang sedang berjalan sedikit tertatih memasuki ruangan.“Melihatmu berjalan seperti itu, hanya akan membuat aku berpikir kalau kamu sedang berpura-pura sakit, Ameera. Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga. Benar-benar akting yang menakjubkan!” cibir Bianca menohok. Sorot matanya yang tajam, seolah siap menguliti Ameera hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-
Ameera berjalan memasuki kamar lalu mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur. Sebelah tangannya tergerak untuk menyeka keringat di keningnya. Baru saja, ia menyelesaikan pekerjaan di mansion, sebagai tugas yang diberikan oleh Bianca. Sekalipun sedikit kelelahan, Ameera merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan semalaman ia telah beristirahat dan meminum obat.Alih-alih membaringkan diri di kasur, pandangan Ameera tanpa sengaja berlabuh pada sebuah handuk kecil yang berada di atas nakas. Senyum tipis terukir di bibir merah muda Ameera begitu teringat dengan Alvan yang telah merawatnya semalam. “Aku masih enggak nyangka, semalam Mas Alvan akan merawatku,” gumamnya pelan.Membahas tentang Alvan, Ameera teringat jika Saat ini, suaminya itu sedang sibuk bekerja dan entah kapan akan kembali. “Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah i
Gelapnya malam menyelimuti, menyisakan samar-samar sinar rembulan yang menembus tirai jendela dan menerangi wajah Ameera yang terlelap tenang dalam tidur. Di antara keheningan yang ada, Alvan duduk di tepi ranjang, mengamati perempuan di pembaringan dengan tatapan lembut. Selepas menghadiri rapat dan menyelesaikan urusan pentingnya, Alvan memutuskan untuk kembali ke mansion. Bukan tanpa sebab, di tengah persitegangan yang terjadi siang tadi, diam-diam Alvan terkejut saat tanpa sengaja melihat tangan Ameera yang terluka. Namun, karena situasi saat itu cukup panas, Alvan memilih menahan egonya dan bersikap seolah-olah tidak peduli. Dan, sekarang, dia datang untuk memastikan keadaan perempuan itu.“Terluka sampai seperti ini, dan dia sama sekali tidak mengadukan-nya padaku.” Alvan menatap garis luka di tangan Ameera dengan sedikit ngilu. Rasa bersalah dan khawatir, seketika merayapi relung hatinya, membuat Alvan semakin terpukul. Bagaimana bisa, perempuan itu menanggung semua penderitaan
Ameera berdiri di tengah ruangan dengan tubuh gemetar. Kening putihnya berkerut, kedua tangan kecilnya meremas erat ujung gamis yang dikenakan, sementara air matanya mulai menggenang di pelupuk mata, menantikan nasib buruk yang sebentar lagi mungkin akan menimpanya. Saat ini, tepat di hadapan-nya, Bianca tengah menatapnya dengan sorot mata penuh amarah.Tidak sendirian, di sekeliling mereka juga terdapat para pelayan yang berdiri dengan kepala menunduk, seolah enggan terlibat dalam persitegangan ini. Namun, sangat disayangkan, tidak satupun dari mereka yang berani menolak perintah Bianca untuk ikut serta dalam menyidang. Semua ini bermula ketika Ameera tanpa sengaja menemukan sebuah miniatur milik Alex saat sedang merapikan ruang penyimpanan di belakang mansion. Bianca yang kebetulan lewat, terkejut dan langsung murka begitu melihat barang milik mediang putranya berada di tangan Ameera. “Kamu tahu apa kesalahanmu, Ameera?” tanya wanita paruh baya itu penuh intimidasi.“Maaf, Ma. Amee
“Daddy bilang, kamu juga setuju untuk menikah denganku. Bukankah itu artinya, kamu berhak atas keputusan dan masa depanku?” ..Setelah sempat terdiam beberapa saat, Alvan melepaskan pelukan Katrine dari tubuhnya. “Maaf, Katrine. Setelah ini, aku ada pertemuan penting. Aku harus pergi.” Bangkit dari tempat duduk, sosok jangkung itu membenarkan sedikit kemeja biru terang yang dikenakan sebelum kemudian berbalik dan beranjak pergi.“Kamu pergi begitu saja?” Pertanyaan Katrine tersebut berhasil menghentikan pergerakan Alvan. “Aku baru sampai dan kamu sudah mau ninggalin aku,” lanjut wanita itu mengiba.Memasuk-kan kedua telapak tangan-nya ke dalam saku celana, Alvan sedikit menelengkan kepalanya ke samping. “Kerjasama Galaxy Grup dengan Star Grup telah berjalan. Banyak hal yang harus dipersiapkan,” terangnya menjelaskan.“Benarkah? Kamu bukan sedang menghindariku?” Katrine menatap Alvan lekat-lekat, seolah tidak percaya dengan alasan yang pria itu buat.Tidak langsung menanggapi, Alvan t
Ameera melangkah keluar dari dapur dengan membawa segelas kopi hitam yang baru saja dibuatnya menggunakan mesin pengekstrak. Aroma pahit yang menguar di udara, memberikan sedikit kehangatan di tengah suasana pagi yang dingin. Di mana hujan yang sejak fajar tadi masih turun, membasahi pekarangan dan tanah di luar sana, menjadikan hari terasa syahdu tanpa panas mentari yang membara. Semalam, Ameera sempat bertanya kepada Jay mengenai minuman apa yang disukai oleh suaminya, dan Jay memberitahu jika Alvan menyukai kopi hitam pekat dengan aroma khas yang kuat. Karena itu, saat ini dia membawa minuman tersebut dan berharap jika segelas kopi buatan-nya itu dapat menyenangkan hati suaminya.Sesampainya di depan kamar, Ameera menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengeluarkan-nya secara perlahan. Mencoba mengendalikan kegugupan. “Semoga Mas Alvan suka sama kopinya,” gumam perempuan itu dengan suara lirih.Setelah berhasil meyakinkan diri, Ameera menyentuh handle pintu dan membukanya. Seket
Di dalam kamar yang sunyi, Ameera duduk di sofa sudut dengan perasaan resah. Matanya terus memandangi daun pintu yang tertutup rapat, seperti tengah menantikan kemunculan seseorang dari balik sana. Jam di dinding sudah menunjuk-kan pukul 01.45 dini hari. Namun, suaminya masih belum juga kembali. Entah apa yang terjadi, sejak meninggalkan restoran beberapa jam lalu, dia terus didera kegelisahan, seolah-olah tanpa ia sadari sesuatu yang buruk telah terjadi.Menoleh ke samping, Ameera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, dan mengeceknya. Raut kecewa seketika menghiasi wajah putihnya begitu mendapati pesan yang dikirim untuk suaminya pada setengah jam lalu masih belum mendapatkan balasan. Jangankan mendapat balasan, bahkan pesan teks tersebut masih menunjuk-kan centang satu yang berarti pesan berhasil dikirim, tetapi belum diterima oleh penerima.“Masih belum dibuka. Sepertinya, Mas Alvan terlalu sibuk sampai-sampai enggak sempat ngecek HP,” monolong perempuan itu, mencoba berpik
Lilin di atas meja bergoyang lembut mengikuti hembusan angin yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Di tempatnya, Ameera menatap kosong hidangan makan malam yang tersaji di atas meja, masih utuh dan sebagian besar belum tersentuh. Sesekali, suara dentingan halus dari alat makan yang tertata rapi terdengar, mempertegas kesunyian yang melingkupi ruangan ekslusif di restoran Bintang lima tersebut.Beberapa saat yang lalu, Alvan mengajak Ameera untuk makan malam bersama di sebuah restoran mewah yang berada di pusat Kota. Bukan hanya itu, Ameera juga sempat merasakan kehangatan serta perhatian dari suaminya yang jarang sekali ditunjukan kepadanya. Namun, sangat disayangkan, suasana indah tersebut dengan cepat berubah ketika Alvan tiba-tiba pergi meninggalkan Ameera setelah menerima telpon sendirian tanpa penjelasan.“Aku pergi. Ada sesuatu yang harus aku urus. Kamu, kembali-lah ke mansion dan jangan menungguku!” Mendadak, Ameera kehilangan selera makan. Ia memandangi kursi kosong di seb
“Dengan siapa kamu datang ke sini?” tanya Alvan setelah menutup sambungan panggilan telpon miliknya.“Ada santi yang menemaniku, Mas,” jawab Ameera seraya memasuk-kan kotak bekal yang telah kosong ke dalam totebag coklat.“Santi?” Satu alis Alvan terangkat tinggi. Seolah-olah bertanya di mana wanita yang ditugaskan sebagai pelayan pribadi Ameera itu berada.“Aah, sekarang Santi sedang menunggu di bawah, Mas,” terang Ameera memberitahu.Alvan manggut-manggut mengerti. “Begitu rupanya.” Bangkit dari tempat duduk, sosok jangkung itu kemudian berjalan mendekati meja kerjanya dan berdiri di sana dengan satu tangan di masuk-kan ke dalam saku celana. “Apa jadwal berikutnya, Jay?” Meskipun suara pria itu terkesan rendah. Namun, cukup untuk dapat di dengar oleh Jay yang sedang berdiri di depan pintu ruangan.“Izinkan saya memberitahu, Tuan Muda. Untuk jadwal berikutnya, Anda meminta saya mengosongkan-nya. Bukankah Anda hendak ke rumah sakit dan membesuk Tuan Besar?” balas Jay terdengar tenang.
Di lantai tertinggi gedung Galaxy Tower, rapat tengah berlangsung. Alvan duduk di sebelah Tuan Abimana, CEO dari Star Grup. Keduanya tengah memandangi layar proyektor yang menampilkan rencana besar mereka—proyek perumahan inovatif yang akan dibangun di jantung kota. Dengan pemandangan skyline kota yang modern sebagai latar belakang, membuat suasana di dalam ruangan itu terasa penuh semangat dan antusiasme.“Harus aku akui, jika kolaborasi ini adalah langkah besar bagi kita, Tuan Alvan. Dengan menggabungkan sumber daya kita, proyek perumahan ini tidak hanya akan memenuhi kebutuhan pasar saja, tetapi juga mengubah wajah pusat kota,” ucap Tuan Abimana dengan nada penuh keyakinan.Alvan mengangguk setuju, sementara matanya terus menelusuri garis-garis rencana di layar. “Galaxy Grup telah mengumpulkan data demografis dan tren urban terkini. Kita akan memanfaatkan setiap informasi itu untuk menciptakan hunian yang bukan hanya modern, tetapi juga fungsional dan berkelanjutan,” pungkasnya deng
Dentingan alat masak terdengar mengiringi Ameera yang tengah berkutat di dapur. Sejak pagi-pagi sekali, ia sudah turun dan sibuk mempersiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvan. Kebetulan hari ini, mereka hanya tinggal berdua saja, karena papa dan mama mertuanya sedang menjaga kakek David di rumah sakit. Sehingga, tidak mengherankan jika hunian yang besar itu terasa lebih sepi dari biasanya.Aroma harum yang khas dari nasi goreng, menguar di udara, membuat siapa saja yang menciumnya akan tergugah oleh selera. Dari banyaknya bahan persediaan yang ada, Ameera memilih nasi goreng sebagai menu pagi mereka. Seperti saat ini, ia terus mengaduk nasi di penggorengan dengan ritme yang teratur, memastikan semua bumbu meresap sempurna.Untuk sentuhan akhir, Ameera menambahkan kecap manis dan sejumput garam, lalu mengaduk nasi goreng sekali lagi hingga semua bumbu benar-benar tercampur merata. Ameera mencicipi sedikit dengan ujung spatula. Senyum tipis terbit di wajahnya ketika mendapati nasi goreng