"Nomor tidak dikenal?" Selena mendatangi ponselnya yang sejak tadi bergetar, dia baru sempat melihatnya karena baru saja melepas masker lengket yang menutupi wajahnya.
Jemarinya masih tertahan di udara, membaca satu persatu deretan angka yang sudah belasan kali memenuhi daftar panggilan tidak terjawab, Betapa terkejutnya Selena setelah memencet tombol hijau lalu terdengar suara familiar di balik panggilan."O-orang itu, bagaimana bisa?" Selena masih shock melihat ponselnya dari kejauhan yang sekarang mendarat bebas di atas lantai tanpa peduli barang baru itu retak atau tidak.Padahal ponselnya yang kemarin, ponsel yang menjadi alasan dia menemui orang itu, dia tidak benar-benar mengembalikannya. Sekarang mau apalagi dia menelepon?"Apa kau tidak ingin berbicara lagi denganku?" sekarang suara Billy terdengar lebih jelas karena tidak sengaja tadi Selena memencet tombol speaker. Sial! Bulu kuduk Selena benar-benar meremang sekarang.Selena ragu apakah harus kembali berbicara atau mendiamkannya. Bagaimana bisa pria itu tahu nomor ponselnya? Oh, shit! Selena baru ingat dia menyimpan nomor yang sekarang ini di ponsel lamanya, nomor yang dia gunakan untuk mendaftarkan akun sosial media dengan menggunakan nomor ponsel.Tanpa berpikir panjang lagi Selena mengemasi seluruh barangnya dari lemari ke koper, melihat siapa Billy sekarang, Selena merasa dia harus pergi jauh-jauh tanpa harus terlihat lagi di kota kota ini, sejauh mungkin.Benar! Billy tidak akan melepas mainannya kecuali dia sendiri bosan lalu akan mencampakkannya begitu saja.Huh! Di sisi lain sepertinya Selena harus menyiapkan alasan yang tepat pada Nancy sebagai pemilik rumah sekaligus sahabat yang menampungnya selama ini."Nancy, sepertinya aku harus pindah. Saudaraku menawarkanku tempat tinggal, katanya karena dia akan pergi dalam waktu yang lama lalu menawarkannya kepadaku." Selena menghambur ke arah Nancy, sahabat sekaligus orang yang telah menganggapnya adik. Kebohongan ini harus dia tutupi setenang mungkin walau nyatanya ia ingin segera berlari, lari dari kenyataan ini."Benarkah, bukankah ini terlalu mendadak?" Nancy cukup terkejut melihat Selena keluar dengan membawa semua barangnya, Nancy menatap netra Selena dalam, ada masalah di sana, tapi apa? Dia samasekali tidak mengetahuinya."Kalau kau punya masalah ceritalah padaku, ayolah Selene?" bujuk Nancy pada Selena."A-aku hanya ingin mandiri, itu saja." Selena merasa gugup karena seakan Nancy mengetahui bahwa Selena menyemhunyikan masalahnya sendiri."Ini ambillah, kuharap kau mau menerimanya." Selena memberikan pada Nancy sebuah amplop coklat berisi uang dari tasnya."Apa-apaan ini? Kenapa kau memberikan pesangon untukku?" Nancy menaikkan satu alisnya dengan wajah skeptis. "Bukankah selama ini kau memang wanita mandiri, bahkan kau sering membuatkanku sarapan. Bagiku itu sudah membuktikan kau cukup mandiri karena kau bahkan tidak pernah merugikanku secara finansial. ""Ini ambillah kembali" Nancy mengembalikan amplop coklat pada Selena, "Aku merasa diremehkan sebagai dokter gigi yang cukup populer di kota ini bukan?""Ehm–Nancy, maksudku, saudaraku ingin aku menempati rumahnya karena dia telah menikah. Rumah itu adalah rumah peninggalan bibiku. " ucap Selena merangkai semua kebohongan dalam otaknya."Baiklah kalau begitu, aku tetap menghargai keputusanmu. Kapanpun kau ingin kembali, pintu ini akan selalu terbuka lebar untukmu." ucap Nancy terakhir kali, wanita berambut pendek itu mengurai pelukannya sembari mengusap air mata yang meleleh membasahi pipinya."Dan, ya. Aku akan mengirim uang jajan bulananmu nanti." Nancy merasa Selena pasti akan kembali lagi, Selena tetap dianggap adiknya yang membutuhkan uang jajan bulanan."Terimakasih banyak, aku sungguh berhutang padamu, kau yang terbaik Nancy." Selena sedikit berteriak sembari menyeret kopernya, dia juga tak kalah sedih berpisah dengan orang yang menganggapnya saudara. Ini memang tidak mudah tapi Selena tidak bisa tetap tinggal di sana. Kalau sesuatu terjadi padanya tentu saja itu akan menyulitkan Nancy, Selena tidak mau terus-menerus menyusahkan.Setelah berjalan 20 menit ke arah jalan besar, Selena menghentikan langkah pada sebuah halte.Dia memesan taxi online untuk mengantarnya pada terminal yang pastinya tujuan bus di sana menuju kota yang jauh.Rasanya Selena tidak percaya dia akan benar-benar meninggalkan pekerjaannya sebagai modeling dalam setahun terakhir.Selena mulai berdiri saat dirasa kendaraan beroda empat berwarna kuning mendekatinya, jemputannnya telah tiba.Setelah supir taxi bergelagat aneh membantunya memasukkan barang ke bagasi akhirnya Selena menyandarkan punggung ke bangku, sinar matahari siang ini sungguh membuatnya berkeringat.Selena berhasil membasahi tenggorokannya dengan air sampai dia tersedak saat supir taksi tersebut mengambil jalur yang salah."Maaf bung, sepertinya Anda salah jalan." seru Selena dari belakang, pria itu tidak merespon."S-siapa kau?! Aku bilang berhenti!""Bukankah kau ingin berpergian ke tempat yang jauh, nona Ginn?"Suara itu terdengar familiar, mendadak kerongkongan Selena terasa kering sehingga menyulitkannya hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan singkat barusan."Baiklah kalau kau tidak menjawab itu artinya kau setuju ikut denganku, iya 'kan?""Tidak, hentikan mobilnya sekarang!" Selena berteriak keras setelah diam cukup lama."Terlambat, aku sudah berubah pikiran. Padahal tadi aku berusaha bertanya baik-baik," jawab Billy disertai tawa.Selena benar-benar tidak menyukai ini, entah kenapa lelaki itu terus saja mengganggunya.Akhirnya kendaraan berhenti di depan gerbang, seorang penjaga keluar membukanya lalu sedikit membungkuk pada akhirnya. Di dalam seseorang berpakaian rapi sudah menanti lengkap dengan kacamata yang baru ia sentuh di batang hidungnya.Pria itu membukakan pintu dimana Billy berada, "Silahkan tuan," ucapnya kemudian dengan nada sopan.Tanpa menoleh ke belakang lagi, Billy melangkahkan kakinya menuju bangunan bak istana itu, meninggalkan Selena yang kebingungan di bangku penumpang.Dan setelah kepergian Billy, pria berkacamata itu mendekati Selena melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya pada Billy tadi."Mari, silahkan nona." ucapnya setelah membukakan pintu."Baiklah nona, ikuti saya." pinta pria itu setelah tadi mengeluarkan barang bawaan Selena di tangannya.Selena mengedarkan pandangan pada area yang luas ini, bisa dikatakan bangunan besar di depannya sangat memanjakan mata, bagai di negeri dongeng, terkesan mewah dengan aksen jaman kerajaan dahulu ditambah hamparan halaman luas nan hijau."Nona," suara datar yang sedikit dikeraskan cukup menusuk gendang telinga Selena, sepertinya pria berkacamata itu sudah memanggil Selena beberapa kali.Selena mengedipkan kelopaknya beberapa kali, dia baru menyadari kalau langkahnya terhenti cukup jauh dari pria itu. Selena kembali berjalan mendekatinya. Ah, bukankah ini bisa dibilang sebuah kunjungan ke bangunan bersejarah, seperti museum atau semacamnya, dan pria itu adalah tour guide yang memimpin jalan di depan. Pikiran konyol Selena akhirnya mencuat ke permukaan.Di meja panjang yang menampilkan deretan kursi, di bagian kepala meja ternyata orang itu sudah duduk di sana, menanti Selena.Duduk tegak, dari wajahnya memancarkan aura ketegasan, datar, dingin, sekaligus tidak suka. Ya, Selena bisa menangkapnya, ketegangan macam apa ini?Billy mengibaskan tangannya agar asistennya hengkang dari sana menandakan tuannya itu hanya ingin berbicara empat mata pada Selena."Aku ingin membuat kesepakatan." ucapnya kemudian."Kesepakatan?" Selena mengulang kalimat barusan. "Ya.... " Billy menunda ucapannya sejenak, "Sebuah kontrak pernikahan." "Menikah kontrak?" Ini samasekali tidak lucu, Selena sering mendengar hal semacam ini di TV ataupun dalam cerita-cerita novel. "Tidak! Aku tidak mau!" tolak Selena cepat. "Aku rasa kau tidak sedang dalam posisi bisa menolak nona Ginn," Selena terbelalak, tebakannya benar. Kesepakatan yang hanya akan berat sebelah. "Kau tahu ponsel itu 'kan?" Billy mengingatkan Selena pada ponsel lamanya dimana foto-foto kenangannya bersama sang ibu tersimpan. "Aku bisa melakukan apapun dengan benda itu di tanganku." "Bagaimana bisa seorang pria sepertimu memanfaatkan barang orang lain? Selena menatap tajam, "Dasar licik!" "Terserah apa katamu nona Ginn, bagaimana? Kuharap kau bisa langsung memutuskan jawabannya saat ini juga." Billy tersenyum tipis. "Tidak!" Selena melipat tangannya di dada. "Kau menjijikkan Billy, kau bahkan menculikku ke tempat ini hanya untuk bermain
"Anda juga harus bisa memasak, nona." Hari ini Marianne membawa Selena ke dapur, wanita itu memintanya untuk memasak sup sederhana. Selena sedikit menghela nafas, pria itu sudah berhasil membuat dirinya mengikuti tes menjadi seorang pelayan. Selena mengikuti arahan seperti yang dikatakan Marianne. "Saya permisi ke toilet sebentar, nona." ucap Marianne seperti menahan sesuatu. Ternyata wanita itu bisa berekspresi, misalnya menahan pipis. "Silahkan." Selena kembali memasukkan beberapa potong sayuran setelah airnya mendidih. "Uhm, setelah ini apa, ya?" "Ah, iya. Bumbu." sorot mata Selena beralih pada beberapa toples yang di susun pada sebuah rak. Selena buta akan berbagai perbumbuan, dia memasukkan 3 sendok masing-masing setiap bumbu yang tersedia. "Wah, aromanya terasa lezat nona." Marianne yang baru saja kembali langsung mengambil sendok untuk mencicipi. Selena tersenyum senang mendengar masakannya dipuji sampai pada saat wajah Marianne berubah drastis saat kuah sup
Selena masih bergelut dengan pikirannya, pria itu sangat tidak mempunyai perasaan. Bagaimana tidak? Setelah merenggut kesuciannya begitu saja setelah itu dengan gampangnya menghempas Selena dengan kalimat yang menusuk. Walau bagaimana Selena bertekad untuk tidak mengikuti Billy untuk tidak membuatnya hamil. Meski Selena sadar perkataan itu tepat bahwa memang dia tidak pantas menjadi ibu dari seorang penerus keluarga ternama di kota ini. Jauh dalam benaknya Selena merasa semakin terpuruk, kenangan akan masa kecilnya dulu kembali terlintas. Saat anak-anak seusia dengannya mengolok bahwa dia gelandangan hina, ibunya adalah pelac*r yang merebut suami orang. Entah siapa dalang dibalik kata-kata keji itu melalui mulut orang-orang disekitarnya. Selena kembali terisak lirih akan nasib sialnya bertemu Billy, saat pria itu menculiknya dari studio foto tempatnya bekerja sebagai model. Lalu memaksanya menikah dengan berbagai ancaman sampai merenggut kesuciannya. Billy tidak datang lagi ke kam
"Billy.... " panggil Selena pada suaminya. Billy menoleh menghentikan langkahnya. "Ada apa?""Aku ingin berbelanja." Selena menengadahkan tangan. Billy yang langsung merespon mengangkat alisnya, wajahnya tersenyum lebih ke arah meremehkan. "Ini." dia meletakkan sebuah black card di atas tangan Selena, "belanja lah sepuasnya, beli apapun yang kau mau." setelahnya pria berstelan jas itu kembali membalikkan tubuhnya melangkah pergi. Selena membalas senyum tak kalah menyeramkan, biar saja pria itu berpikir semaunya. Tentang seorang wanita pada umumnya menghamburkan uang dengan berbelanja. Sedetik kemudian mobil hitam milik suaminya meninggalkan pekarangan. Selena bergegas turun, mendapatkan mobil di garasi rumah mewah itu tidaklah sulit. Bahkan garasi yang bisa dikatakan lebih mirip showroom itu lebih memiliki kelas. Wanita berambut hitam panjang itu memilih kendaraan classic era 80 an, membelah jalanan kota. Setelah berpikir panjang, Selena menghubungi pria bernama Mike semalam untu
Seorang wanita cantik mengenakan dress panjang tanpa lengan berbalut syal bulu berjalan anggun ditemani dua orang sangar bertubuh tinggi besar. "Silahkan duduk, nona Gisella." kata Billy menyambut kedatangan wanita cantik itu. Wanita bernama Gisella itu melirik ke arah Selena sejenak sebelum dia menjatuhkan bobotnya, "Terimakasih, tetapi aku ingin duduk di sini." Gisella duduk di pangkuan Billy sembari bergelayut manja pada lengan kekarnya. "Tidak masalah selama itu membuatmu nyaman." Dari tempatnya duduk menguar bau harum wanita itu, Selena tidak tahan lagi dengan tingkah dua orang tidak tahu malu di depannya, sebelum benar-benar menjadi pengusir lalat di antara keduanya, dia lebih memilih pergi dari sana. "Siapa yang menyuruhmu pergi?!"Selena menoleh, tidak percaya pria itu menghentikan langkahnya agar dia kembali duduk menyaksikan adegan romantis yang menggelikan. "A-aku, aku ingin ke toilet." Selena terpaksa mengubah arahnya, "perutku terasa sakit."Gisella tampak mengernyit
"Billy, tunggu." Selena meremas jemarinya satu sama lain. Tatapan dingin tanpa jawaban mengarah pada Selena, dari sana jelas pria dengan rahang kokoh di depannya itu seperti orang tak bersalah. "Apa lagi?" Billy menghela nafas pelan, sepasang mata lentik menatap seakan mengharapkan sesuatu padanya. "Aku ingin kita mengakhiri ini sekarang juga." tegas Selena melalui sorot matanya yang berubah sendu. Dia memutuskan mengakhiri drama ini secepatnya. "Apa katamu?! Tapi maaf sepertinya aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu itu," Billy berdecak sinis, tubuh bidang itu berhasil menyudutkan Selena pada dinding di belakangnya. "Akulah yang berhak mengakhirinya, kapanpun itu." ucap Billy sedikit merunduk pada telinga Selena. "Menarilah sesuai irama, kalau kau salah langkah berarti itu akan menyulitkan dirimu sendiri. Benarkan sayang?" sembari mengulurkan telunjuknya pada pipi Selena yang mulus pria itu menyoroti netra hitam pekat Selena. Selena menepisnya, dia mengeluarkan diri dari kungk
"Nenek, apa kabarmu?" Billy menyambut wanita paruh baya yang baru saja turun dari kendaraan mewahnya. Binar di kedua matanya menelisik sepasang yang baru menikah itu. Diikuti Selena tersenyum ramah mencium pipi kanan dan pipi kiri Riana, nenek dari suaminya. "Apakah nenek lelah, kata orang pijatanku enak loh." Selena memberanikan diri mendekati Riana di sofa ruang keluarga. "Kau sungguh menantu yang baik." Riana menyambut jemari lentik di pundaknya, "tapi aku baru saja pergi ke spa relaksasi."Wanita tua itu menarik punggung tangan Selena agar ikut duduk di sebelahnya tanpa di duga menantunya itu mengaduh kesakitan, "A-apa yang terjadi?" keterkejutan jelas muncul di wajahnya, mata tua itu memicing pada Billy perihal keadaan Selena. Selena segera menyembunyikan tangannya, "Tidak apa-apa nenek, hanya luka kecil saja." ungkapnya disertai senyum yang dipaksakan. "Kemari duduklah." Selena menepuk tepat di sebelahnya. Riana menutup mulutnya yang terngangah lebar dengan tangan, "Bagaima
"Sayang, aku menginginkanmu." Gisella mengukir wajah Billy dengan ujung kukunya yang lancip di penuhi hiasan cat berwarna-warni. "Benarkah?" Billy membalasnya menangkap jari jemari lentik yang sejak tadi menggelitik di wajahnya lalu mencium punggung tangan itu sampai ke lengan. Gisella memang gila kalau Billy tidak menghentikannya mungkin mereka akan melakukan itu di situ saat itu juga. "Apa kau ingin menjadi bahan tontonan." Gisella menyeringai setelah mendengar kalimat yang membisik di telinganya, dia terpaksa menghentikan aktivitas kedua tangannya yang telah memporak-porandakan pakaian Billy. "Dasar binatang tidak tahu malu!" Selena memekik pelan, luka di hatinya kembali menganga. Selena tidak tahu kenapa dia harus merasakan sakit saat kedua pasangan itu memadu kasih. Gisella melepas tubuh Billy begitu saja setelah mengetahui Selena tidak lagi berada di tempat, "Gendong aku ke atas." wanita itu kembali merengek mengangkat kedua tangannya ke arah Billy. Berhasil membawa bobot G