Share

BAB 4

"Anda juga harus bisa memasak, nona."

Hari ini Marianne membawa Selena ke dapur, wanita itu memintanya untuk memasak sup sederhana.

Selena sedikit menghela nafas, pria itu sudah berhasil membuat dirinya mengikuti tes menjadi seorang pelayan.

Selena mengikuti arahan seperti yang dikatakan Marianne.

"Saya permisi ke toilet sebentar, nona." ucap Marianne seperti menahan sesuatu. Ternyata wanita itu bisa berekspresi, misalnya menahan pipis.

"Silahkan."

Selena kembali memasukkan beberapa potong sayuran setelah airnya mendidih. "Uhm, setelah ini apa, ya?"

"Ah, iya. Bumbu." sorot mata Selena beralih pada beberapa toples yang di susun pada sebuah rak.

Selena buta akan berbagai perbumbuan, dia memasukkan 3 sendok masing-masing setiap bumbu yang tersedia.

"Wah, aromanya terasa lezat nona." Marianne yang baru saja kembali langsung mengambil sendok untuk mencicipi.

Selena tersenyum senang mendengar masakannya dipuji sampai pada saat wajah Marianne berubah drastis saat kuah sup tumpah ke dalam mulut.

"A-air...." Marianne berlari kecil mencari benda cair yang bisa melegakan tenggorokannya.

Selena tidak percaya dengan apa yang dialami Marianne, dia juga mengambil sesendok sup untuk dicicipi.

"Ini benar-benar buruk." gumam Selena tanpa sadar menilai masakannya sendiri.

"Ini nona," untung saja Marianne datang membawa segelas air, tanpa menunggu lama Selena menghabiskan isinya begitu saja.

"Saya benar-benar tidak bisa memberikan nilai pada masakan nona, bahkan memberikan nilai satu saja saya ragu, rasa garam yang menyengat sangat mengganjal di tenggorokan." Marianne mengurut kulit di sekitar tenggorokannya.

"Kau benar," Selena mengakuinya.

"Hm, baiklah kalau begitu sekarang ikuti saya." Marianne berjalan menuju taman belakang, di sana sudah ada seorang gadis yang menunggu dengan beberapa alat berkebun di tangannya.

Sekarang apa lagi, belajar untuk jadi tukang kebun?!

Selena berdecak kesal, dia melipat tangannya di dada ketimbang mengikuti perintah Marianne.

"Silahkan ambil peralatan Anda nona," gadis berambut pendek yang mengenakan apron putih itu tersenyum ramah sembari menyerahkan peralatan menanam pada Selena.

"Anda tidak ingin mengambilnya atau setelah ini saya akan menambahkan lagi aktifitas lainnya, sebaiknya nona pertimbangkan lagi pilihan Anda." Marianne berkata tegas pada Selena tanpa penolakan.

"Aku tidak takut." Selena masih bertingkah angkuh.

"Saya tidak pernah berkata omong kosong, cepat ambil peralatannya atau...."

Guk!

Selena terkejut mendengar suara barusan, beraninya anjing kecil itu menakuti. Hah! Kalau saja Selena tidak pernah memiliki trauma dengan hewan berkaki empat itu.

"Kau harus menepati perkataanmu, aku tidak takut dengan hewan berbulu ini. Hanya saja aku ingin segera beristirahat." sekilas Selena melirik pada anjing kecil yang sejak tadi berdiri mengibaskan ekornya.

"Baiklah, ayo kita mulai." Marianne tersenyum penuh kemenangan, hanya saja wanita itu menyembunyikannya.

Marianne mengajarkan agar membuang dedaunan yang mulai menguning, memangkas sebagian dahan agar pertumbuhan bunga cukup optimal.

Rasanya Selena sudah cukup bersabar mendengar penjelasan tentang menanam pohon, dia tidak tahu apa gunanya melakukan ini semua.

"Baiklah, kali ini tanaman bonsai ini pasti akan tumbuh lebih bersinar lagi. Kita akhiri sampai di sini.

"Terserah bonsai atau apapun itu, aku ingin segera membersihkan diri."

*

"Apa harimu menyenangkan nona Ginn?" pertanyaan Billy seketika mengundang kesal di hati Selena.

"Terlalu menyenangkan sampai aku lupa untuk apa aku datang ke rumahmu."

"Kalau begitu aku juga ikut senang."

Selena mengangkat kedua alisnya menatap ke arah Billy tanpa sepatah katapun.

"Dasar licik." gumam Selena, "lalu kau akan membawaku ke mana kali ini?"

"Hei, kenapa menggerutu? Anggap saja ini adalah hari liburmu, bukankah begitu?"

"Silahkan tuan." terdengar suara dari arah luar saat mobil berhenti.

"Ah, ya. Ayo." Billy mempersilahkan Selena turun.

"Sebenarnya apa yang dia lakukan," gumam Selena kesal, "Tunggu!" Selena berlari kecil mensejajarkan langkah.

"Tuan, sebaiknya Anda berjalan berdampingan." Leonardo mengingatkan Billy tentang untuk apa mereka ke rumah besar itu.

"Aku tidak melupakannya!" sejenak Billy berhenti di tempatnya lalu meraih tangan Selena untuk di genggamnya.

Selena ingin menarik tangannya namun genggaman pria itu terlalu kuat, tindakannya terlalu tiba-tiba sampai Selena sendiri tidak menduganya.

"Berhentilah memberontak." ucap Billy sedikit melebarkan kelopak mata ke arah lawan bicaranya.

Leonardo hanya bisa menghela nafas panjang.

"Silahkan tuan." dua orang yang berdiri di depan kediaman Amore memberikan salam lalu membuka pintu besar.

Selena cukup terpelongo dengan kediaman Amore bak istana itu, menakjubkan.

"Di mana nyonya besar?" tanya Billy pada Rooney, ketua pelayan di kediaman.

"Nyonya besar berada di kamarnya tuan. Beliau sedang beristirahat setelah mengkonsumsi herbal yang disarankan oleh dr Erick," jelas Rooney.

Leonardo membukakan pintu, terlihat wanita berusia senja itu tengah terlelap di balik selimut tebal yang membungkus dirinya.

"Nenek..."

"Sst! Pelankan suaramu." refleks Billy menutup mulut Selena dan menariknya ke luar agar gadis itu tidak berbicara lagi.

Selena melebarkan kelopak matanya ke arah Billy, dia meraih tangan besar pria itu lalu menggigitnya.

"Sakit!" Billy melepaskan pegangannya, "Kau .... kenapa menggigitku?!" melihat wajah Selena yang masih dalam keadaan emosi sepertinya dia mengerti.

"Apa kau berusaha membun*hku?"

"Bukannya kau tidak mati?" Billy mengusap jemarinya dimana masih ada bercak gigi dan lipstik di sana, sekilas Billy memperhatikan Selena dan bergidik ngeri.

"Ehm, maksudku bukan begitu. Aku hanya ingin tidak mengganggu nenek beristirahat saja."

"Bukankah sikapmu keterlaluan sampai membuat orang lain tidak bisa bernafas?" Selena melipat tangannya kesal.

"Lupakan..." ucapan Billy membuat wajah Selena menegang, "Haish, bukankah aku sudah meminta maaf tadi?" Billy mengusap pelipisnya.

"Tuan, sebelum nyonya beristirahat tadi beliau sempat berpesan bunga itu sudah mekar." ucap Rooney yang baru saja menghampiri.

"Bunga itu?"

"Ya, bunga. Ehm, maksud saya bunga .... itu–" Rooney lupa nama bunga yang tadi diberitahukan kepadanya.

"Baiklah, saya mengerti."

"Maaf tuan ...."

"Tidak apa Rooney." Billy menepuk pundak Rooney pelan dan berlalu. "Nanti aku akan melihatnya."

Bunga? Selena ingat beberapa hari lalu Marianne mengajarkannya cara menjadi tukang kebun. Penglihatannya beralih pada kaca jendela yang menampilkan pohon-pohon besar di luar dihiasi dedaunan yang mulai memerah diterpa angin musim dingin.

"Tunggu, Billy kau mau ke mana?" Selena baru menyadari kalau tuan muda

*

"Apa itu penting?"

"Ya, tentu saja. Ini menyangkut penerus nama besar Amore, dan aku lupa memakai pengaman tadi."

"Lalu?" Selena kembali bertanya.

"Kau tidak pantas melahirkan penerusku, kita hanya bersenang-senang saja tadi. Paham."

Perkataan Billy barusan cukup membuat hati Selena berdenyut nyeri, dia meremas ujung pakaiannya lalu mengambil paksa benda berukuran kecil itu dari Billy.

Dalam sekali tegukan bersama dengan pil tadi Selena meletakkan kembali gelas dalam genggamannya.

"Bagus!" Billy tersenyum puas dan berlalu dari sana.

Setelah punggung Billy menghilang di balik pintu, Selena buru-buru mengeluarkan kembali pil yang berhasil ditahannya di antara gusi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status