"Anda juga harus bisa memasak, nona."
Hari ini Marianne membawa Selena ke dapur, wanita itu memintanya untuk memasak sup sederhana. Selena sedikit menghela nafas, pria itu sudah berhasil membuat dirinya mengikuti tes menjadi seorang pelayan. Selena mengikuti arahan seperti yang dikatakan Marianne. "Saya permisi ke toilet sebentar, nona." ucap Marianne seperti menahan sesuatu. Ternyata wanita itu bisa berekspresi, misalnya menahan pipis. "Silahkan." Selena kembali memasukkan beberapa potong sayuran setelah airnya mendidih. "Uhm, setelah ini apa, ya?" "Ah, iya. Bumbu." sorot mata Selena beralih pada beberapa toples yang di susun pada sebuah rak. Selena buta akan berbagai perbumbuan, dia memasukkan 3 sendok masing-masing setiap bumbu yang tersedia. "Wah, aromanya terasa lezat nona." Marianne yang baru saja kembali langsung mengambil sendok untuk mencicipi. Selena tersenyum senang mendengar masakannya dipuji sampai pada saat wajah Marianne berubah drastis saat kuah sup tumpah ke dalam mulut. "A-air...." Marianne berlari kecil mencari benda cair yang bisa melegakan tenggorokannya. Selena tidak percaya dengan apa yang dialami Marianne, dia juga mengambil sesendok sup untuk dicicipi. "Ini benar-benar buruk." gumam Selena tanpa sadar menilai masakannya sendiri. "Ini nona," untung saja Marianne datang membawa segelas air, tanpa menunggu lama Selena menghabiskan isinya begitu saja. "Saya benar-benar tidak bisa memberikan nilai pada masakan nona, bahkan memberikan nilai satu saja saya ragu, rasa garam yang menyengat sangat mengganjal di tenggorokan." Marianne mengurut kulit di sekitar tenggorokannya. "Kau benar," Selena mengakuinya. "Hm, baiklah kalau begitu sekarang ikuti saya." Marianne berjalan menuju taman belakang, di sana sudah ada seorang gadis yang menunggu dengan beberapa alat berkebun di tangannya. Sekarang apa lagi, belajar untuk jadi tukang kebun?! Selena berdecak kesal, dia melipat tangannya di dada ketimbang mengikuti perintah Marianne. "Silahkan ambil peralatan Anda nona," gadis berambut pendek yang mengenakan apron putih itu tersenyum ramah sembari menyerahkan peralatan menanam pada Selena. "Anda tidak ingin mengambilnya atau setelah ini saya akan menambahkan lagi aktifitas lainnya, sebaiknya nona pertimbangkan lagi pilihan Anda." Marianne berkata tegas pada Selena tanpa penolakan. "Aku tidak takut." Selena masih bertingkah angkuh. "Saya tidak pernah berkata omong kosong, cepat ambil peralatannya atau...." Guk! Selena terkejut mendengar suara barusan, beraninya anjing kecil itu menakuti. Hah! Kalau saja Selena tidak pernah memiliki trauma dengan hewan berkaki empat itu. "Kau harus menepati perkataanmu, aku tidak takut dengan hewan berbulu ini. Hanya saja aku ingin segera beristirahat." sekilas Selena melirik pada anjing kecil yang sejak tadi berdiri mengibaskan ekornya. "Baiklah, ayo kita mulai." Marianne tersenyum penuh kemenangan, hanya saja wanita itu menyembunyikannya. Marianne mengajarkan agar membuang dedaunan yang mulai menguning, memangkas sebagian dahan agar pertumbuhan bunga cukup optimal. Rasanya Selena sudah cukup bersabar mendengar penjelasan tentang menanam pohon, dia tidak tahu apa gunanya melakukan ini semua. "Baiklah, kali ini tanaman bonsai ini pasti akan tumbuh lebih bersinar lagi. Kita akhiri sampai di sini. "Terserah bonsai atau apapun itu, aku ingin segera membersihkan diri." * "Apa harimu menyenangkan nona Ginn?" pertanyaan Billy seketika mengundang kesal di hati Selena. "Terlalu menyenangkan sampai aku lupa untuk apa aku datang ke rumahmu." "Kalau begitu aku juga ikut senang." Selena mengangkat kedua alisnya menatap ke arah Billy tanpa sepatah katapun. "Dasar licik." gumam Selena, "lalu kau akan membawaku ke mana kali ini?" "Hei, kenapa menggerutu? Anggap saja ini adalah hari liburmu, bukankah begitu?" "Silahkan tuan." terdengar suara dari arah luar saat mobil berhenti. "Ah, ya. Ayo." Billy mempersilahkan Selena turun. "Sebenarnya apa yang dia lakukan," gumam Selena kesal, "Tunggu!" Selena berlari kecil mensejajarkan langkah. "Tuan, sebaiknya Anda berjalan berdampingan." Leonardo mengingatkan Billy tentang untuk apa mereka ke rumah besar itu. "Aku tidak melupakannya!" sejenak Billy berhenti di tempatnya lalu meraih tangan Selena untuk di genggamnya. Selena ingin menarik tangannya namun genggaman pria itu terlalu kuat, tindakannya terlalu tiba-tiba sampai Selena sendiri tidak menduganya. "Berhentilah memberontak." ucap Billy sedikit melebarkan kelopak mata ke arah lawan bicaranya. Leonardo hanya bisa menghela nafas panjang. "Silahkan tuan." dua orang yang berdiri di depan kediaman Amore memberikan salam lalu membuka pintu besar. Selena cukup terpelongo dengan kediaman Amore bak istana itu, menakjubkan. "Di mana nyonya besar?" tanya Billy pada Rooney, ketua pelayan di kediaman. "Nyonya besar berada di kamarnya tuan. Beliau sedang beristirahat setelah mengkonsumsi herbal yang disarankan oleh dr Erick," jelas Rooney. Leonardo membukakan pintu, terlihat wanita berusia senja itu tengah terlelap di balik selimut tebal yang membungkus dirinya. "Nenek..." "Sst! Pelankan suaramu." refleks Billy menutup mulut Selena dan menariknya ke luar agar gadis itu tidak berbicara lagi. Selena melebarkan kelopak matanya ke arah Billy, dia meraih tangan besar pria itu lalu menggigitnya. "Sakit!" Billy melepaskan pegangannya, "Kau .... kenapa menggigitku?!" melihat wajah Selena yang masih dalam keadaan emosi sepertinya dia mengerti. "Apa kau berusaha membun*hku?" "Bukannya kau tidak mati?" Billy mengusap jemarinya dimana masih ada bercak gigi dan lipstik di sana, sekilas Billy memperhatikan Selena dan bergidik ngeri. "Ehm, maksudku bukan begitu. Aku hanya ingin tidak mengganggu nenek beristirahat saja." "Bukankah sikapmu keterlaluan sampai membuat orang lain tidak bisa bernafas?" Selena melipat tangannya kesal. "Lupakan..." ucapan Billy membuat wajah Selena menegang, "Haish, bukankah aku sudah meminta maaf tadi?" Billy mengusap pelipisnya. "Tuan, sebelum nyonya beristirahat tadi beliau sempat berpesan bunga itu sudah mekar." ucap Rooney yang baru saja menghampiri. "Bunga itu?" "Ya, bunga. Ehm, maksud saya bunga .... itu–" Rooney lupa nama bunga yang tadi diberitahukan kepadanya. "Baiklah, saya mengerti." "Maaf tuan ...." "Tidak apa Rooney." Billy menepuk pundak Rooney pelan dan berlalu. "Nanti aku akan melihatnya." Bunga? Selena ingat beberapa hari lalu Marianne mengajarkannya cara menjadi tukang kebun. Penglihatannya beralih pada kaca jendela yang menampilkan pohon-pohon besar di luar dihiasi dedaunan yang mulai memerah diterpa angin musim dingin. "Tunggu, Billy kau mau ke mana?" Selena baru menyadari kalau tuan muda * "Apa itu penting?" "Ya, tentu saja. Ini menyangkut penerus nama besar Amore, dan aku lupa memakai pengaman tadi." "Lalu?" Selena kembali bertanya. "Kau tidak pantas melahirkan penerusku, kita hanya bersenang-senang saja tadi. Paham." Perkataan Billy barusan cukup membuat hati Selena berdenyut nyeri, dia meremas ujung pakaiannya lalu mengambil paksa benda berukuran kecil itu dari Billy. Dalam sekali tegukan bersama dengan pil tadi Selena meletakkan kembali gelas dalam genggamannya. "Bagus!" Billy tersenyum puas dan berlalu dari sana. Setelah punggung Billy menghilang di balik pintu, Selena buru-buru mengeluarkan kembali pil yang berhasil ditahannya di antara gusi.Selena masih bergelut dengan pikirannya, pria itu sangat tidak mempunyai perasaan. Bagaimana tidak? Setelah merenggut kesuciannya begitu saja setelah itu dengan gampangnya menghempas Selena dengan kalimat yang menusuk. Walau bagaimana Selena bertekad untuk tidak mengikuti Billy untuk tidak membuatnya hamil. Meski Selena sadar perkataan itu tepat bahwa memang dia tidak pantas menjadi ibu dari seorang penerus keluarga ternama di kota ini. Jauh dalam benaknya Selena merasa semakin terpuruk, kenangan akan masa kecilnya dulu kembali terlintas. Saat anak-anak seusia dengannya mengolok bahwa dia gelandangan hina, ibunya adalah pelac*r yang merebut suami orang. Entah siapa dalang dibalik kata-kata keji itu melalui mulut orang-orang disekitarnya. Selena kembali terisak lirih akan nasib sialnya bertemu Billy, saat pria itu menculiknya dari studio foto tempatnya bekerja sebagai model. Lalu memaksanya menikah dengan berbagai ancaman sampai merenggut kesuciannya. Billy tidak datang lagi ke kam
"Billy.... " panggil Selena pada suaminya. Billy menoleh menghentikan langkahnya. "Ada apa?""Aku ingin berbelanja." Selena menengadahkan tangan. Billy yang langsung merespon mengangkat alisnya, wajahnya tersenyum lebih ke arah meremehkan. "Ini." dia meletakkan sebuah black card di atas tangan Selena, "belanja lah sepuasnya, beli apapun yang kau mau." setelahnya pria berstelan jas itu kembali membalikkan tubuhnya melangkah pergi. Selena membalas senyum tak kalah menyeramkan, biar saja pria itu berpikir semaunya. Tentang seorang wanita pada umumnya menghamburkan uang dengan berbelanja. Sedetik kemudian mobil hitam milik suaminya meninggalkan pekarangan. Selena bergegas turun, mendapatkan mobil di garasi rumah mewah itu tidaklah sulit. Bahkan garasi yang bisa dikatakan lebih mirip showroom itu lebih memiliki kelas. Wanita berambut hitam panjang itu memilih kendaraan classic era 80 an, membelah jalanan kota. Setelah berpikir panjang, Selena menghubungi pria bernama Mike semalam untu
Seorang wanita cantik mengenakan dress panjang tanpa lengan berbalut syal bulu berjalan anggun ditemani dua orang sangar bertubuh tinggi besar. "Silahkan duduk, nona Gisella." kata Billy menyambut kedatangan wanita cantik itu. Wanita bernama Gisella itu melirik ke arah Selena sejenak sebelum dia menjatuhkan bobotnya, "Terimakasih, tetapi aku ingin duduk di sini." Gisella duduk di pangkuan Billy sembari bergelayut manja pada lengan kekarnya. "Tidak masalah selama itu membuatmu nyaman." Dari tempatnya duduk menguar bau harum wanita itu, Selena tidak tahan lagi dengan tingkah dua orang tidak tahu malu di depannya, sebelum benar-benar menjadi pengusir lalat di antara keduanya, dia lebih memilih pergi dari sana. "Siapa yang menyuruhmu pergi?!"Selena menoleh, tidak percaya pria itu menghentikan langkahnya agar dia kembali duduk menyaksikan adegan romantis yang menggelikan. "A-aku, aku ingin ke toilet." Selena terpaksa mengubah arahnya, "perutku terasa sakit."Gisella tampak mengernyit
"Billy, tunggu." Selena meremas jemarinya satu sama lain. Tatapan dingin tanpa jawaban mengarah pada Selena, dari sana jelas pria dengan rahang kokoh di depannya itu seperti orang tak bersalah. "Apa lagi?" Billy menghela nafas pelan, sepasang mata lentik menatap seakan mengharapkan sesuatu padanya. "Aku ingin kita mengakhiri ini sekarang juga." tegas Selena melalui sorot matanya yang berubah sendu. Dia memutuskan mengakhiri drama ini secepatnya. "Apa katamu?! Tapi maaf sepertinya aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu itu," Billy berdecak sinis, tubuh bidang itu berhasil menyudutkan Selena pada dinding di belakangnya. "Akulah yang berhak mengakhirinya, kapanpun itu." ucap Billy sedikit merunduk pada telinga Selena. "Menarilah sesuai irama, kalau kau salah langkah berarti itu akan menyulitkan dirimu sendiri. Benarkan sayang?" sembari mengulurkan telunjuknya pada pipi Selena yang mulus pria itu menyoroti netra hitam pekat Selena. Selena menepisnya, dia mengeluarkan diri dari kungk
"Nenek, apa kabarmu?" Billy menyambut wanita paruh baya yang baru saja turun dari kendaraan mewahnya. Binar di kedua matanya menelisik sepasang yang baru menikah itu. Diikuti Selena tersenyum ramah mencium pipi kanan dan pipi kiri Riana, nenek dari suaminya. "Apakah nenek lelah, kata orang pijatanku enak loh." Selena memberanikan diri mendekati Riana di sofa ruang keluarga. "Kau sungguh menantu yang baik." Riana menyambut jemari lentik di pundaknya, "tapi aku baru saja pergi ke spa relaksasi."Wanita tua itu menarik punggung tangan Selena agar ikut duduk di sebelahnya tanpa di duga menantunya itu mengaduh kesakitan, "A-apa yang terjadi?" keterkejutan jelas muncul di wajahnya, mata tua itu memicing pada Billy perihal keadaan Selena. Selena segera menyembunyikan tangannya, "Tidak apa-apa nenek, hanya luka kecil saja." ungkapnya disertai senyum yang dipaksakan. "Kemari duduklah." Selena menepuk tepat di sebelahnya. Riana menutup mulutnya yang terngangah lebar dengan tangan, "Bagaima
"Sayang, aku menginginkanmu." Gisella mengukir wajah Billy dengan ujung kukunya yang lancip di penuhi hiasan cat berwarna-warni. "Benarkah?" Billy membalasnya menangkap jari jemari lentik yang sejak tadi menggelitik di wajahnya lalu mencium punggung tangan itu sampai ke lengan. Gisella memang gila kalau Billy tidak menghentikannya mungkin mereka akan melakukan itu di situ saat itu juga. "Apa kau ingin menjadi bahan tontonan." Gisella menyeringai setelah mendengar kalimat yang membisik di telinganya, dia terpaksa menghentikan aktivitas kedua tangannya yang telah memporak-porandakan pakaian Billy. "Dasar binatang tidak tahu malu!" Selena memekik pelan, luka di hatinya kembali menganga. Selena tidak tahu kenapa dia harus merasakan sakit saat kedua pasangan itu memadu kasih. Gisella melepas tubuh Billy begitu saja setelah mengetahui Selena tidak lagi berada di tempat, "Gendong aku ke atas." wanita itu kembali merengek mengangkat kedua tangannya ke arah Billy. Berhasil membawa bobot G
Pagi ini Selena disibukkan dengan beberapa koper di tangannya, wanita yang bukan bagian dari rumah ini juga ikut menyibukkannya, dia sengaja membawa barang-barangnya ke tempat ini.Tidak ada pilihan lain, Selena terpaksa menuruti permainan mereka. "Apa kau bisa lebih cepat! Dasar lamban!" cibir Gisella dengan warna merah terang menghiasi bibirnya. Wanita berkulit putih pucat itu melipat tangannya ke dada, seperti biasa dia menatap tidak suka pada Selena. Semenjak kepulangan Gisella dari luar negeri, pria menyebalkan yang duduk bersebelahan dengan wanita yang tidak kalah menyebalkannya itu lebih banyak diam, dia menuruti segala keinginan dan apapun perintah yang keluar dari mulut manja dari seorang gadis kaya. Selena kesal, kali ini dia harus duduk di bangku penumpang paling belakang. Harus menyaksikan keromantisan sepasang kekasih di depannya, tadinya dia ingin mengambil tempat di depan, di sebelah Robin yang menyetir tetapi Gisella melarangnya. Sepanjang perjalanan, Selena memalin
Selena menyusun barang bawaan milik tuan dan nona muda kaya itu setelah mendapat perintah. Tanpa sepengetahuan Selena seseorang membekap bagian pernapasannya dengan kain yang diberi obat bius, perlahan pandangannya meremang seiring kesadaran yang perlahan pudar. "Gisella, aku ingin ke toilet. Turunlah sebentar." Billy meminta agar Gisella turun dari pangkuannya. Gisella mengerucutkan bibirnya, "Jangan lama-lama, honey." terlihat tidak rela dari wajahnya. "Ya." Billy menjawab singkat dan meninggalkan bagian taman di resort mewah milik keluarga Gisella. Wanita itu sibuk dengan ponselnya setelah kepergian Billy, dia melihat isi chat dari seseorang yang menjadi kaki tangannya. Senyum puas menyembul begitu saja dari bibirnya membaca pesan teks yang masuk. "Pergi saja dari dunia ini, wanita sampah." gumamnya mengukir senyum. "Apa yang membuatmu bahagia." Billy menyadari tingkah aneh Gisella setelah dari toilet, tidak seperti biasanya. Dia tahu wanita itu pasti sedang menyembunyikan se