"Nenek, apa kabarmu?" Billy menyambut wanita paruh baya yang baru saja turun dari kendaraan mewahnya. Binar di kedua matanya menelisik sepasang yang baru menikah itu.
Diikuti Selena tersenyum ramah mencium pipi kanan dan pipi kiri Riana, nenek dari suaminya."Apakah nenek lelah, kata orang pijatanku enak loh." Selena memberanikan diri mendekati Riana di sofa ruang keluarga."Kau sungguh menantu yang baik." Riana menyambut jemari lentik di pundaknya, "tapi aku baru saja pergi ke spa relaksasi."Wanita tua itu menarik punggung tangan Selena agar ikut duduk di sebelahnya tanpa di duga menantunya itu mengaduh kesakitan, "A-apa yang terjadi?" keterkejutan jelas muncul di wajahnya, mata tua itu memicing pada Billy perihal keadaan Selena.Selena segera menyembunyikan tangannya, "Tidak apa-apa nenek, hanya luka kecil saja." ungkapnya disertai senyum yang dipaksakan."Kemari duduklah." Selena menepuk tepat di sebelahnya.Riana menutup mulutnya yang terngangah lebar dengan tangan, "Bagaimana bisa luka-luka ini berada di telapak tanganmu?""Cepat panggil dokter." tegas Riana pada cucunya yang sedari tadi tidak menunjukkan respon apapun."Tidak perlu nenek, aku bisa mengobati luka ini sendiri." Selena sadar sedari tadi Billy menatapnya tajam, dia tidak peduli. Bukankah luka ini berkat ulah kekasihnya semalam.Wanita kaya itu sengaja menjatuhkan gelas lalu memanggil Selena untuk membersihkannya, disela dia memungut pecahan beling itu Gisella menginjakkan kakinya dengan amat penuh kebencian pada tangan Selena di atas pecahan tajam.Selena berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah di depan Riana, sekarang wanita paruh baya itulah satu-satunya orang yang perhatian kepadanya."Kenapa kau berdiam diri, cepat bawa kotak obat kemari!" Riana memekik pada Billy.Billy mendengus samar beranjak dari posisinya, dari arah berlawanan Robin dengan sigap memberikan kotak obat tersebut pada bosnya."Cepat buka kotaknya, sebenarnya suami seperti apa kau ini?!"Selena merasakan nyeri saat Billy memberikan salep pada lukanya, dia mencoba memberi peringatan melalui sentuhan yang berlebihan agar Selena tidak mengadukan apapun yang terjadi di rumah itu pada Riana."Kau membuatku cemas, sebenarnya apa yang terjadi?" Riana mengusap pundak menantunya pelan."Nenek tidak perlu khawatir, semua ini karena kecerobohanku sendiri telah memecahkan gelas saat akan memungutnya tanganku tergelincir." Selena terpaksa mengarang cerita karena di seberang sana Billy menatapnya tajam."Billy seharusnya kau menjaga istrimu baik-baik, dasar tidak berguna." cibir Riana pada cucu semata wayangnya."Sebenarnya aku hanya ingin mengantarkan ini untuk kalian." Riana menyodorkan dua lembar kartu ke atas meja."Apa ini nek?" tanya Selena antusias."Tiket bulan madu," Riana tersenyum penuh arti pada kedua pasangan yang duduk bersamanya."Apa? B-bulan madu?" Billy mengulang kalimat kembali."Ya, pasangan pengantin baru 'kan memang seharusnya tidak melewati waktu manis ini." Selena dan Billy saling melempar pandang mendengar pernyataan barusan."Kuharap kalian akan menikmatinya." kata Riana sembari mengusap pelan punggung tangan Selena yang dipenuhi perban keseluruhan."Tentu saja." Billy menyimpan duka tiket itu ke sakunya."Nenek, apa tidak makan dulu sebelum pergi." ucap Selena menghentikan Riana yang telah siap menenteng tasnya. "Aku memasak sup mendengar nenek akan datang.""Ah, begitu ya." Riana tak kuasa menolak apalagi mendengar kalau menantunya itu yang memasaknya."Ini adalah sup panjang umur yang aku masak sepenuh hati." Selena menuangkan sup bertekstur kental berisi campuran jamur, daging ayam, daging kepiting dan misoa.Riana menyesap sesendok, dia membuka matanya lebar diikuti dua sudut bibir yang terangkat. "Lezat." satu kata lolos begitu saja dari bibirnya."Siapa yang mengajarkanmu memasak sup ini?" tanya Riana tidak berhenti menyuapkan makanan itu ke mulut."Ibuku," jawab Selena singkat."Ibumu pasti bangga melihat putrinya pintar memasak." Riana menyanjung Selena hingga dia menghabiskan seluruh isi mangkuk.Billy tak kalah terkejut saat mencicipi sup buatan istrinya, cita rasa yang tidak pernah ditemuinya di restoran bintang lima sekalipun."Seharusnya kau juga makan, aku tidak ingin istriku menjadi kurus." Billy menarik tubuh Selena yang semula berdiri ke pangkuannya.Seketika mata lentiknya terbuka lebar menatap Billy, bukannya melepas malah mengambil kesempatan meremas bok*ngnya di bawah sana."Billy, apa yang kau lakukan?" intonasi Selena begitu rendah penuh penekanan."Patuhlah." Billy menahan Selena di atas pahanya, segera disuapkannya sesendok sup pada istrinya.Kalau tidak ada nenek Riana mungkin dia akan mendorong pria brengs*k itu sekuatnya. Sejenak Selena tersadar kenapa Billy melakukan hal gila ini di depan neneknya, tentu saja agar wanita paruh baya itu lekas pergi dari sana, dasar cucu tidak tahu diri.Wanita paruh baya yang mengenakan pakaian santai itu menggandeng tas mungil branded di lengannya, meskipun sudah menginjak usia senja wajah keriput itu masih terlihat cantik."Kalian membuat nenek teringat masa muda dulu.""Sudahlah, kalau begitu nenek pergi dulu. Terimakasih untuk masakannya menantuku." Riana mengucapkan itu seolah mewakilkan orang tua Billy terpancar kasih dan sayangnya melalui senyum yang terukir tulus."Nenek hati-hati." Selena melambaikan tangan setelah pria berstelan serba hitam membukakan pintu mobil. Dari kejauhan wanita itu membalas Selena.Tidak berselang lama sebuah Maybach berwarna hitam tiba, kedatangan siapa lagi kalau bukan putri pewaris kaya dari keluarga Brown."Cepat ganti pakaianmu!" sergah Billy pada Selena.Mau tidak mau Selena harus segera pergi dari sana, berurusan dengan Gisella bisa dibilang sangat merepotkan.Gisella mencium pipi kanan dan kiri Billy yang bersambut, wanita bak putri raja itu mengenakan pakaian terbuka bergelayut manja."Apakah ini milikmu." Gisella menyuapkan satu suap sup ke mulut sebelum mendapat jawaban."Ya, hidangan yang disiapkan untuk nenek. Sup panjang umur." Billy ikut duduk di samping Gisella."Sangat lezat.""Habiskanlah kalau kau menyukainya." Billy mengusap lembut penuh perhatian pada pucuk kepala Gisella. Dia sengaja tidak memberitahu siapa yang memasaknya bisa-bisa wanita di sebelahnya itu akan membuat masalah lagi.Selena hanya bisa meremas ujung gaun pelayan yang dikenakannya dari balik dinding dapur. Perlakuan pria itu sungguh berbanding terbalik memperlakukannya dengan Gisella.Billy membanting dua benda tipis ke meja, "Apa ini? Tiket?" Gisella bertanya sembari mengatupkan tangan pada bibirnya."Benar, tiket bulan madu."Gisella menarik nafas kecewa, sebenarnya Billy telah memberitahu siapa sebenarnya Selena dan bagaimana mereka bertemu. Mulai saat itu Gisella semakin tidak suka dengan Selena sampai dia sengaja menjatuhkan gelas dan melukai tangan Selena."Apa aku boleh ikut?" Selena mulai bergelayut lagi pada lengan Billy dengan menumpukan kepalanya pada bahu kokoh yang menampungnya."Tentu saja," balas Billy cepat tersenyum hangat."Kau memang pria pujaanku," Gisella mendaratkan kecupan di pipi Billy, di balik senyumnya Gisella tengah merangkai rencana licik yang nantinya akan ditujukan untuk Selena."Sayang, aku menginginkanmu." Gisella mengukir wajah Billy dengan ujung kukunya yang lancip di penuhi hiasan cat berwarna-warni. "Benarkah?" Billy membalasnya menangkap jari jemari lentik yang sejak tadi menggelitik di wajahnya lalu mencium punggung tangan itu sampai ke lengan. Gisella memang gila kalau Billy tidak menghentikannya mungkin mereka akan melakukan itu di situ saat itu juga. "Apa kau ingin menjadi bahan tontonan." Gisella menyeringai setelah mendengar kalimat yang membisik di telinganya, dia terpaksa menghentikan aktivitas kedua tangannya yang telah memporak-porandakan pakaian Billy. "Dasar binatang tidak tahu malu!" Selena memekik pelan, luka di hatinya kembali menganga. Selena tidak tahu kenapa dia harus merasakan sakit saat kedua pasangan itu memadu kasih. Gisella melepas tubuh Billy begitu saja setelah mengetahui Selena tidak lagi berada di tempat, "Gendong aku ke atas." wanita itu kembali merengek mengangkat kedua tangannya ke arah Billy. Berhasil membawa bobot G
Pagi ini Selena disibukkan dengan beberapa koper di tangannya, wanita yang bukan bagian dari rumah ini juga ikut menyibukkannya, dia sengaja membawa barang-barangnya ke tempat ini.Tidak ada pilihan lain, Selena terpaksa menuruti permainan mereka. "Apa kau bisa lebih cepat! Dasar lamban!" cibir Gisella dengan warna merah terang menghiasi bibirnya. Wanita berkulit putih pucat itu melipat tangannya ke dada, seperti biasa dia menatap tidak suka pada Selena. Semenjak kepulangan Gisella dari luar negeri, pria menyebalkan yang duduk bersebelahan dengan wanita yang tidak kalah menyebalkannya itu lebih banyak diam, dia menuruti segala keinginan dan apapun perintah yang keluar dari mulut manja dari seorang gadis kaya. Selena kesal, kali ini dia harus duduk di bangku penumpang paling belakang. Harus menyaksikan keromantisan sepasang kekasih di depannya, tadinya dia ingin mengambil tempat di depan, di sebelah Robin yang menyetir tetapi Gisella melarangnya. Sepanjang perjalanan, Selena memalin
Selena menyusun barang bawaan milik tuan dan nona muda kaya itu setelah mendapat perintah. Tanpa sepengetahuan Selena seseorang membekap bagian pernapasannya dengan kain yang diberi obat bius, perlahan pandangannya meremang seiring kesadaran yang perlahan pudar. "Gisella, aku ingin ke toilet. Turunlah sebentar." Billy meminta agar Gisella turun dari pangkuannya. Gisella mengerucutkan bibirnya, "Jangan lama-lama, honey." terlihat tidak rela dari wajahnya. "Ya." Billy menjawab singkat dan meninggalkan bagian taman di resort mewah milik keluarga Gisella. Wanita itu sibuk dengan ponselnya setelah kepergian Billy, dia melihat isi chat dari seseorang yang menjadi kaki tangannya. Senyum puas menyembul begitu saja dari bibirnya membaca pesan teks yang masuk. "Pergi saja dari dunia ini, wanita sampah." gumamnya mengukir senyum. "Apa yang membuatmu bahagia." Billy menyadari tingkah aneh Gisella setelah dari toilet, tidak seperti biasanya. Dia tahu wanita itu pasti sedang menyembunyikan se
Pria berjas putih itu kembali hadir di ruangan Selena saat pagi menjelang, sinar yang menyorot masuk melalui celah gorden jendela kaca terasa menyilaukan mata. "Pagi, nona." sapa pria itu ramah sembari menyibak kain jendela agar sinat matahari pagi masuk seutuhnya, sinar hangat yang juga bagus untuk kesehatan. Selena tidak menjawab, dia hanya memperhatikan gerak pria yang tidak diketahui namanya itu sejak tadi sibuk menyiapkan resep obat untuknya. Suara pintu terketuk pelan sedikit mengalihkan perhatiannya, "Masuk," ucap dokter berwajah tampan itu. "Dokter, saya mengantar sarapan untuk pasien.""Silahkan." ucap sang dokter sibuk dengan kegiatannya sendiri. Seorang gadis muda yang berpakaian mirip dengan warna jas dokter tersebut mengambil tempat tepat di sebelah Selena. "Nona bukalah mulut Anda, walaupun makan sedikit ini sangat membantu pemulihan Anda lebih cepat." ucap suster muda sangat ramah. Namun, meski setelah 15 menit mencoba, rayuannya sama sekali tidak mempan. Selena m
"Tidak, aku masih harus membalas perbuatan pria brengs*k itu." Selena menggeleng samar, pria itu sudah menghancurkan hidupnya dia tidak ingin diam begitu saja setelah semua yang terjadi. Mike tetap mengulas senyum meski mendapat penolakan, tidak mengapa. Ini bukan kesempatan terakhir baginya. "Tapi, bolehkah aku meminta tolong sesuatu padamu.""Katakan saja," ucap Mike tanpa ragu. "Hari ini mungkin adalah hari terakhir perjalanan bulan madu kami. Jadi, bisakah kau membawaku kembali pulang ke rumah keluarga Amore?" Selena merasa sungkan meminta bantuan pada Mike setelah tadi dia sempat menolak pria itu. "Hei, kenapa wajahmu seperti itu. Aku tidak keberatan sama sekali, katakan saja apapun itu." ungkap Mike beranjak dan mengulurkan tangannya pada Selena. "Ayo kita pergi dari sini.""Terimakasih Mike."*"Wah, lihat siapa ini?" wanita yang beberapa hari lalu menjadi dalang penculikan itu bertepuk tangan ringan menyambut kedatangan seorang yang tidak disukainya. "Kau kembali?" tanya B
Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga Brown, orang yang memegang pimpinan tertinggi di keluarga itu mengadakan ulang tahun. Sejak semalam Selena tidak melihat keberadaan Billy di rumah mewah itu, begitu pun dengan sosok wanita manja yang selalu berdampingan manja dengannya. "Bibi Lisa, apa kau tahu kemana perginya orang itu?" tanya Selena pada bibi Lisa. "Oh, tuan?" bibi Lisa langsung paham siapa orang yang dimaksud Selena, "Tuan sedang ada perjalanan ke luar kota, ada apa? Apakah Anda kangen nyonya?" bibi Lisa tertawa kecil. Selena mendecih kesal, sudah berulang kali dia mengingatkan panggilan itu tapi bibi Lisa tidak pernah mengubahnya, terlebih lagi wanita paruh baya itu mengatakan kalau dirinya menaruh rindu pada orang itu. Hal yang tidak akan mungkin pernah muncul dipikiran Selena. "Tidak, tiba-tiba saja suasana menjadi lebih sepi, bahkan kekasihnya saja tidak muncul beberapa hari." Selena mengedikkan bahunya acuh. "Kalau nona Gisella mungkin sedang sibuk dengan pesta
"Ayo" ucap Mike setengah berbisik mendekatkan wajah ke pendengaran Selena sembari merenggangkan sikunya. Sontak Selena menjauhkan wajah kaget, dia melihat sekeliling dimana semua orang yang masuk berpasangan. Terpaksa Selena menyelipkan tangan Mike, bangunan bintang lima itu dipenuhi orang. Baik di halaman maupun di tempat pusat acara. Pesta yang tidak biasa, bahkan ini adalah pesta paling glamour yang pernah Selena temui. Aroma alkohol menyeruak di udara, para wanita berpakaian seksi serta memakai penutup wajah seperti Selena berkerumun di sana. "Tuan Muda." seseorang berjalan mendekati Mike dengan membungkuk hormat. "Mike aku-" Selena menarik ujung jas Mike. "Sebentar Selene." Mike lebih memilih mendekati orang itu, "Kau tunggu di sini, ingat jangan kemanapun, aku sedang ada sedikit urusan.""Tapi Mike, aku ingin ke toilet." ucap Selena sedikit berteriak namun, pria itu sudah terlanjur pergi mengikuti orang tadi. Selena mendecih kesal, dia celingukan mencari keberadaan kamar k
"Billy, kumohon jangan lakukan itu. Aku, aku bersedia melakukan apapun.... " Selena menurunkan harga dirinya dengan berlutut agar pria itu tidak mengekspos foto-fotonya di sosial media. Pria tampan itu menyesap sebatang cerutu yang diapit di ujung jarinya, tatapannya dingin dan tajam menghadap jendela kaca yang membentang di sepanjang sisi ruangan sedangkan salah satu tangannya masuk ke saku celananya. "Bagaimana, ya. Sepertinya kau lebih cocok menjadi model majalah dewasa." Billy menyeringai. "Sepertinya wajah wanita ini tidak asing," Billy mengerutkan keningnya mengingat-ingat wajah wanita yang terlihat familiar, kemudian ekspresinya kembali berubah setelah beberapa detik diam mengamati rentetan gambar di ponsel Selena. Lantas pria berjas silver branded itu mengalihkan layar ponsel pada Selena. "Dia ibumu?" satu alis Billy terangkat. "Kau!" secepat kilat jemari lentik itu ingin meraih benda pipih yang menyimpan fotonya bersama sang ibu, "Kembalikan ponselku!""Oh, apa ini? Seoran