"Billy, kumohon jangan lakukan itu. Aku, aku bersedia melakukan apapun.... " Selena menurunkan harga dirinya dengan berlutut agar pria itu tidak mengekspos foto-fotonya di sosial media.
Pria tampan itu menyesap sebatang cerutu yang diapit di ujung jarinya, tatapannya dingin dan tajam menghadap jendela kaca yang membentang di sepanjang sisi ruangan sedangkan salah satu tangannya masuk ke saku celananya."Bagaimana, ya. Sepertinya kau lebih cocok menjadi model majalah dewasa." Billy menyeringai."Sepertinya wajah wanita ini tidak asing," Billy mengerutkan keningnya mengingat-ingat wajah wanita yang terlihat familiar, kemudian ekspresinya kembali berubah setelah beberapa detik diam mengamati rentetan gambar di ponsel Selena. Lantas pria berjas silver branded itu mengalihkan layar ponsel pada Selena. "Dia ibumu?" satu alis Billy terangkat."Kau!" secepat kilat jemari lentik itu ingin meraih benda pipih yang menyimpan fotonya bersama sang ibu, "Kembalikan ponselku!""Oh, apa ini? Seorang Selena ternyata adalah anak dari seorang pelakor, bagaimana kalau berita tentang model yang baru saja akan meniti karir ini memiliki sedikit latar belakang yang sedikit.... wow, di mata publik, hm?" dengan lebih cepat Billy menarik tangannya dari rampasan Selena, kembali menyapukan jemarinya di atas layar. Billy ingat wanita di dalam foto ini merupakan ajang pembicaraan di sosial media akhir-akhir ini.Selena cukup frustasi karena menurutnya selama ini sang ibu adalah wanita yang hangat, berita yang beredar mengatakan kalau wanita yang menyayanginya sejak kecil itu memiliki skandal dengan seorang pria, fakta mengejutkannya lagi dibalik hubungan itu telah lahir seorang anak haram.Air mata Selena hampir meleleh, dia menahannya sekuat tenaga agar tidak segera tumpah. Akibat rumor yang beredar Selena harus kehilangan wanita yang selalu didambanya untuk selamanya, dia tidak peduli tentang berita itu, dengan tidak punya hati orang-orang menuliskan kata-kata yang kejam di kolom komentar. Setidaknya para komentator itu tidak berhak mengatakan sesuatu yang belum mereka ketahui secara pasti."Oh, apa ini?!" sekilas Billy melihat melalui ekor matanya, "Dulu bahkan aku tidak pernah ingat wajah seorang Selena sangat kasihan seperti ini. Ayolah, kemana perginya tawa sombongmu itu.""Maaf, aku mengaku salah. Tapi aku mohon jangan lakukan, kau boleh memintaku melakukan apapun." Selena menjatuhkan diri tepat di sisi sepatu mahal milik pria yang masih menjulang di depannya."Mulutku rasanya tidak tahan lagi untuk tidak mengatakan bahwa dirimu tidak cocok melakukan permohonan itu nona Selena." Billy mengangkat sebelah alisnya, sudut bibirnya terangkat puas.Tiba-tiba saja kenop pintu bergerak, menandakan seseorang akan masuk. Dan....Seorang wanita paruh baya pelan-pelan menelengkan kepalanya sampai sepasang mata yang mulai keriput muncul dari balik pintu."Nenek?! Kenapa wanita itu bisa ma-" gumam Billy menyadari kehadiran neneknya, hampir saja dia mengumpat. Ah, dasar Leonardo, asisten tidak becus. Bagaimana dia lupa hanya untuk menutup pintu sebelum ke luar."Apa aku mengganggu?" wanita paruh baya itu berjalan mendekat diselingi senyum ramah yang membuat matanya menyipit.Tentu saja menganggu, walau nenek Riana datang diwaktu yang tepat sekalipun nyatanya Billy tetap tidak tenang."Aku membawa ini, sebaiknya kalian makan siang." ucap nenek Riana lagi meletakkan kotak berisi makanan di atas meja.Billy terperangah, sejak kapan wanita karir itu punya waktu hanya untuk mengantar kotak makanan? Tunggu, sepertinya Billy melupakan akan sesuatu, ini bukan hanya tentang jamuan makan siang yang diantarkan spesial oleh petinggi keluarga Amore kan?Oh tidak! seharusnya semalam adalah hari kencan butanya bersama seorang anak dari teman sosialita neneknya. Dan, hari ini adalah hari dimana Riana menginginkan hubungan itu segera mengalami kemajuan."Nenek, tunggu dulu–""Aku tidak ingin mendengar penolakan lagi," Riana menoleh, melirik tajam ke arah Billy, "Ingat, aku tidak ingin kejadian beberapa tahun lalu terulang kembali. Kaulah satu-satunya orang yang bisa meneruskan tugas itu. Jangan membicarakan alasan apapun lagi!Tugas? Tugas memberikan banyak penerus untuk keluarga ini? Memangnya dirinya ayam betina?"Aku tidak ingin kau terus berbuat onar seenaknya saja, bermain wanita dan berbuat kekacauan dimana-mana. Berhentilah membuat nenek tua ini lelah, kau bahkan–“ tiba-tiba bibir Riana yang masih belum mau berhenti mengoceh terpaksa mengatup saat tatapannya bersiborok dengan Selena."Kalau kau tidak segera mengambil keputusan maka jangan salahkan nenekmu selangkah lebih maju." di tengah emosinya terpaksa nenek Riana berjalan mendekati pintu dan meninggalkan suara berdebam di sana."Apakah aku sudah boleh pergi sekarang?" sejak tadi ternyata Selena masih terpaku"Kau masih di sini rupanya?" karena terlalu kalut memikirkan masalahnya Billy jadi melupakan Selena yang menatapnya was-was."Sepertinya di lain waktu kita akan bertemu lagi nona Selena Ginn" Billy membuka akses pintu mengisyaratkan agar Selena segera keluar dari apartemennya."Kenapa kau masih diam disitu? Kalau kau tidak bergerak juga aku akan berubah pikiran untuk membebaskanmu." ucap Billy lagi membuyarkan kegugupan Selena.Segera secepat kilat Selena berlalu dari sana, bahkan dia harus repot-repot membuka heelsnya agar lebih memudahkan berlari.Selena merutuki dirinya sendiri, bagaimana bisa ponselnya ketinggalan di sebuah tempat hiburan waktu itu, dan sialnya lagi kenapa bisa sampai pria itu yang menemukannya.Lalu orang itu, kenapa Selena samasekali tidak mengenalinya, auranya berbeda. Dia bukan lagi pengecut yang akan diam saja saat akan diganggu.Berdasarkan dari apa yang didengarnya tadi, orang itu adalah pembuat onar? Suka main wanita? Tunggu. Ini tidak masuk akal. Seharusnya seorang Billy Amore tidak begitu.Apakah orang itu adalah orang lain yang wajahnya mirip?Berbagai spekulasi muncul di kepala Selena. Tapi kenapa....? Apa orang itu telah berubah, merubah penampilan dan keseluruhan jati dirinya dari seorang pecundang menjadi seorang yang beraura dominan? Mustahil.Selena menelan keragu-raguannya sendiri, menelan setiap pertanyaan yang semakin banyak timbul di dalam kepalanya.Beberapa jam yang lalu...."Ada apa nona?""Ah, tidak. Tidak ada apa-apa tuan." jawab Selena gugup saat kedapatan tengah memperhatikan pemandangan di depan matanya. Terlihat familiar."Dimana ponsel saya yang Anda katakan itu, apa-""Ini?" Billy mengeluarkan dari saku jasnya benda pipih bermotif. Kekanakan sekali. Billy berdecak dalam hatinya."Tunggu– Apa benar ini milik Anda?" kata Billy menarik kembali ponsel milik Selena."A-apa?" Selena tidak yakin lelaki itu akan meminta imbalan padanya, penampilannya saja jauh diatas rata-rata. Tidak mungkin dia akan meminta sesuatu kan?"Bagaimana kalau aku memastikannya lagi?" nada bicara Billy seakan langsung menusuk di gendang telinga Selena.Dengan terpaksa Selena mengangguk mengiyakan ucapan pria itu, hanya saja bagian depan layarnya.... sedikit agak berubah. Tidak ada lagi retakan disana. Terlihat seperti barang baru."Baiklah, aku harus membayar berapa untuk menebusnya?" tanya Selena tak suka mendapati pria di seberang meja mengutak-atik ponselnya sesuka hati."Aku pikir kau masih mengingatku nona Selena, aku sedikit kecewa padamu." ucap Billy dengan senyum tipisnya."Apa kau...." saat menyebutkan nama itu sebenarnya Selena sedikit takut, takut kalau sampai dia salah orang, karena casual pria di depannya ini jauh dari kata biasa."Ya, Billy. Baguslah kalau kau masih mengingatnya," tukas Billy tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.Meski ragu Selena berusaha tetap percaya, ponsel bermotif kartun itu harus segera kembali padanay. Situasi ini benar-benar membuatnya tidak nyaman.Reuni macam apa ini?!"Nona, apa kau baik-baik saja?"Panggilan supir taxi dari arah depan menyadarkan Selena, wajah tampan sekaligus menyeramkan itu masih terngiang di kepalanya."Bagaimana kalau aku mengekspos foto-foto milikmu ini, media pasti akan sangat senang memberitakan tentang seorang model baru yang ternyata ibunya adalah seorang.... "Pelakor.Sial! Selena masih mengingatnya jelas saat pria itu begitu menatapnya rendah."Apakah Anda masih akan berpergian ke tempat lain, nona?" sekali lagi supir taxi itu melayangkan pertanyaan karena sekarang kendaraan yang membawa mereka telah benar-benar berhenti, sampai di tempat tujuan."Tidak, pak." Selena bergegas ke luar "Ini adalah pemberhentian terakhirku." ucapnya lagi setelah menutup pintu taxi dan kendaraan itupun berlalu begitu saja hingga menghilang di ujung jalan."Nomor tidak dikenal?" Selena mendatangi ponselnya yang sejak tadi bergetar, dia baru sempat melihatnya karena baru saja melepas masker lengket yang menutupi wajahnya. Jemarinya masih tertahan di udara, membaca satu persatu deretan angka yang sudah belasan kali memenuhi daftar panggilan tidak terjawab, Betapa terkejutnya Selena setelah memencet tombol hijau lalu terdengar suara familiar di balik panggilan. "O-orang itu, bagaimana bisa?" Selena masih shock melihat ponselnya dari kejauhan yang sekarang mendarat bebas di atas lantai tanpa peduli barang baru itu retak atau tidak. Padahal ponselnya yang kemarin, ponsel yang menjadi alasan dia menemui orang itu, dia tidak benar-benar mengembalikannya. Sekarang mau apalagi dia menelepon? "Apa kau tidak ingin berbicara lagi denganku?" sekarang suara Billy terdengar lebih jelas karena tidak sengaja tadi Selena memencet tombol speaker. Sial! Bulu kuduk Selena benar-benar meremang sekarang. Selena ragu apakah harus kembali berbicara atau men
"Kesepakatan?" Selena mengulang kalimat barusan. "Ya.... " Billy menunda ucapannya sejenak, "Sebuah kontrak pernikahan." "Menikah kontrak?" Ini samasekali tidak lucu, Selena sering mendengar hal semacam ini di TV ataupun dalam cerita-cerita novel. "Tidak! Aku tidak mau!" tolak Selena cepat. "Aku rasa kau tidak sedang dalam posisi bisa menolak nona Ginn," Selena terbelalak, tebakannya benar. Kesepakatan yang hanya akan berat sebelah. "Kau tahu ponsel itu 'kan?" Billy mengingatkan Selena pada ponsel lamanya dimana foto-foto kenangannya bersama sang ibu tersimpan. "Aku bisa melakukan apapun dengan benda itu di tanganku." "Bagaimana bisa seorang pria sepertimu memanfaatkan barang orang lain? Selena menatap tajam, "Dasar licik!" "Terserah apa katamu nona Ginn, bagaimana? Kuharap kau bisa langsung memutuskan jawabannya saat ini juga." Billy tersenyum tipis. "Tidak!" Selena melipat tangannya di dada. "Kau menjijikkan Billy, kau bahkan menculikku ke tempat ini hanya untuk bermain
"Anda juga harus bisa memasak, nona." Hari ini Marianne membawa Selena ke dapur, wanita itu memintanya untuk memasak sup sederhana. Selena sedikit menghela nafas, pria itu sudah berhasil membuat dirinya mengikuti tes menjadi seorang pelayan. Selena mengikuti arahan seperti yang dikatakan Marianne. "Saya permisi ke toilet sebentar, nona." ucap Marianne seperti menahan sesuatu. Ternyata wanita itu bisa berekspresi, misalnya menahan pipis. "Silahkan." Selena kembali memasukkan beberapa potong sayuran setelah airnya mendidih. "Uhm, setelah ini apa, ya?" "Ah, iya. Bumbu." sorot mata Selena beralih pada beberapa toples yang di susun pada sebuah rak. Selena buta akan berbagai perbumbuan, dia memasukkan 3 sendok masing-masing setiap bumbu yang tersedia. "Wah, aromanya terasa lezat nona." Marianne yang baru saja kembali langsung mengambil sendok untuk mencicipi. Selena tersenyum senang mendengar masakannya dipuji sampai pada saat wajah Marianne berubah drastis saat kuah sup
Selena masih bergelut dengan pikirannya, pria itu sangat tidak mempunyai perasaan. Bagaimana tidak? Setelah merenggut kesuciannya begitu saja setelah itu dengan gampangnya menghempas Selena dengan kalimat yang menusuk. Walau bagaimana Selena bertekad untuk tidak mengikuti Billy untuk tidak membuatnya hamil. Meski Selena sadar perkataan itu tepat bahwa memang dia tidak pantas menjadi ibu dari seorang penerus keluarga ternama di kota ini. Jauh dalam benaknya Selena merasa semakin terpuruk, kenangan akan masa kecilnya dulu kembali terlintas. Saat anak-anak seusia dengannya mengolok bahwa dia gelandangan hina, ibunya adalah pelac*r yang merebut suami orang. Entah siapa dalang dibalik kata-kata keji itu melalui mulut orang-orang disekitarnya. Selena kembali terisak lirih akan nasib sialnya bertemu Billy, saat pria itu menculiknya dari studio foto tempatnya bekerja sebagai model. Lalu memaksanya menikah dengan berbagai ancaman sampai merenggut kesuciannya. Billy tidak datang lagi ke kam
"Billy.... " panggil Selena pada suaminya. Billy menoleh menghentikan langkahnya. "Ada apa?""Aku ingin berbelanja." Selena menengadahkan tangan. Billy yang langsung merespon mengangkat alisnya, wajahnya tersenyum lebih ke arah meremehkan. "Ini." dia meletakkan sebuah black card di atas tangan Selena, "belanja lah sepuasnya, beli apapun yang kau mau." setelahnya pria berstelan jas itu kembali membalikkan tubuhnya melangkah pergi. Selena membalas senyum tak kalah menyeramkan, biar saja pria itu berpikir semaunya. Tentang seorang wanita pada umumnya menghamburkan uang dengan berbelanja. Sedetik kemudian mobil hitam milik suaminya meninggalkan pekarangan. Selena bergegas turun, mendapatkan mobil di garasi rumah mewah itu tidaklah sulit. Bahkan garasi yang bisa dikatakan lebih mirip showroom itu lebih memiliki kelas. Wanita berambut hitam panjang itu memilih kendaraan classic era 80 an, membelah jalanan kota. Setelah berpikir panjang, Selena menghubungi pria bernama Mike semalam untu
Seorang wanita cantik mengenakan dress panjang tanpa lengan berbalut syal bulu berjalan anggun ditemani dua orang sangar bertubuh tinggi besar. "Silahkan duduk, nona Gisella." kata Billy menyambut kedatangan wanita cantik itu. Wanita bernama Gisella itu melirik ke arah Selena sejenak sebelum dia menjatuhkan bobotnya, "Terimakasih, tetapi aku ingin duduk di sini." Gisella duduk di pangkuan Billy sembari bergelayut manja pada lengan kekarnya. "Tidak masalah selama itu membuatmu nyaman." Dari tempatnya duduk menguar bau harum wanita itu, Selena tidak tahan lagi dengan tingkah dua orang tidak tahu malu di depannya, sebelum benar-benar menjadi pengusir lalat di antara keduanya, dia lebih memilih pergi dari sana. "Siapa yang menyuruhmu pergi?!"Selena menoleh, tidak percaya pria itu menghentikan langkahnya agar dia kembali duduk menyaksikan adegan romantis yang menggelikan. "A-aku, aku ingin ke toilet." Selena terpaksa mengubah arahnya, "perutku terasa sakit."Gisella tampak mengernyit
"Billy, tunggu." Selena meremas jemarinya satu sama lain. Tatapan dingin tanpa jawaban mengarah pada Selena, dari sana jelas pria dengan rahang kokoh di depannya itu seperti orang tak bersalah. "Apa lagi?" Billy menghela nafas pelan, sepasang mata lentik menatap seakan mengharapkan sesuatu padanya. "Aku ingin kita mengakhiri ini sekarang juga." tegas Selena melalui sorot matanya yang berubah sendu. Dia memutuskan mengakhiri drama ini secepatnya. "Apa katamu?! Tapi maaf sepertinya aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu itu," Billy berdecak sinis, tubuh bidang itu berhasil menyudutkan Selena pada dinding di belakangnya. "Akulah yang berhak mengakhirinya, kapanpun itu." ucap Billy sedikit merunduk pada telinga Selena. "Menarilah sesuai irama, kalau kau salah langkah berarti itu akan menyulitkan dirimu sendiri. Benarkan sayang?" sembari mengulurkan telunjuknya pada pipi Selena yang mulus pria itu menyoroti netra hitam pekat Selena. Selena menepisnya, dia mengeluarkan diri dari kungk
"Nenek, apa kabarmu?" Billy menyambut wanita paruh baya yang baru saja turun dari kendaraan mewahnya. Binar di kedua matanya menelisik sepasang yang baru menikah itu. Diikuti Selena tersenyum ramah mencium pipi kanan dan pipi kiri Riana, nenek dari suaminya. "Apakah nenek lelah, kata orang pijatanku enak loh." Selena memberanikan diri mendekati Riana di sofa ruang keluarga. "Kau sungguh menantu yang baik." Riana menyambut jemari lentik di pundaknya, "tapi aku baru saja pergi ke spa relaksasi."Wanita tua itu menarik punggung tangan Selena agar ikut duduk di sebelahnya tanpa di duga menantunya itu mengaduh kesakitan, "A-apa yang terjadi?" keterkejutan jelas muncul di wajahnya, mata tua itu memicing pada Billy perihal keadaan Selena. Selena segera menyembunyikan tangannya, "Tidak apa-apa nenek, hanya luka kecil saja." ungkapnya disertai senyum yang dipaksakan. "Kemari duduklah." Selena menepuk tepat di sebelahnya. Riana menutup mulutnya yang terngangah lebar dengan tangan, "Bagaima
"Ayo" ucap Mike setengah berbisik mendekatkan wajah ke pendengaran Selena sembari merenggangkan sikunya. Sontak Selena menjauhkan wajah kaget, dia melihat sekeliling dimana semua orang yang masuk berpasangan. Terpaksa Selena menyelipkan tangan Mike, bangunan bintang lima itu dipenuhi orang. Baik di halaman maupun di tempat pusat acara. Pesta yang tidak biasa, bahkan ini adalah pesta paling glamour yang pernah Selena temui. Aroma alkohol menyeruak di udara, para wanita berpakaian seksi serta memakai penutup wajah seperti Selena berkerumun di sana. "Tuan Muda." seseorang berjalan mendekati Mike dengan membungkuk hormat. "Mike aku-" Selena menarik ujung jas Mike. "Sebentar Selene." Mike lebih memilih mendekati orang itu, "Kau tunggu di sini, ingat jangan kemanapun, aku sedang ada sedikit urusan.""Tapi Mike, aku ingin ke toilet." ucap Selena sedikit berteriak namun, pria itu sudah terlanjur pergi mengikuti orang tadi. Selena mendecih kesal, dia celingukan mencari keberadaan kamar k
Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga Brown, orang yang memegang pimpinan tertinggi di keluarga itu mengadakan ulang tahun. Sejak semalam Selena tidak melihat keberadaan Billy di rumah mewah itu, begitu pun dengan sosok wanita manja yang selalu berdampingan manja dengannya. "Bibi Lisa, apa kau tahu kemana perginya orang itu?" tanya Selena pada bibi Lisa. "Oh, tuan?" bibi Lisa langsung paham siapa orang yang dimaksud Selena, "Tuan sedang ada perjalanan ke luar kota, ada apa? Apakah Anda kangen nyonya?" bibi Lisa tertawa kecil. Selena mendecih kesal, sudah berulang kali dia mengingatkan panggilan itu tapi bibi Lisa tidak pernah mengubahnya, terlebih lagi wanita paruh baya itu mengatakan kalau dirinya menaruh rindu pada orang itu. Hal yang tidak akan mungkin pernah muncul dipikiran Selena. "Tidak, tiba-tiba saja suasana menjadi lebih sepi, bahkan kekasihnya saja tidak muncul beberapa hari." Selena mengedikkan bahunya acuh. "Kalau nona Gisella mungkin sedang sibuk dengan pesta
"Tidak, aku masih harus membalas perbuatan pria brengs*k itu." Selena menggeleng samar, pria itu sudah menghancurkan hidupnya dia tidak ingin diam begitu saja setelah semua yang terjadi. Mike tetap mengulas senyum meski mendapat penolakan, tidak mengapa. Ini bukan kesempatan terakhir baginya. "Tapi, bolehkah aku meminta tolong sesuatu padamu.""Katakan saja," ucap Mike tanpa ragu. "Hari ini mungkin adalah hari terakhir perjalanan bulan madu kami. Jadi, bisakah kau membawaku kembali pulang ke rumah keluarga Amore?" Selena merasa sungkan meminta bantuan pada Mike setelah tadi dia sempat menolak pria itu. "Hei, kenapa wajahmu seperti itu. Aku tidak keberatan sama sekali, katakan saja apapun itu." ungkap Mike beranjak dan mengulurkan tangannya pada Selena. "Ayo kita pergi dari sini.""Terimakasih Mike."*"Wah, lihat siapa ini?" wanita yang beberapa hari lalu menjadi dalang penculikan itu bertepuk tangan ringan menyambut kedatangan seorang yang tidak disukainya. "Kau kembali?" tanya B
Pria berjas putih itu kembali hadir di ruangan Selena saat pagi menjelang, sinar yang menyorot masuk melalui celah gorden jendela kaca terasa menyilaukan mata. "Pagi, nona." sapa pria itu ramah sembari menyibak kain jendela agar sinat matahari pagi masuk seutuhnya, sinar hangat yang juga bagus untuk kesehatan. Selena tidak menjawab, dia hanya memperhatikan gerak pria yang tidak diketahui namanya itu sejak tadi sibuk menyiapkan resep obat untuknya. Suara pintu terketuk pelan sedikit mengalihkan perhatiannya, "Masuk," ucap dokter berwajah tampan itu. "Dokter, saya mengantar sarapan untuk pasien.""Silahkan." ucap sang dokter sibuk dengan kegiatannya sendiri. Seorang gadis muda yang berpakaian mirip dengan warna jas dokter tersebut mengambil tempat tepat di sebelah Selena. "Nona bukalah mulut Anda, walaupun makan sedikit ini sangat membantu pemulihan Anda lebih cepat." ucap suster muda sangat ramah. Namun, meski setelah 15 menit mencoba, rayuannya sama sekali tidak mempan. Selena m
Selena menyusun barang bawaan milik tuan dan nona muda kaya itu setelah mendapat perintah. Tanpa sepengetahuan Selena seseorang membekap bagian pernapasannya dengan kain yang diberi obat bius, perlahan pandangannya meremang seiring kesadaran yang perlahan pudar. "Gisella, aku ingin ke toilet. Turunlah sebentar." Billy meminta agar Gisella turun dari pangkuannya. Gisella mengerucutkan bibirnya, "Jangan lama-lama, honey." terlihat tidak rela dari wajahnya. "Ya." Billy menjawab singkat dan meninggalkan bagian taman di resort mewah milik keluarga Gisella. Wanita itu sibuk dengan ponselnya setelah kepergian Billy, dia melihat isi chat dari seseorang yang menjadi kaki tangannya. Senyum puas menyembul begitu saja dari bibirnya membaca pesan teks yang masuk. "Pergi saja dari dunia ini, wanita sampah." gumamnya mengukir senyum. "Apa yang membuatmu bahagia." Billy menyadari tingkah aneh Gisella setelah dari toilet, tidak seperti biasanya. Dia tahu wanita itu pasti sedang menyembunyikan se
Pagi ini Selena disibukkan dengan beberapa koper di tangannya, wanita yang bukan bagian dari rumah ini juga ikut menyibukkannya, dia sengaja membawa barang-barangnya ke tempat ini.Tidak ada pilihan lain, Selena terpaksa menuruti permainan mereka. "Apa kau bisa lebih cepat! Dasar lamban!" cibir Gisella dengan warna merah terang menghiasi bibirnya. Wanita berkulit putih pucat itu melipat tangannya ke dada, seperti biasa dia menatap tidak suka pada Selena. Semenjak kepulangan Gisella dari luar negeri, pria menyebalkan yang duduk bersebelahan dengan wanita yang tidak kalah menyebalkannya itu lebih banyak diam, dia menuruti segala keinginan dan apapun perintah yang keluar dari mulut manja dari seorang gadis kaya. Selena kesal, kali ini dia harus duduk di bangku penumpang paling belakang. Harus menyaksikan keromantisan sepasang kekasih di depannya, tadinya dia ingin mengambil tempat di depan, di sebelah Robin yang menyetir tetapi Gisella melarangnya. Sepanjang perjalanan, Selena memalin
"Sayang, aku menginginkanmu." Gisella mengukir wajah Billy dengan ujung kukunya yang lancip di penuhi hiasan cat berwarna-warni. "Benarkah?" Billy membalasnya menangkap jari jemari lentik yang sejak tadi menggelitik di wajahnya lalu mencium punggung tangan itu sampai ke lengan. Gisella memang gila kalau Billy tidak menghentikannya mungkin mereka akan melakukan itu di situ saat itu juga. "Apa kau ingin menjadi bahan tontonan." Gisella menyeringai setelah mendengar kalimat yang membisik di telinganya, dia terpaksa menghentikan aktivitas kedua tangannya yang telah memporak-porandakan pakaian Billy. "Dasar binatang tidak tahu malu!" Selena memekik pelan, luka di hatinya kembali menganga. Selena tidak tahu kenapa dia harus merasakan sakit saat kedua pasangan itu memadu kasih. Gisella melepas tubuh Billy begitu saja setelah mengetahui Selena tidak lagi berada di tempat, "Gendong aku ke atas." wanita itu kembali merengek mengangkat kedua tangannya ke arah Billy. Berhasil membawa bobot G
"Nenek, apa kabarmu?" Billy menyambut wanita paruh baya yang baru saja turun dari kendaraan mewahnya. Binar di kedua matanya menelisik sepasang yang baru menikah itu. Diikuti Selena tersenyum ramah mencium pipi kanan dan pipi kiri Riana, nenek dari suaminya. "Apakah nenek lelah, kata orang pijatanku enak loh." Selena memberanikan diri mendekati Riana di sofa ruang keluarga. "Kau sungguh menantu yang baik." Riana menyambut jemari lentik di pundaknya, "tapi aku baru saja pergi ke spa relaksasi."Wanita tua itu menarik punggung tangan Selena agar ikut duduk di sebelahnya tanpa di duga menantunya itu mengaduh kesakitan, "A-apa yang terjadi?" keterkejutan jelas muncul di wajahnya, mata tua itu memicing pada Billy perihal keadaan Selena. Selena segera menyembunyikan tangannya, "Tidak apa-apa nenek, hanya luka kecil saja." ungkapnya disertai senyum yang dipaksakan. "Kemari duduklah." Selena menepuk tepat di sebelahnya. Riana menutup mulutnya yang terngangah lebar dengan tangan, "Bagaima
"Billy, tunggu." Selena meremas jemarinya satu sama lain. Tatapan dingin tanpa jawaban mengarah pada Selena, dari sana jelas pria dengan rahang kokoh di depannya itu seperti orang tak bersalah. "Apa lagi?" Billy menghela nafas pelan, sepasang mata lentik menatap seakan mengharapkan sesuatu padanya. "Aku ingin kita mengakhiri ini sekarang juga." tegas Selena melalui sorot matanya yang berubah sendu. Dia memutuskan mengakhiri drama ini secepatnya. "Apa katamu?! Tapi maaf sepertinya aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu itu," Billy berdecak sinis, tubuh bidang itu berhasil menyudutkan Selena pada dinding di belakangnya. "Akulah yang berhak mengakhirinya, kapanpun itu." ucap Billy sedikit merunduk pada telinga Selena. "Menarilah sesuai irama, kalau kau salah langkah berarti itu akan menyulitkan dirimu sendiri. Benarkan sayang?" sembari mengulurkan telunjuknya pada pipi Selena yang mulus pria itu menyoroti netra hitam pekat Selena. Selena menepisnya, dia mengeluarkan diri dari kungk