"Kesepakatan?" Selena mengulang kalimat barusan.
"Ya.... " Billy menunda ucapannya sejenak, "Sebuah kontrak pernikahan." "Menikah kontrak?" Ini samasekali tidak lucu, Selena sering mendengar hal semacam ini di TV ataupun dalam cerita-cerita novel. "Tidak! Aku tidak mau!" tolak Selena cepat. "Aku rasa kau tidak sedang dalam posisi bisa menolak nona Ginn," Selena terbelalak, tebakannya benar. Kesepakatan yang hanya akan berat sebelah. "Kau tahu ponsel itu 'kan?" Billy mengingatkan Selena pada ponsel lamanya dimana foto-foto kenangannya bersama sang ibu tersimpan. "Aku bisa melakukan apapun dengan benda itu di tanganku." "Bagaimana bisa seorang pria sepertimu memanfaatkan barang orang lain? Selena menatap tajam, "Dasar licik!" "Terserah apa katamu nona Ginn, bagaimana? Kuharap kau bisa langsung memutuskan jawabannya saat ini juga." Billy tersenyum tipis. "Tidak!" Selena melipat tangannya di dada. "Kau menjijikkan Billy, kau bahkan menculikku ke tempat ini hanya untuk bermain nikah-nikahan? Tidak lucu." Baiklah, ini memang permainan nikah-nikahan, Billy tidak bisa menghindari itu. Masalahnya dia juga tidak menyukai gadis gendut yang dikenalkan neneknya melalui kencan buta waktu itu, bahkan wajahnya dipenuhi oleh hormon labil seorang remaja, jerawat. Ugh! Samasekali bukan tipe Billy. "Terserah apa katamu, selain itu kau bisa mengajukan syarat selama permainan nikah-nikahan ini berlangsung." Otak Selena mulai berputar, berpikir keras. Syarat katanya? Hm... tidak buruk. "Baiklah, coba jelaskan kesepakatan seperti apa yang kau maksud tuan?" tanya Selena. "Pertama aku ingin kita menikah" tentunya Billy ingin segera terlepas dari neneknya yang terus-terusan mendorongnya. "Tunggu. Aku sedikit merasa janggal, kenapa kau memilihku padahal banyak wanita yang lebih...." "Lebih kaya, lebih modis, lebih populer, lebih–" Billy membalas kalimat Selena barusan. "Ya, baiklah secara tak langsung kau mengucapkan semua kekuranganku 'kan?" Selena menatap tajam ke arah Billy seolah dia sedang ingin menerjang pria yang terlalu blak-blakan itu. "Tentu saja banyak, memangnya kenapa? Aku bebas mengatakan apa yang kumau." lanjut Billy lagi tak mau kalah. "Of course, teruskan!" Selena memutar matanya jengah. "Aku tidak ingin pernikahan ini diketahui selain daripada keluarga inti saja." "Itu bagus!" gumam Selena, semakin sedikit yang tahu tentang pernikahan ini akan semakin bagus tentunya. "Kau hanya perlu sedikit berakting ketika di depan nenek menjadi seorang menantu yang baik dan penurut." "Lalu?!" tanya Selena kembali dilengkapi raut penasaran akan kata-kata Billy selanjutnya. "Hm, aku rasa saat ini hanya itu saja." "Hanya, cuma ini saja?" sedikit kecewa, namun bukan berarti Selena menginginkan pasal perjanjian yang berbelit itu. Tidak seperti dugaannya. "Baguslah!" Billy melirik melalui ekor matanya, sejak tadi wanita di depannya ini hanya mengulang kata yang sama. Bagus katanya? * "Apa tidurmu nyenyak nona Ginn?" kalimat tanya yang seharusnya memiliki intonasi lebih tinggi ternyata terdengar datar keluar dari mulut Billy, tanpa mengalihkan pandangan pada sepotong sandwich sebagai sarapan pagi ini. "Tidak." jawab Selena cepat, "Insomnia ini mulai mengangguku sejak datang ke rumah ini bisa dibilang aku bermimpi buruk." Selena terdengar enggan menjawab pertanyaan yang tidak pantas mendapat jawaban, penampilannya masih berantakan. Selena sengaja keluar kamar tanpa sedikitpun membenahi penampilannya dan... sedikit cuek. Setidaknya harapan menggunakan trik murahan ini rencananya akan berjalan lancar dan Billy akan membatalkan pengajuan terkait pernikahan kontrak yang mereka bicarakan semalam. "Selamat pagi tuan dan nona," seorang wanita pertengahan umur 40-an tiba-tiba hadir memberikan salam dengan sedikit membungkukkan punggungnya. Kening Selena berkerut, sejak kapan wanita itu ada di sebelahnya? "Perkenalkan saya Mariane, pengasuh tuan Billy. Saya.... " "Akan mengajarkan tatakrama sebagai seorang istri. Mulai saat ini." Billy memotong ucapan Mariane. Selena terbelalak, mengajarkan tatakrama apanya? Bukankah ini hanya sekadar pernikahan kontrak, keterlaluan sekali! "Saya tidak mengerti samasekali." jawab Selena acuh, ekor matanya mengarah ke Billy mempertanyakan situasi saat ini. "Baiklah, aku harus berangkat bekerja dulu." sehabis mengelap mulut Billy melihat arloji di pergelangan tangannya, waktunya berangkat kerja tiba. "Selamat bersenang-senang nona Ginn." Billy tersenyum licik dengan sebelah sudut bibir yang terangkat. " Ah, tunggu.... " tangan Selena mengambang di udara berharap pria itu kembali. "Maaf nona, mulai hari ini tuan mempekerjakan saya lagi untuk mendampingi nona mengenai tata cara keseharian keluarga Amore." Mariane kembali menyatakan pekerjaannya dengan wajah serius dalam menghentikan langkah Billy. "A-apa?" Apa-apaan, wanita itu sama sekali tidak ramah. Tidak seperti bibi pelayan biasanya. Bisa dibilang wanita muda di hadapannya itukan tamu, tapi kenapa harus seserius ini? "Pertama-tama, Anda harus merapikan penampilan Anda saat keluar kamar tidur walau sudah mandi ataupun belum. Ini adalah etiket dasar seorang wanita untuk tampil rapi di depan pasangan." Dasar Billy sialan! Kenapa dia memberikan pengasuh yang lebih tepatnya untuk bayi?! "Baiklah aku akan segera membersihkan diri." "Mari saya bantu, nona." Mariane membuntuti Selena menuju kamar mandi. "Tidak! Aku akan mandi sendiri." Selena sedikit frustasi, dia bukan seorang putri yang mandi saja pun harus dilayani. "Maaf nona, tapi saya dipekerjakan bukan untuk menjadi pelayan Anda." Marianne sedikit membungkuk memberikan pernyataan. "Lebih baik Anda segera membersihkan diri karena waktu Anda tidak banyak." Tepat setelah itu dua orang wanita masuk ke dalam kamar. "Pagi nona, maaf kami baru datang. Mulai sekarang kami akan membantu nona membersihkan tempat ini." dua pelayan itu membungkuk, berbeda dengan Marianne mereka lebih ramah. Selena berdecak, dia tak mengerti. Baiklah lebih baik saat ini dirinya membersihkan diri saja. "Kemana para wanita itu?" tidak ada siapapun di ruangan kamar itu saat Selena kembali membuka pintu. Di atas ranjang sudah ada sebuah baju tidur berwarna putih senada dengan warna ranjang yang sekarang ditempatinya. Nyaman, ranjang empuk, ruangan kamar yang besarnya tiga kali lipat dari kamarnya sebelumnya yang bahkan dilengkapi furnitur mewah. Selena menepuk pipinya, bukan karena nyamuk melainkan dirinya harus ingat saat ini bukanlah waktu untuk menikmati suasana. * "Pagi nona Ginn." Selena tidak menjawab, haruskah dirinya menjawab pria itu? Hah, sepertinya Selena merasakan de javu. "Setelah sarapan nanti sebaiknya kau segera bersiap." ucap Billy mengakhiri sarapannya pagi ini lebih cepat. "Jangan lupa dalam waktu seminggu dia harus sudah mengikuti aturan keluarga ini." Billy beranjak dari tempatnya setelah mengatakan itu tanpa menyentuh sarapannya. "Baik tuan." Mariane mengangguk patuh. Selena tidak mempedulikan obrolan mereka, meski mendengar dia lebih memilih acuh. Dia melanjutkan makannya dengan kelambatan maksimal. Sudah lebih dari dua puluh menit Marianne masih tetap berdiri menunggu Selena, beruntung Selena bergerak lebih cepat menahan piring sarapannya dari tangan Marianne yang merasa waktu sarapan sudah lewat lima menit. "Waktu Anda habis nona." Mariane melirik jam tangannya. Selena tetap mempertahankan piringnya. Guk! Suara itu mengejutkan Selena, seekor anjing kecil yang juga berdiri di samping kaki Marianne. Saat melirik ke meja ternyata sepotong sandwichnya sudah tidak ada di sana. "Baiklah nona Ginn, setelah ini kita harus ke perpustakaan." Mariane menarik Selena tanpa peduli wanita itu meronta. Saat sampai di ruangan yang terdapat banyak buku, Mariane mendudukkan Selena di salah satu bangku. "Apa ini?" Selena tidak terima sebuah tumpukan buku diletakkan begitu saja di depannya, dia sudah menduga apa yang akan terjadi selanjutnya. "Anda harus memiliki wawasan yang lu.... " "Hei! Etiket macam apa ini? Bukannya hanya akan menikah kontrak, kenapa sampai harus belajar segala? Memangnya aku siswa yang akan mengikuti ujian?" potong Selena dengan menggebrak meja. Guk! Lagi-lagi anjing kecil di sebelah Mariane mengeluarkan suara protesnya. Bahkan hewan kecil itupun ikut memarahinya? Sebal! "Maaf nona, lebih baik Anda segera membaca buku-buku itu. Jangan membuang-buang waktu." Mariane mengabaikan penolakan Selena. "Perutku lapar, aku masih ingin sarapan." "Tidak bisa. Seharusnya Anda memanfaatkan waktu Anda dengan baik selama dua puluh menit tadi." Mariane menahan bahu Selena agar tetap berada di tempatnya. "Sakit." gumam Selena merasakan sedikit nyeri menjalari bahunya, wanita di sebelahnya tidak main-main. "Ah! Menyebalkan." terpaksa Selena hanya bisa mengumpat dalam hati. Selena mengerutkan keningnya mendapati buku yang sampulnya sebagian besar bergambar bunga. "Cara merawat bunga?" benak Selena kembali bertanya-tanya."Anda juga harus bisa memasak, nona." Hari ini Marianne membawa Selena ke dapur, wanita itu memintanya untuk memasak sup sederhana. Selena sedikit menghela nafas, pria itu sudah berhasil membuat dirinya mengikuti tes menjadi seorang pelayan. Selena mengikuti arahan seperti yang dikatakan Marianne. "Saya permisi ke toilet sebentar, nona." ucap Marianne seperti menahan sesuatu. Ternyata wanita itu bisa berekspresi, misalnya menahan pipis. "Silahkan." Selena kembali memasukkan beberapa potong sayuran setelah airnya mendidih. "Uhm, setelah ini apa, ya?" "Ah, iya. Bumbu." sorot mata Selena beralih pada beberapa toples yang di susun pada sebuah rak. Selena buta akan berbagai perbumbuan, dia memasukkan 3 sendok masing-masing setiap bumbu yang tersedia. "Wah, aromanya terasa lezat nona." Marianne yang baru saja kembali langsung mengambil sendok untuk mencicipi. Selena tersenyum senang mendengar masakannya dipuji sampai pada saat wajah Marianne berubah drastis saat kuah sup
Selena masih bergelut dengan pikirannya, pria itu sangat tidak mempunyai perasaan. Bagaimana tidak? Setelah merenggut kesuciannya begitu saja setelah itu dengan gampangnya menghempas Selena dengan kalimat yang menusuk. Walau bagaimana Selena bertekad untuk tidak mengikuti Billy untuk tidak membuatnya hamil. Meski Selena sadar perkataan itu tepat bahwa memang dia tidak pantas menjadi ibu dari seorang penerus keluarga ternama di kota ini. Jauh dalam benaknya Selena merasa semakin terpuruk, kenangan akan masa kecilnya dulu kembali terlintas. Saat anak-anak seusia dengannya mengolok bahwa dia gelandangan hina, ibunya adalah pelac*r yang merebut suami orang. Entah siapa dalang dibalik kata-kata keji itu melalui mulut orang-orang disekitarnya. Selena kembali terisak lirih akan nasib sialnya bertemu Billy, saat pria itu menculiknya dari studio foto tempatnya bekerja sebagai model. Lalu memaksanya menikah dengan berbagai ancaman sampai merenggut kesuciannya. Billy tidak datang lagi ke kam
"Billy.... " panggil Selena pada suaminya. Billy menoleh menghentikan langkahnya. "Ada apa?""Aku ingin berbelanja." Selena menengadahkan tangan. Billy yang langsung merespon mengangkat alisnya, wajahnya tersenyum lebih ke arah meremehkan. "Ini." dia meletakkan sebuah black card di atas tangan Selena, "belanja lah sepuasnya, beli apapun yang kau mau." setelahnya pria berstelan jas itu kembali membalikkan tubuhnya melangkah pergi. Selena membalas senyum tak kalah menyeramkan, biar saja pria itu berpikir semaunya. Tentang seorang wanita pada umumnya menghamburkan uang dengan berbelanja. Sedetik kemudian mobil hitam milik suaminya meninggalkan pekarangan. Selena bergegas turun, mendapatkan mobil di garasi rumah mewah itu tidaklah sulit. Bahkan garasi yang bisa dikatakan lebih mirip showroom itu lebih memiliki kelas. Wanita berambut hitam panjang itu memilih kendaraan classic era 80 an, membelah jalanan kota. Setelah berpikir panjang, Selena menghubungi pria bernama Mike semalam untu
Seorang wanita cantik mengenakan dress panjang tanpa lengan berbalut syal bulu berjalan anggun ditemani dua orang sangar bertubuh tinggi besar. "Silahkan duduk, nona Gisella." kata Billy menyambut kedatangan wanita cantik itu. Wanita bernama Gisella itu melirik ke arah Selena sejenak sebelum dia menjatuhkan bobotnya, "Terimakasih, tetapi aku ingin duduk di sini." Gisella duduk di pangkuan Billy sembari bergelayut manja pada lengan kekarnya. "Tidak masalah selama itu membuatmu nyaman." Dari tempatnya duduk menguar bau harum wanita itu, Selena tidak tahan lagi dengan tingkah dua orang tidak tahu malu di depannya, sebelum benar-benar menjadi pengusir lalat di antara keduanya, dia lebih memilih pergi dari sana. "Siapa yang menyuruhmu pergi?!"Selena menoleh, tidak percaya pria itu menghentikan langkahnya agar dia kembali duduk menyaksikan adegan romantis yang menggelikan. "A-aku, aku ingin ke toilet." Selena terpaksa mengubah arahnya, "perutku terasa sakit."Gisella tampak mengernyit
"Billy, tunggu." Selena meremas jemarinya satu sama lain. Tatapan dingin tanpa jawaban mengarah pada Selena, dari sana jelas pria dengan rahang kokoh di depannya itu seperti orang tak bersalah. "Apa lagi?" Billy menghela nafas pelan, sepasang mata lentik menatap seakan mengharapkan sesuatu padanya. "Aku ingin kita mengakhiri ini sekarang juga." tegas Selena melalui sorot matanya yang berubah sendu. Dia memutuskan mengakhiri drama ini secepatnya. "Apa katamu?! Tapi maaf sepertinya aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu itu," Billy berdecak sinis, tubuh bidang itu berhasil menyudutkan Selena pada dinding di belakangnya. "Akulah yang berhak mengakhirinya, kapanpun itu." ucap Billy sedikit merunduk pada telinga Selena. "Menarilah sesuai irama, kalau kau salah langkah berarti itu akan menyulitkan dirimu sendiri. Benarkan sayang?" sembari mengulurkan telunjuknya pada pipi Selena yang mulus pria itu menyoroti netra hitam pekat Selena. Selena menepisnya, dia mengeluarkan diri dari kungk
"Nenek, apa kabarmu?" Billy menyambut wanita paruh baya yang baru saja turun dari kendaraan mewahnya. Binar di kedua matanya menelisik sepasang yang baru menikah itu. Diikuti Selena tersenyum ramah mencium pipi kanan dan pipi kiri Riana, nenek dari suaminya. "Apakah nenek lelah, kata orang pijatanku enak loh." Selena memberanikan diri mendekati Riana di sofa ruang keluarga. "Kau sungguh menantu yang baik." Riana menyambut jemari lentik di pundaknya, "tapi aku baru saja pergi ke spa relaksasi."Wanita tua itu menarik punggung tangan Selena agar ikut duduk di sebelahnya tanpa di duga menantunya itu mengaduh kesakitan, "A-apa yang terjadi?" keterkejutan jelas muncul di wajahnya, mata tua itu memicing pada Billy perihal keadaan Selena. Selena segera menyembunyikan tangannya, "Tidak apa-apa nenek, hanya luka kecil saja." ungkapnya disertai senyum yang dipaksakan. "Kemari duduklah." Selena menepuk tepat di sebelahnya. Riana menutup mulutnya yang terngangah lebar dengan tangan, "Bagaima
"Sayang, aku menginginkanmu." Gisella mengukir wajah Billy dengan ujung kukunya yang lancip di penuhi hiasan cat berwarna-warni. "Benarkah?" Billy membalasnya menangkap jari jemari lentik yang sejak tadi menggelitik di wajahnya lalu mencium punggung tangan itu sampai ke lengan. Gisella memang gila kalau Billy tidak menghentikannya mungkin mereka akan melakukan itu di situ saat itu juga. "Apa kau ingin menjadi bahan tontonan." Gisella menyeringai setelah mendengar kalimat yang membisik di telinganya, dia terpaksa menghentikan aktivitas kedua tangannya yang telah memporak-porandakan pakaian Billy. "Dasar binatang tidak tahu malu!" Selena memekik pelan, luka di hatinya kembali menganga. Selena tidak tahu kenapa dia harus merasakan sakit saat kedua pasangan itu memadu kasih. Gisella melepas tubuh Billy begitu saja setelah mengetahui Selena tidak lagi berada di tempat, "Gendong aku ke atas." wanita itu kembali merengek mengangkat kedua tangannya ke arah Billy. Berhasil membawa bobot G
Pagi ini Selena disibukkan dengan beberapa koper di tangannya, wanita yang bukan bagian dari rumah ini juga ikut menyibukkannya, dia sengaja membawa barang-barangnya ke tempat ini.Tidak ada pilihan lain, Selena terpaksa menuruti permainan mereka. "Apa kau bisa lebih cepat! Dasar lamban!" cibir Gisella dengan warna merah terang menghiasi bibirnya. Wanita berkulit putih pucat itu melipat tangannya ke dada, seperti biasa dia menatap tidak suka pada Selena. Semenjak kepulangan Gisella dari luar negeri, pria menyebalkan yang duduk bersebelahan dengan wanita yang tidak kalah menyebalkannya itu lebih banyak diam, dia menuruti segala keinginan dan apapun perintah yang keluar dari mulut manja dari seorang gadis kaya. Selena kesal, kali ini dia harus duduk di bangku penumpang paling belakang. Harus menyaksikan keromantisan sepasang kekasih di depannya, tadinya dia ingin mengambil tempat di depan, di sebelah Robin yang menyetir tetapi Gisella melarangnya. Sepanjang perjalanan, Selena memalin
"Ayo" ucap Mike setengah berbisik mendekatkan wajah ke pendengaran Selena sembari merenggangkan sikunya. Sontak Selena menjauhkan wajah kaget, dia melihat sekeliling dimana semua orang yang masuk berpasangan. Terpaksa Selena menyelipkan tangan Mike, bangunan bintang lima itu dipenuhi orang. Baik di halaman maupun di tempat pusat acara. Pesta yang tidak biasa, bahkan ini adalah pesta paling glamour yang pernah Selena temui. Aroma alkohol menyeruak di udara, para wanita berpakaian seksi serta memakai penutup wajah seperti Selena berkerumun di sana. "Tuan Muda." seseorang berjalan mendekati Mike dengan membungkuk hormat. "Mike aku-" Selena menarik ujung jas Mike. "Sebentar Selene." Mike lebih memilih mendekati orang itu, "Kau tunggu di sini, ingat jangan kemanapun, aku sedang ada sedikit urusan.""Tapi Mike, aku ingin ke toilet." ucap Selena sedikit berteriak namun, pria itu sudah terlanjur pergi mengikuti orang tadi. Selena mendecih kesal, dia celingukan mencari keberadaan kamar k
Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga Brown, orang yang memegang pimpinan tertinggi di keluarga itu mengadakan ulang tahun. Sejak semalam Selena tidak melihat keberadaan Billy di rumah mewah itu, begitu pun dengan sosok wanita manja yang selalu berdampingan manja dengannya. "Bibi Lisa, apa kau tahu kemana perginya orang itu?" tanya Selena pada bibi Lisa. "Oh, tuan?" bibi Lisa langsung paham siapa orang yang dimaksud Selena, "Tuan sedang ada perjalanan ke luar kota, ada apa? Apakah Anda kangen nyonya?" bibi Lisa tertawa kecil. Selena mendecih kesal, sudah berulang kali dia mengingatkan panggilan itu tapi bibi Lisa tidak pernah mengubahnya, terlebih lagi wanita paruh baya itu mengatakan kalau dirinya menaruh rindu pada orang itu. Hal yang tidak akan mungkin pernah muncul dipikiran Selena. "Tidak, tiba-tiba saja suasana menjadi lebih sepi, bahkan kekasihnya saja tidak muncul beberapa hari." Selena mengedikkan bahunya acuh. "Kalau nona Gisella mungkin sedang sibuk dengan pesta
"Tidak, aku masih harus membalas perbuatan pria brengs*k itu." Selena menggeleng samar, pria itu sudah menghancurkan hidupnya dia tidak ingin diam begitu saja setelah semua yang terjadi. Mike tetap mengulas senyum meski mendapat penolakan, tidak mengapa. Ini bukan kesempatan terakhir baginya. "Tapi, bolehkah aku meminta tolong sesuatu padamu.""Katakan saja," ucap Mike tanpa ragu. "Hari ini mungkin adalah hari terakhir perjalanan bulan madu kami. Jadi, bisakah kau membawaku kembali pulang ke rumah keluarga Amore?" Selena merasa sungkan meminta bantuan pada Mike setelah tadi dia sempat menolak pria itu. "Hei, kenapa wajahmu seperti itu. Aku tidak keberatan sama sekali, katakan saja apapun itu." ungkap Mike beranjak dan mengulurkan tangannya pada Selena. "Ayo kita pergi dari sini.""Terimakasih Mike."*"Wah, lihat siapa ini?" wanita yang beberapa hari lalu menjadi dalang penculikan itu bertepuk tangan ringan menyambut kedatangan seorang yang tidak disukainya. "Kau kembali?" tanya B
Pria berjas putih itu kembali hadir di ruangan Selena saat pagi menjelang, sinar yang menyorot masuk melalui celah gorden jendela kaca terasa menyilaukan mata. "Pagi, nona." sapa pria itu ramah sembari menyibak kain jendela agar sinat matahari pagi masuk seutuhnya, sinar hangat yang juga bagus untuk kesehatan. Selena tidak menjawab, dia hanya memperhatikan gerak pria yang tidak diketahui namanya itu sejak tadi sibuk menyiapkan resep obat untuknya. Suara pintu terketuk pelan sedikit mengalihkan perhatiannya, "Masuk," ucap dokter berwajah tampan itu. "Dokter, saya mengantar sarapan untuk pasien.""Silahkan." ucap sang dokter sibuk dengan kegiatannya sendiri. Seorang gadis muda yang berpakaian mirip dengan warna jas dokter tersebut mengambil tempat tepat di sebelah Selena. "Nona bukalah mulut Anda, walaupun makan sedikit ini sangat membantu pemulihan Anda lebih cepat." ucap suster muda sangat ramah. Namun, meski setelah 15 menit mencoba, rayuannya sama sekali tidak mempan. Selena m
Selena menyusun barang bawaan milik tuan dan nona muda kaya itu setelah mendapat perintah. Tanpa sepengetahuan Selena seseorang membekap bagian pernapasannya dengan kain yang diberi obat bius, perlahan pandangannya meremang seiring kesadaran yang perlahan pudar. "Gisella, aku ingin ke toilet. Turunlah sebentar." Billy meminta agar Gisella turun dari pangkuannya. Gisella mengerucutkan bibirnya, "Jangan lama-lama, honey." terlihat tidak rela dari wajahnya. "Ya." Billy menjawab singkat dan meninggalkan bagian taman di resort mewah milik keluarga Gisella. Wanita itu sibuk dengan ponselnya setelah kepergian Billy, dia melihat isi chat dari seseorang yang menjadi kaki tangannya. Senyum puas menyembul begitu saja dari bibirnya membaca pesan teks yang masuk. "Pergi saja dari dunia ini, wanita sampah." gumamnya mengukir senyum. "Apa yang membuatmu bahagia." Billy menyadari tingkah aneh Gisella setelah dari toilet, tidak seperti biasanya. Dia tahu wanita itu pasti sedang menyembunyikan se
Pagi ini Selena disibukkan dengan beberapa koper di tangannya, wanita yang bukan bagian dari rumah ini juga ikut menyibukkannya, dia sengaja membawa barang-barangnya ke tempat ini.Tidak ada pilihan lain, Selena terpaksa menuruti permainan mereka. "Apa kau bisa lebih cepat! Dasar lamban!" cibir Gisella dengan warna merah terang menghiasi bibirnya. Wanita berkulit putih pucat itu melipat tangannya ke dada, seperti biasa dia menatap tidak suka pada Selena. Semenjak kepulangan Gisella dari luar negeri, pria menyebalkan yang duduk bersebelahan dengan wanita yang tidak kalah menyebalkannya itu lebih banyak diam, dia menuruti segala keinginan dan apapun perintah yang keluar dari mulut manja dari seorang gadis kaya. Selena kesal, kali ini dia harus duduk di bangku penumpang paling belakang. Harus menyaksikan keromantisan sepasang kekasih di depannya, tadinya dia ingin mengambil tempat di depan, di sebelah Robin yang menyetir tetapi Gisella melarangnya. Sepanjang perjalanan, Selena memalin
"Sayang, aku menginginkanmu." Gisella mengukir wajah Billy dengan ujung kukunya yang lancip di penuhi hiasan cat berwarna-warni. "Benarkah?" Billy membalasnya menangkap jari jemari lentik yang sejak tadi menggelitik di wajahnya lalu mencium punggung tangan itu sampai ke lengan. Gisella memang gila kalau Billy tidak menghentikannya mungkin mereka akan melakukan itu di situ saat itu juga. "Apa kau ingin menjadi bahan tontonan." Gisella menyeringai setelah mendengar kalimat yang membisik di telinganya, dia terpaksa menghentikan aktivitas kedua tangannya yang telah memporak-porandakan pakaian Billy. "Dasar binatang tidak tahu malu!" Selena memekik pelan, luka di hatinya kembali menganga. Selena tidak tahu kenapa dia harus merasakan sakit saat kedua pasangan itu memadu kasih. Gisella melepas tubuh Billy begitu saja setelah mengetahui Selena tidak lagi berada di tempat, "Gendong aku ke atas." wanita itu kembali merengek mengangkat kedua tangannya ke arah Billy. Berhasil membawa bobot G
"Nenek, apa kabarmu?" Billy menyambut wanita paruh baya yang baru saja turun dari kendaraan mewahnya. Binar di kedua matanya menelisik sepasang yang baru menikah itu. Diikuti Selena tersenyum ramah mencium pipi kanan dan pipi kiri Riana, nenek dari suaminya. "Apakah nenek lelah, kata orang pijatanku enak loh." Selena memberanikan diri mendekati Riana di sofa ruang keluarga. "Kau sungguh menantu yang baik." Riana menyambut jemari lentik di pundaknya, "tapi aku baru saja pergi ke spa relaksasi."Wanita tua itu menarik punggung tangan Selena agar ikut duduk di sebelahnya tanpa di duga menantunya itu mengaduh kesakitan, "A-apa yang terjadi?" keterkejutan jelas muncul di wajahnya, mata tua itu memicing pada Billy perihal keadaan Selena. Selena segera menyembunyikan tangannya, "Tidak apa-apa nenek, hanya luka kecil saja." ungkapnya disertai senyum yang dipaksakan. "Kemari duduklah." Selena menepuk tepat di sebelahnya. Riana menutup mulutnya yang terngangah lebar dengan tangan, "Bagaima
"Billy, tunggu." Selena meremas jemarinya satu sama lain. Tatapan dingin tanpa jawaban mengarah pada Selena, dari sana jelas pria dengan rahang kokoh di depannya itu seperti orang tak bersalah. "Apa lagi?" Billy menghela nafas pelan, sepasang mata lentik menatap seakan mengharapkan sesuatu padanya. "Aku ingin kita mengakhiri ini sekarang juga." tegas Selena melalui sorot matanya yang berubah sendu. Dia memutuskan mengakhiri drama ini secepatnya. "Apa katamu?! Tapi maaf sepertinya aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu itu," Billy berdecak sinis, tubuh bidang itu berhasil menyudutkan Selena pada dinding di belakangnya. "Akulah yang berhak mengakhirinya, kapanpun itu." ucap Billy sedikit merunduk pada telinga Selena. "Menarilah sesuai irama, kalau kau salah langkah berarti itu akan menyulitkan dirimu sendiri. Benarkan sayang?" sembari mengulurkan telunjuknya pada pipi Selena yang mulus pria itu menyoroti netra hitam pekat Selena. Selena menepisnya, dia mengeluarkan diri dari kungk