Tak terasa sudah dua hari Jenala berada di rumah sakit, sementara Abimana sedang ke kantor. Perempuan itu sengaja menyuruh Abimana pergi bekerja, karena Abimana sama sekali tak beranjak dari sisinya. Jenala tak mau pekerjaan Abimana terbengkalai. Sedangkan Sera sudah diurus oleh mama mertuanya. Ada satu hal yang mengganjal di hati Jenala ketika Viktor menjenguknya, pria itu hanya mengusap kepala Jenala, lalu memeluknya singkat. Sungguh, Jenala tidak pernah membayangkan jika Viktor memeluknya.Pasalnya, papa mertuanya itu sangat dingin dan susah ditebak, apalagi Jenala pernah mendengar perkataan pria itu saat di tangga bersama Raquel. Jujur saja, Jenala sekarang tidak tahu harus percaya atau tidak mengenai sikap baik orang-orang di sekelilingnya "Om Marlo?" Kaget Jenala ketika tiba-tiba pintu rawat inapnya terbuka, dan menampakan sosok tubuh tinggi tegap yang melangkah mendekat ke arah brankarnya."Om tidak bekerja?" "Kerja, tapi nanti. Om menyempatkan ke sini dulu sebelum ke Jakar
"Sera, baru pulang sekolah ya, sayang?" Sera yang akan ke kamarnya untuk mengganti seragam sontak saja menoleh, dan menemukan eksistensi perempuan cantik yang tentu saja sudah tak asing baginya. "Aunty Miranda?" Sera melangkah mendekat, lalu memeluk Miranda sekilas. Dan itu mampu membuat Miranda terdiam sesaat. "Sera semakin cantik saja, sudah lama kita tidak menghabiskan waktu berdua."Sera tersenyum, gadis kecil itu memang beberapa bulan ini jarang bertemu Miranda. Padahal dulu setiap weekend mereka selalu menghabiskan waktu berdua. "Sera sekarang lagi fokus buat lomba sama les, Aunty. Dan biasanya nemenin Mama kerja kalau Sera sedang libur sekolah." Miranda mengulum bibirnya, dia bukannya cemburu. Justru Miranda senang Jenala bisa dekat dengan Sera. Namun, mau bagaimna lagi? Namanya anak dirawat sedari kecil, pasti ada rasa asing ketika melihatnya dekat dengan yang lain."Ah … begitu, ya? Aunty jadi rindu pergi berdua sama Sera. Kapan-kapan mau Aunty ajak ke taman bermain, tid
"Pa-papa …." Raquel tergugu, wanita itu tak tahu harus menghindar ke mana lagi. Padahal dia sengaja tidur di kamar Sera, tapi tiba-tiba Jenala serta Abimana datang. Alhasil Raquel langsung pindah ke kamarnya. Raquel juga heran dengan perubahan sikap Abimana, putranya terlihat dingin. Seperti saat dulu Raquel menentang hubungannya dengan Jenala. "Kita memang menikah atas dasar bisnis, tetapi dengan berjalannya waktu, aku mulai menaruh rasa. Sampai kamu memberikanku dua anak yang begitu membanggakan." Raquel meremas kedua tangannya, Dia melirik takut-takut ke arah Viktor. Entah kenapa aura pria itu sangat mengerikan sekarang."Raquel, kenapa harus berbuat sampai sejauh ini? Aku sudah memperingatkanmu untuk jangan melampaui batas, tapi apa? Kamu justru semakin menjadi-jadi. Dan membuat hubungan kita beberapa bulan ini kembali merenggang." Viktor memijat pelipis, tak habis pikir dengan tingkah Raquel. "A-apa yang Papa bicarakan?" Raquel menjawab gugup, ini kali kedua dia melihat Viktor
Sikap Abimana kembali seperti dulu, tak ada sapaan hangat—atau bahkan pelukan seperti biasanya. Raquel takut, apa yang Viktor utarakan menjadi kenyataan. Wanita itu juga resah, pasalnya Cisa tak bisa dihubungi, anak gadisnya pergi entah ke mana."Javier, Mama buatin espresso sama biscotti untuk sarapan." Abimana melirik sekilas, lalu kembali mengalihkan atensinya pada Jenala. "Sayang, mau makan apalagi?" Jenala tersenyum kikuk, dia menggeleng seraya melirik Raquel sekilas."Tidak usah, Mas. Ini saja sudah cukup." "Mama! Sera mau apel juga sebagai cemilan, nanti Sera bagi ke teman-teman." Jenala tersenyum simpul, dia mengusap pipi gembul kemerahan itu. "Siap sayangku, nanti ya. Sera habiskan dulu sarapannya, jangan ada yang tersisa okay?" Sera mengacungkan jempol, Jenala memang lembut dan penuh kasih sayang. Tapi juga tegas disaat yang bersamaan. Jika dia tahu Sera membuang-buang makanan. Perempuan itu langsung menegur serta menceramahinya. Sementara itu, Raquel mengepalkan tanga
"Aku tahu kamu memang selalu mengagum—" Perkataan Zendaya terhenti ketika terdengar suara grasak-grusuk dari arah belakang punggungnya. "Sorry, Kak. Lama." Malvin melemparkan cengiran khas pada Abimana, tanpa diminta pria itu langsung mengambil duduk di samping sang sepupu. "Oh, hai. Ada rekan kerja Kak Vier rupanya." Abimana memijat keningnya. Dia sudah menebak jika Malvin pasti akan menggoda Zendaya. "Namanya siapa, Cantik?" Betul, bukan? Prediksi Abimana memang tak pernah meleset. "Eum … Zendaya." Zendaya tersenyum kecil melihat pria yang memiliki mata seperti Abimana. Bedanya pria yang di hadapannya ini terlihat bersahabat. Sementara Abimana—sedikit kaku. "Nama yang cantik, persis seperti orangnya." Malvin berkedip lucu, membuat Zendaya tak tahan mengeluarkan kekehan gelinya. "Mau apa ke sini?" Pertanyaan dengan nada malas itu mengalihkan atensi Malvin. "Ah—Kak Vier selalu mengganggu. Aku sedang pendekatan nih, bosan melihat Miranda sama Cisa. Sekali-kali biarkan sepupumu
Tak terasa, pernikahannya dengan Abimana sudah menginjak setengah tahun. Banyak sekali pelajaran yang Jenala dapatkan. Keikhlasan serta rasa sabar yang teramat besar. Tapi Jenala bersyukur, karena dia bisa melewati itu semua. Sifat Raquel maupun Cisa sudah tak tertolong. Kedua perempuan itu pada dasarnya memang sudah tertutup pintu kebaikan dalam hatinya. Jenala tak tahu lagi harus menyikapinya seperti apa. Hubungan Jenala dengan mereka stuck di tempat. Jenala juga malas jika membangun hubungan baik. Jadi dia hanya acuh tak acuh menghadapinya.Abimana juga sempat menawarkan tinggal di apartemen, sembari menunggu rumah mereka jadi. Tapi Jenala menolak, karena kasihan pada Sera—yang pasti akan kesepian jika kedua orang tuanya pergi bekerja."Kamu tidak bekerja hari ini?" Jenala menggeleng, lalu memfokuskan kembali atensinya pada dasi Abimana. "Aku sudah berjanji pada Sera, kita mau quality time hari ini. So, yeah. Mumpung musih semi. Menghabiskan waktu berdua dengan putriku adalah hal
Marlo melenggang santai ke arah parkiran, niatnya mau ke rumah Abimana malam ini. Tetapi apa mau dikata? Pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan.Suara seruan itu menyentak atensi Marlo, dia menoleh. Dan menemukan eksistensi kedua perempuan cantik yang berjalan mendekat ke arahnya."Kak Marlo buru-buru sekali, aku sampai lelah manggilnya." Marlo tersenyum simpul, dia menatap adik dari sahabatnya itu dengan tatapan tak biasa. "Cisa, kamu di sini?" Cisa tersenyum lebar, dia menebak jika Marlo tak tahu mengenai masalahnya dengan Jenala. Untuk itu sikap Marlo masih seperti biasa. "Iya nih, Miranda lagi ngidam makan bakmi."Seketika raut Marlo berubah, dia menatap Miranda sekilas, lalu membuang kembali pandangannya ke arah Cisa."Kalau begitu aku duluan ya, setelah ini mau balik ke studio soalnya." Cisa berdehem, dia menatap Marlo ragu-ragu. "Cepat sekali, eh tapi aku boleh minta tolong, tidak?" Marlo mengangguk tak keberatan."Antarkan Miranda ke studio juga, kalian bukanya satu gedung, ya
Hangatnya sinar mentari menerpa wajah manis itu, sang empu merasa terganggu dalam tidurnya. Namun, tak jua membuka mata. Tidak lama dari itu, terasa jemari panjang menelusuri wajahnya. Mulai dari kening, hidung. Dan berakhir di bibir. Alih-alih menepisnya, dia justru tersenyum dalam tidurnya. "Hei Putri tidur, bangunlah. Sudah pagi."Kelopak mata itu mulai terbuka secara perlahan, butuh beberapa saat untuk menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Jenala menguap sambil menutup mulutnya, lalu menoleh ke samping. Seketika pipinya merona kala melihat tatapan dalam dari sang suami. "Mas, sudah bangun?" "Menurutmu?" Jenala mencebik, Abimana yang gemas langsung mencubit pipi yang sudah chubby itu. Memang porsi makan Jenala kembali seperti dulu, tentunya diimbangi oleh olahraga rutin."Kamu semakin berisi, dan aku suka." Jangan pikir Jenala tersanjung akan hal itu, dia justru menatap Abimana kesal. "Bilang saja jika aku gendutan! Tidak usah diperhalus!" Jenala memberi jarak, selimut berukur