Hangatnya sinar mentari menerpa wajah manis itu, sang empu merasa terganggu dalam tidurnya. Namun, tak jua membuka mata. Tidak lama dari itu, terasa jemari panjang menelusuri wajahnya. Mulai dari kening, hidung. Dan berakhir di bibir. Alih-alih menepisnya, dia justru tersenyum dalam tidurnya. "Hei Putri tidur, bangunlah. Sudah pagi."Kelopak mata itu mulai terbuka secara perlahan, butuh beberapa saat untuk menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Jenala menguap sambil menutup mulutnya, lalu menoleh ke samping. Seketika pipinya merona kala melihat tatapan dalam dari sang suami. "Mas, sudah bangun?" "Menurutmu?" Jenala mencebik, Abimana yang gemas langsung mencubit pipi yang sudah chubby itu. Memang porsi makan Jenala kembali seperti dulu, tentunya diimbangi oleh olahraga rutin."Kamu semakin berisi, dan aku suka." Jangan pikir Jenala tersanjung akan hal itu, dia justru menatap Abimana kesal. "Bilang saja jika aku gendutan! Tidak usah diperhalus!" Jenala memberi jarak, selimut berukur
"Kamu pikir apa yang kamu katakan, Cisa?" Cisa terdiam dengan tangan mengepal, perempuan itu merutuki mulutnya yang tak bisa di rem. Tamatlah riwayatnya jika Jenala langsung mengadu pada Abimana."Sorry, aku tidak bermaksud apapun. Jadi jangan coba-coba mengadu pada Kak Vier." Jenala menyunggingkan senyum, perempuan itu mencoba mengatur emosinya. Dia tak boleh lepas kendali, apalagi ada Sera serta Abimana. "Dengar Cisa,"tekan Jenala"jika kamu tidak menjaga mulutmu lagi, saya sendiri yang akan memberimu pelajaran. Saya diam bukanya takut, tapi hanya kasihan padamu." Setelah melontarkan kalimat ejekan itu, Jenala menuruni undakan tangga dengan santai. Tak menghiraukan wajah memerah Cisa yang menahan amarah. ***Miranda : [ Kak Vier, boleh aku main ke kantor? ]Kening Abimana berkerut, tumben sekali perempuan itu ingin ke kantornya. Abimana : [ Silahkan. ] Sesudah mengirim balasan, Abimana kembali mempusatkan atensinya pada benda persegi di hadapannya. Laporan yang Rendra berikan b
Jenala sedang sibuk membantu Raquel di dapur, karena keluarga Miranda akan berkunjung. Sebenarnya bukan hanya keluarga perempuan itu—tapi seluruh keluarga Dominico. Namun, yang bisa datang hanya keluarga dari Miranda. Selebihnya masih di luar kota, serta liburan ke negara tetangga. "Kamu langsung bawa ke meja makan saja, nanti ambil lagi sisanya." Jika dalam mode seperti ini, mereka memanglah akur. Dan Jenala baik-baik saja mau bagaimanapun sifat Raquel padanya—lebih tepatnya tidak peduli. "Baik, Ma." Jenala bergegas ke arah meja makan, tiba-tiba langkahnya terhenti kala melihat Abimana yang melangkah mendekat padanya, bukankah baru pukul empat sore? Lantas mengapa Abimana sudah di rumah saja."Mas, cepat sekali pulangnya. Karena ada acara ini, ya?" Abimana memeluk Jenala, lalu mengecup singkat kening sang istri. "Tidak, aku memang sengaja pulang cepat. Karena ingin membantu istriku ini, pasti kamu kelelahan di dapur. Apalagi Mama yang mempunyai prinsip jika menjamu keluarga harus
"Saya dan Miranda sudah resmi menjadi sepasang kekasih, dan—""Dan Kak Marlo berencana mau melamarku bulan depan!" Sontak saja seruan Miranda membuat semua orang yang ada di meja makan menjadi tersedak. Bahkan Marlo sendiri tak menyangka Miranda akan mengatakan hal seperti itu. Bukankah mereka akan tunangan terlebih dahulu, lalu berlanjut ke tahap berikutnya. Lantas mengapa Miranda mengatakan Marlo akan melamarnya? Bukan berarti Marlo tak siap, ya. Pria itu hanya kaget, Miranda memang selalu mengejutkannya. Jadi jangan salahkan Marlo jika nanti ia akan lebih agresif dari perempuan itu. "Apa maksudmu, Mira!" Vivian menekan setiap kalimatnya, dia menatap anak semata wayangnya tajam. Emosi Vivian sedari tadi selalu dipermainkan oleh Miranda. "Aku pikir Mama mendengarkannya," balas Miranda ceria, sama sekali tak ada raut tegang pada wajah jelita itu. Vivian semakin geram, dia menyapu semua orang yang ada di meja makan. Jika ini di rumahnya, pasti Miranda sudah habis dicecar. "Mirand
Abimana baru sampai di hotel bintang lima yang ada di pusat kota tempatnya ini. Pria itu bahkan belum sempat mengganti bajunya karena terlalu lelah setelah perjalanan udara yang begitu panjang. DIa merentangkan tangan sambil merebahkan tubuhnya, lega sekali. Badannya yang kaku seketika terasa rileks kembali. Baru saja mencoba memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu kamar hotelnya.Abimana menggeram kesal, padahal sudah dia katakan pada Rendra untuk jangan mengganggu waktu istirahatnya. Ia dengan malas membuka pintu, seketika itu juga keningnya berkerut heran saat tahu bahwa bukan Rendra yang berdiri di hadapannya. "Malam, Javier. Maaf ya ganggu kamu. Aku ke sini cuma mau nawarin makan malam." Zendaya tersenyum manis. Sementara Abimana terlihat masih mengumpulkan nyawanya. "Makan malam?" Ulang pria itu, dan diangguki oleh Zendaya. "Yap, kamu mau? Sekalian menikmati suasana Kuala Lumpur di malam hari." Abimana yang awalnya ingin menolak terhenti kala mengingat
Dua hari berlalu, Jenala mulai dilanda rasa rindu pada sang suami, sesekali Abimana memang menghubunginya, tapi tak seintens itu. Dikarenakan juga jadwal Abimana yang begitu padat, dan Jenala mengerti akan kesibukan sang suami. Jenala mengaduk-ngaduk pasta yang ada di hadapannya, entah mengapa dia tak ada nafsu makan. Perempuan itu menghela nafas sembari mengangkat wajah, melihat sekeliling restoran yang terlihat ramai, maklum saja karena sudah jam makan siang. “Jena?” Jenala tersentak ketika merasakan tepukan pada bahunya, dia menoleh ke belakang dan menemukan Miranda yang melempar senyum manis sembari mengambil duduk di depannya. “Aku duduk di sini ya?”Jenala tersenyum tipis seraya menganggukkan kepala singkat. “Aku lagi galau hari ini, makanya pesan banyak makanan.” Miranda menunjuk pasta serta ayam goreng yang dia bawa. “Ini semua gara-gara Mama tahu! Huh, tidak bisa apa ya lihat anaknya senang?”“Memangnya Bibi Vivian, kenapa?” tanya Jenala mulai tertarik pada pembahasan Mira
“Jena!” Jenala menoleh ketika mendengar seruan dari belakang punggungnya. “Ih, suka sekali melamun. Tidak baik tahu!” Melisa mengambil duduk di samping Jenala, melihat sekeliling taman yang tampak ramai pada sore hari. Lalu kembali memfokuskan atensinya pada Jenala yang terlihat murung. “Mau cerita?”Jenala tersenyum tipis──melempar pandangan jauh ke depan. “Apa menurutmu aku terlalu cemburuan?”Melisa terdiam sejenak, meneliti ekspresi Jenala yang tampah sendu. “Mengenai?” “Rekan kerja serta masalalu, Mas Javier.” “Sebentar, bukankah kamu pernah cerita jika Om Javier Jomblo dari lahir?” Kini Jenala menatap penuh ke arah Melisa. “Aku pikir juga begitu, soalnya Papa bilang dia tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Tapi …. “Jenala mengangkat bahu, entah mengapa perasaan tak nyaman kembali melingkupinya ketika Abimana mematikan telepon secara sepihak. “Kata Miranda, Mas Javier pernah dekat dengan perempuan, dan sekarang mereka adalah rekan kerja.”“Miranda model cantik itu
Jenala tidak pernah berpikir jika semua peraturan yang dibuat membebankan Sera. Dia hanya ingin Sera menjadi disiplin serta belajar dari hal-hal kecil, tapi ternyata Jenala salah. Sera justru sangat tertekan dengan semua itu. Jenala mengusap wajah kasar, menimang-nimang apakah harus masuk ke kamar Sera atau tidak. Tetapi Jenala harus berbicara perihal ini dengan Sera. Tak ingin semakin berlarut-larut. Agar ia juga tahu harus mengambil sikap apa kedepannya.Setelah menghembuskan nafas Panjang, Jenala membuka pintu kamar Sera perlahan, perempuan itu memasang senyum menawan kala melihat sang putri sedang menghitung pensil warnanya. “Sera sudah bersihkan bibirnya?” tanya Jenala sambil duduk di pinggir kasur, tepat di samping Sera. Sera menoleh, mengangguk kuat seraya tersenyum lebar ke arah Jenala—memperlihatkan deretan giginya yang terlihat ompong bagian atas. “Sudah, Mama. Sera juga langsung sikat gigi.” Jenala terkekeh, tangannya terangkat untuk mengacak lembut surai bergelombang ya
Sudah satu bulan lamanya Jenala tinggal di hotel bersama keluarga kecilnya, dan tepat pada pukul delapan malam. Ketika Anak-anaknya tertidur, perempuan itu melenggang santai menuju lantai dua, tempat restoran hotel ini berada. Jenala sendiri tinggal di lantai lima, bersama keluarga kecilnya.“Bu Jenala.” Jenala menoleh ke belakang, melihat Rena, asisten rumah tangannya yang terlihat membawa paper bag. “Lho, kamu habis dari mana? Saya pikir kamu ada di kamar?”Rena tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tapi tadi dihubungi oleh front office, katanya disuruh ambil pesanan Pak Abimana untuk Ibu Jenala.” Rena menyerahkan paper bag berlogo restoran Favorit Jenala. “Terima kasih, ya. Awalnya saya mau ke resto bawah saja.” Rena mengangguk sebagai respon. “Ayo ikut makan, kita bawa ke resto bawah saja bagaimana?” Rena mengangguk kikuk, tak enak juga menolak. “Baik, terserah Ibu saja.” Sementara itu, Abimana yang sedang berada di kantor Jenala dikejutkan oleh kehadiran Miranda serat Marlo. “Kalian ken
Jenala kebingungan ketika sudah membuka mata, ia melihat ke sekeliling ruangan yang ditempati. “Mas?” Panggilnya ketika tak mendapatkan eksistensi Abimana. “Jena, kamu sudah bangun, Sayang?” Abimana keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menggantung sebatas perutnya. “Bagaimana perasaanmu?” lanjut pria itu sembari mengambil duduk di pinggir kasur tempat Jenala berbaring.“Kita di mana, Mas?” Alih-alih menjawab pertanyaan Abimana, ia justru bertanya balik dengan nada serak.“Di hotelku, Sayang. Besok pagi baru kita berangkat ke Den Haag, soal Avahander dia berada di kamar sebelah bersama Sera serta Rena, dan aku membawa Rena untuk membantu kita nanti. Semua perlengkapan kamu juga sudah aku siapkan, kita tinggal berangkat besok pagi.” Jenala tergugu, masih tak mengerti kalimat panjang yang Abimana utarakan. “Sebentar, Mas. Maksudnya kita ke Den Haag untuk apa? Dan juga Avahander masih kecil, tidak mungkin kita membawanya naik pesawat. Kecuali jika dia sudah satu bulan ke atas.”A
“Brisik! Kamu bisa diam tidak?!” Abimana langsung memeluk Jenala yang terus memberontak. Setelah pulang meeting, ia menemukan Avhander dalam keadaan menangis, sementara Jenala ikut menangis sambil memukul crib baby Avhander. Abimana yang panik langsung menelpon dokter keluarganya, dan perkataan sang dokter membuatnya seperti suami terburuk Jenala mengalami baby blues syndrome, biasanya sang ibu akan menangis secara tiba-tiba, serta memiliki kecemasan berlebihan terhadap sesuatu. Abimana tidak pernah menduga jika Jenala akan mengalami ini semua. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjaga perasaan sang istri, tapi ternyata ia gagal. Dan ini sangat menyakitkan untuknya, Abimana telah gagal menjadi suami yang baik bagi Jenala. “Av–avhander ….” Suara lirih Jenala menyentak Abimana. “Iya, Sayang. Avhander sudah tidur. Kamu istirahat, ya? Aku temani.”“Tidak! Mama jahat! Mama hina aku! Padahal aku yang lahirin Avhander! Mama Raquel jahat! Aku mau sama Mama Papaku saja!” Tubuh Jenala bergeta
Jenala tersenyum melihat Abimana yang sama sekali tak melepaskan pelukannya. Padahal ia sudah mengatakan tak apa-apa, dikarenakan bayi mereka juga lahir dalam keadaan sehat, walau sempat terjadi insiden kecil saat di kamar mandi. Sebenarnya Jenala juga merasa kecewa karena tak bisa melahirkan putra pertamanya ke dunia ini secara normal, tetapi apa mau dikata. Ini juga demi keselamatannya. “Hei, sudah. Aku juga sudah baik-baik saja.” Abimana menggeleng, masih teringat jelas saat dia sampai di kamar mandi dan menemukan Jenala yang sudah pingsan dengan darah menggenang. Sungguh, itu adalah hal mengerikan yang mampu membuat kinerja jantungnya berhenti berdetak, walau sesaat. Belum lagi saat dilarikan ke rumah sakit, dan dokter mengatakan jika Jenala harus dioperasi. Tentu Abimana semakin kalut, apalagi setelah melahirkan Jenala tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam “Sudah, ya. Aku juga baik-baik saja.” Jenala mengulang kembali kalimatnya, jemari lentiknya mengelus lembut surai
Bulan demi bulan telah dilalui, dan dua minggu lagi Jenala akan bertemu dengan buah hatinya, ada perasaan mendebarkan sekaligus melegakan dalam hatinya. Tantenya yang ada di Amsterdam tak henti-hentinya datang silih berganti, untuk menyemangatinya serta memberikan kata-kata penenang. Pun dengan Abimana, pria itu tak mau meninggalkan Jenala barang sedetik saja. Tapi Jenala mengancamnya jika tidak pergi bekerja dia tak mau menemui Abimana. “Mama, Sera sudah belikan barbie untuk adik bayi. Nanti kalau dia keluar Sera ajak main, boleh?” Jenala terkekeh, tapi tak urung mengiyakan. “Boleh, tapi adik bayi mainnya sama robot-robotan.” “Lho, kenapa, Mama? “Karena dia laki-laki, Sayang. Jadi, mainnya juga disesuaikan.” Sera terlihat manggut-manggut, walau sebenarnya dia juga tidak mengerti. “Mama, pipis.” Jenala mengangguk seraya mengacak gemas rambut, Sera. “Oke, Sayang. Hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa panggil, Mama.” Sera tak menjawab, gadis kecil itu sepertinya sedang ingin buru-b
Viktor membaca laporan yang sekretarisnya berikan, sesekali tampak kerutan pada dahi pria itu. “Jason mengajukan kerja sama pada, Javier?”Pria paruh baya itu mengangguk. “Benar, Pak. Tapi statusnya masih digantung oleh Pak Abimana. Sampai sekarang.” Viktor semakin terlihat penasaran, Abimana tak jauh beda ternyata darinya. Tak peduli itu adalah keluarga atau bukan, yang jelas jika tak berkompeten atau tidak memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan perusahaannya akan tetap ditolak. Dimitri—selaku ayahnya. Pernah mengatakan jika berbisnis lebih baik hindari dengan keluarga, karena urusan uang adalah hal sensitif. Dan terbukti, sampai sekarang Viktor tak menjalin kerja sama dengan anggota keluarganya. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Jason anggota keluarganya yang pertama bisa menjalin kerja sama dengan perusahaannya. “Baiklah, laporkan terus jika ada kejanggalan atau hambatan. Dan jangan lupa infokan kepada Rendra untuk selalu memantau orang-orang disekitar
“Mas, berapa hari di Malaysia?” Abimana mengecek ponselnya terlebih dahulu, lalu menatap kembali ke arah Jenala. “Sekitar satu minggu, Sayang. Maaf jika meninggalkanmu selama itu, tapi ini benar-benar tidak bisa diwakilkan.”Jenala mengangguk mengerti, pekerjaan Abimana memang begitu banyak, belum lagi membantu mengurus perusahaan periklanan miliknya. “Aku paham, jangan merasa bersalah seperti itu. Setelah melahirkan aku juga mau kembali ke perusahaan, apakah tidak apa-apa?” Abimana terdiam sejenak, menatap Jenala dalam. “Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang? Maksud aku, untuk mengurus anak kita menggunakan jasa baby sitter? Dan kamu siap akan impact ke depannya?”Kening Jenala berkerut, menurutnya tidak ada yang salah. “Memangnya kenapa, Mas? Dan dampak yang Mas maksud seperti apa?”Abimana tersenyum lembut, membaringkan tubuhnya pada sisi sang istri. Tangannya terangkat untuk mengelus perut Jenala yang sudah membesar. “Begini, Sayang. Jika setelah kamu memutuskan untuk kembal
Tak terasa kini usia kehamilan Jenala sudah menginjak lima bulan, perempuan itu tersenyum-senyum sendiri ketika mengetahui jika dirinya mengandung seorang putra. Sebenarnya tak masalah, entah lelaki atau perempuan. Yang terpenting sehat. Namun, ketika melihat reaksi Abimana, Jenala sungguh terharu, pria itu bahkan mengambil cuti karena tak bisa jauh dari istrinya. Abimana selalu menanyakan apa yang dia suka serta tak suka. Belum lagi menjauhkan apapun yang membuatnya tak nyaman. Bukankah prianya begitu manis?“Jena!” Jenala tersentak, bahkan rajutan yang ada di tangannya terjatuh seketika.“Maaf, aku ngagetin, ya?”Jenala menoleh ke arah Miranda, lalu menggeleng singkat. “Tidak, aku tadi sedang fokus saja.” Dia menunduk, mengambil benda yang mempunyai pola rajutan garter stitch itu. Jenala kembali mengalihkan atensinya pada Miranda, sebenarnya agak sedikit aneh ketika Miranda bertamu pagi-pagi seperti ini.“Kamu libur hari ini?” Miranda mengangguk kuat, menaruh di atas meja paper ba
“Mama, apakah adik bayinya seperti Sera?” Jenala terkekeh mendengarnya, dia memang sudah pulang satu minggu yang lalu. Dan memberitahukan kabar bahagia ini pada keluarga besarnya. Mereka semua bahkan sampai terbang ke Belanda untuk melihat keadaannya. Sementara keluarga besar Abimana juga tak kalah heboh, walau ada beberapa yang terlihat tak suka, tapi Jenala tak ambil pusing.“Belum tahu, Sayang. Apakah nanti perempuan atau lelaki. Nanti kita cek setelah empat atau lima bulan, oke?” Sera mengangguk kuat, gadis kecil itu mengelus perut rata Jenala, sesekali terkikik atas tingkahnya sendiri. “Oh, iya. Apakah sepupu Sera yang di Jakarta itu akan ke sini lagi, Mama?” Jenala mengacak rambut Sera gemas, gadis kecilnya ini suka sekali bermain dengan keponakannya. Namun, sayang sekali mereka hanya beberapa hari di Belanda. “Nanti kalau libur panjang pasti mereka ke sini lagi, Sayang.’ Sebenarnya Jenala masih merindukan nenek serta paman dan bibinya. Tetapi tidak mungkin, karena mereka ju