“Jena!” Jenala menoleh ketika mendengar seruan dari belakang punggungnya. “Ih, suka sekali melamun. Tidak baik tahu!” Melisa mengambil duduk di samping Jenala, melihat sekeliling taman yang tampak ramai pada sore hari. Lalu kembali memfokuskan atensinya pada Jenala yang terlihat murung. “Mau cerita?”Jenala tersenyum tipis──melempar pandangan jauh ke depan. “Apa menurutmu aku terlalu cemburuan?”Melisa terdiam sejenak, meneliti ekspresi Jenala yang tampah sendu. “Mengenai?” “Rekan kerja serta masalalu, Mas Javier.” “Sebentar, bukankah kamu pernah cerita jika Om Javier Jomblo dari lahir?” Kini Jenala menatap penuh ke arah Melisa. “Aku pikir juga begitu, soalnya Papa bilang dia tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Tapi …. “Jenala mengangkat bahu, entah mengapa perasaan tak nyaman kembali melingkupinya ketika Abimana mematikan telepon secara sepihak. “Kata Miranda, Mas Javier pernah dekat dengan perempuan, dan sekarang mereka adalah rekan kerja.”“Miranda model cantik itu
Jenala tidak pernah berpikir jika semua peraturan yang dibuat membebankan Sera. Dia hanya ingin Sera menjadi disiplin serta belajar dari hal-hal kecil, tapi ternyata Jenala salah. Sera justru sangat tertekan dengan semua itu. Jenala mengusap wajah kasar, menimang-nimang apakah harus masuk ke kamar Sera atau tidak. Tetapi Jenala harus berbicara perihal ini dengan Sera. Tak ingin semakin berlarut-larut. Agar ia juga tahu harus mengambil sikap apa kedepannya.Setelah menghembuskan nafas Panjang, Jenala membuka pintu kamar Sera perlahan, perempuan itu memasang senyum menawan kala melihat sang putri sedang menghitung pensil warnanya. “Sera sudah bersihkan bibirnya?” tanya Jenala sambil duduk di pinggir kasur, tepat di samping Sera. Sera menoleh, mengangguk kuat seraya tersenyum lebar ke arah Jenala—memperlihatkan deretan giginya yang terlihat ompong bagian atas. “Sudah, Mama. Sera juga langsung sikat gigi.” Jenala terkekeh, tangannya terangkat untuk mengacak lembut surai bergelombang ya
Abimana merasa aneh beberapa hari ini, pasalnya Jenala terlihat menjauh, bahkan tak jarang dia mendapatkan sikap dingin sang istri. Ada apa sebenarnya dengan perempuan itu, apakah Abimana mempunyai salah? Terhitung saat dirinya pulang dari Malaysia.Pernah sekali Abimana mengeluh sakit perut, yang hanya direspon datar oleh Jenala, biasanya perempuan itu pasti sangat khawatir, dan langsung memanggilkan dokter pribadi keluarga mereka.Abimana mendesah berat, melihat lurus ke arah gedung-gedung pencakar langit dari balik jendela ruangannya. Padahal sudah jam makan siang, tapi dia sama sekali tidak mood untuk hanya sekedar mengisi perut.“Vier.”Abimana seketika menoleh ke sumber suara, melihat Marlo yang sudah mendudukkan bokongnya di sofa yang terdapat pada pojok ruangan. Kening Abimana mengkerut, sejak kapan pria itu di sini?“Ck, kamu melamun siang-siang seperti ini? Padahal aku panggil dari tadi.” Abimana tak menjawab, di bangkit dari duduknya seraya melangkah menuju Marlo, lalu menga
“Sebelumnya aku mau tanya,” kata Jenala tegas. Meneliti raut Abimana sebelum melanjutkan ucapannya.“Mengapa Zendaya yang mengangkat teleponku saat Mas di Malaysia? Apa kalian satu kamar?”Abimana membeku, jantungnya berdebar menyakitkan. Mengapa Jenala mengatakan hal seperti ini padanya?“Apa maksudmu, Jena?” Jenala meneliti perubahan raut Abimana, apa pria itu akan denial perihal kejadian waktu itu? Jenala terkekeh serak, tidak menyangka Abimana melakukan hal curang. Jenala tak menjawab pertanyaan balik yang Abimana layangkan, justru dia mengambil ponselnya seraya memperlihatkan riwayat panggilannya beberapa hari yang lalu, tepat ketika pria itu berada di Malaysia. Kening Abimana berkerut saat melihat apa yang Jenala maksud, tapi Abimana bersungguh-sungguh jika dia sama sekali tak tahu mengenai hal itu. “Bagaimana mungkin aku tidak tahu jika kamu menelepon?” Kini justru dia bertanya dengan ekspresi yang penuh kebingungan. “Benarkah? Aku menelpon pukul sebelas malam, karena aku tah
Tidak terasa pernikahan Jenala serta Abimana menginjak satu tahun. Banyak lika-liku yang mereka hadapi. Entah omongan keluarga yang menanyakan ‘kapan punya anak’ dan banyak sekali celotehan tak penting yang pastinya membuat Jenala harus selalu melatih kesabaran setiap harinya.Seperti ini ternyata rasanya berumah tangga. Pantas saja dulu mendiang orang tuanya mengatakan jika menjalani sebuah bahtera rumah tangga bukanlah perkara mudah. Tetapi di sisi lain, Jenala bersyukur karena Abimana selalu mensupportnya. Walau mertua serta iparnya tak menunjukkan perubahan sikap padanya. Dan selalu mencari celah membuat Jeanla dongkol.Perempuan itu menghembuskan nafas berat, wajah manisnya terlihat pucat karena terus memuntahkan isi perutnya sedari pagi, salahnya sendiri yang tak sempat sarapan dan terlalu terpaku pada pekerjaan. Jenala memang mengidap asam lambung, Abimana juga sering mengultimatum soal sarapan dan makan teratur. Berhubung suaminya itu sedang ke luar kota, alhasil pola makan
Abimana menyusuri koridor rumah sakit dengan jantung berdegup kencang, sesampainya di Amsterdam sekitar pukul dua belas malam, mengingat perjalanan yang memakan waktu delapan jam. Dan alangkah terkejutnya dia saat sang papa mengatakan bahwa Jenala masuk rumah sakit. Yang lebih anehnya lagi saat papanya memeluknya erat seraya menyuruhnya cepat-cepat menemui Jenala. Dan di sinilah Abimana sekarang, menormalkan deru nafasnya yang memburu sembari membuka hati-hati ruang rawat inap sang istri. Dia melangkah perlahan menuju hospital bed Jenala. Dengan perlahan pria itu membungkuk sambil membelai wajah manis di hadapannya. Jenala menggeliat kala merasakan ada yang sesuatu yang menyentuh pipinya, dia mulai memfokuskan pandangannya, melihat sosok yang begitu dirindukan. “Mas Javi?” lirihnya serak, sesekali mengucek matan—takut jika semua ini hanyalah mimpi. “Ya, Sayang,” bisik Abimana serak nan dalam,“kamu pasti melewatkan sarapan lagi, makanya asam lambungnya kambuh,” lanjutnya. Jenala m
Jenala tak menjawab, kini dia justru mengusap perutnya seraya menatap lurus ke depan. “Lihat, Sayang. Papa kamu tidak menuruti permintaan kita.” Perempuan itu berucap sedih, mengabaikan Abimana yang sedang membelalak menatapnya. Bibir pria itu bergetar, matanya berkaca-kaca. Dia menyorot Jenala dengan tatapan tak percaya. “Jelaskan apa maksudmu mengatakan itu, Jena.” Abimana beringsut mendekat, sama sekali tak melepaskan tatapannya dari wajah sang istri. “Maksud Mas Javi apa? Aku tidak paham.” Jenala tersenyum polos, seolah-olah apa yang dia katakan hanyalah candaan semata. Dia menarik selimutnya hingga sebatas dada. Sesaat kemudian dia menahan nafas ketika Abimana berbaring di sisinya, ranjang yang ditempati memang cukup besar. Muat untuk dua orang.Baiklah, sepertinya Jenala terlalu meremehkan suami tampannya ini. Terbukti jika nyalinya cukup menciut melihat tatapan Abimana yang menghunus padanya, belum lagi jarak mereka yang sangat dekat. Membuat pasokan udara di sekeliling Jenal
“Mama, apakah adik bayinya seperti Sera?” Jenala terkekeh mendengarnya, dia memang sudah pulang satu minggu yang lalu. Dan memberitahukan kabar bahagia ini pada keluarga besarnya. Mereka semua bahkan sampai terbang ke Belanda untuk melihat keadaannya. Sementara keluarga besar Abimana juga tak kalah heboh, walau ada beberapa yang terlihat tak suka, tapi Jenala tak ambil pusing.“Belum tahu, Sayang. Apakah nanti perempuan atau lelaki. Nanti kita cek setelah empat atau lima bulan, oke?” Sera mengangguk kuat, gadis kecil itu mengelus perut rata Jenala, sesekali terkikik atas tingkahnya sendiri. “Oh, iya. Apakah sepupu Sera yang di Jakarta itu akan ke sini lagi, Mama?” Jenala mengacak rambut Sera gemas, gadis kecilnya ini suka sekali bermain dengan keponakannya. Namun, sayang sekali mereka hanya beberapa hari di Belanda. “Nanti kalau libur panjang pasti mereka ke sini lagi, Sayang.’ Sebenarnya Jenala masih merindukan nenek serta paman dan bibinya. Tetapi tidak mungkin, karena mereka ju
Sudah satu bulan lamanya Jenala tinggal di hotel bersama keluarga kecilnya, dan tepat pada pukul delapan malam. Ketika Anak-anaknya tertidur, perempuan itu melenggang santai menuju lantai dua, tempat restoran hotel ini berada. Jenala sendiri tinggal di lantai lima, bersama keluarga kecilnya.“Bu Jenala.” Jenala menoleh ke belakang, melihat Rena, asisten rumah tangannya yang terlihat membawa paper bag. “Lho, kamu habis dari mana? Saya pikir kamu ada di kamar?”Rena tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tapi tadi dihubungi oleh front office, katanya disuruh ambil pesanan Pak Abimana untuk Ibu Jenala.” Rena menyerahkan paper bag berlogo restoran Favorit Jenala. “Terima kasih, ya. Awalnya saya mau ke resto bawah saja.” Rena mengangguk sebagai respon. “Ayo ikut makan, kita bawa ke resto bawah saja bagaimana?” Rena mengangguk kikuk, tak enak juga menolak. “Baik, terserah Ibu saja.” Sementara itu, Abimana yang sedang berada di kantor Jenala dikejutkan oleh kehadiran Miranda serat Marlo. “Kalian ken
Jenala kebingungan ketika sudah membuka mata, ia melihat ke sekeliling ruangan yang ditempati. “Mas?” Panggilnya ketika tak mendapatkan eksistensi Abimana. “Jena, kamu sudah bangun, Sayang?” Abimana keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menggantung sebatas perutnya. “Bagaimana perasaanmu?” lanjut pria itu sembari mengambil duduk di pinggir kasur tempat Jenala berbaring.“Kita di mana, Mas?” Alih-alih menjawab pertanyaan Abimana, ia justru bertanya balik dengan nada serak.“Di hotelku, Sayang. Besok pagi baru kita berangkat ke Den Haag, soal Avahander dia berada di kamar sebelah bersama Sera serta Rena, dan aku membawa Rena untuk membantu kita nanti. Semua perlengkapan kamu juga sudah aku siapkan, kita tinggal berangkat besok pagi.” Jenala tergugu, masih tak mengerti kalimat panjang yang Abimana utarakan. “Sebentar, Mas. Maksudnya kita ke Den Haag untuk apa? Dan juga Avahander masih kecil, tidak mungkin kita membawanya naik pesawat. Kecuali jika dia sudah satu bulan ke atas.”A
“Brisik! Kamu bisa diam tidak?!” Abimana langsung memeluk Jenala yang terus memberontak. Setelah pulang meeting, ia menemukan Avhander dalam keadaan menangis, sementara Jenala ikut menangis sambil memukul crib baby Avhander. Abimana yang panik langsung menelpon dokter keluarganya, dan perkataan sang dokter membuatnya seperti suami terburuk Jenala mengalami baby blues syndrome, biasanya sang ibu akan menangis secara tiba-tiba, serta memiliki kecemasan berlebihan terhadap sesuatu. Abimana tidak pernah menduga jika Jenala akan mengalami ini semua. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjaga perasaan sang istri, tapi ternyata ia gagal. Dan ini sangat menyakitkan untuknya, Abimana telah gagal menjadi suami yang baik bagi Jenala. “Av–avhander ….” Suara lirih Jenala menyentak Abimana. “Iya, Sayang. Avhander sudah tidur. Kamu istirahat, ya? Aku temani.”“Tidak! Mama jahat! Mama hina aku! Padahal aku yang lahirin Avhander! Mama Raquel jahat! Aku mau sama Mama Papaku saja!” Tubuh Jenala bergeta
Jenala tersenyum melihat Abimana yang sama sekali tak melepaskan pelukannya. Padahal ia sudah mengatakan tak apa-apa, dikarenakan bayi mereka juga lahir dalam keadaan sehat, walau sempat terjadi insiden kecil saat di kamar mandi. Sebenarnya Jenala juga merasa kecewa karena tak bisa melahirkan putra pertamanya ke dunia ini secara normal, tetapi apa mau dikata. Ini juga demi keselamatannya. “Hei, sudah. Aku juga sudah baik-baik saja.” Abimana menggeleng, masih teringat jelas saat dia sampai di kamar mandi dan menemukan Jenala yang sudah pingsan dengan darah menggenang. Sungguh, itu adalah hal mengerikan yang mampu membuat kinerja jantungnya berhenti berdetak, walau sesaat. Belum lagi saat dilarikan ke rumah sakit, dan dokter mengatakan jika Jenala harus dioperasi. Tentu Abimana semakin kalut, apalagi setelah melahirkan Jenala tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam “Sudah, ya. Aku juga baik-baik saja.” Jenala mengulang kembali kalimatnya, jemari lentiknya mengelus lembut surai
Bulan demi bulan telah dilalui, dan dua minggu lagi Jenala akan bertemu dengan buah hatinya, ada perasaan mendebarkan sekaligus melegakan dalam hatinya. Tantenya yang ada di Amsterdam tak henti-hentinya datang silih berganti, untuk menyemangatinya serta memberikan kata-kata penenang. Pun dengan Abimana, pria itu tak mau meninggalkan Jenala barang sedetik saja. Tapi Jenala mengancamnya jika tidak pergi bekerja dia tak mau menemui Abimana. “Mama, Sera sudah belikan barbie untuk adik bayi. Nanti kalau dia keluar Sera ajak main, boleh?” Jenala terkekeh, tapi tak urung mengiyakan. “Boleh, tapi adik bayi mainnya sama robot-robotan.” “Lho, kenapa, Mama? “Karena dia laki-laki, Sayang. Jadi, mainnya juga disesuaikan.” Sera terlihat manggut-manggut, walau sebenarnya dia juga tidak mengerti. “Mama, pipis.” Jenala mengangguk seraya mengacak gemas rambut, Sera. “Oke, Sayang. Hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa panggil, Mama.” Sera tak menjawab, gadis kecil itu sepertinya sedang ingin buru-b
Viktor membaca laporan yang sekretarisnya berikan, sesekali tampak kerutan pada dahi pria itu. “Jason mengajukan kerja sama pada, Javier?”Pria paruh baya itu mengangguk. “Benar, Pak. Tapi statusnya masih digantung oleh Pak Abimana. Sampai sekarang.” Viktor semakin terlihat penasaran, Abimana tak jauh beda ternyata darinya. Tak peduli itu adalah keluarga atau bukan, yang jelas jika tak berkompeten atau tidak memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan perusahaannya akan tetap ditolak. Dimitri—selaku ayahnya. Pernah mengatakan jika berbisnis lebih baik hindari dengan keluarga, karena urusan uang adalah hal sensitif. Dan terbukti, sampai sekarang Viktor tak menjalin kerja sama dengan anggota keluarganya. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Jason anggota keluarganya yang pertama bisa menjalin kerja sama dengan perusahaannya. “Baiklah, laporkan terus jika ada kejanggalan atau hambatan. Dan jangan lupa infokan kepada Rendra untuk selalu memantau orang-orang disekitar
“Mas, berapa hari di Malaysia?” Abimana mengecek ponselnya terlebih dahulu, lalu menatap kembali ke arah Jenala. “Sekitar satu minggu, Sayang. Maaf jika meninggalkanmu selama itu, tapi ini benar-benar tidak bisa diwakilkan.”Jenala mengangguk mengerti, pekerjaan Abimana memang begitu banyak, belum lagi membantu mengurus perusahaan periklanan miliknya. “Aku paham, jangan merasa bersalah seperti itu. Setelah melahirkan aku juga mau kembali ke perusahaan, apakah tidak apa-apa?” Abimana terdiam sejenak, menatap Jenala dalam. “Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang? Maksud aku, untuk mengurus anak kita menggunakan jasa baby sitter? Dan kamu siap akan impact ke depannya?”Kening Jenala berkerut, menurutnya tidak ada yang salah. “Memangnya kenapa, Mas? Dan dampak yang Mas maksud seperti apa?”Abimana tersenyum lembut, membaringkan tubuhnya pada sisi sang istri. Tangannya terangkat untuk mengelus perut Jenala yang sudah membesar. “Begini, Sayang. Jika setelah kamu memutuskan untuk kembal
Tak terasa kini usia kehamilan Jenala sudah menginjak lima bulan, perempuan itu tersenyum-senyum sendiri ketika mengetahui jika dirinya mengandung seorang putra. Sebenarnya tak masalah, entah lelaki atau perempuan. Yang terpenting sehat. Namun, ketika melihat reaksi Abimana, Jenala sungguh terharu, pria itu bahkan mengambil cuti karena tak bisa jauh dari istrinya. Abimana selalu menanyakan apa yang dia suka serta tak suka. Belum lagi menjauhkan apapun yang membuatnya tak nyaman. Bukankah prianya begitu manis?“Jena!” Jenala tersentak, bahkan rajutan yang ada di tangannya terjatuh seketika.“Maaf, aku ngagetin, ya?”Jenala menoleh ke arah Miranda, lalu menggeleng singkat. “Tidak, aku tadi sedang fokus saja.” Dia menunduk, mengambil benda yang mempunyai pola rajutan garter stitch itu. Jenala kembali mengalihkan atensinya pada Miranda, sebenarnya agak sedikit aneh ketika Miranda bertamu pagi-pagi seperti ini.“Kamu libur hari ini?” Miranda mengangguk kuat, menaruh di atas meja paper ba
“Mama, apakah adik bayinya seperti Sera?” Jenala terkekeh mendengarnya, dia memang sudah pulang satu minggu yang lalu. Dan memberitahukan kabar bahagia ini pada keluarga besarnya. Mereka semua bahkan sampai terbang ke Belanda untuk melihat keadaannya. Sementara keluarga besar Abimana juga tak kalah heboh, walau ada beberapa yang terlihat tak suka, tapi Jenala tak ambil pusing.“Belum tahu, Sayang. Apakah nanti perempuan atau lelaki. Nanti kita cek setelah empat atau lima bulan, oke?” Sera mengangguk kuat, gadis kecil itu mengelus perut rata Jenala, sesekali terkikik atas tingkahnya sendiri. “Oh, iya. Apakah sepupu Sera yang di Jakarta itu akan ke sini lagi, Mama?” Jenala mengacak rambut Sera gemas, gadis kecilnya ini suka sekali bermain dengan keponakannya. Namun, sayang sekali mereka hanya beberapa hari di Belanda. “Nanti kalau libur panjang pasti mereka ke sini lagi, Sayang.’ Sebenarnya Jenala masih merindukan nenek serta paman dan bibinya. Tetapi tidak mungkin, karena mereka ju